---
Fajar menyingsing di atas tembok tinggi kota Trowulan ketika Pandika menuntun para tawanan menuju alun-alun kerajaan. Penduduk yang telah mendengar kabar penangkapan para penculik itu berkerumun di sepanjang jalan, wajah mereka penuh amarah dan dendam lama yang belum terbayar.
Ketika para penjahat itu lewat, tangan-tangan rakyat mengayunkan batu dan tanah. Batu-batu menghantam tubuh para pelaku; teriakan mereka bercampur dengan seruan murka rakyat yang anak-anaknya telah direnggut. Namun Pandika tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya berjalan tegak, wajahnya tenang seperti batu di tepi sungai. Ia tahu, keadilan harus dijalankan bukan oleh amarah, tetapi oleh hukum.
Di depan balairung pengadilan Majapahit, para penjaga membuka pintu besar yang diukir dengan lambang naga emas. Para pejabat kerajaan telah menanti, dan hakim tertinggi duduk di kursi batu, di bawah bendera merah Majapahit yang berkibar megah.
Satu per satu para penculik diseret ke hadapan pengadilan. Bukti kejahatan mereka dibacakan, dan kesaksian anak-anak yang selamat membuat seisi ruangan terdiam pilu. Tidak ada pembelaan, tidak ada belas kasihan.
“Karena telah berulang kali menebar kegelapan di tanah kerajaan, dan mencemarkan darah anak-anak Majapahit,” ucap sang hakim dengan suara berat, “maka hukum menjatuhkan vonis mati. Hukuman ini akan dilaksanakan saat matahari tenggelam.”
Sorak kemenangan rakyat menggema di luar balairung. Keadilan telah ditegakkan.
Ketika semuanya usai, Pandika meninggalkan tempat itu tanpa mencari pujian. Di luar gerbang kota, para keluarga anak-anak yang diselamatkan telah menunggu, mata mereka basah oleh air mata syukur. Seorang petani tua menghampirinya sambil membawa sekarung beras.
“Ini janji kami,” katanya dengan suara bergetar. “Engkau telah menyelamatkan anakku dan anak-anak kami semua. Terimalah, wahai penolong dari langit.”
Pandika menunduk rendah, lalu tersenyum.
“Hadiah kalian terlalu besar untuk seorang pengembara seperti aku. Tapi akan aku terima, agar bisa memberi manfaat bagi yang lain.”
Ia memanggul karung beras itu di bahunya dan berjalan menyusuri pasar. Di jalanan Trowulan yang ramai, ia melihat para pengemis duduk di bawah jembatan, kulit mereka kurus, mata mereka kosong oleh lapar. Tanpa ragu, Pandika membuka karungnya dan membagikan beras itu segenggam demi segenggam.
“Ambillah, kawan-kawan,” katanya lembut. “Rezeki ini bukan milikku, melainkan milik mereka yang lebih membutuhkan.”
Para pengemis itu tertegun, lalu bersujud penuh hormat. Seorang di antara mereka—tua, berjanggut panjang, dengan mata jernih bagaikan air sungai dalam—menatap Pandika dengan kagum.
“Engkau bukan ksatria biasa,” katanya lirih. “Karena dari tanganmu mengalir cahaya kebaikan.”
Ia menunduk lebih dekat. “Sebagai balasan, izinkan aku memberi kabar yang mungkin engkau cari. Di antara para pengembara dan peminta-minta, beredar kisah lama tentang seorang ksatria suci. Mereka menyebutnya Prabu Galang Siwah, seorang pendekar yang lenyap dari dunia fana. Ada yang bersumpah melihat sosok berjubah putih bertapa di gunung berapi di tanah Merapi, di mana api bumi bertemu langit.”
Pandika menatapnya penuh perhatian. “Gunung Merapi, katamu?”
Sang pengemis mengangguk. “Ya, di sanalah para roh lama berkumpul dan bumi sendiri bernafas dalam bara. Jika benar dialah yang kau cari, maka langkahmu berikutnya adalah menuju api abadi itu.”
Pandika menunduk dalam-dalam.
“Terima kasih, sahabat. Semoga dewata memberkati langkahmu.”
Ia berjalan pergi meninggalkan pasar yang perlahan hidup kembali, karung berasnya kini kosong, namun dadanya terasa penuh oleh rasa damai. Di atas tembok kota, matahari mulai memanjat tinggi, dan dari kejauhan Gunung Merapi tampak samar di balik kabut, seperti janji baru yang menanti untuk ditepati.
---
Kabut turun tipis menyelimuti tanah saat Pandika dan Si Maung meninggalkan gerbang timur Majapahit. Jalan menuju utara membentang di antara ladang-ladang padi yang mulai menguning, hingga perlahan berganti menjadi hutan rimba yang lebat. Di kejauhan, puncak Gunung Merapi menjulang hitam dan berasap, seolah langit sendiri sedang menyimpan rahasia.
Suara gemuruh dari perut bumi terdengar lirih, seperti napas panjang raksasa yang sedang tidur. Setiap langkah Pandika seakan membawa hawa panas yang makin terasa. Burung-burung hutan tak lagi bernyanyi, dan hanya desir angin yang terdengar, berputar aneh di antara pepohonan.
Si Maung berhenti di tengah jalan setapak, telinganya tegak, matanya menyipit.
“Aku merasakan sesuatu yang tidak biasa,” gumamnya dengan nada rendah. “Udara di sini berputar. Ada benteng gaib yang menjaga wilayah gunung ini.”
Pandika menatap ke sekeliling. Tak ada apa pun selain hutan hijau dan kabut yang menebal, namun langkah kakinya mulai terasa berat, seolah bumi menahannya.
“Benteng gaib?” tanyanya.
Si Maung mengangguk. “Ya. Ini bukan buatan manusia. Aku mengenal aroma sihir tua — kuno, bahkan lebih tua dari Majapahit sendiri. Formasi pelindung ini diciptakan untuk menyesatkan para pendaki yang berniat jahat. Bila kita melangkah tanpa arah, kita akan berputar dan kembali ke tempat yang sama.”
Mereka berhenti sejenak. Pandika menutup mata, merasakan desir udara di wajahnya. Dalam keheningan itu, samar terdengar bisikan — bukan dari manusia, tapi dari alam: suara dedaunan, desau angin, bahkan batu yang bergetar.
“Langit dan bumi tidak menolak yang datang dengan hati bersih,” ucap Pandika lirih. Ia lalu menggenggam pedang pemberian Ratu Peri, mengangkatnya ke langit. Cahaya lembut memancar dari bilahnya, menembus kabut yang menggantung.
Sekejap, kabut di depan mereka berputar, membentuk pusaran cahaya. Si Maung mendengkur pelan — bukan karena takut, melainkan kagum.
“Kau membuka jalur,” katanya pelan.
Dari pusaran kabut itu, muncul jalan batu berlumut, mengarah ke lereng gunung. Di tepi jalan, obor-obor kecil menyala tanpa api, hanya cahaya biru yang bergetar lembut. Suara gamelan jauh terdengar samar di udara — bukan dari manusia, tapi dari alam gaib yang menjaga gunung suci.
“Gunung Merapi,” bisik Pandika, menatap puncak yang kini tampak jelas di balik kabut. “Inilah tempat di mana bumi berbicara dan para roh menjaga keseimbangan dunia.”
Si Maung menatap ke langit. “Aku dapat merasakan banyak mata memandang kita — bukan musuh, tapi penjaga. Bersiaplah, Pandika. Setiap langkah di sini akan diuji bukan oleh pedang, tapi oleh kemurnian hatimu.”
Mereka melangkah bersama ke jalur batu yang berliku. Di kiri kanan, akar-akar besar menjuntai seperti ular tidur, dan batu-batu tua berukir huruf kuno menyala samar ketika dilewati. Angin membawa bisikan nama-nama lama yang terlupakan: nama ksatria, pertapa, dan roh yang telah lama menyatu dengan gunung.
Semakin tinggi mereka mendaki, semakin nyata kehadiran kekuatan gaib di sekeliling mereka.
Dan ketika malam turun, puncak Merapi bersinar dengan cahaya merah lembut — bukan dari api, tapi dari sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam: jiwa gunung itu sendiri.
---
Jalan batu itu akhirnya berakhir di sebuah lembah tersembunyi di lereng Gunung Merapi. Di sana, di antara kabut yang menari dan udara panas yang menggigit, berdiri sebuah batu besar, seolah menjadi bagian dari gunung itu sendiri. Namun ada sesuatu yang berbeda — udara di sekitarnya bergetar lembut, seperti sedang menjaga sesuatu yang suci.
Si Maung berhenti di depan batu itu, matanya menyipit, hidungnya bergerak cepat mengendus udara.
“Pandika,” ujarnya perlahan, suaranya seperti bisikan di tengah kabut, “tempat ini… ada aroma lama, aroma darah ksatria dan dupa suci. Aku mengenal bau ini. Ia pernah berkelana bersama para leluhur—Prabu Galang Siwah.”
Pandika menatap batu besar itu. Ia meraba permukaannya yang lembap, tertutup lumut hijau tebal. Namun di balik lapisan itu, ia merasakan sesuatu yang bukan sekadar batu — permukaan yang lebih halus, hampir seperti kulit.
Perlahan, dengan tangan gemetar, Pandika mulai membersihkan lumut itu. Sedikit demi sedikit, bentuk wajah manusia muncul — mata tertutup rapat, hidung kokoh, bibir membeku dalam ketenangan abadi. Rambut panjangnya terurai hingga menyentuh tanah, telah menyatu dengan akar-akar pepohonan. Pakaian putih yang dulu mungkin suci, kini memudar dan berdebu, tapi tetap utuh.
Si Maung mendekat, menatap sosok itu dengan penuh hormat. “Tak salah lagi,” katanya. “Dialah Prabu Galang Siwah, sang ksatria agung Majapahit. Namun... tubuhnya dingin, tak ada denyut kehidupan, dan napasnya telah lama tiada.”
Pandika berlutut di hadapan sosok itu, hatinya bergetar antara kagum dan sedih.
“Bila ini benar dia,” katanya lirih, “maka misi bangsa peri belum selesai. Mereka menantikan sang ksatria untuk kembali, bukan untuk berperang, tapi untuk memberi jawaban.”
Angin berhembus pelan, membawa aroma belerang dan bunga hutan yang aneh. Dari kejauhan, suara gunung bergemuruh pelan, seperti sedang menyetujui kata-kata Pandika.
“Tubuhnya tidak membusuk,” kata Si Maung. “Lihatlah kulitnya — masih segar, seolah ia hanya tidur. Mungkin jiwanya belum pergi, hanya tersesat di alam lain.”
Pandika menunduk, lalu mengangguk mantap. “Kalau begitu, kita bawa dia. Mungkin bangsa peri tahu cara membangunkannya.”
Si Maung mendesis pendek, lalu mengubah wujudnya. Tubuhnya perlahan membesar — dari seekor kucing, menjadi serigala perak sebesar kuda, matanya berkilat bagai bintang tua. Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh Prabu Galang Siwah ke punggungnya.
“Beratnya bukan karena daging dan tulang,” gumam Si Maung, “tapi karena kekuatan yang tertidur di dalamnya.”
Pandika menatap lembah itu sekali lagi sebelum mereka berangkat. Kabut berputar di sekeliling mereka, seolah gunung itu sendiri enggan melepas sang ksatria tua dari pelukannya.
“Aku berjanji,” bisik Pandika kepada gunung, “akan membawanya pulang — ke tempat ia semestinya berada.”
Lalu mereka berdua, Pandika dan Si Maung, perlahan menuruni gunung dalam kesunyian. Di belakang mereka, lembah kembali tertutup kabut, dan hanya angin yang tahu bahwa sang legenda lama kini dibawa turun kembali menuju dunia manusia.
---
Di bawah sinar bulan yang pucat, Si Maung berlari menembus gelap malam, membawa Pandika dan tubuh Prabu Galang Siwah di punggungnya. Angin berdesir di telinga mereka, menciptakan nyanyian panjang yang terdengar seperti doa para leluhur yang terhembus dari alam lain.
Langkah-langkah Si Maung memantul di atas tanah, lalu melesat menembus hutan yang lebat — pepohonan menyingkir seolah tunduk kepada makhluk agung yang melintas. Daun-daun beterbangan, ranting berderak, dan di antara bayangan, mata-mata binatang hutan berkilat heran, menyaksikan sosok besar berwarna perak yang membawa cahaya samar dalam punggungnya.
“Pegangan yang erat, Pandika,” kata Si Maung dengan suara berat namun tenang. “Perjalanan ini akan panjang. Kita harus menyeberangi lautan, melewati tanah tandus dan gurun abu.”
Pandika menunduk sedikit, memeluk tubuh Prabu Galang Siwah agar tidak terjatuh. “Aku siap. Demi tugas ini, bahkan gunung dan lautan akan kulewati.”
Mereka menembus batas hutan, menuju daratan luas yang gersang — bekas tanah yang pernah dilalap api gunung berapi. Di sana, bintang-bintang tampak lebih dekat, seolah ingin menyaksikan perjalanan mereka. Pasir hitam berputar di belakang langkah Si Maung, membentuk pusaran panjang bagai ekor naga.
Ketika fajar hampir tiba, mereka mencapai tepian laut. Ombak menggulung tinggi, namun Si Maung tidak berhenti. Ia menatap lautan lebar itu, lalu menurunkan tubuhnya sedikit. “Pegang erat. Kita menyeberang.”
Dengan satu lompatan besar, Si Maung meluncur ke atas permukaan air. Tapak kakinya memantul di atas gelombang, menciptakan riak bercahaya keperakan. Laut itu seolah tunduk pada kekuatan gaib yang menyelimutinya. Pandika hanya bisa tertegun, melihat cakrawala terbentang luas dan bulan terpantul di permukaan laut yang bergetar.
Beberapa makhluk laut besar muncul dari kedalaman — ikan-ikan bercahaya, naga air, bahkan paus raksasa yang mengeluarkan bunyi lembut, seperti menyambut perjalanan mereka.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan tanpa henti. Kadang melewati lembah berkabut, kadang menapaki padang bunga liar yang hanya mekar di bawah cahaya bulan. Di setiap tempat, udara terasa berbeda — seolah mereka telah menembus batas dunia manusia.
Hingga akhirnya, di kejauhan tampak bayangan besar menjulang tinggi ke langit: Gunung Rinjani. Puncaknya diselimuti awan tipis yang berkilau seperti kristal, dan dari lerengnya mengalir sungai berwarna biru muda.
Si Maung berhenti di tepi hutan kaki gunung. Ia mengangkat kepalanya tinggi, menatap puncak suci itu dengan hormat. “Kita sudah dekat,” katanya perlahan. “Di puncak itulah tempat bangsa peri bersemayam. Di sanalah, mungkin, sang ksatria ini akan bangun dari tidurnya.”
Pandika turun dari punggung Si Maung, menatap tubuh Prabu Galang Siwah yang tampak lebih tenang — kulitnya kini seolah memancarkan cahaya lembut.
“Lihat,” kata Pandika lirih. “Ia… mulai berubah. Seolah tubuhnya merespons panggilan dari gunung ini.”
Si Maung mengangguk, matanya berkilau lembut. “Gunung suci memanggil jiwanya pulang.”
Kabut putih perlahan turun dari puncak Rinjani, melingkupi mereka bertiga, membawa aroma bunga hutan dan suara samar yang terdengar seperti nyanyian kuno bangsa peri.
---
---
Kabut lembut menyelimuti kaki Gunung Rinjani ketika Si Maung menapakkan kakinya di tanah kerajaan bangsa peri. Udara di sana harum oleh wangi bunga liar dan aroma kemenyan suci yang dibawa angin gunung. Cahaya keperakan turun dari langit, memantul di atas dedaunan, membuat seluruh lembah seolah diselimuti permata halus.
Di antara kabut yang berpendar itu, muncullah para peri — jelita dan anggun, mengenakan kebaya tipis berwarna lembut dan kain batik halus yang mengalun di udara. Di pinggang mereka, tersampir kain tipis bercahaya menyerupai sayap, berkibar pelan setiap kali mereka melangkah. Suara gelang perak di pergelangan kaki mereka berdenting lembut seperti nyanyian embun.
Peri pertama yang melangkah maju menundukkan kepala dengan hormat.
“Selamat datang, Pandika dari dunia manusia,” ujarnya lembut. “Aku Wulanratih Sekarwangi, penjaga gerbang timur kerajaan Rinjani.”
Suara lembutnya seperti desir angin di antara serumpun bambu, menenangkan hati siapa pun yang mendengarnya.
Dari belakangnya, seorang peri lain berjalan mendekat, mengenakan kebaya berwarna hijau daun muda, dengan mata seindah embun pagi.
“Aku Cempakalirna Dwimaya,” katanya seraya tersenyum. “Kami telah mendengar kisahmu dari angin. Kau datang membawa sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa kami.”
Pandika menunduk sopan. Ia masih menahan tubuh Prabu Galang Siwah yang terkulai di pelukannya, sementara Si Maung berdiri tegak di belakang mereka, bulunya berkilau di bawah cahaya rembulan.
“Benar,” ujar Pandika dengan suara pelan namun mantap. “Inilah Prabu Galang Siwah, ksatria suci yang telah lama dicari oleh Ratu kalian. Ia ditemukan di Gunung Merapi dalam keadaan terlelap dalam tidur panjang.”
Para peri saling berpandangan, wajah mereka berubah antara takjub dan haru. Cempakalirna Dwimaya menangkupkan tangan di depan dada.
“Syukur kepada Sang Cahaya,” bisiknya. “Ratu Safiranindya Prameswara telah menantikan kabar ini selama berabad-abad. Mari, kami akan menunjukkan jalan menuju kediaman sang Ratu.”
Dengan gerakan anggun, para peri mengangkat tangan mereka. Jalan di depan yang semula tertutup kabut perlahan terbuka — terbentuk dari kelopak bunga berwarna ungu dan biru yang menyala lembut di bawah pijar bulan. Di kejauhan tampak istana kristal Rinjani: berdiri di atas puncak awan, dikelilingi air terjun yang berjatuhan dari udara, mengalir tanpa henti seperti tabir mutiara.
Pandika menatap kagum. “Indah sekali… seperti negeri dalam mimpi.”
Wulanratih Sekarwangi tersenyum. “Karena ini memang negeri di antara mimpi dan kenyataan, Pandika. Hanya mereka yang datang dengan hati suci yang dapat melihat wujud sejatinya.”
Si Maung melangkah perlahan mengikuti para peri yang menuntun jalan, sementara Pandika memeluk tubuh Prabu Galang Siwah dengan hati-hati. Cahaya dari istana semakin terang, menerangi wajah tua sang prabu yang kini tampak lebih damai, seolah cahaya itu memanggil jiwanya untuk kembali.
Malam itu, perjalanan menuju istana Ratu Safiranindya Prameswara dimulai — perjalanan menuju jawaban, takdir, dan rahasia yang telah lama tersembunyi di balik kabut abadi Gunung Rinjani.
---
---
Istana kristal Rinjani berdiri di tepian danau yang bening, permukaannya memantulkan cahaya bulan seperti cermin dari alam dewa. Di tengah kabut lembut yang bergulir di atas air, Ratu Safiranindya Prameswara duduk di singgasananya — terbuat dari bunga melati raksasa yang mekar sempurna. Cahaya lembut memancar dari wajahnya, matanya sejernih embun fajar, dan rambutnya berkilau seperti benang perak yang menyatu dengan cahaya bintang.
Ketika Pandika bersama Si Maung membawa tubuh Prabu Galang Siwah ke hadapannya, sang Ratu berdiri, mengenakan jubah sutra tembus pandang berwarna biru langit, berhiaskan taburan cahaya seperti debu bintang.
“Wahai Pandika,” ucapnya dengan suara yang bergema lembut di seluruh danau, “bangsa peri berhutang budi padamu. Kau telah menemukan sosok yang kami nanti selama berabad lamanya — sang Prabu Galang Siwah, penjaga harmoni antara dunia manusia dan dunia kami.”
Pandika menunduk dalam, penuh hormat.
“Saya hanya menjalankan tugas dan takdir yang dipilihkan oleh alam, Paduka Ratu,” ujarnya rendah hati.
Sang Ratu tersenyum, lalu memandang tubuh Prabu Galang Siwah yang kini dibaringkan di atas batu suci di tengah danau. “Ia belum mati,” katanya lirih, “melainkan tertidur dalam pertapaan panjang — jiwanya berkelana di antara alam semesta, menunggu saat panggilannya tiba.”
Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan suara lembut mulai terdengar dari segala penjuru. Para peri muncul satu per satu, mengenakan pakaian upacara berwarna perak dan hijau zamrud. Mereka membentuk lingkaran di sekeliling danau, sementara air mulai beriak seolah bernapas.
“Sekarang,” bisik Ratu Safiranindya Prameswara, “upacara pemanggilan akan dimulai.”
Sebuah cahaya biru muda muncul di telapak tangan sang Ratu, berputar perlahan seperti pusaran air, lalu melayang di atas tubuh sang Prabu. Para peri serentak melantunkan mantra kuno dengan bahasa yang nyaris tak bisa dimengerti — lembut, bergelombang, dan penuh harmoni seperti lagu angin yang menembus dedaunan.
Air danau terangkat sedikit demi sedikit, mengelilingi tubuh Prabu Galang Siwah, membentuk selubung cahaya biru kehijauan. Si Maung menggeram pelan, merasakan kekuatan magis yang begitu besar, sedangkan Pandika menatap tak berkedip, matanya memantulkan cahaya upacara yang mempesona.
Ratu Safiranindya mengatupkan kedua tangannya, lalu berkata dengan suara nyaring bagaikan lonceng suci:
“Wahai Prabu Galang Siwah, penjaga keseimbangan bumi dan langit, dengarlah panggilan kami. Kembalilah dari alam sunyi. Bangkitlah, sebab dunia telah berubah dan membutuhkan cahayamu sekali lagi.”
Seketika, kilatan cahaya menyambar dari langit. Air danau berputar hebat, membentuk pusaran cahaya yang naik ke udara. Para peri menunduk, rambut dan sayap mereka berkibar ditiup angin yang muncul dari tengah lingkaran.
Tubuh Prabu Galang Siwah bergetar perlahan. Lumut dan kerikil yang menempel di tubuhnya luruh ke air. Dari dadanya, muncul sinar lembut — berdenyut pelan, seperti nadi kehidupan yang baru saja kembali berdetak.
Ratu Safiranindya menatap lembut, meneteskan air mata kristal.
“Selamat datang kembali, wahai Prabu dari Cahaya Timur…”
Danau kini berpendar seperti lautan bintang, dan malam itu, Gunung Rinjani menjadi saksi kebangkitan seorang legenda yang telah lama tertidur dalam diam waktu.
---
---
Kabut tipis masih menari di atas permukaan danau ketika cahaya biru perlahan meredup. Para peri menunduk penuh hormat; udara dipenuhi wangi melati dan suara gemericik air yang tenang kembali. Tubuh Prabu Galang Siwah kini perlahan bergerak—matanya terbuka, menatap langit dengan sorot dalam yang memantulkan kebijaksanaan masa lampau.
Kulitnya berkilau samar, rambut dan janggut panjangnya bergoyang ditiup angin lembut. Pandika berlutut di hadapannya, menundukkan kepala dalam-dalam, sementara Si Maung duduk tegak di sisinya, menatap dengan tatapan waspada tapi penuh takzim.
Prabu Galang Siwah menatap sekeliling, matanya yang redup seolah mengenali setiap wajah peri yang berdiri di tepi danau. Dengan suara serak namun berwibawa, ia berkata pelan,
“Sudah berapa lama... dunia ini berputar tanpaku?”
Ratu Safiranindya mendekat dan membungkuk.
“Berabad lamanya, wahai Prabu. Dunia telah banyak berubah. Namun kini saatnya engkau kembali, sebab bayangan kejahatan yang dulu kau rasakan mulai bangkit kembali di timur.”
Prabu Galang Siwah mengangguk perlahan. “Aku telah merasakannya,” ujarnya lirih. “Bahkan dalam tidur panjangku, bayangan itu masih membisikkan kebusukan ke bumi. Ada sesuatu yang bergerak dari bawah kawah Merapi—sebuah kekuatan lama yang seharusnya tak pernah bangkit lagi.”
Ia menatap Pandika, yang masih berlutut di hadapannya. “Dan kau… anak muda. Akulah yang seharusnya berterima kasih. Kau membawaku kembali dari batas antara hidup dan mati. Katakan namamu.”
“Namaku Pandika, hamba hanyalah pengembara biasa,” jawabnya dengan rendah hati.
Prabu Galang Siwah tersenyum, meski sorot matanya tajam seperti pedang. “Tidak ada yang biasa dalam diri seseorang yang berani menapaki jalan sunyi kebenaran. Aku melihat jiwamu, wahai Pandika—jernih, tapi belum ditempa. Kau belum memiliki penguasaan ilmu tinggi, namun hatimu lurus dan tenagamu bersih.”
Pandika menunduk. “Saya hanya belajar bela diri sederhana, dari para petani dan pengawal desa. Tidak lebih.”
“Justru karena itulah,” ujar Prabu Galang Siwah sambil menepuk bahunya dengan lembut, “kau layak menerima warisan ilmu Majapahit yang sejati. Ilmu bukan untuk berkuasa, melainkan untuk menjaga keseimbangan dunia.”
Ia menatap ke arah Ratu Safiranindya, yang mengangguk setuju. “Jika engkau bersedia,” lanjut sang Prabu, “aku akan mewariskan seluruh ilmu bela diri dan kebijaksanaan yang telah kutimba dalam ratusan tahun pengembaraan dan pertapaan.”
Pandika menatap sang Prabu, ada campuran kagum dan kerendahan hati dalam pandangannya. Ia menunduk hormat.
“Bila itu kehendak Paduka, maka saya bersedia menjadi muridmu, dan menjalankan apa pun yang diperintahkan.”
Senyum lembut menghiasi wajah tua Prabu Galang Siwah. “Mulai hari ini, engkau bukan lagi pengembara tanpa nama. Engkau adalah murid dari Galang Siwah, penjaga keseimbangan Majapahit dan penjaga rahasia bangsa peri.”
Ratu Safiranindya mengangkat tangannya ke langit. Dari udara turun butiran cahaya lembut yang melingkupi keduanya. Cahaya itu berputar, membentuk lingkaran seperti pusaran waktu—menandai dimulainya babak baru dalam takdir Pandika.
Dan di tepi danau suci Rinjani, dengan saksi para peri dan gunung yang bergaung lembut, lahirlah ikatan guru dan murid antara dua zaman: sang legenda masa lampau dan sang pengembara yang ditakdirkan menjaga masa depan.
---
---
Hari-hari di negeri para peri terasa panjang namun damai. Di bawah langit biru Rinjani, Prabu Galang Siwah mulai melatih Pandika dalam seni tertua Majapahit—ilmu pedang yang memadukan jiwa dan napas alam.
Di halaman berlapis batu hijau di tepi danau, sang prabu berdiri tegak dengan rambut putihnya terurai bagai asap dupa. Ia menghunus pedangnya, bilahnya berkilau seolah memantulkan cahaya matahari sekaligus rembulan.
“Perhatikan,” ucapnya lirih namun tegas. “Pedang bukanlah alat membunuh, melainkan perpanjangan tangan dari kehendak dan nuranimu. Gerakannya adalah bahasa jiwa.”
Ia menapakkan kakinya perlahan, tubuhnya berputar lembut, dan bilah pedang menari di udara—menyapu angin, menciptakan pusaran lembut bagai tarian air. Pandika berdiri tak jauh, mengikuti setiap gerakan dengan saksama. Gerakan itu tampak sederhana, namun tiap ayunan mengandung keseimbangan antara napas, tenaga, dan keheningan.
Hari demi hari, Pandika menirukan gerakan itu. Awalnya kaku dan terbata, tapi setiap langkah membawanya lebih dekat pada keselarasan yang diajarkan gurunya.
“Rasakan angin di sekitarmu,” ujar Prabu Galang Siwah. “Biarkan pedangmu menuntunmu, bukan sebaliknya.”
Ketika dasar-dasar ilmu itu mulai tertanam, sang prabu melanjutkan ke tingkatan yang lebih tinggi. Ia mengangkat pedangnya, dan tiba-tiba udara di sekitar bergetar. Gerakan pedangnya kini nyaris mustahil diikuti oleh mata biasa—setiap ayunan melahirkan seribu bayangan pedang, berkilauan bagai serpihan bintang.
Walau gerakannya tampak lamban, cahaya dari bilahnya membentuk garis lurus di udara, dan apa pun yang disentuh cahaya itu—batu, ranting, bahkan udara—terbelah tanpa suara.
Pandika terdiam, kagum sekaligus gentar. “Guru, bagaimana saya bisa melakukan itu?”
Prabu Galang Siwah menatapnya dalam. “Ilmu ini bukan soal kecepatan tangan, melainkan kejernihan hati. Bila jiwamu belum diam, pedangmu akan selalu bergetar.”
Pandika berlatih tanpa henti, namun setiap kali mencoba, bayangan pedangnya tak pernah lebih dari sepuluh. Ia menghela napas, peluh membasahi tubuhnya.
“Jangan terburu,” ucap sang prabu lembut. “Ada waktunya kau akan menguasainya. Sekarang, saatnya kau belajar hal yang lebih dalam—kekuatan batin Majapahit.”
Mereka duduk bersila di tepi danau. Air beriak pelan, daun-daun beterbangan ditiup angin lembut.
“Ini adalah ilmu melepas dan menarik,” kata Prabu Galang Siwah. “Segala yang hidup terhubung oleh napas semesta. Bila kau mampu menyatu dengannya, maka batu, air, bahkan besi akan menuruti panggilanmu.”
Ia mengangkat telapak tangannya, dan sebongkah batu kecil di tanah terangkat perlahan, melayang di udara seolah tak berbobot. Lalu dengan gerakan ringan, batu itu melesat jauh sebelum kembali ke telapak tangannya, patuh seperti seekor burung jinak.
“Latih dirimu hingga kau mampu melakukan ini tanpa berpikir,” ucap sang prabu. “Karena kekuatan sejati bukan datang dari otot, melainkan dari keselarasan antara niat dan napas dunia.”
Pandika mencoba. Tangannya bergetar, napasnya terengah. Batu di hadapannya hanya bergetar sedikit sebelum jatuh lagi ke tanah. Namun Prabu Galang Siwah hanya tersenyum.
“Tak apa,” katanya lembut. “Setiap gunung dimulai dari segenggam tanah.”
Dan demikianlah hari-hari Pandika berlalu di bawah bimbingan sang legenda Majapahit. Ia belum menjadi seorang ahli, namun setiap fajar yang datang membuatnya semakin dekat dengan makna sejati kekuatan dan kedamaian.
---
---
Hari-hari berganti, dan cahaya mentari di negeri para peri seakan menjadi saksi bisu atas ketekunan seorang manusia muda bernama Pandika. Di bawah bimbingan Prabu Galang Siwah, ia menempuh latihan yang menguji bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwanya.
Setiap fajar, ia berdiri di tepi danau yang diselimuti kabut lembut. Udara berembus membawa aroma bunga dan tanah basah. Di sanalah ia mengulang pelajaran tentang ilmu melepas dan menarik, hingga jemarinya mengerti bagaimana memanggil kekuatan dari udara dan mengembalikannya pada keheningan.
Awalnya, batu-batu di hadapannya hanya bergetar tanpa arah. Namun kini, dengan napas yang teratur dan hati yang tenang, batu-batu itu melayang perlahan, berputar di sekeliling dirinya seolah menari.
“Bagus,” ujar Prabu Galang Siwah. “Kau mulai memahami bahasa dunia.”
Latihannya berlanjut ke tahap yang lebih tinggi—pertarungan tanding dengan bangsa peri. Di lapangan luas di bawah pohon-pohon bercahaya, para peri mengelilinginya dengan mata penuh penasaran. Mereka mengenakan pakaian berwarna hijau zamrud dan perak, pedang kayu mereka berkilau seolah bernafas.
“Jangan berharap belas kasihan,” ujar salah satu peri dengan senyum lembut, lalu menghilang dari pandangan mata.
Pandika menutup matanya, menenangkan diri. Ia mendengarkan bisikan angin, langkah ringan yang hampir tak terdengar, dan detak jantungnya sendiri. Ketika pedang kayu datang menyerang dari sisi kanan, tangannya bergerak tanpa ragu—ilmu menarik bekerja, membuat serangan itu tertahan di udara, lalu ia melepaskan tenaga kecil yang memantulkan lawannya ke belakang.
Pertarungan berlangsung lama. Sekali, dua kali, sepuluh kali—hingga seratus kali mereka beradu pedang kayu, suara benturannya menggema bagai musik perang yang suci. Pandika jatuh, bangkit, jatuh lagi, namun tak pernah menyerah.
Akhirnya, pada benturan keseratus, tubuhnya bergerak dengan keheningan yang sempurna. Pedangnya berayun, ringan namun pasti, menahan serangan dan sekaligus membalas dengan tenaga yang terukur. Peri lawannya terhenti, lalu tersenyum lebar, menundukkan kepala tanda hormat.
Suara tepuk tangan lembut bergema di antara pepohonan. Cahaya siang menembus kanopi dedaunan, menyinari Pandika yang berdiri dengan napas teratur dan mata bersinar tenang.
Prabu Galang Siwah mendekat, menepuk bahunya.
“Kau telah melampaui batas tubuhmu sendiri,” katanya dengan suara yang sarat makna. “Sekarang kau tak lagi hanya manusia biasa. Kau telah menjadi bagian dari keselarasan antara dunia nyata dan alam gaib.”
Pandika menunduk rendah. “Guru, aku masih jauh dari sempurna.”
Prabu tersenyum samar. “Kesempurnaan bukan tujuan, Pandika. Ia hanyalah bayangan dari keabadian. Yang penting adalah langkahmu yang terus maju.”
Dan di bawah langit senja yang berwarna keemasan, Pandika berdiri di antara bangsa peri, tubuhnya lelah namun hatinya dipenuhi cahaya baru—cahaya seorang murid yang mulai memahami arti sejati dari kekuatan dan kehormatan.
---
---
Setelah hari-hari panjang berlalu di negeri para peri, Prabu Galang Siwah memandang muridnya dengan mata yang tenang, namun dalam sorotnya tersembunyi kebijaksanaan seorang guru tua yang telah menempuh jalan panjang ilmu dan penderitaan.
“Pandika,” ujarnya perlahan, suaranya bergema lembut di antara pepohonan berkilau. “Ilmu yang telah kau kuasai kini sudah cukup baik untuk seorang pemula. Namun apa yang kutanamkan padamu bukanlah ilmu biasa. Ini adalah warisan pedang tingkat tinggi, ilmu yang hanya bisa dijalankan oleh tubuh dan jiwa yang telah menyatu dalam satu napas dengan alam.”
Pandika menunduk hormat. “Aku siap belajar lebih dalam, guru.”
Prabu Galang Siwah tersenyum tipis.
“Baik. Maka tibalah waktunya untuk ujian terakhirmu.”
Ia menancapkan pedangnya ke tanah. Cahaya lembut merambat dari bilahnya, membentuk lingkaran cahaya yang berputar di sekitar mereka. Udara mendadak berubah dingin, dan kabut tebal naik dari tanah seperti nafas bumi yang purba.
“Dunia yang akan kita masuki bukan dunia manusia,” lanjutnya. “Ini adalah Ranah Mistis, tempat roh, makhluk purba, dan bayangan pikiran manusia bersemayam. Di sanalah kekuatanmu akan diuji—bukan oleh pedang, melainkan oleh hatimu sendiri.”
Si Maung yang setia berdiri di samping mereka, menundukkan kepala. “Guru, apakah aman bagi Pandika? Ranah itu tidak ramah pada manusia.”
“Tidak ada pelajaran tanpa risiko,” jawab sang Prabu datar. “Jika ia ingin menapaki jalan ksatria sejati, maka ia harus berani melangkah ke dalam ketidakpastian.”
Prabu Galang Siwah menengadahkan tangannya ke langit. Petir menyambar tanpa suara, dan langit seolah terbelah. Sebuah gerbang cahaya terbuka di hadapan mereka—seolah tirai antara dunia manusia dan dunia roh tersibak. Dari dalamnya terdengar bisikan-bisikan samar, nyanyian lembut namun mengguncang hati.
“Masuklah, Pandika,” ujar sang Prabu. “Apa yang akan kau temui di sana bukan musuh yang bisa kau tebas dengan pedang, melainkan bayangan dirimu sendiri.”
Pandika menarik napas panjang. Ia menatap gerbang cahaya itu dengan hati berdebar. Tanpa ragu, ia melangkah maju, diikuti oleh si Maung yang mengaum rendah, menandai kesiapan mereka menghadapi apa pun yang menanti.
Langit berputar, tanah seolah lenyap di bawah pijakan, dan dunia berganti wajah—menjadi sebuah tempat asing di mana siang dan malam bersatu dalam keheningan abadi.
Di kejauhan, berdiri sosok-sosok kabur yang bentuknya menyerupai manusia, namun dengan mata bercahaya merah, melayang tanpa suara. Pandika menegakkan tubuh, memegang pedangnya erat.
Prabu Galang Siwah berdiri di belakangnya, suaranya bergema seperti dari dua dunia sekaligus:
“Di sinilah, Pandika… ujian sejati seorang ksatria dimulai.”
---
---
Pandika melangkah memasuki Dunia Roh.
Sekilas tempat itu tampak serupa dengan bumi—pepohonan masih tegak, bukit-bukit terbentang, sungai berkilau seperti perak cair. Namun semuanya terasa… berbeda. Angin yang berhembus membawa suara-suara masa lalu, dan waktu berputar dengan arah yang tak lazim: matahari bergerak dari barat ke timur, seolah menghapus hari lebih cepat daripada menciptakannya; sementara bulan purnama menggantung besar di langit, begitu dekat hingga tampak seperti sebuah bola cahaya putih yang ingin menyentuh puncak-puncak pohon.
Di dunia itu setiap detik memanjang, lalu memendek, lalu memanjang lagi. Pandika merasa seakan-akan berada di antara dua napas waktu yang tak pernah berhenti bergeser.
Di belakangnya terdengar bisikan Prabu Galang Siwah—bukan dari mulut sang guru, melainkan dari udara itu sendiri:
“Lepaskan armormu, Pandika. Dunia roh tidak mengenal besi,
dan besi tidak mengenal roh.”
Pandika patuh. Ia melepaskan zirah baja yang selama ini melindungi tubuhnya. Begitu armor itu menyentuh tanah roh, ia lenyap menjadi debu cahaya, seolah tak pernah ada.
“Sekarang rasakan tanah di bawah telapak kakimu,” lanjut suara sang prabu.
“Dan rasakan pedangmu bukan sebagai logam, melainkan sebagai bagian dari jiwamu.
Dalam dunia ini, kekuatan tidak lahir dari otot—melainkan dari kesadaran.”
Si Maung—yang dalam dunia roh berubah jauh lebih besar, dengan bulu seperti asap dan mata biru menyala—mendekat. Tubuhnya tampak melayang setengah jengkal di atas tanah. Ia menunduk memberi hormat kepada Pandika.
“Naiklah,” gumamnya dengan suara yang bergema seperti dua harimau berbicara serentak.
“Aku akan membawamu menuju mereka yang menantikanmu.”
Pandika melompat ke punggung si Maung. Begitu ia duduk, dunia di sekitar mereka berubah seperti riak di permukaan air. Ia memejamkan mata, mengingat semua pelajaran yang ditanamkan Prabu Galang Siwah selama enam bulan—gerak napas, keseimbangan batin, dan teknik pedang yang lebih mirip tarian daripada serangan.
Ia menarik napas panjang.
Ketika membuka mata, pedang di tangannya menyala—bukan oleh api, bukan oleh cahaya matahari, tetapi oleh cahaya kesadaran yang lahir dari hati. Bilahnya tampak seperti terbuat dari sinar bulan yang mengalir.
Dari balik pepohonan kabur muncul siluet-siluet makhluk roh—tinggi kurus, mata merah menyala, namun tak satu pun dari mereka bergerak maju.
Pandika turun dari punggung si Maung.
Ia berdiri tegak.
Lalu mulai menari.
Tarian Bulan.
Gerakan yang diajarkan Prabu Galang Siwah: sederhana pada permulaan, namun sarat makna; pelan, namun setiap ayunan menggetarkan udara; indah, namun mematikan. Setiap langkah dan hembusan napas membuat tanah di bawahnya berpendar samar.
Cahaya pedangnya meninggalkan garis-garis tipis di udara, seperti goresan kuas di langit malam.
Makhluk-makhluk roh yang semula menatap dari kejauhan kini mundur beberapa langkah, tubuh mereka meriap, mata mereka meredup. Tidak satu pun berani keluar dari persembunyian.
Karena di hadapan mereka berdiri seorang manusia yang tidak lagi sepenuhnya manusia.
Pandika menyelesaikan satu putaran gerakan terakhir. Pedangnya meredup kembali, menyatu dengan denyut jantungnya.
Dari kejauhan terdengar suara Prabu Galang Siwah, rendah namun penuh kebanggaan:
“Bagus, Pandika.
Kini mereka mengakui keberadaanmu.
Ujian berikutnya akan segera datang…”
---
Pandika melangkah maju dengan napas teratur, tubuhnya sudah menyatu sepenuhnya dengan irama Tarian Bulan.
Tahap pertama ia lakukan dengan lembut, gerakan sehalus embun di pucuk dedaunan dunia roh. Setiap ayunan pedang tampak seperti mengikuti tarian cahaya bulan yang menggantung besar di langit.
Tahap kedua, langkah-langkahnya berubah. Tidak lagi sekadar mengalir—kini mendominasi. Setiap hentakan kaki menciptakan bayangan yang berlapis, membuat roh penjaga kesulitan menebak arah datangnya serangan.
Tahap ketiga, tubuhnya berubah seperti angin—muncul dan hilang, menghindar dan menyergap. Cahaya pedang biru keperakan memotong udara dan meninggalkan garis cahaya yang lenyap secepat munculnya.
Ketika ia memasuki tahap keempat, sebuah aura kokoh muncul dari tubuhnya, seolah dinding tak terlihat melapisi kulitnya. Serangan kampak roh penjaga yang sebelumnya mampu mengguncang tanah, kini hanya menimbulkan percikan energi saat mengenai perisai tak kasat mata itu.
Lalu tibalah tahap kelima—jurus pedang kematian. Semua suara di dunia roh seakan menghilang. Angin berhenti. Bayangan membeku. Hanya sinar bulan di langit yang menyaksikan.
Pandika merendahkan tubuh, memusatkan seluruh kekuatan latihan enam bulannya ke dalam satu titik. Pedangnya menyala terang seperti pecahan bintang.
Roh penjaga—bertubuh raksasa, bersenjata kampak hitam pekat—mengangkat senjatanya tinggi. Ia mengaum, suara seperti gemuruh ribuan batu runtuh.
Keduanya bertabrakan.
Benturan pertama membuat gelombang energi merambat hingga pepohonan roh menggoyang hebat. Pandika terdorong mundur satu langkah… lalu dua langkah… namun tatapannya tetap fokus. Roh penjaga menyerang lagi, lebih cepat, lebih berat.
Pandika menangkis. Satu. Dua. Tiga pukulan kuat. Dan pada pukulan keempat, gerakan Pandika berubah—lebih halus, lebih cepat, dan lebih tajam dari sebelumnya.
Ia memutar, menghindar sepersekian detik dari ayunan kampak, lalu melayangkan serangan balik yang membuat raksasa itu mundur untuk pertama kalinya.
Roh penjaga menatap Pandika, kemudian tertawa—tawa berat penuh rasa hormat.
“Akhirnya… manusia yang mampu menembus lima tahap Tarian Bulan tanpa terhenti,” gumamnya. “Kekuatanku mengakui dirimu, Pandika.”
Raksasa itu menancapkan kampaknya ke tanah sebagai tanda tunduk. Energinya menyusut perlahan, berubah menjadi cahaya biru yang mengalir ke pedang Pandika.
Dengan langkah mantap, Pandika berdiri tegak. Tubuhnya masih bergetar oleh sisa energi, namun matanya menyala penuh keyakinan.
Ia telah diakui oleh penjaga dunia roh.
Ia telah melampaui ujian terakhirnya.
---
Prabu Galang Siwah membisik lirih, namun suaranya bergema seakan bersumber dari kedalaman zaman, “Cukuplah, Pandika. Kekuatanmu telah teruji. Kini saatnya kembali menuju gerbang cahaya.”
Pandika menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Dengan hati yang penuh syukur ia berpaling kepada sang penjaga roh, raksasa purba yang kini meredup menjadi bayangan kebiruan.
“Terima kasih atas ujian dan kehormatan ini,” ucapnya. Suaranya melayang di udara dunia roh yang selalu bergetar oleh aliran waktu yang aneh.
Penjaga itu membalas dengan anggukan perlahan, seolah gunung sedang tunduk pada angin malam. “Pergilah, wahai murid pedang bulan. Jalurmu kini terbuka.”
Si Maung—sang makhluk agung berkulit hitam bergaris cahaya perak—mendekat dengan langkah senyap. Matanya memantulkan dua rembulan yang menggantung di langit dunia roh. Dengan lembut namun penuh wibawa, ia membiarkan Pandika naik ke punggungnya.
Dalam satu lompatan yang melintasi bayang-bayang dan sinar, si Maung membawa Pandika melintasi padang bintang, menembus kabut yang berputar, dan menuju sebuah celah yang memancarkan sinar putih hangat: Gerbang Cahaya.
Cahaya itu berkibar seperti tirai yang dijahit dari untaian pagi.
Saat mereka memasuki gerbang tersebut, dunia roh memudar seperti mimpi yang terlepas dari genggaman, dan Pandika kembali pada kehangatan dunia peri—tempat di mana takdir barunya telah menunggu dengan sayap-sayap terang.
---
Pandika berdiri tegak di hadapan Prabu Galang Siwah, cahaya lembut dari pepohonan peri jatuh di atas wajahnya. Dengan penuh hormat ia menunduk dalam, lalu berkata,
“Guru… terima kasih atas segala ilmu, pedang maupun pengetahuan, yang engkau tanamkan dalam diriku. Aku tidak akan melupakan bimbinganmu.”
Prabu Galang Siwah memandangnya, mata sang kesatria berkilau seperti bara yang tak pernah padam.
“Pandika,” ujarnya dengan suara yang tenang namun mengandung kekuatan kuno, “engkau kini adalah muridku, sebagaimana aku menjadi gurumu. Bila kelak engkau kembali ke Majapahit, sampaikanlah kepada saudaraku bahwa aku hidup sehat, dan bahwa suatu hari—bila angin takdir menghendaki—aku akan kembali mengunjungi tanah leluhur itu.”
Ia kemudian mengangkat tangan, seakan memberkati perjalanan sang murid.
“Semoga engkau menemukan tujuan hidupmu, sebagaimana pedang menemukan cahaya yang menuntunnya.”
Pandika menunduk sekali lagi, lebih dalam dari sebelumnya, memberi hormat kepada sang prabu dan juga kepada para peri yang berdiri anggun di bawah kemilau sayap kain mereka. Para peri membalas dengan senyum lembut, seolah alam sendiri mengiringi perpisahan itu.
Dengan langkah mantap ia menuju si Maung—makhluk agung yang telah menjadi sahabat setianya. Si Maung bergerak mendekat, bulunya bergetar ringan dihembus angin hutan peri.
Dalam keheningan yang penuh harapan, Pandika naik ke punggung si Maung, dan bersama-sama mereka berangkat, meninggalkan kerajaan peri. Jalan menuju Majapahit membentang di hadapan mereka, panjang, purba, dan penuh takdir yang belum terungkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar