17/02/25

Season 3 Kerajaan Mythopia


Chapter 15 Kebangkitan Bangsa Barbar di Bawah Kabut Kelud 

Di lereng Gunung Kelud yang terkutuk, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, berdiri sebuah desa yang telah jatuh ke dalam cengkeraman kegelapan. Desa itu bernama **Gundhuk Mör**, "Tanah Bernafas Hitam" dalam bahasa kuno. Udara di sana berbau belerang dan abu, dan langit senantiasa kelam, seolah matahari tak berani menatapnya langsung. Di tengah desa, para prajurit barbar—bertubuh kekar, bermata merah seperti bara—berbaris dalam formasi kacau, pedang-pedang bergerigi mereka menghunjam tanah, sementara sorak-sorai mereka menggema bagaikan teriakan makhluk neraka.  

**Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasana yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Tubuhnya dibalut zirah hitam berukir rune kematian, dan di tangannya ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang konfor ditempa dalam lahar Gunung Kelud. Matanya—sepasang lubang gelap yang menyala merah—memantulkan kebencian yang tak terpadamkan. **"Pulau Jawa akan jatuh!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. **"Kali ini, keris sakti Mythopia akan menjadi milik kita. Dan dengan itu, Nusantara akan gemetar!"**  

Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitam yang berdesis seperti ular. Tangannya memegang tongkat dari tulang naga yang telah punah, dan di ujungnya berputar bola api hitam—**Nyala Udûn**, api yang mencuri nyawa dan mengubah jiwa menjadi abu. **"Mereka yang menolak bergabung,"** bisiknya dengan suara mendesis, **"akan kujadikan tumbal untuk api abadi ini."**  

Para jawara desa—pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman—kini dirantai oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, jiwa mereka dikendalikan oleh bisikan Ki Surya Dahana. Mereka dilatih dengan kejam: pedang mereka dicelupkan ke dalam racun *Morgul*, dan mantra-mantra gelap diajarkan untuk menghancurkan pertahanan magis kerajaan-kerajaan.  

**Seratus musim yang lalu**, bangsa barbar ini hampir musnah dalam **Pertempuran Lembah Api**, di mana Raja Mythopia kala itu, **Almarhum Aldaron**, mengerahkan ksatria-ksatria cahaya dengan keris suci **Caladthil**, "Bintang yang Menembus Kegelapan". Kekalahan itu membakar dendam turun-temurun. **"Kali ini,"** pekik Sangar Mahadipa kepada pasukannya, **"kita tak akan salah memilih lawan. Mythopia akan kita hancurkan dari dalam!"**  

Di balik kabut hitam, para pengintai barbar mengamati gerak-gerik Mythopia. Mereka tahu: keris suci itu kini dipegang oleh Isidore, sang penerus muda yang belum menguasai kekuatannya. **"Kelemahannya adalah ketakutannya,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya memperlihatkan bayangan Isidore yang sedang berlatih di Gunung Pamaton. **"Dan ketakutan adalah pintu menuju kekalahan."**  
**"Persiapan kita hampir selesai,"** geram Sangar Mahadipa, meremas tengkorak musuh terakhirnya hingga hancur. **"Bersiaplah, Mythopia. Kegelapan yang kalian kira telah mati... baru saja bangkit."**  

Chapter 16 Latihan Pewaris Tahta Mythopia 

Di bawah langit yang dipenuhi awan kelabu, Isidore, sang pewaris tahta Mythopia, berdiri di tengah padang luas yang diterpa angin kencang. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang di udara dengan selendang keperakannya yang berkibar-kibar. **"Lari, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gemuruh badai. **"Rasakan kekuatan angin, dan jangan biarkan ia menyeretmu!"**  

Isidore melesat, kakinya menapak tanah dengan susah payah. Angin berhembus kencang, mencoba menjatuhkannya, tetapi ia terus berlari, berjuang melawan kekuatan alam yang tak kenal ampun. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Bayu Anggana, matanya menyala biru. **"Ini adalah ujian untuk jiwamu. Jika kau bisa melawan angin, kau bisa melawan apa pun."**  

---  
**Di lereng Gunung Pamaton**, **Pangreksa**, sang Penguasa Es, telah menciptakan sebuah danau beku yang memancarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Permukaannya berkilau seperti kaca, dan di tengahnya, Isidore berdiri, tubuhnya menggigil. **"Masuklah,"** perintah Pangreksa, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Danau ini akan menguji ketahananmu. Jika kau bisa bertahan di sini, kau bisa bertahan di mana pun."**  

Isidore melangkah ke dalam air yang membeku, napasnya membentuk kabut putih. Dinginnya menusuk seperti ribuan jarum, tetapi ia bertahan, memusatkan pikirannya pada keris suci yang ia genggam erat. **"Ingat, Isidore,"** bisik Pangreksa, **"dingin hanyalah ilusi. Yang sebenarnya kau lawan adalah ketakutanmu sendiri."**  

---  
**Di hutan purba**, **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, telah membangkitkan akar-akar pohon raksasa yang bergerak seperti ular naga. **"Hindari mereka, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Jika kau tertangkap, kau akan tertarik ke dalam tanah, dan tak ada yang bisa menyelamatkanmu!"**  

Isidore melompat dan berputar, menghindari akar-akar yang mencengkeram. Tubuhnya berkeringat, napasnya tersengal-sengal, tetapi ia terus bergerak. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Rakajati, matanya yang seperti lubang gelap memancarkan cahaya kehijauan. **"Ini adalah ujian untuk kecerdasanmu. Jika kau bisa membaca gerakan alam, kau bisa membaca gerakan musuh."**  

---  
**Di puncak bukit yang sunyi**, **Raja Alam Wardhana** duduk bersila, cahaya kebiruannya memancar seperti rembulan. **"Meditasi, Isidore,"** katanya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Temukan kekuatan inti dalam dirimu. Itulah sumber kekuatan sejati."**  

Isidore menutup matanya, mencoba memusatkan pikirannya. Namun, bayangan kegelapan terus mengganggu—mimpi buruk tentang bangsa barbar, tentang kehancuran Mythopia. **"Jangan melawan ketakutanmu,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Terimalah, dan kau akan menemukan kekuatan untuk mengatasinya."**  

---  
**Di padang rumput yang luas**, **Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, mengajari Isidore bela diri tingkat tinggi. Pedangnya berkilauan seperti kilat, dan gerakannya seperti tarian angin. **"Pertahananmu harus sekuat seranganmu,"** katanya, menangkis serangan Isidore dengan mudah. **"Dan seranganmu harus secepat pikiranmu."**  

Isidore mengangguk, tubuhnya lelah tetapi tekadnya tak pernah padam. **"Aku akan belajar, Guru,"** katanya, suaranya penuh hormat. **"Aku akan menjadi kuat, untuk Mythopia."**  

---  
**Di tengah latihan yang melelahkan itu**, Bayu Anggana tiba-tiba menghentikan angin. Matanya yang biru pucat menyipit, seolah mendengar sesuatu. **"Ada mata-mata,"** bisiknya, suaranya seperti desiran dedaunan. **"Suku barbar mengintai kita."**  

Dengan gerakan cepat, Bayu Anggana mengangkat tangannya. Angin berubah menjadi pisau tajam yang melesat ke arah semak-semak. Terdengar jeritan, dan kemudian—keheningan. **"Mereka tak akan mengganggu kita lagi,"** katanya, wajahnya tegas. **"Tapi ini hanya awal, Isidore. Mereka akan kembali, dan kau harus siap."**  
*"Kau telah melangkah jauh, Isidore,"** kata Bayu Anggana, memandangnya dengan bangga. **"Tapi perjalananmu baru saja dimulai. Mythopia membutuhkanmu—bukan hanya sebagai pewaris, tetapi sebagai pelindung."**  

Isidore mengangguk, matanya berkilau dengan tekad yang baru. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**  
---  
Chapter 17 Pencapaian dan Persiapan Menuju Gunung Lawu

Setelah satu bulan penuh pelatihan keras di bawah bimbingan para ksatria legendaris Mythopia, tubuh Isidore telah berubah. Luka dan lebam menghiasi kulitnya seperti medali perang, sementara otot-ototnya yang kini kekar menegaskan kekuatan yang telah ia peroleh. Setiap langkahnya penuh keyakinan, setiap gerakannya penuh presisi. Namun, di balik fisik yang kuat, jiwanya juga telah ditempa menjadi baja—siap menghadapi tantangan yang lebih besar.  

Di penghujung pelatihan, para ksatria memberikan hadiah sebagai tanda pengakuan atas usahanya.  

**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, mengulurkan tangannya yang berakar ke arah Isidore. Di telapaknya, terbaring sebuah buah durian ajaib—kulitnya berwarna merah tua seperti darah naga, dan aromanya memancarkan keharuman yang menenangkan jiwa. **"Ini adalah *Durian Mór*, buah yang hanya tumbuh sekali dalam seratus musim,"** kata Rakajati, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Makanlah, dan kau akan merasakan kekuatan bumi menyatu dengan darahmu. Luka-lukamu akan sembuh, dan stamina tubuhmu akan menjadi perkasa."**  

Isidore menggigit buah itu, dan seketika rasa manis-segar mengalir di lidahnya, diikuti oleh panas yang merambat ke seluruh tubuh. Luka-lukanya mengering, lebam-lebamnya menghilang, dan tenaganya pulih sepenuhnya. **"Terima kasih, Rakajati,"** katanya, matanya berkilau penuh syukur.  

**Pangreksa**, sang Penguasa Es, melangkah maju. Di tangannya, tergantung sebuah kalung kristal es yang berkilauan seperti bintang jatuh. **"Ini adalah *Kalung Nenya*, penjaga fokus dan ketenangan,"** katanya, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Kenakanlah, dan kau tak akan pernah kehilangan arah, bahkan di tengah badai sekalipun."**  

Isidore mengenakan kalung itu, dan seketika, pikirannya menjadi jernih seperti air danau di pagi hari. **"Aku bisa merasakan kekuatannya,"** bisiknya, memegang kristal itu dengan penuh hormat.  

**Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, menghidangkan makanan yang telah ia siapkan dengan penuh cinta: daging sapi bakar yang empuk, dibumbui rempah-rempah kuno, dan nasi singkong yang harumnya memenuhi udara. **"Makanlah, Isidore,"** katanya, suaranya seperti desiran angin musim semi. **"Makanan ini akan memberimu mimpi indah, dan esok hari, kau akan bangun dengan semangat baru."**  

Isidore menyantap hidangan itu dengan lahap, dan ketika malam tiba, ia tertidur dengan nyenyak—tanpa mimpi buruk, tanpa bayangan kegelapan.  

---  
**Keesokan harinya**, Isidore bangun dengan tubuh yang segar dan jiwa yang siap. **"Kau telah mencapai level tertinggi dalam pelatihanmu,"** kata Raja Alam Wardhana, cahaya kebiruannya memancar seperti fajar pertama. **"Tapi perjalanan kita belum selesai. Kini, kita harus menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**  

**Gunung Lawu**, gunung berapi yang legendaris, dikenal sebagai tempat di mana api abadi menyala. Di sanalah Bhra Anuraga, ksatria yang tubuhnya menyala seperti bara, menjaga rahasia kekuatan api Mythopia. **"Dia adalah ksatria terkuat di antara kita,"** kata Pangreksa, suaranya penuh hormat. **"Dan dia tak akan mudah menerimamu, Isidore. Kau harus membuktikan dirimu."**  

Dengan keris suci di pinggang, kalung es di leher, dan tekad yang membara, Isidore mengangguk. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**  

---  
**"Mari kita berangkat,"** kata Bayu Anggana, angin berhembus membawa kabar bahwa perjalanan mereka telah dipersiapkan oleh alam sendiri. **"Gunung Lawu menunggu, dan Bhra Anuraga tak akan membiarkan kita menunggu terlalu lama."**  

Dengan langkah pasti, Isidore dan para ksatria melangkah menuju Gunung Lawu, siap menghadapi api abadi dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya.  


Chapter 18 Kemarahan di Gunung Kelud 

Di puncak Gunung Kelud, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasananya yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Wajahnya yang kasar dan penuh bekas luka berkerut dalam kemarahan yang membara. Di tangannya, ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang ditempa dalam lahar gunung. Tiba-tiba, dengan gerakan kasar, ia membanting gada itu ke tanah.  

**"Mereka telah membunuh mata-mataku!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. Tanah di bawahnya retak, mengeluarkan asap hitam yang berbau belerang. **"Dan kini, Isidore—anak itu—telah menjadi ksatria aura? Tidak! Aku tak akan membiarkan Mythopia bangkit kembali!"**  

Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitamnya yang berdesis seperti ular. Di tangannya, bola api hitam **Nyala Udûn** berputar-putar, memancarkan cahaya kehijauan yang menyeramkan. **"Tenang, Sangar,"** bisiknya, suaranya seperti desisan angin malam. **"Aku masih bisa melihatnya. Isidore sedang menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**  

Matanya yang merah menyala memandang ke dalam bola api, dan di dalamnya terlihat bayangan Isidore—tubuhnya kini kekar, langkahnya penuh keyakinan, dan keris suci di pinggangnya memancarkan cahaya keemasan. **"Dia telah menjadi kuat,"** lanjut Ki Surya Dahana, **"tapi kekuatannya belum sebanding dengan jawara-jawara kita."**  

Sangar Mahadipa menggeram, matanya menyala seperti bara. **"Kirim mereka! Kirim semua jawara desa yang telah kau kendalikan dengan ilmu hitammu! Aku ingin tahu seberapa kuat mereka—dan seberapa lemah Isidore!"**  

Ki Surya Dahana mengangguk, dan dengan gerakan tangannya, bola api hitam itu melesat ke langit, membawa pesan kepada para jawara desa yang telah menjadi kaki tangannya. Mereka adalah pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman, tetapi kini jiwa mereka telah dikendalikan oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, tubuh mereka kebal terhadap senjata biasa, dan kematian tak lagi memiliki arti bagi mereka.  

**"Mereka akan menghadang Isidore di Gunung Lawu,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat. **"Dan ketika keris suci itu jatuh ke tangan kita, Mythopia akan hancur, dan Nusantara akan menjadi milik kita."**  

Sangar Mahadipa tertawa, suaranya seperti gemuruh gunung yang siap meletus. **"Keris sakti Mythopia akan menjadi milikku! Dan dengan itu, tak ada yang bisa menghentikan kita!"**  

---  
**"Mythopia akan jatuh,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya berputar semakin cepat. **"Dan kegelapan akan menyelimuti Nusantara selamanya."**  

Di kejauhan, di lereng Gunung Lawu, Isidore dan para ksatria Mythopia terus melangkah, tak menyadari bahwa bahaya telah mengintai di balik kabut hitam.  


13/02/25

season 2 kerajaan mythopia

Cerita ditulis oleh M. Irvan
Traktir via OVO 081317943160

Chapter 10 Kisah Perjalanan 

Di tengah perjalanan yang melelahkan, langit yang semula cerah tiba-tiba berubah gelap. Awan hitam bergulung-gulung, dan hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah dan pepohonan di sekitarnya. Namun, hujan itu tidak berlangsung lama. Ketika awan mulai berlalu, sinar matahari menembus celah-celahnya, dan di langit muncul pelangi yang memancarkan warna-warni indah. Isidore terpesona oleh keindahan alam yang memukau ini, tetapi hatinya mulai gelisah. Jalan yang dilaluinya terasa asing, dan dia pun tersesat di tengah hutan yang lebat.

Dengan hati yang bimbang, Isidore mengeluarkan keris suci dari balik jubahnya. Cahaya keemasan dari keris itu memancar, menerangi sekelilingnya. Tiba-tiba, dari cahaya itu muncul tiga sosok biksu sakti, melayang di udara dengan tenang. Mereka adalah Raja Alam Wardhana, Ksatria Cheon Myeong, dan Sri Laksana.

"Jangan khawatir, Isidore," kata Raja Alam Wardhana dengan suara yang menenangkan. "Kau tidak tersesat. Jalan yang kau tempuh adalah jalan yang benar. Kau telah dipandu oleh kekuatan kuno Mythopia."

Raja Alam Wardhana mengangkat tangannya, dan aura putih yang memancar dari tubuhnya semakin membesar. Aura itu menyebar ke sekeliling, menyentuh akar-akar pohon yang mulai bergerak, tumbuh, dan membesar. Pohon-pohon itu mengeluarkan aroma kayu jati yang harum, seolah hutan itu hidup dan bernapas.

Tiba-tiba, dari balik pohon-pohon yang membesar, muncul seorang ksatria gagah berani. Tubuhnya terbuat dari kayu jati yang kokoh, dan matanya memancarkan kekuatan yang tak tertandingi. "Siapa itu yang berani mengganggu masa latihanku?" suaranya menggema, penuh dengan wibawa dan kekuatan.

Dari belakang ksatria kayu jati itu, muncul seorang pria tua berjanggut panjang yang dipenuhi lumut. Dia memegang tongkat kayu yang tampak tua dan penuh dengan ukiran-ukiran kuno. Wajahnya dipenuhi kedamaian, tetapi matanya memancarkan kebijaksanaan yang tak tertandingi. "Aku adalah penjaga hutan ini," katanya dengan suara yang dalam dan penuh makna. "Aku telah bersemedi di sini selama ratusan tahun, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali."

Isidore memandang mereka dengan mata yang penuh rasa ingin tahu dan hormat. "Aku adalah Isidore, putra Raja Itharius dari Mythopia," katanya dengan suara yang penuh keyakinan. "Aku sedang mencari ksatria-ksatria kerajaan Mythopia yang telah lama hilang. Apakah kalian adalah bagian dari mereka?"

Pria tua itu mengangguk perlahan, matanya memancarkan kebijaksanaan yang dalam. "Kami adalah penjaga hutan dan pelindung Mythopia," katanya. "Kau telah dipilih oleh kekuatan kuno untuk membawa Mythopia kembali ke kejayaannya. Bersiaplah, Isidore, karena perjalananmu baru saja dimulai."

Dengan hati yang dipenuhi oleh tekad dan keberanian, Isidore mengangguk. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia juga tahu bahwa inilah takdirnya.

Cerita ditulis oleh M. Irvan
OVO 081317943160

Perjalanan Menuju Gunung Pawitra 
Di bawah naungan pohon raksasa yang menjulang tinggi, batangnya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang bersinar samar, Isidore berdiri bersama Rakajati, sang Ksatria Kayu. Raja Alam Wardhana melayang di udara, aura kebiruannya memancar seperti cahaya rembulan yang menyentuh setiap helai daun dan akar di sekitarnya. Udara terasa magis, dipenuhi bisikan angin yang membawa lagu-lagu zaman silam.  

**"Sembilan ksatria lagi tersebar di penjuru Nusantara,"** kata Raja Alam Wardhana, suaranya bergema seperti gema dari lubuk waktu. **"Mereka adalah Pangreksa sang Penguasa Es, Sagara Putra sang Penakluk Samudra, Bayu Anggana sang Pengendali Angin, Bhra Anuraga sang Tuan Api, Jagat Dirgantara sang Penguasa Tanah, Surya Wikrama sang Pembawa Cahaya, Guntur Wisesa sang Penakluk Petir, Rangga Wulung sang Ahli Senjata, dan Arya Wiratma sang Perancang Strategi. Bersama mereka, Mythopia akan bangkit sebagai mercusuar kejayaan."**  

Rakajati, dengan tubuhnya yang terbuat dari kayu jati berumur ribuan tahun, mengangkat tangannya. **"Gunung Pawitra adalah gerbang pertama,"** katanya, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak di bawah tanah. **"Pegang erat kerismu, Isidore. Alam akan membawa kita."**  

Dengan gerakan penuh kesaktian, Rakajati menempelkan telapak tangannya ke batang pohon raksasa. Seketika, kulit kayu itu merekah, membuka jalan seperti mulut gua yang gelap dan penuh misteri. Isidore melangkah masuk, diikuti oleh Rakajati dan Raja Alam Wardhana. Saat lapisan kayu menutup kembali, kegelapan menyelimuti mereka—namun tidak lama. Raja Alam Wardhana mengangkat tangannya, dan aura kebiruan yang dipancarkannya menjelma menjadi cahaya suci, menerangi lorong di dalam pohon yang ternyata adalah labirin akar-akar raksasa saling bertaut.  

**"Ini adalah Jalan Akar Purba,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Jalur yang hanya dikenal oleh para penjaga hutan dan makhluk-makhluk yang telah melupakan matahari."**  

Akar-akar itu bergerak hidup, meliuk seperti ular naga yang mengantarkan mereka melesat melalui bumi. Isidore merasakan tanah bergetar, seolah seluruh hutan bernapas bersamanya. Cahaya keemasan dari keris suci menyatu dengan aura Raja Alam Wardhana, menciptakan lingkaran pelindung yang memancarkan simbol-simbol kuno Mythopia.  

Tiba-tiba, gerakan berhenti. Akar-akar itu membuka diri seperti tirai yang tersibak, dan Isidore melangkah keluar—langsung dihadapkan pada pemandangan Gunung Pawitra yang megah. Puncaknya menyembul ke langit, diselimuti kabut perak dan dikelilingi awan mendung yang bergulung-gulung. Batu-batu besar di lereng gunung terukir wajah para leluhur, matanya yang kosong seolah mengawasi setiap pendatang.  

**"Kita telah tiba,"** kata Rakajati, suaranya bergetar penuh hormat. **"Gunung Pawitra menyimpan rahasia pertama: Pangreksa, sang Penguasa Es, bersemayam di puncaknya. Tapi ingat, Isidore—gunung ini bukan sekadar batu dan salju. Ia hidup, dan hanya yang berhati murni yang boleh melangkah."**  

Isidore menatap puncak gunung, hatinya berdebar kencang. Angin dingin berhembus membawa suara bisikan, **"Selamat datang, penerus Mythopia..."**  

--


Chapter 11 Pertemuan dengan Pangreksa, Sang Penguasa Es 

Di puncak Gunung Pawitra, udara panas tiba-tiba berubah menjadi dingin yang menusuk tulang. Salju turun lebat, membungkus lereng gunung dalam selimut putih yang tak bernyawa. Tak ada burung yang berani terbang, tak ada binatang yang berani mengais—hanya kesunyian yang menyelimuti, seolah alam sendiri menahan napas.  

Isidore menggigil, tetapi keris suci di tangannya memancarkan kehangatan yang ajaib. **"Tetaplah dekat, Isidore,"** bisik Raja Alam Wardhana, aura kebiruannya mengembang seperti perisai yang melindungi mereka dari terpaan angin ganas. **"Gunung ini mengenali darah Mythopia di dalam dirimu."**  

Dengan keris diangkat tinggi, Isidore menyibakkan kabut salju. Di hadapan mereka, lapisan es tebal mencair perlahan, membentuk jalan sempit yang mengular menuju mulut gua es raksasa. Pintu gua itu terbuat dari kristal es murni, berkilauan di bawah sinar bulan purnama yang tiba-tiba menembus awan.  

**"Segel kuno,"** kata Sri Laksana, sang biksu, mendekati pintu es. Tangannya menari di udara, menggambar simbol-simbol api dengan jari yang berpendar. **"Hanya api suci yang bisa menghancurkan es abadi ini."**  

Tiba-tiba, simbol itu melesat ke pintu es, dan ledakan dahsyat mengguncang gunung. Kristal es pecah berkeping-keping, membuka jalan ke dalam gua yang dipenuhi harta karun—emas, permata, dan senjata-senjata berlapis embun beku berserakan di lantai, seolah menjadi saksi bisu dari keserakahan masa lalu.  

Di tengah gua, terpancang sebongkah es raksasa. Di dalamnya, terlihat sosok Pangreksa, sang Penguasa Es, terbaring seperti patung yang tak tersentuh waktu. Wajahnya awet muda, rambut peraknya berkilauan, dan baju zirahnya yang berlapis kristal memantulkan cahaya redup.  

**"Mengapa dia terkurung dalam es?"** tanya Isidore, suaranya bergetar.  

Sri Laksana mengulurkan tangannya ke es itu, menggambar segel baru. **"Dia mengurung dirinya sendiri,"** jawabnya. **"Agar kekuatannya tidak jatuh ke tangan yang salah."**  

Segel itu menyala, dan es meledak dalam hujan kristal. Namun, Pangreksa tetap tertidur—napasnya pelan, tubuhnya tak bergerak.  

Raja Alam Wardhana mengangkat kedua tangannya. **"Bangunlah, Pangreksa! Penerus takhta Mythopia telah datang!"** Aura kebiruannya membanjiri gua, menyinari setiap sudut hingga Isidore terpaksa menutup mata. Cahaya itu begitu menyilaukan, seolah memanggil jiwa-jiwa yang tertidur dari zaman ke zaman—dan Isidore pun terjatuh, pingsan.  

---  
** 
Ketika Isidore terbuka matanya, dia terbaring di atas permadani bulu yang hangat. Di depannya, Pangreksa duduk bersila, wajahnya teduh seperti bulan purnama. Meja kayu di antara mereka dipenuhi hidangan—roti hangat, daging rusa panggang, dan anggur yang berkilau dalam cawan perak.  

**"Mohon maaf, Tuanku,"** kata Pangreksa dengan suara seruling es yang jernih. **"Kekuatanku masih belum sepenuhnya pulih. Tapi ketahuilah—aku tetap setia pada sumpahku kepada Mythopia."**  

Isidore mengangguk, matanya masih berkunang-kunang. **"Apa yang terjadi?"**  

**"Aura Raja Alam Wardhana membangkitkan ingatanku,"** jawab Pangreksa. **"Aku tertidur selama berabad-abad, menjaga harta ini agar tidak dijarah. Tapi kini, saatnya aku kembali bertugas."**  

Dia berdiri, baju zirahnya berderak seperti gemuruh gletser. **"Gunung Pawitra hanyalah awal. Masih ada delapan ksatria lain yang harus kau temui. Dan aku akan mendampingimu."**  

Di luar gua, Raja Alam Wardhana dan Rakajati telah menunggu. Angin berhembus membawa kabar: petualangan Isidore baru saja dimulai.  

---  
Chapter 12 Perjalanan ke Gunung Pamaton

Di bawah langit kelam yang dihiasi bintang-bintang berkelip, Isidore dan Pangreksa berjalan di lereng Gunung Pawitra, jejak kaki mereka tertutup salju yang baru jatuh. Pangreksa, sang Penguasa Es, tubuhnya kekar bagaikan pahatan dewa-dewa kuno, melangkah dengan wibawa seorang kesatria yang telah mengarungi zaman. Rambut peraknya berkilau di bawah sinar bulan, sementara mata birunya memancarkan kesabaran tak berujung. Isidore, yang baru berusia tujuh belas musim, langkahnya masih ringan dan ceroboh seperti anak rusa muda—tubuhnya ramping, tangan-tangannya belum pernah mencengkeram pedang, namun tekad di matanya membara seperti api pertama penciptaan.  

**"Kau harus belajar, Isidore,"** kata Pangreksa, suaranya dalam seperti gemuruh gletser yang bergerak. **"Darah Mythopia mengalir dalam dirimu, tapi darah saja tak cukup. Tubuhmu harus kuat, jiwamu harus terlatih."**  

Isidore mengangguk, napasnya membentuk kabut putih di udara dingin. **"Ajari aku, Pangreksa. Aku tak ingin menjadi beban bagi siapa pun."**  

Pangreksa tersenyum, senyum yang hangat menembus dinginnya malam. **"Kau bukan beban, Isidore. Kau adalah harapan."**  

Di belakang mereka, Rakajati sang Ksatria Kayu berjalan lambat, tongkatnya yang berusia ribuan tahun mengetuk tanah dengan irama kuno. Tubuhnya yang terbuat dari kayu jati tua berderak setiap kali angin menerpa, dan matanya—yang seperti lubang di batang pohon—terkadang tertutup, seolah tertidur dalam mimpi hutan yang tak terjangkau manusia.  

**"Mengapa kau tak mau belajar dari Rakajati?"** tanya Pangreksa suatu malam, saat mereka beristirahat di bawah pohon raksasa yang daunnya berbisik bahasa zaman silam.  

Isidore memandang Rakajati yang sedang duduk bersila, tubuhnya diselimuti lumut dan akar-akar kecil. **"Dia... terlihat terlalu tua. Aku takut mengganggu istirahatnya."**  

Pangreksa tertawa, suaranya seperti gemericik air di bawah es. **"Usia Rakajati adalah kekuatannya, Isidore. Dalam tidurnya, dia mendengar suara bumi, bisikan akar, dan nyanyian batu. Suatu hari nanti, kau akan pahami."**  

Perjalanan menuju Gunung Pamaton dipenuhi ujian. Ksatria Cheon Myeong, sang Pelindung Raja, telah berpesan: **"Jalan kaki akan menguatkan tubuhmu, Isidore. Tenaga dalammu harus tumbuh seperti pohon—perlahan, tapi berakar dalam."**  

Maka mereka pun berjalan. Hari demi hari, Isidore dilatih Pangreksa di antara bebatuan terjal dan lereng curam. Pangreksa mengajarinya cara mengatur napas di ketinggian, cara melompati jurang dengan gesit, dan cara membaca gerak angin yang membawa bahaya. Tubuh Isidore yang awalnya goyah mulai menemui bentuknya, otot-otot kecil mengeras, dan langkahnya menjadi lebih pasti.  

Suatu senja, saat matahari terbenam menyala merah di balik Gunung Pamaton, Rakajati tiba-tiba berhenti. Tangannya yang berakar menunjuk ke arah ngarai gelap di bawah mereka. **"Di sanalah jalan rahasia,"** katanya, suaranya seperti gesekan daun kering. **"Tapi hanya yang berani melangkah di kegelapan yang akan menemukan terang."**  

Isidore memandang ngarai itu, hatinya berdebar. Pangreksa meletakkan tangan di bahunya. **"Ini saatnya, Isidore. Latihanmu akan diuji."**  

Dengan keris suci di pinggang dan tekad yang membara, Isidore melangkah ke tepi ngarai. Angin berhembus kencang, membawa suara Ksatria Cheon Myeong dari kejauhan: **"Tenaga dalammu adalah senjata pertama, Isidore. Percayalah padanya."**  

Dan Isidore pun melompat

---  
Chapter 13 Perjalanan ke Puncak Gunung Pamaton

Di lereng Gunung Pamaton yang curam, udara tipis berhembus membawa nyanyian angin purba. Rakajati, sang Ksatria Kayu, berjalan di depan dengan langkah mantap, tangannya yang berakar memetik buah-buahan liar dari semak-semak berbatu. **"Makanlah, Isidore,"** katanya, suaranya seperti gesekan ranting kering, sambil menyerahkan buah nanas keemasan yang berkilau seperti dipoles cahaya bulan. **"Buah ini mengandung kekuatan bumi yang telah kusentuh. Ia akan menguatkan dagingmu dan menjernihkan jiwamu."**  

Isidore menggigit buah itu, dan seketika rasa manis-segar mengalir di lidahnya, diikuti oleh panas yang merambat ke seluruh tubuh. Otot-ototnya yang lelah seolah dipenuhi tenaga baru, dan napasnya menjadi dalam dan teratur. **"Ajaib,"** bisiknya, memandang Rakajati dengan decak kagum.  

**"Bukan sihir, Isidore,"** sahut Pangreksa, sang Penguasa Es, yang berjalan di sampingnya. **"Ini adalah kebijaksanaan kuno yang tertanam dalam setiap tetes sari buah ini. Alam selalu memberi pada yang tahu cara meminta."**  

Dengan kekuatan baru, Isidore melompati jurang selebar tiga langkah, memanjat tebing batu yang licin, dan menapaki jalan setapak yang dipenuhi akar-akar bergerigi. Di belakangnya, Rakajati menghentakkan tongkat kayunya ke tanah. Tiba-tiba, dinding tebing merekah, membuka tangga batu kuno yang melingkari gunung seperti ular naga yang terlelap. Tangga itu tinggi dan curam, anak tangganya tertutup lumut zamrud, seolah belum ada yang menginjaknya selama ribuan tahun.  

**"Jalan ini hanya terbuka bagi yang dipanggil angin,"** kata Rakajati, matanya yang seperti lubang gelap di batang pohon memancarkan cahaya kehijauan. **"Naiklah, Isidore. Bayu Anggana menunggu."**  

Sepanjang pendakian, angin berbisik dalam bahasa yang terlupakan. Sesekali, Isidore menoleh ke bawah, dan pemandangan yang terhampar membuatnya terpana: lembah-lembah hijau yang dipotong sungai perak, hutan-hutan yang bergoyang seperti lautan daun, dan langit yang menyala jingga di ufuk barat. Namun, yang paling menakjubkan adalah kincir-kincir angin raksasa yang berputar di lereng gunung. Bilah-bilahnya dari kristal tembus pandang, berputar tanpa henti meski tiada angin—karya tangan Bayu Anggana, sang Pengendali Angin.  

Setelah hampir seharian mendaki, mereka tiba di puncak. Di sana, di tepi jurang yang diterpa angin ganas, berdiri sebuah rumah yang tak seperti lainnya: dindingnya terbuat dari batu vulkanik hitam berkilauan, atapnya dari daun-daun emas yang berdesir lembut, dan pintunya dari kayu pohon *Telperion* yang telah punah, diukir dengan gambar angin yang sedang menari.  

**"Ini... bukan rumah biasa,"** gumam Isidore, napasnya tertahan.  

**"Ini adalah *Ondolindë*, Rumah Angin Abadi,"** jawab Rakajati, suaranya bergetar penuh hormat. **"Tempat di mana Bayu Anggana menyimpan rahasia udara dan lagu-lagu zaman sebelum fajar."**  

Tiba-tiba, angin berhembus kencang, membawa suara yang dalam dan merdu dari dalam rumah:  
**"Selamat datang, Isidore, darah Mythopia. Masuklah, dan kita akan berbicara tentang angin yang membawa takdirmu."**  

Pintu kayu *Telperion* terbuka perlahan, dan di baliknya, terlihat bayangan seorang lelaki tinggi dengan rambut putih terbang tertiup angin, matanya seperti dua bintang biru yang menyala—  
Bayu Anggana, sang Penguasa Angin, telah menunggu.  

--- 
Cerita ditulis oleh M. Irvan
OVO 081317943160

Chapter 14 Mimpi dan Kebangkitan 

Di dalam *Ondolindë*, Rumah Angin Abadi, Bayu Anggana melayang di udara seperti jelmaan angin itu sendiri. Kain sutra keperakan yang diselendangkannya berkibar-kibar tanpa tersentuh angin, sementara kakinya—yang tak pernah menyentuh tanah—seolah ditopah oleh kekuatan tak kasatmata. Wajahnya awet muda, namun matanya yang biru pucat menyimpan ribuan musim kebijaksanaan. **"Aku telah mendengar bisikan angin tentang kedatanganmu, Isidore,"** katanya, suaranya seperti desiran dedaunan di tengah badai. **"Sejak fajar pertama Mythopia, aku berjanji untuk mengabdi pada keturunan sang Pendiri. Dan kini, saatnya tiba."**  

Dia mengangkat tangannya, dan meja kayu *mallorn* muncul dari udara, dipenuhi hidangan ajaib: nasi jagung manis yang berkilau seperti mutiara, daging ayam panggang beraroma rempah kuno, dan minuman berwarna keemasan yang berkilau seperti cairan matahari. Isidore menyantapnya dengan lahap, tetapi begitu suapan terakhir masuk, kepalanya terasa berat. Matanya terpejam, dan dunia pun menghilang.  

---  
**Dalam mimpi, Isidore melihat langit Mythopia yang gelap gulita.** Awan hitam bergulung-gulung seperti naga yang murka, menghujani kerajaan dengan air asam yang membakar tanaman dan menggerogoti batu. Dari balik kabut, pasukan bangsa barbar—bersenjata kapak berdarah dan perisai bertanduk—menerjang gerbang istana. Raja Itharius, ayahnya, berdiri di puncak menara, keris suci di tangannya menyala seperti bintang jatuh. **"Kembalilah, Isidore!"** teriaknya, sementara para biksu di bawahnya melemparkan bola api ke langit, mencoba mengusir kegelapan. **"Mythopia baik-baik saja! Ini hanya ilusi!"**  

---  
**Isidore terjaga dengan teriakan.** Kekuatannya meledak tak terkendali—cahaya keemasan dari keris suci memancar liar, menghancurkan meja *mallorn* dan mengoyak dinding batu vulkanik. **"Tahan dia!"** seru Pangreksa.  

Dengan gerakan cepat, Pangreksa mengangkat tangannya. Udara di sekitar Isidore membeku, menjeratnya dalam sangkar es yang transparan. Rakajati menancapkan tongkat kayunya ke lantai, dan akar-akar purba melesat dari tanah, membelit tubuh Isidore seperti ular naga yang berusaha menjinakkan anaknya. **"Tenang, Isidore!"** gertak Rakajati, suaranya bergema seperti gemuruh bumi.  

Bayu Anggana mengibaskan selendangnya, dan angin berputar-putar membentuk kubah tak kasatmata di sekeliling mereka, mencegah kekuatan Isidore menyebar lebih jauh. **"Aura darah Mythopia terlalu liar untuk tubuh yang belum siap,"** bisiknya, wajahnya tegang.  

Raja Alam Wardhana tiba-tiba muncul dari bayangan, cahaya kebiruannya menembus sangkar es. **"Masuklah ke pikirannya,"** bisik Bayu Anggana. **"Hanya kau yang bisa menenangkan jiwa penerus ini."**  

Raja Alam Wardhana meletakkan telapak tangannya di dahi Isidore. Seketika, dunia nyata memudar—  

Di dalam pikiran Isidore, mereka berdiri di tengah lautan mimpi yang bergolak. Langit berwarna ungu gelap, dan suara teriakan barbar terus menggema. **"Ini bukan kenyataan, Isidore,"** kata Raja Alam Wardhana, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Ini adalah ketakutanmu—bayangan yang diciptakan oleh beban takhta. Dengarkan *Lagu Penciptaan*…"**  

Dia bersenandung, dan tiba-tiba, melodi kuno mengisi udara—lagu yang sama yang dinyanyikan para Valar saat membentuk dunia. Gemuruh barbar pun reda, awan hitam tersibak, dan Isidore melihat Mythopia yang sebenarnya: istana tetap megah, tanaman hijau subur, dan ayahnya tersenyum dari kejauhan.  

**"Kau harus belajar menguasai kekuatanmu,"** kata Raja Alam Wardhana. **"Atau kau akan dihancurkan olehnya."**  

---  
**Ketika Isidore membuka mata, sangkar es telah mencair, akar-akar purba mengendur, dan kubah angin Bayu Anggana berhenti berputar.** Dia terbaring di lantai, dikelilingi oleh keempat ksatria yang wajahnya dipenuhi kelegaan.  

**"Maafkan aku,"** bisik Isidore, suaranya serak. **"Aku… tidak menyangka kekuatan itu begitu…"  

"Kau adalah darah Mythopia,"** sela Bayu Anggana, tangannya mengusap udara sehingga sisa kerusakan di *Ondolindë* pun tertutup lumut dan bunga liar. **"Kekuatanmu adalah warisan, bukan kutukan. Tapi kau harus belajar mendengar angin, bukan melawannya."**  

Pangreksa membantu Isidore berdiri. **"Latihanmu dimulai besok. Dan kali ini, kau tak boleh lari."**  

Di luar, langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilau seperti permata di mahkota para dewa. Isidore memandang ke arah Mythopia yang jauh di ufuk barat, dan dalam hatinya, dia berjanji: *Aku akan menguasai ini. Demi ayah, demi kerajaan, demi semua yang kucintai.*  

---  

31/01/25

Kisah kerajaan Mythopia edisi revisi



-cerita ditulis oleh M. Irvan--

Chapter 1: Kelahiran Sang Anak

Di bawah langit kelam yang dipenuhi awan bergulung-gulung, istana kerajaan Mythopia berdiri megah, bagaikan benteng terakhir yang menjaga rahasia zaman. Menara-menaranya menjulang tinggi, menembus kabut tebal yang menyelimuti lembah-lembah di sekitarnya. Di dalam dinding istana yang kokoh, suasana tegang mengisi udara, seolah alam semesta sendiri menahan napas menunggu sesuatu yang agung—atau mungkin, sesuatu yang mengerikan.

Di kamar ratu yang dihiasi permadani kuno dan lukisan para leluhur, Elara, sang Ratu Mythopia, berbaring di atas ranjang yang terbuat dari kayu berukir halus. Wajahnya pucat, tetapi matanya bersinar dengan keteguhan yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah melihat batas antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam erat tangan Raja Itharius, suaminya, yang berdiri di sampingnya dengan wajah dipenuhi kekhawatiran.

"Itharius," bisik Elara dengan suara lemah namun penuh makna, "aku merasakannya... dia akan segera datang."

Raja Itharius, dengan jubah kebesarannya yang berwarna ungu tua, memandang istrinya dengan tatapan yang dalam. Di matanya, terpancar ketakutan yang tak terucapkan, tetapi juga harapan yang tak pernah padam. "Bertahanlah, Elara," katanya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Kita telah menunggu terlalu lama untuk ini."

Di luar jendela, petir menyambar-nyambar, memecah keheningan malam. Angin berhembus kencang, membawa suara gemerisik daun-daun kering yang seolah berbisik tentang ramalan kuno. Para pelayan istana berlarian dengan panik, sementara para penjaga berdiri tegak di pos mereka, mencoba menahan ketakutan yang merayap di hati mereka.

Tiba-tiba, Elara merintih kesakitan, dan suaranya menggema di lorong-lorong istana. Raja Itharius segera memanggil dokter kerajaan, seorang lelaki tua bernama Maester Oryn, yang wajahnya dipenuhi garis-garis usia dan kebijaksanaan. "Segera!" seru Raja Itharius, suaranya penuh kepanikan. "Dia tidak bisa menunggu lebih lama!"

Maester Oryn tiba dengan langkah cepat, diikuti oleh beberapa asistennya. Mereka segera merawat Elara dengan penuh kehati-hatian, sementara Raja Itharius berdiri di sudut ruangan, tangannya mengepal erat. Hatinya berdebar kencang, seolah setiap detik yang berlalu adalah abadi.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti ribuan tahun, tangisan bayi akhirnya memecah keheningan. Suaranya nyaring dan penuh kehidupan, seolah menyambut dunia dengan keberanian yang tak terbendung. Namun, bersamaan dengan itu, gempa kecil mengguncang istana. Benda-benda berjatuhan, dan para penjaga saling pandang dengan ketakutan.

Raja Itharius memandang bayi itu dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggendong seorang anak laki-laki yang wajahnya bersinar seperti bulan purnama. "Isidore," bisiknya, menamai anaknya dengan nama yang telah lama dipersiapkan. "Namamu adalah Isidore."

Namun, di balik keharuan itu, ada sesuatu yang menggelayut di hatinya. Dia tahu bahwa kelahiran ini bukanlah peristiwa biasa. Para biksu kerajaan, yang telah menunggu di luar ruangan, segera masuk dengan wajah serius. Biksu Agung Laksana, seorang lelaki tua dengan jubah putih bersih, maju ke depan. Matanya memancarkan kebijaksanaan, tetapi juga ketakutan.

"Tuanku," kata Biksu Laksana dengan suara berat, "anak ini membawa tanda. Dia adalah Pembawa Bencana, seperti yang diramalkan dalam naskah kuno. Kita harus berhati-hati."

Raja Itharius memandang Biksu Laksana dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu, Laksana? Apakah kau mengatakan bahwa anakku adalah ancaman bagi kerajaan ini?"

Biksu Laksana mengangguk perlahan. "Ramalan itu jelas, Tuanku. Kelahiran Isidore akan membawa perubahan besar. Apakah itu kejayaan atau kehancuran, hanya waktu yang akan menjawab."

Di luar istana, langit semakin gelap, dan angin berhembus kencang, seolah alam semesta sedang memberikan peringatan. Raja Itharius memandang bayi itu sekali lagi, dan di matanya, ia melihat bayangan masa depan yang tak terelakkan. Dia tahu bahwa hidup Isidore tidak akan pernah biasa, dan Mythopia akan menghadapi ujian terbesarnya.

---

Chapter 2: Penyelamatan Rahasia 

Malam itu, istana Mythopia tenggelam dalam keheningan yang berat, seolah seluruh kerajaan sedang menahan napas menunggu takdir yang tak terelakkan. Bulan purnama bersinar terang di langit, memancarkan cahaya keperakan yang menyinari menara-menara istana dan hutan-hutan di sekitarnya. Namun, cahaya itu tidak membawa kedamaian, melainkan ketegangan yang semakin menggelora.

Di dalam kamar rahasia yang tersembunyi di balik dinding istana, Raja Itharius berdiri di depan jendela kecil, memandang ke arah hutan belantara yang membentang di kejauhan. Tangannya menggenggam erat keris pusaka kerajaan, yang bilahnya berkilauan di bawah cahaya bulan. Di sudut ruangan, seorang pengawal setia bernama Geron menunggu dengan sabar, wajahnya dipenuhi keseriusan.

"Geron," bisik Raja Itharius, suaranya hampir tak terdengar, "apakah kau yakin dengan rencana ini?"

Geron mengangguk perlahan, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. "Tuanku, kita tidak punya pilihan lain. Jika kita tidak bertindak sekarang, para biksu akan mengambil Isidore saat fajar tiba. Mereka percaya bahwa dia adalah ancaman bagi Mythopia."

Raja Itharius menghela napas panjang, hatinya dipenuhi konflik yang tak terkatakan. Dia memandang ke arah buaian kecil di tengah ruangan, di mana Isidore sedang tertidur dengan tenang. Wajah bayi itu bersinar seperti permata di bawah cahaya bulan, seolah dia adalah hadiah dari para dewa—atau mungkin, kutukan.

"Elara," bisik Raja Itharius, memikirkan istrinya yang masih terbaring lemah di kamarnya. "Aku berjanji akan melindungi anak kita, meski harus mengorbankan segalanya."

Dengan langkah tegas, Raja Itharius mendekati buaian itu dan mengangkat Isidore dengan lembut. Bayi itu terbangun sejenak, matanya yang biru cerah memandang ayahnya dengan penuh kepercayaan. "Tenang, Isidore," bisik Raja Itharius. "Ayah akan menjagamu."

Mereka meninggalkan kamar rahasia itu melalui lorong tersembunyi yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Lorong itu gelap dan lembap, dengan dinding-dinding batu yang dipenuhi lumut dan akar-akar pohon yang menjalar. Di ujung lorong, sebuah kereta kuda kecil telah menunggu, dikendarai oleh seorang sais setia bernama Halon.

"Semuanya sudah siap, Tuanku," kata Halon dengan suara rendah. "Kita harus segera pergi sebelum fajar menyingsing."

Raja Itharius mengangguk, lalu memasuki kereta kuda itu dengan Isidore dalam pelukannya. Geron mengikuti dari belakang, membawa beberapa persediaan makanan dan air. Dengan isyarat dari Halon, kereta kuda itu mulai bergerak, meninggalkan istana Mythopia yang megah di belakang mereka.

Perjalanan mereka melewati hutan-hutan lebat yang dipenuhi suara binatang malam dan gemerisik daun-daun kering. Bulan purnama memberikan cahaya yang cukup untuk menerangi jalan, tetapi suasana malam itu tetap menegangkan. Raja Itharius memandang ke arah istana yang semakin menjauh, hatinya dipenuhi keraguan dan kesedihan.

"Apakah ini keputusan yang benar, Geron?" tanya Raja Itharius, suaranya penuh keraguan. "Apakah kita telah mengkhianati kerajaan kita dengan melarikan diri seperti ini?"

Geron memandang Raja Itharius dengan tatapan yang dalam. "Tuanku, terkadang kita harus memilih antara tugas kita sebagai pemimpin dan tanggung jawab kita sebagai orang tua. Kau telah memilih untuk melindungi Isidore, dan itu adalah keputusan yang mulia."

Raja Itharius mengangguk perlahan, tetapi hatinya masih dipenuhi kegelisahan. Dia tahu bahwa perjalanan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari petualangan yang jauh lebih besar. Di dalam pelukannya, Isidore tertidur dengan tenang, seolah tidak menyadari betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh ayahnya.

Di kejauhan, gunung-gunung Mythopia menjulang tinggi, puncaknya diselimuti kabut tebal. Di sana, di puncak gunung tertinggi, terdapat kuil kuno yang telah lama ditinggalkan. Kuil itu adalah tempat di mana ramalan tentang Isidore pertama kali diungkapkan, dan Raja Itharius tahu bahwa suatu hari nanti, mereka harus kembali ke sana untuk mencari jawaban.

Malam semakin larut, dan kereta kuda itu terus melaju menuju hutan belantara. Di langit, bintang-bintang bersinar terang, seolah memberikan petunjuk bagi mereka yang berani mengikuti takdirnya. Raja Itharius memandang ke arah bintang-bintang itu, dan di hatinya, dia berjanji akan melindungi Isidore, meski harus menghadapi segala rintangan yang menghadang.

---

Chapter 3: Pencarian Identitas 

Setelah berbulan-bulan melintasi hutan belantara, melewati sungai-sungai yang deras, dan mendaki bukit-bukit terjal, Raja Itharius dan Isidore akhirnya tiba di sebuah desa terpencil di tepi hutan Kalimantan. Desa itu dikelilingi oleh pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi, cabang-cabangnya membentuk kanopi alami yang melindungi penduduknya dari terik matahari dan hujan lebat. Udara di sana terasa segar, dipenuhi aroma bunga-bunga liar dan tanah basah.

Raja Itharius, yang kini menyamar sebagai seorang pengembara bernama Tandika, memandang desa itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa lega karena mereka telah menemukan tempat yang aman untuk tinggal. Di sisi lain, hatinya dipenuhi kerinduan akan Mythopia, kerajaan yang telah dia tinggalkan demi melindungi anaknya.

"Di sini kita akan tinggal, Isidore," bisik Tandika kepada anaknya yang kini telah tumbuh menjadi seorang bocah berusia sepuluh tahun. "Desa ini akan menjadi rumah kita untuk sementara waktu."

Isidore memandang desa itu dengan mata penuh rasa ingin tahu. Dia melihat anak-anak berlarian di antara rumah-rumah kayu, wanita-wanita menenun kain di beranda, dan lelaki-lelaki yang kembali dari berburu dengan hasil tangkapan di pundak mereka. Semuanya terasa asing, tetapi juga menarik.

"Apakah kita akan aman di sini, Ayah?" tanya Isidore dengan suara polos.

Tandika tersenyum lembut. "Kita akan berusaha, Isidore. Tapi ingat, jangan pernah memberitahu siapa pun tentang asal-usul kita. Rahasia itu harus kita simpan baik-baik."

Mereka diterima dengan ramah oleh penduduk desa, terutama oleh seorang tetua bernama Darma, yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Darma memberikan mereka sebuah gubuk kecil di tepi hutan, tempat mereka bisa tinggal dengan tenang. Namun, meski hidup mereka tampak damai, Tandika tahu bahwa kedamaian itu hanyalah sementara. Di dalam hatinya, dia merasa bahwa takdir Isidore akan segera memanggil mereka kembali ke Mythopia.

---

Chapter 4: Keberanian Anak Pemimpin

Bertahun-tahun berlalu, dan Isidore tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah berani. Wajahnya memancarkan keteguhan yang jarang ditemukan pada anak seusianya, dan matanya yang biru cerah selalu penuh dengan rasa ingin tahu. Dia sering menghabiskan waktunya di hutan, menjelajahi setiap sudutnya, dan berbicara dengan binatang-binatang yang seolah mengerti bahasanya.

Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang, Isidore duduk di tepi sungai kecil di dekat desa. Dia memandang air yang mengalir dengan tenang, tetapi hatinya dipenuhi kegelisahan. Dia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang harus dia temukan.

"Ayah," kata Isidore ketika Tandika mendekatinya, "aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Siapakah kita sebenarnya? Mengapa kita harus hidup seperti ini?"

Tandika menghela napas panjang. Dia tahu bahwa saatnya telah tiba untuk mengungkap kebenaran. "Isidore," katanya dengan suara berat, "kita bukanlah orang biasa. Kau adalah putra mahkota Mythopia, kerajaan yang telah lama kita tinggalkan. Dan aku... aku adalah raja yang telah mengorbankan segalanya untuk melindungimu."

Isidore terdiam, mencerna kata-kata ayahnya. Dia merasa seperti dunia di sekitarnya berputar, membawanya ke dalam kenyataan yang jauh lebih besar dari yang pernah dia bayangkan. "Mengapa kita harus pergi, Ayah? Apa yang terjadi di Mythopia?"

Tandika memandang ke arah bulan, matanya dipenuhi kesedihan. "Ada ramalan kuno, Isidore. Ramalan yang mengatakan bahwa kelahiranmu akan membawa perubahan besar bagi Mythopia. Beberapa percaya bahwa kau adalah Pembawa Bencana, sementara yang lain melihatmu sebagai harapan terakhir. Tapi aku tahu satu hal: kau adalah anakku, dan aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."

Isidore mengangguk perlahan, hatinya dipengaruhi oleh tekad yang baru. "Aku ingin tahu kebenarannya, Ayah. Aku ingin kembali ke Mythopia dan menghadapi takdirku."

Tandika memandang anaknya dengan bangga. "Kau telah tumbuh menjadi pemuda yang berani, Isidore. Besok, kita akan memulai perjalanan kita kembali ke Mythopia."

---

Chapter 5: Mengungkap Misteri 

Perjalanan kembali ke Mythopia penuh dengan rintangan. Mereka harus melewati hutan-hutan gelap yang dipenuhi makhluk-makhluk misterius, menyebrangi sungai-sungai yang deras, dan mendaki gunung-gunung yang curam. Namun, Isidore tidak pernah mengeluh. Dia merasa bahwa setiap langkah yang dia ambil membawanya semakin dekat dengan takdirnya.

Ketika mereka akhirnya tiba di gerbang Mythopia, suasana berubah drastis. Istana yang dulu megah kini terlihat suram, dinding-dindingnya retak dan ditumbuhi tanaman liar. Penduduk desa yang dulu ramah kini terlihat curiga, matanya dipenuhi ketakutan.

"Ada sesuatu yang tidak beres," bisik Tandika. "Kita harus berhati-hati."

Mereka menyelinap ke dalam istana melalui lorong-lorong rahasia yang hanya diketahui oleh Tandika. Di dalam, mereka menemukan ruangan yang dipenuhi naskah-naskah kuno dan peta-peta yang telah usang. Di tengah ruangan, terdapat sebuah altar batu yang di atasnya terukir simbol-simbol aneh.

Isidore mendekati altar itu, dan tiba-tiba, cahaya terang memancar dari simbol-simbol itu. Dia merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, seolah alam semesta sedang berbicara kepadanya. Di depan matanya, muncul bayangan tiga pertapa kuno, yang matanya dipenuhi kebijaksanaan.

"Kau telah menemukan kami, Isidore," kata salah satu pertapa itu. "Kami adalah penjaga rahasia Mythopia. Dan sekarang, saatnya untuk mengungkap kebenaran yang telah lama tersembunyi."
---

Chapter 6: Kekuatan Tersembunyi 

Di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang berkilauan, Isidore duduk di tepi api unggun yang kecil, memandang ayahnya, Tandika, dengan mata penuh rasa ingin tahu. Api itu menari-nari, memantulkan bayangan wajah Tandika yang dipenuhi oleh garis-garis usia dan kebijaksanaan. Malam itu, udara terasa dingin, dan angin berhembus lembut, membawa bisikan-bisikan rahasia dari hutan di sekitarnya.

"Isidore," kata Tandika dengan suara yang dalam dan penuh makna, "ada sesuatu yang harus kau ketahui. Sesuatu yang telah lama kusimpan dari dirimu."

Isidore memandang ayahnya dengan penuh perhatian, hatinya berdebar kencang. "Apa itu, Ayah?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa penasaran.

Tandika menghela napas panjang, matanya memandang ke arah api unggun yang berkobar. "Kau tahu, Isidore, bahwa kita bukanlah orang biasa. Kita adalah keturunan dari garis darah Mythopia, kerajaan yang telah lama hilang dari ingatan dunia. Dan seperti aku, kau juga memiliki hak atas warisan yang sangat berharga."

Dia mengeluarkan keris suci dari balik jubahnya, bilahnya yang berkilauan memancarkan cahaya keemasan yang seolah hidup dan bernapas. "Keris ini," lanjut Tandika, "adalah salah satu dari dua keris suci yang pernah dimiliki oleh kerajaan Mythopia. Yang satu ada di tanganku, dan yang lainnya... yang lainnya ada di dalam gua tempat gudang senjata kerajaan Mythopia."

Isidore merasakan getaran aneh di tubuhnya, seolah keris itu merespons kata-kata ayahnya. "Gua tempat gudang senjata kerajaan Mythopia?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu.

Tandika mengangguk perlahan. "Ya, Isidore. Gua itu terletak di tengah hutan belantara, dijaga oleh makhluk-makhluk yang tak terlihat dan jebakan-jebakan kuno yang mematikan. Hanya mereka yang memiliki darah Mythopia yang dapat memasuki gua itu dan mengambil keris suci yang kedua."

Isidore merenungkan kata-kata ayahnya, hatinya dipenuhi oleh tekad yang baru. "Apa yang harus kulakukan, Ayah? Bagaimana aku bisa menemukan gua itu?"

Tandika tersenyum lembut, matanya memancarkan kebanggaan. "Kau telah tumbuh menjadi pemuda yang berani, Isidore. Aku akan memberimu petunjuk untuk menemukan gua itu. Tapi ingat, perjalanan ini tidak akan mudah. Kau akan menghadapi banyak rintangan dan bahaya. Tapi aku percaya padamu, Isidore. Kau adalah harapan terakhir Mythopia."

Dengan hati yang dipenuhi oleh tekad dan keberanian, Isidore mengangguk. "Aku akan melakukannya, Ayah. Aku akan menemukan gua itu dan mengambil keris suci yang kedua."

Tandika mengangguk, matanya memancarkan kebanggaan. "Baiklah, Isidore. Besok, kita akan memulai perjalanan kita menuju gua itu. Tapi ingat, kau harus selalu waspada. Dunia ini penuh dengan bahaya yang tak terlihat."

Malam itu, Isidore tidur dengan mimpi-mimpi yang dipenuhi oleh petualangan dan misteri. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah hidupnya selamanya, dan dia siap menghadapi segala rintangan yang menantinya.
---
Chapter 7 keris raja ithairus 

Raja Itharius berdiri tegak di hadapan dinding batu yang tinggi dan kokoh, permukaannya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang telah lama terlupakan. Tangannya menggenggam erat keris suci, bilahnya yang berkilauan memancarkan cahaya keemasan yang seolah hidup dan bernapas. Dengan gerakan yang penuh keyakinan, dia mengayunkan keris itu, membuat garis segel yang memancarkan cahaya biru pucat di permukaan batu.

"Bersiaplah, Isidore," kata Raja Itharius dengan suara yang dalam dan penuh wibawa. "Kekuatan kuno Mythopia akan membuka jalan bagi kita."

Ketika keris itu menancap di tengah garis segel, kabut tebal yang menyelimuti dinding batu perlahan-lahan menipis, seperti tirai yang tersingkap. Di baliknya, terlihat jalan yang luas dan megah, dipenuhi oleh cahaya keemasan yang memancar dari langit di atas. Jalan itu mengarah ke kerajaan Mythopia, tempat yang telah lama hilang dari ingatan dunia.

"Dari sini kita berpisah," kata Raja Itharius, memandang Isidore dengan mata yang penuh kebanggaan dan kasih sayang. "Aku akan langsung menuju ke kerajaan, bersama para ajudan yang sedang menunggu di gerbang. Mereka akan membawamu langsung ke gudang senjata, tempat di mana rahasia-rahasia terbesar Mythopia tersimpan."

Isidore memandang ayahnya dengan mata yang penuh hormat dan rasa sayang. Dia melangkah maju, mencium tangan ayahnya dengan penuh penghormatan. "Ayah," bisiknya, suaranya penuh dengan emosi yang tak terkatakan. "Aku akan melakukan yang terbaik untuk Mythopia, dan untukmu."

Raja Itharius mengangguk, matanya memancarkan kebanggaan yang tak terhingga. "Aku tahu kau akan melakukannya, Isidore. Kau adalah harapan terakhir Mythopia, dan aku percaya padamu."

Dengan hati yang dipenuhi oleh tekad dan keberanian, Isidore mengangguk. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah hidupnya selamanya, dan dia siap menghadapi segala rintangan yang menantinya.
Isidore berdiri di tengah kuil kuno yang sunyi, tangannya menggenggam erat relic kuno yang baru saja ditemukannya. Relic itu, sebuah keris berbilah emas, memancarkan cahaya keemasan yang menyinari setiap sudut ruangan. Cahaya itu menari-nari di dinding batu yang dipenuhi ukiran kuno, seolah menghidupkan kembali kisah-kisah yang telah lama terlupakan. Udara di sekitarnya terasa hangat, dipenuhi oleh kekuatan magis yang tak terlihat namun terasa sangat nyata.

Saat Isidore mengangkat keris itu ke udara, tiba-tiba terdengar gemuruh yang mengguncang seluruh kuil. Suara itu seperti gema dari dalam bumi, menggetarkan tulang dan jiwa. Dari cahaya yang memancar, tiga sosok pertapa kuno muncul, melayang di udara dengan tenang. Mereka duduk bersila, wajahnya tenang dan mata mereka terpejam, seolah tengah bermeditasi dalam dunia yang jauh dari jangkauan manusia biasa. Jubah mereka yang putih bersih berkibar-kibar tanpa terkena angin, dan aura kebijaksanaan memancar dari setiap gerak-gerik mereka.

Para biksu yang datang tertegun, wajah mereka pucat dan tangan mereka gemetar. Mereka mengenali keris itu—sebuah relic suci yang konon hanya boleh dipegang oleh Patih Gajahmada dari kerajaan Majapahit, sang pemersatu Nusantara. Kini, relic itu berada di tangan Isidore, seorang pemuda yang mereka anggap sebagai ancaman.

Dengan suara yang tenang namun penuh wibawa, Isidore memandang para biksu. "Apa maksudmu menyembunyikan relic ini?" tanyanya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Apa yang kalian takutkan hingga harus mengubur kebenaran ini dalam kegelapan?"

Para biksu saling pandang, tak satu pun dari mereka berani menjawab. Mata mereka dipenuhi ketakutan dan keraguan, seolah mereka sedang berhadapan dengan kekuatan yang jauh melampaui pemahaman mereka.
---

Chapter 8: Pertemuan dengan Para Pertapa 

Isidore berdiri tegak di tengah ruangan kuil, tangannya masih menggenggam erat keris suci yang memancarkan cahaya keemasan. Di hadapannya, tiga sosok pertapa kuno muncul dari cahaya yang memancar, melayang di udara dengan tenang. Mereka seperti makhluk dari dunia lain, dipenuhi aura kebijaksanaan dan kekuatan yang tak terkatakan. Cahaya yang memancar dari tubuh mereka menembus kegelapan gua, mengisi ruangan dengan kehangatan dan keajaiban.

Pertapa pertama adalah seorang lelaki berjubah putih bersih, dengan mahkota sederhana di kepalanya yang terbuat dari ranting-ranting emas. Matanya yang dalam memancarkan pengetahuan yang tak terbatas, dan senyumnya penuh dengan misteri yang tak terpecahkan. "Aku adalah Raja Alam Wardhana," katanya dengan suara yang tenang namun penuh wibawa. "Dahulu kala, aku memerintah Mythopia dengan kebijaksanaan dan keadilan. Kini, aku bangkit dari tidur panjangku, meski hanya sebagian dari kekuatanku, karena kau telah menemukan relic kuno ini."

Pertapa kedua adalah seorang ksatria gagah berani, mengenakan baju besi yang berkilauan di bawah cahaya keris. Pedang panjang tergantung di pinggangnya, dan matanya yang tajam memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. "Aku adalah Ksatria Cheon Myeong," katanya dengan suara yang dalam dan penuh hormat. "Dulu, aku adalah pelindung raja, penjaga Mythopia dari ancaman yang tak terlihat. Keberanian dan kehormatanku telah mengantarku ke sini, untuk bertemu denganmu, Isidore."

Pertapa ketiga adalah seorang biksu tua, dengan jubah sederhana dan wajah yang dipenuhi kedamaian. Matanya yang sedikit menyipit memancarkan kebijaksanaan yang tak tertandingi, dan senyumnya yang lembut seolah menenangkan jiwa yang gelisah. "Aku adalah Sri Laksana," katanya dengan suara yang lembut namun penuh makna. "Aku adalah biksu yang mengurung kami dalam keris ini. Raja memintaku untuk melindungi pengetahuan ini, dan aku setuju untuk terjebak di dalam sini demi Mythopia."

Isidore memandang ketiga pertapa itu dengan rasa penasaran dan sedikit ketakutan. Hatinya dipenuhi pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya. "Mengapa kalian dikurung?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Dan mengapa aku yang membebaskan kalian?"

Raja Alam Wardhana tertawa ringan, suaranya seperti gemerisik daun di angin musim gugur. "Hanya seorang dengan hati murni yang dapat mengangkat keris ini dan membangkitkan kami," katanya. "Hanya mereka yang tak terbebani oleh niat jahat yang mampu membuka segel ini."

Sri Laksana mengangguk perlahan, matanya memancarkan kebijaksanaan yang dalam. "Ada banyak rahasia yang tak bisa diungkapkan dengan mudah, Isidore," katanya. "Pengetahuan yang kami miliki adalah kunci untuk memahami kebenaran yang sesungguhnya tentang Mythopia. Tapi ingat, kebenaran itu tidak selalu mudah untuk diterima."

Isidore merenungkan kata-kata mereka, hatinya dipenuhi oleh tekad yang baru. Dia tahu bahwa perjalanan menuju kebenaran baru saja dimulai. Apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu Mythopia? Apa rahasia yang para biksu sembunyikan? Isidore merasa bahwa dia harus mengungkap semuanya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan kerajaan ini.

Dengan keris suci di tangannya dan ketiga pertapa kuno di sampingnya, Isidore siap menghadapi tantangan yang menantinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya dan misteri, tetapi dia juga tahu bahwa inilah takdirnya.

---
Chapter 9 Rahasia keris

Isidore berdiri di hadapan ketiga pertapa kuno, hatinya dipenuhi oleh pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami asal-usul kerajaan Mythopia yang begitu disegani oleh kerajaan-kerajaan lain. Dia memandang keris suci di tangannya, bilahnya yang berkilauan memancarkan cahaya keemasan yang seolah hidup dan bernapas.

"Raja Alam Wardhana," kata Isidore dengan suara penuh hormat, "aku memiliki banyak pertanyaan. Apa sebenarnya asal-usul kerajaan Mythopia? Dan apa kegunaan dari keris suci ini? Mengapa keris ini begitu penting?"

Raja Alam Wardhana memandang Isidore dengan mata yang penuh kebijaksanaan, seolah menembus jiwa muda yang penuh keraguan itu. "Kerajaan Mythopia, wahai Isidore, adalah kerajaan yang dibangun di atas pilar-pilar kekuatan dan kebijaksanaan. Dahulu kala, Mythopia adalah pusat dari segala pengetahuan dan kekuatan magis di dunia ini. Kerajaan-kerajaan lain memandang kami dengan rasa hormat dan takut, karena kami memiliki ksatria-ksatria yang tak tertandingi dan kekuatan yang tak terbayangkan."

Dia berhenti sejenak, matanya memandang ke kejauhan, seolah melihat kembali masa lalu yang telah lama berlalu. "Namun, kekuatan itu juga membawa bahaya. Biksu Sri Laksana, dengan kebijaksanaannya yang tak tertandingi, memutuskan untuk menyegel kekuatan itu agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Keris suci ini adalah kunci untuk membuka segel itu. Hanya garis keturunan asli Mythopia yang dapat menggunakannya, dan kau, Isidore, adalah salah satu dari mereka."

Isidore merasakan getaran aneh di tubuhnya, seolah keris itu merespons kata-kata Raja Alam Wardhana. Dia memandang keris itu dengan rasa kagum dan takut. "Tapi mengapa sekarang? Mengapa segel itu harus dibuka sekarang?"

Sri Laksana, yang berdiri di samping Raja Alam Wardhana, mengangguk perlahan. "Karena saatnya telah tiba, Isidore. Kekuatan itu tidak boleh tetap tersembunyi selamanya. Dunia ini membutuhkan Mythopia sekali lagi, dan kau adalah harapan terakhir kami."

Raja Alam Wardhana melanjutkan, "Namun, kekuatan itu tidak akan berguna tanpa ksatria-ksatria yang kuat untuk menggunakannya. Kau harus mencari mereka, Isidore. Ksatria-ksatria Mythopia yang telah lama hilang. Hanya aku yang mengenali mereka, dan hanya aku yang dapat membantumu menemukan mereka."

Isidore merenungkan kata-kata mereka, hatinya dipenuhi oleh tekad yang baru. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya dan misteri, tetapi dia juga tahu bahwa inilah takdirnya. Dengan keris suci di tangannya dan ketiga pertapa kuno di sampingnya, Isidore siap menghadapi tantangan yang menantinya.

---

28/01/25

Kisah Pandika, seorang prajurit pantang menyerah dari kerajaan cakram


Bab 1: Mimpi Seorang Pemuda Desa**

Matahari pagi menyinari lereng bukit di desa kecil di pinggiran Kerajaan Cakram. Kabut tipis masih menyelimuti pepohonan, menciptakan suasana yang tenang namun misterius. Di tengah hamparan sawah, seorang pemuda bertubuh tegap dengan rambut ikal hitam terlihat sedang berlatih gerakan-gerakan bela diri. Tangannya yang kasar menggenggam sebilah kayu, menirukan gerakan pedang yang pernah ia lihat dari para prajurit kerajaan.

"Pandika! Kau masih saja berkhayal menjadi prajurit?" teriak seorang wanita paruh baya dari kejauhan. Itu adalah ibunya, Sari, yang membawa keranjang berisi sayuran segar.

Pandika berhenti sejenak, menoleh ke arah suara itu. "Ibu, ini bukan khayalan. Suatu hari, aku akan menjadi prajurit terbaik di Kerajaan Cakram!" jawabnya dengan mata berbinar.

Sari menghela napas. "Anakku, kau tahu bagaimana Raja Agus Marto memandang bela diri. Ia lebih suka menghabiskan anggaran untuk pesta daripada melatih prajurit. Apa gunanya kau berlatih jika tidak ada yang menghargai usahamu?"

Pandika tersenyum kecil. "Aku tidak butuh pengakuan dari raja, Ibu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa bela diri adalah seni yang mulia. Suatu hari, kerajaan ini akan membutuhkan seseorang seperti aku."

Sari menggelengkan kepala, tapi ada kebanggaan tersembunyi di matanya. "Baiklah, Nak. Tapi jangan lupa, kau masih punya sawah untuk dikerjakan."

Setelah ibunya pergi, Pandika kembali ke latihannya. Kali ini, ia mencoba gerakan yang lebih sulit, melompat dan berputar dengan gesit. Meski tubuhnya penuh luka dan memar, ia tidak pernah menyerah. Di benaknya, ia membayangkan dirinya berdiri di tengah arena pertarungan, dikelilingi oleh para prajurit dari kerajaan-kerajaan lain. Ia ingin membuktikan bahwa Kerajaan Cakram masih memiliki harapan.

---

### **Pemandangan Kerajaan Cakram**

Di pusat kerajaan, suasana sangat berbeda. Istana megah berdiri dengan menara-menara tinggi, tetapi aura kemegahannya terasa suram. Raja Agus Marto, seorang pria berusia empat puluhan dengan wajah yang selalu cemberut, sedang duduk di singgasananya. Di sekelilingnya, para penasihat kerajaan terlihat tegang.

"Bagaimana mungkin kita terus kalah dalam setiap pertarungan antar kerajaan?" bentak Raja Agus Marto, suaranya menggema di ruangan besar. "Prajurit-prajurit kita tidak lebih dari sekumpulan pengecut!"

Seorang penasihat tua memberanikan diri untuk berbicara. "Paduka, mungkin jika kita melatih mereka lebih serius—"

"Latihan?" potong sang raja dengan nada sinis. "Latihan bela diri hanya membuang waktu dan uang! Lebih baik kita fokus pada diplomasi atau... cara lain."

Para penasihat saling pandang, tidak ada yang berani menanggapi. Mereka tahu bahwa raja tidak suka dikritik.

---

### **Pertemuan Pandika dan Nayla**

Sore itu, Pandika memutuskan untuk pergi ke pasar kerajaan. Ia ingin melihat langsung kehidupan di pusat kerajaan, sekaligus mencari informasi tentang cara bergabung dengan pasukan kerajaan. Saat ia berjalan di antara kios-kios yang ramai, tiba-tiba ia mendengar suara teriakan.

"Tolong! Ada pencuri!"

Pandika segera berlari ke arah suara itu. Ia melihat seorang pria bertopeng sedang mencoba merampas tas dari seorang wanita muda. Tanpa pikir panjang, Pandika menghampiri pencuri itu dan dengan gerakan cepat, ia berhasil menjatuhkan si pencuri.

"Terima kasih," ucap wanita itu, masih terengah-engah. Pandika baru menyadari bahwa wanita itu mengenakan pakaian yang sangat elegan, berbeda dengan kebanyakan orang di pasar.

"Sama-sama," jawab Pandika sambil tersenyum. "Namaku Pandika."

"Aku Nayla," ujar wanita itu. Matanya memandang Pandika dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau sangat terampil. Apakah kau seorang prajurit?"

"Belum," jawab Pandika dengan nada rendah. "Tapi itu impianku."

Nayla tersenyum. "Mungkin suatu hari nanti, kau bisa membuktikan dirimu. Kerajaan ini membutuhkan orang-orang seperti kau."

Pandika merasa ada sesuatu yang istimewa dari Nayla. Ia tidak tahu bahwa wanita yang baru saja ia tolong adalah putri bangsawan yang memiliki pengaruh besar di kerajaan.

---

### **Akhir Bab 1**

Malam tiba, Pandika kembali ke desanya. Di langit, bintang-bintang bersinar terang, seolah memberinya harapan baru. Ia tidak tahu bahwa pertemuannya dengan Nayla akan mengubah hidupnya selamanya. Di kejauhan, suara genderang kerajaan terdengar, mengingatkan semua orang bahwa Kerajaan Cakram masih dalam bahaya.

Tapi Pandika tidak takut. Ia siap menghadapi apa pun untuk mewujudkan mimpinya.

Saya suka ide ini! Bab 2 akan menjadi bab yang penuh dengan ketegangan, intrik, dan tantangan berat bagi Pandika. Mari kita tulis **Bab 2** dengan fokus pada perjuangan Pandika melamar menjadi prajurit, konflik dengan prajurit lain, dan sidang yang menentukan nasibnya.

---

### **Bab 2: Ujian Pertama**

Pagi itu, Pandika berdiri di depan gerbang besar istana Kerajaan Cakram. Hatinya berdebar-debar, tetapi tekadnya tidak goyah. Ia telah memutuskan untuk melamar menjadi prajurit kerajaan, meski ia tahu peluangnya kecil. Dengan pakaian sederhana dan sebilah kayu sebagai senjata, ia memasuki halaman istana.

"Kau siapa? Apa urusanmu di sini?" tanya seorang penjaga gerbang dengan nada kasar.

"Aku Pandika, warga desa. Aku ingin melamar menjadi prajurit kerajaan," jawab Pandika dengan suara tegas.

Sang penjaga tertawa terbahak-bahak. "Melamar jadi prajurit? Kau pikir ini tempat mainan? Pergi sana sebelum kau kami usir!"

Pandika tidak menyerah. "Aku punya kemampuan bela diri. Aku hanya meminta kesempatan untuk membuktikannya."

Tiba-tiba, suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari belakangnya. "Biarkan dia masuk."

Pandika menoleh dan melihat Nayla berdiri di sana, mengenakan gaun bangsawan yang elegan. Para penjaga segera memberi hormat. "Putri Nayla, maafkan kami. Kami tidak tahu—"

"Tidak apa-apa," ujar Nayla dengan senyum. "Aku akan menjaminnya. Biarkan dia mengikuti proses seleksi."

---

### **Konflik dengan Prajurit Lain**

Dengan bantuan Nayla, Pandika berhasil memasuki barak prajurit. Namun, kehadirannya langsung menimbulkan kecemburuan dan ketidaksukaan di antara para prajurit lain.

"Lihat itu, seorang warga desa berpikir dia bisa menjadi prajurit," bisik seorang prajurit kepada temannya.

"Dia pasti menyogok seseorang untuk bisa masuk ke sini," sahut yang lain.

Pandika mencoba mengabaikan mereka, tetapi tekanan semakin besar. Suatu malam, saat ia sedang berlatih sendirian, sekelompok prajurit menghampirinya.

"Kau pikir kau istimewa karena dibantu oleh putri bangsawan?" tanya pemimpin kelompok itu, seorang prajurit tinggi besar bernama Raka.

"Aku hanya ingin membuktikan diri," jawab Pandika dengan tenang.

Raka mendorong Pandika dengan kasar. "Kau tidak pantas berada di sini. Lebih baik kau pergi sebelum kami buat kau menyesal."

Pandika tidak membalas. Ia tahu bahwa melawan mereka hanya akan memperburuk situasi.

---

### **Sidang di Hadapan Raja**

Keesokan harinya, desas-desus tentang Pandika yang dibantu oleh Nayla menyebar ke seluruh istana. Raja Agus Marto, yang tidak suka dengan campur tangan bangsawan dalam urusan militer, memerintahkan agar Pandika dihadapkan ke sidang.

Di ruang sidang yang megah, Pandika berdiri di tengah, dikelilingi oleh para penasihat dan prajurit. Raja Agus Marto duduk di singgasananya, wajahnya dingin dan penuh kecurigaan.

"Jadi, kau adalah warga desa yang berani melamar menjadi prajurit?" tanya sang raja dengan nada mengejek.

"Benar, Paduka," jawab Pandika dengan kepala tegak.

"Dan kau dibantu oleh Putri Nayla untuk masuk ke sini?" lanjut sang raja, matanya menyipit.

Nayla, yang hadir di ruangan itu, segera berbicara. "Paduka, aku hanya memberinya kesempatan untuk membuktikan diri. Kerajaan ini membutuhkan orang-orang seperti dia."

Raja Agus Marto menghela napas panjang. "Baiklah, jika kau begitu yakin, mari kita uji kemampuanmu. Tapi ingat, ujian ini tidak akan mudah."

---

### **Ujian yang Tidak Masuk Akal**

Raja Agus Marto mengumumkan ujian yang harus dijalani Pandika:
1. **Mengambil Bunga Emas dari Puncak Gunung Berapi**: Bunga Emas adalah tanaman langka yang hanya tumbuh di puncak gunung berapi aktif. Banyak yang mencoba mengambilnya, tetapi tidak pernah kembali.
2. **Mengalahkan Makhluk Penjaga Hutan**: Di hutan terlarang, ada makhluk mistis yang menjaga harta kerajaan. Tidak ada prajurit yang berhasil mengalahkannya.
3. **Membawa Air Suci dari Mata Air Terlarang**: Mata air itu dikelilingi oleh perangkap dan ilusi yang mematikan.

Para hadirin terkejut mendengar ujian itu. Bahkan para prajurit senior pun menganggapnya mustahil.

Nayla mendekati Pandika dan berbisik, "Kau tidak harus melakukan ini. Aku bisa membantumu mencari cara lain."

Pandika tersenyum. "Terima kasih, Nayla. Tapi aku harus membuktikan diri. Aku tidak akan menyerah."

---

### **Adegan Penutup Bab 2**

Malam itu, Pandika bersiap untuk memulai ujiannya. Di langit, bulan purnama bersinar terang, seolah memberinya keberanian. Ia tahu bahwa jalan di depannya penuh bahaya, tetapi tekadnya tidak tergoyahkan.

Sementara itu, di istana, Raja Agus Marto duduk di balkonnya, memandang ke arah gunung berapi. "Kita akan lihat, apakah pemuda desa ini benar-benar istimewa atau hanya sekadar pengkhayal," gumamnya.

Nayla, di kamarnya, berdoa untuk keselamatan Pandika. Ia tidak tahu bahwa petualangan mereka baru saja dimulai.

---
Wah, ide ini semakin menarik! Penambahan senjata relic tingkat tinggi dari Nayla dan kemunculan makhluk spiritual berbentuk kucing (Si Maung) memberikan dimensi baru pada cerita. Mari kita tulis **Bab 3** dengan menggabungkan semua elemen ini: ujian berat, bantuan Nayla, dan pertemuan Pandika dengan Si Maung.

---

### **Bab 3: Ujian dan Pertemuan dengan Si Maung**

Pandika berdiri di depan gerbang istana, siap memulai ujian yang diberikan oleh Raja Agus Marto. Di tangannya, ia memegang sebuah senjata relic pemberian Nayla—sebilah pedang pendek berhias ukiran kuno yang memancarkan aura misterius. Pedang itu bernama **"Kilau Bulan"**, senjata pusaka yang konon memiliki kekuatan magis.

"Kau harus berhati-hati," bisik Nayla, wajahnya penuh kekhawatiran. "Ujian ini tidak biasa. Bahkan dengan senjata ini, kau mungkin akan kesulitan."

Pandika mengangguk, matanya penuh tekad. "Aku tidak akan mengecewakanmu, Nayla. Aku akan kembali dengan membawa Bunga Emas."

Nayla tersenyum lembut. "Aku percaya padamu, Pandika."

---

### **Ujian Pertama: Bunga Emas di Puncak Gunung Berapi**

Perjalanan menuju gunung berapi tidaklah mudah. Medan yang terjal dan udara yang panas membuat Pandika kelelahan. Saat ia mendekati puncak, ia dihadang oleh sekelompok makhluk kecil berbentuk batu yang hidup di lereng gunung. Mereka menyerang dengan lemparan batu panas.

Dengan gesit, Pandika menggunakan Kilau Bulan untuk menghalau serangan. Pedang itu mengeluarkan cahaya biru yang mampu memecahkan batu-batu panas menjadi debu. Namun, jumlah musuh terlalu banyak, dan Pandika mulai kehabisan tenaga.

"Tidak bisa seperti ini," gumam Pandika, mencoba mencari cara. Ia teringat pada pelajaran bela dirinya tentang kecepatan dan ketepatan. Dengan gerakan cepat, ia berhasil melewati makhluk-makhluk itu dan mencapai puncak gunung.

Di sana, ia melihat Bunga Emas—tanaman langka yang bersinar keemasan di tengah lava yang mendidih. Namun, untuk mencapainya, ia harus melompati jurang sempit yang dipenuhi gas beracun.

Pandika menarik napas dalam-dalam dan melompat. Tepat di tengah lompatan, gas beracun membuatnya pusing. Ia hampir terjatuh, tetapi Kilau Bulan tiba-tiba mengeluarkan cahaya pelindung yang menstabilkannya. Dengan susah payah, ia berhasil meraih Bunga Emas.

---

### **Pertemuan dengan Si Maung**

Saat Pandika turun dari gunung, ia merasa kelelahan dan hampir pingsan. Tiba-tiba, ia mendengar suara kecil dari semak-semak.

"Kau terlihat seperti membutuhkan bantuan," ujar suara itu.

Pandika menoleh dan melihat seekor makhluk kecil berbentuk kucing, tetapi dengan bulu berwarna perak dan mata yang bersinar seperti permata. Makhluk itu duduk dengan anggun, ekornya melambai-lambai.

"Siapa... siapa kau?" tanya Pandika, masih terengah-engah.

"Aku adalah penjaga spiritual hutan ini. Kau bisa memanggilku **Si Maung**," jawab makhluk itu dengan suara yang lembut namun penuh wibawa.

"Kenapa kau membantuku?" tanya Pandika.

Si Maung mengedipkan matanya. "Aku melihat tekadmu. Kau berbeda dari yang lain. Kau pantang menyerah, meski ujian ini hampir membuatmu tumbang."

Pandika tersenyum lelah. "Terima kasih. Tapi aku masih punya dua ujian lagi."

Si Maung melompat ke bahu Pandika. "Tenang saja. Aku akan menemanimu. Aku punya kemampuan untuk membuatmu menghilang dari pandangan musuh. Itu akan membantumu menghindari bahaya."

---

### **Ujian Kedua: Mengalahkan Makhluk Penjaga Hutan**

Dengan bantuan Si Maung, Pandika memasuki hutan terlarang. Suasana di hutan itu gelap dan menyeramkan, dengan suara-suara aneh yang terus bergema. Tiba-tiba, seekor makhluk besar muncul—seekor harimau mistis dengan bulu hitam dan mata merah menyala.

"Makhluk penjaga hutan," bisik Si Maung. "Kau harus mengalahkannya."

Pandika mengangkat Kilau Bulan, tetapi makhluk itu terlalu cepat. Ia menyerang dengan cakar yang tajam, hampir melukai Pandika. Si Maung segera menggunakan kekuatannya, membuat Pandika menghilang sesaat. Dengan kejutan itu, Pandika berhasil menyerang balik dan melukai makhluk itu.

Namun, makhluk itu tidak mudah dikalahkan. Pertarungan berlangsung sengit, dan Pandika hampir kehabisan tenaga. Di saat kritis, Si Maung memberikan kekuatan tambahan pada Kilau Bulan, membuat pedang itu mengeluarkan ledakan cahaya yang akhirnya mengusir makhluk penjaga hutan.

---

### **Adegan Penutup Bab 3**

Setelah mengalahkan makhluk penjaga hutan, Pandika duduk di tanah, kelelahan tetapi lega. Si Maung duduk di sampingnya, menjilati cakarnya.

"Kau hebat, Pandika. Tapi ujian terakhir akan lebih sulit," ujar Si Maung.

Pandika mengangguk. "Aku tahu. Tapi dengan bantuanmu, aku merasa lebih percaya diri."

Si Maung tersenyum. "Aku akan selalu bersamamu. Sekarang, mari kita istirahat. Besok, kita hadapi ujian terakhir."

Di kejauhan, bulan bersinar terang, seolah memberkati perjalanan mereka. Pandika tahu bahwa petualangannya belum berakhir, tetapi ia merasa lebih siap daripada sebelumnya.

---
Lanjut ga nih ceritanya 


30/05/23

Kisah fiksi Kerajaan Mythopia

Chapter 1: Kelahiran Sang Anak

Di dalam istana kerajaan Mythopia, suasana tegang mengisi udara saat Elara, ratu Mythopia, merasakan sakit yang hebat. Raja Itharius, suaminya, panik melihat keadaan Elara yang merintih kesakitan.

"Dokter! Dokter segera!" seru Raja Itharius dengan suara penuh kekhawatiran.

Dokter kerajaan segera datang dan memberikan perawatan terbaik kepada Elara. Setelah beberapa saat yang terasa berabad-abad bagi Raja Itharius, akhirnya terdengar tangisan bayi yang menyambut kedatangan dunia.

Tangisan itu membuat Raja Itharius merasa haru sekaligus takut. Dia tahu bahwa kelahiran anaknya telah memicu bencana besar. Tanah di sekitar istana Mythopia berguncang, dan gunung-gunung menjijikkan mengepulkan asap hitam. Namun, terlepas dari semua kekacauan tersebut, Itharius melihat ke dalam mata malaikat yang menatapnya dalam bentuk anaknya yang baru lahir.

"Isidore," bisik Raja Itharius dengan lembut. "Namamu adalah Isidore."

Namun, para biksu kerajaan yang hadir juga melihat tanda-tanda ketakutan dalam mata sang bayi. Mereka meyakini bahwa Isidore adalah anak yang dijuluki "Pembawa Bencana" oleh para dewa. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menghindari malapetaka yang lebih besar adalah dengan membawa Isidore menjauh dari kerajaan.

Chapter 2: Penyelamatan Rahasia

Malam itu, ketika kerajaan tengah terlelap, Raja Itharius bersama seorang pengawal setia memutuskan untuk menyelamatkan Isidore dari rencana biksu kerajaan. Mereka menempatkan bayi itu di kereta kuda kecil yang sudah mereka persiapkan di luar istana.

"Kau akan aman, Isidore," ucap Raja Itharius sambil mengecup kening sang bayi. "Kami akan menjaga rahasia ini dan melindungimu dari dunia luar."

Dengan berat hati, Raja Itharius mengucapkan selamat tinggal pada istrinya yang sedang pulih dari kelahiran. Ia menaikkan kuda dan melaju menjauh dari kerajaan Mythopia, meninggalkan segala kenangan dan tugasnya sebagai seorang raja demi melindungi anaknya.

Perjalanan mereka melintasi hutan-hutan lebat dan sungai-sungai yang ganas. Raja Itharius berusaha untuk tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan, tetapi tak dapat ia sembunyikan betapa berat perasaannya. Bagaimana nasib Mythopia tanpa kehadiran sang raja? Bagaimana Isidore akan tumbuh tanpa mengetahui kerajaan tempat kelahirannya?

Chapter 3: Pencarian Identitas

Setelah berbulan-bulan berkelana, Raja Itharius dan Isidore tiba di sebuah desa terpencil di Pulau Kalimantan. Desa ini terletak jauh dari keramaian dan sangat jauh dari pengaruh kerajaan Mythopia. Mereka diterima dengan ramah oleh penduduk desa yang baik hati.

Raja Itharius mengganti namanya menjadi Tandika, dan ia menyembunyikan identitasnya sebagai seorang raja Mythopia. Dia tidak ingin ada yang mengetahui tentang Isidore dan potensi bahaya yang dihadapinya. Mereka hidup dalam kebahagiaan sederhana, dan Tandika mengajarkan Isidore tentang kebaikan dan kebenaran.

Namun, di hati Tandika, kerinduan akan Mythopia tak pernah pudar. Ia merasa bahwa Isidore perlu mengetahui asal-usulnya, dan bagaimana kehidupan di kerajaan pecahan tersebut. Maka, Tandika memutuskan untuk kembali ke Mythopia dengan Isidore untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi selama ini.

Chapter 4: Keberanian Anak Pemimpin

Ketika Tandika dan Isidore kembali ke Mythopia, mereka disambut dengan penuh sukacita oleh para penduduk yang selama ini merindukan kehadiran raja mereka. Namun, keberadaan Isidore tetap menjadi rahasia yang hanya diketahui oleh sedikit orang.

Isidore, yang tumbuh menjadi seorang pemuda pemberani, merasa ada yang tidak beres di kerajaan ini. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya dan ia bertekad untuk mengungkap kebenaran. Dengan bantuan beberapa sahabat setia, mereka memulai petualangan yang berbahaya dan menarik di dalam kerajaan Mythopia.

Perjalanan mereka membawa mereka ke dalam gua-gua tersembunyi yang dijaga ketat oleh para biksu kerajaan. Di dalam gua tersebut, mereka menemukan naskah kuno yang menceritakan tentang ramalan yang menghantui kerajaan Mythopia selama ini.

Chapter 5: Mengungkap Misteri

Bersamaan dengan penemuan naskah tersebut, mereka menemukan fakta bahwa kelahiran Isidore sebenarnya adalah tanda berkat yang diberikan oleh dewa-dewa, bukan kutukan. Isidore adalah penerus sejati dari Mythopia, yang akan membawa kejayaan dan kedamaian bagi kerajaan.

Dengan keberanian dan pengetahuan baru mereka, Isidore dan sahabat-sahabatnya memutuskan untuk menghadapi para biksu dan menghadirkan kebenaran kepada kerajaan Mythopia. Mereka memimpin revolusi melawan tirani para biksu dan membebaskan kerajaan dari penjara ketakutan dan keterbatasan.

Akhirnya, Mythopia kembali terhubung dengan dunia luar. Kerajaan ini menerima pengaruh luar dengan bijaksana dan berkembang menjadi kerajaan yang makmur di Pulau Kalimantan. Isidore, sang anak pemimpin yang gagah berani, memimpin kerajaan dengan kebijaksanaan dan keadilan, mengubah takdir kerajaan Mythopia menjadi kisah keberanian dan petualangan yang akan dikenang selamanya.

Epilog: Legenda Mythopia

Hingga hari ini, legenda Mythopia tetap hidup di hati orang-orang Kalimantan. Kisah tentang anak pembawa keberanian dan perubahan yang dibawa olehnya menjadi inspirasi bagi generasi-generasi mendatang. Kerajaan Mythopia, yang dulunya terisolasi dan takut, telah menjadi simbol keberanian, persatuan, dan harapan bagi semua orang yang menghadapinya.

Dan di dalam hati Isidore, raja sejati Mythopia, terukir rasa syukur dan kebahagiaan atas petualangan hidupnya yang penuh warna. Dia tahu bahwa takdirnya memang telah ditentukan oleh dewa-dewa, dan dia berjanji untuk menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan keberanian dan keadilan sejati, demi kebaikan dan kemakmuran kerajaan Mythopia.

Chapter 6: Kekuatan Tersembunyi

Isidore merasakan kekuatan yang ganjil mengalir melalui tubuhnya saat ia memegang relic kuno tersebut. Cahaya emas memancar dari keris itu, menyinari seluruh kuil dan mengisi udara dengan keajaiban.

Saat Isidore mengunuskan kerisnya ke udara, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang memenuhi ruangan. Tiga pertapa kuno muncul dari udara, terlihat seperti peri kecil yang duduk bersila di atas udara. Mata mereka terpejam, seolah dalam meditasi yang mendalam.

Para biksu yang datang terkejut melihat pemandangan yang tak terduga ini. Mereka pucat dan gemetar, menyadari bahwa Isidore telah menemukan keris suci yang seharusnya hanya dimiliki oleh Patih Gajahmada dari kerajaan Majapahit.

Dengan tenang, Isidore menatap para biksu dan berkata, "Apa maksudmu dengan menyembunyikan relic ini, para biksu? Apa yang kalian takutkan?"

Para biksu terdiam, terkejut oleh keberanian Isidore. Mereka saling pandang, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan sang anak pemimpin.

Chapter 7: Perjalanan Menuju Kebenaran

Isidore merasa bahwa saatnya untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik relic kuno ini. Dia memimpin perjalanan menuju kuil terlarang yang disembunyikan oleh para biksu.

Dalam perjalanan tersebut, Isidore dan sahabat-sahabatnya melewati lorong-lorong gelap dan labirin yang rumit. Mereka menghadapi rintangan-rintangan fisik dan spiritual yang sulit. Namun, dengan keberanian dan kepercayaan pada diri sendiri, mereka berhasil mencapai ruang utama kuil terlarang.

Di dalam ruangan itu, mereka menemukan sebuah meja altar yang menjulang tinggi. Di atas altar itu terdapat sebuah relief besar yang menggambarkan Patih Gajahmada dan kejayaan kerajaan Majapahit. Tepat di bawah relief itu, sebuah ruang rahasia tersembunyi.

Isidore dengan hati-hati membuka ruang rahasia tersebut dan tercengang melihat apa yang ada di dalamnya. Di sana terletak sebuah peti kecil yang tertutup rapat. Ketika peti itu dibuka, terpancarlah cahaya yang memukau, mengisyaratkan keberadaan sesuatu yang luar biasa di dalamnya.

Chapter 8: Pertemuan dengan Para Pertapa

Isidore memandangi para pertapa yang muncul di depannya dengan rasa penasaran dan sedikit rasa takut. Mereka memiliki aura yang berbeda, memancarkan cahaya yang menembus kegelapan gua. Masing-masing dari mereka memiliki ciri khas yang unik.

Yang pertama adalah Raja Alam Wardhana. Ia memiliki mata yang penuh pengetahuan dan senyum yang penuh misteri. "Aku pernah menjadi raja di Mythopia," katanya dengan suara tenang. "Aku bangkit, meski hanya sebagian dari kekuatanku, karena kau telah menemukan relic kuno ini."

Pertapa kedua, Ksatria Cheon Myeong, mengenakan pakaian perang yang elegan. Dia berdiri tegap, penuh wibawa, dan memandang Isidore dengan mata tajam. "Aku adalah pelindung raja," katanya. "Dulu aku melindungi Mythopia dengan keberanian dan kehormatan."

Sementara pertapa ketiga, seorang biksu bernama Sri Laksana, tampak lebih lembut dan penuh kebijaksanaan. Matanya sedikit menyipit, dan dia tersenyum damai. "Aku adalah biksu yang mengurung kami dalam keris ini," katanya. "Karena raja ingin melindungi pengetahuanku, aku setuju untuk terjebak di dalam sini demi Mythopia."

Isidore merasa semakin bingung. Mengapa raja mengurung para penjaga seperti ini? Dan mengapa dia yang akhirnya melepaskan mereka? Ada sesuatu yang tidak beres dalam sejarah Mythopia, dan dia harus mengetahuinya.

"Kenapa kalian di kurung?" Isidore bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. "Dan mengapa aku yang membebaskan kalian?"

Raja Alam Wardhana tertawa ringan. "Itu karena hanya seorang dengan hati murni yang dapat mengangkat keris itu dan membangkitkan kami. Hanya mereka yang tak terbebani oleh niat jahat."

Sri Laksana kemudian berkata, "Ada banyak rahasia yang tak bisa diungkapkan dengan mudah. Tapi pengetahuan yang kami miliki adalah kunci untuk memahami kebenaran yang sesungguhnya tentang Mythopia."

Dengan jawaban yang ambigu itu, Isidore sadar bahwa perjalanan menuju kebenaran baru saja dimulai. Apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu Mythopia? Apa rahasia yang para biksu sembunyikan? Isidore tahu bahwa dia perlu mengungkap semuanya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan kerajaan ini.