Chapter 15 Kebangkitan Bangsa Barbar di Bawah Kabut Kelud
Di lereng Gunung Kelud yang terkutuk, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, berdiri sebuah desa yang telah jatuh ke dalam cengkeraman kegelapan. Desa itu bernama **Gundhuk Mör**, "Tanah Bernafas Hitam" dalam bahasa kuno. Udara di sana berbau belerang dan abu, dan langit senantiasa kelam, seolah matahari tak berani menatapnya langsung. Di tengah desa, para prajurit barbar—bertubuh kekar, bermata merah seperti bara—berbaris dalam formasi kacau, pedang-pedang bergerigi mereka menghunjam tanah, sementara sorak-sorai mereka menggema bagaikan teriakan makhluk neraka.
**Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasana yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Tubuhnya dibalut zirah hitam berukir rune kematian, dan di tangannya ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang konfor ditempa dalam lahar Gunung Kelud. Matanya—sepasang lubang gelap yang menyala merah—memantulkan kebencian yang tak terpadamkan. **"Pulau Jawa akan jatuh!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. **"Kali ini, keris sakti Mythopia akan menjadi milik kita. Dan dengan itu, Nusantara akan gemetar!"**
Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitam yang berdesis seperti ular. Tangannya memegang tongkat dari tulang naga yang telah punah, dan di ujungnya berputar bola api hitam—**Nyala Udûn**, api yang mencuri nyawa dan mengubah jiwa menjadi abu. **"Mereka yang menolak bergabung,"** bisiknya dengan suara mendesis, **"akan kujadikan tumbal untuk api abadi ini."**
Para jawara desa—pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman—kini dirantai oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, jiwa mereka dikendalikan oleh bisikan Ki Surya Dahana. Mereka dilatih dengan kejam: pedang mereka dicelupkan ke dalam racun *Morgul*, dan mantra-mantra gelap diajarkan untuk menghancurkan pertahanan magis kerajaan-kerajaan.
**Seratus musim yang lalu**, bangsa barbar ini hampir musnah dalam **Pertempuran Lembah Api**, di mana Raja Mythopia kala itu, **Almarhum Aldaron**, mengerahkan ksatria-ksatria cahaya dengan keris suci **Caladthil**, "Bintang yang Menembus Kegelapan". Kekalahan itu membakar dendam turun-temurun. **"Kali ini,"** pekik Sangar Mahadipa kepada pasukannya, **"kita tak akan salah memilih lawan. Mythopia akan kita hancurkan dari dalam!"**
Di balik kabut hitam, para pengintai barbar mengamati gerak-gerik Mythopia. Mereka tahu: keris suci itu kini dipegang oleh Isidore, sang penerus muda yang belum menguasai kekuatannya. **"Kelemahannya adalah ketakutannya,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya memperlihatkan bayangan Isidore yang sedang berlatih di Gunung Pamaton. **"Dan ketakutan adalah pintu menuju kekalahan."**
**"Persiapan kita hampir selesai,"** geram Sangar Mahadipa, meremas tengkorak musuh terakhirnya hingga hancur. **"Bersiaplah, Mythopia. Kegelapan yang kalian kira telah mati... baru saja bangkit."**
Chapter 16 Latihan Pewaris Tahta Mythopia
Di bawah langit yang dipenuhi awan kelabu, Isidore, sang pewaris tahta Mythopia, berdiri di tengah padang luas yang diterpa angin kencang. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang di udara dengan selendang keperakannya yang berkibar-kibar. **"Lari, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gemuruh badai. **"Rasakan kekuatan angin, dan jangan biarkan ia menyeretmu!"**
Isidore melesat, kakinya menapak tanah dengan susah payah. Angin berhembus kencang, mencoba menjatuhkannya, tetapi ia terus berlari, berjuang melawan kekuatan alam yang tak kenal ampun. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Bayu Anggana, matanya menyala biru. **"Ini adalah ujian untuk jiwamu. Jika kau bisa melawan angin, kau bisa melawan apa pun."**
---
**Di lereng Gunung Pamaton**, **Pangreksa**, sang Penguasa Es, telah menciptakan sebuah danau beku yang memancarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Permukaannya berkilau seperti kaca, dan di tengahnya, Isidore berdiri, tubuhnya menggigil. **"Masuklah,"** perintah Pangreksa, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Danau ini akan menguji ketahananmu. Jika kau bisa bertahan di sini, kau bisa bertahan di mana pun."**
Isidore melangkah ke dalam air yang membeku, napasnya membentuk kabut putih. Dinginnya menusuk seperti ribuan jarum, tetapi ia bertahan, memusatkan pikirannya pada keris suci yang ia genggam erat. **"Ingat, Isidore,"** bisik Pangreksa, **"dingin hanyalah ilusi. Yang sebenarnya kau lawan adalah ketakutanmu sendiri."**
---
**Di hutan purba**, **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, telah membangkitkan akar-akar pohon raksasa yang bergerak seperti ular naga. **"Hindari mereka, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Jika kau tertangkap, kau akan tertarik ke dalam tanah, dan tak ada yang bisa menyelamatkanmu!"**
Isidore melompat dan berputar, menghindari akar-akar yang mencengkeram. Tubuhnya berkeringat, napasnya tersengal-sengal, tetapi ia terus bergerak. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Rakajati, matanya yang seperti lubang gelap memancarkan cahaya kehijauan. **"Ini adalah ujian untuk kecerdasanmu. Jika kau bisa membaca gerakan alam, kau bisa membaca gerakan musuh."**
---
**Di puncak bukit yang sunyi**, **Raja Alam Wardhana** duduk bersila, cahaya kebiruannya memancar seperti rembulan. **"Meditasi, Isidore,"** katanya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Temukan kekuatan inti dalam dirimu. Itulah sumber kekuatan sejati."**
Isidore menutup matanya, mencoba memusatkan pikirannya. Namun, bayangan kegelapan terus mengganggu—mimpi buruk tentang bangsa barbar, tentang kehancuran Mythopia. **"Jangan melawan ketakutanmu,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Terimalah, dan kau akan menemukan kekuatan untuk mengatasinya."**
---
**Di padang rumput yang luas**, **Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, mengajari Isidore bela diri tingkat tinggi. Pedangnya berkilauan seperti kilat, dan gerakannya seperti tarian angin. **"Pertahananmu harus sekuat seranganmu,"** katanya, menangkis serangan Isidore dengan mudah. **"Dan seranganmu harus secepat pikiranmu."**
Isidore mengangguk, tubuhnya lelah tetapi tekadnya tak pernah padam. **"Aku akan belajar, Guru,"** katanya, suaranya penuh hormat. **"Aku akan menjadi kuat, untuk Mythopia."**
---
**Di tengah latihan yang melelahkan itu**, Bayu Anggana tiba-tiba menghentikan angin. Matanya yang biru pucat menyipit, seolah mendengar sesuatu. **"Ada mata-mata,"** bisiknya, suaranya seperti desiran dedaunan. **"Suku barbar mengintai kita."**
Dengan gerakan cepat, Bayu Anggana mengangkat tangannya. Angin berubah menjadi pisau tajam yang melesat ke arah semak-semak. Terdengar jeritan, dan kemudian—keheningan. **"Mereka tak akan mengganggu kita lagi,"** katanya, wajahnya tegas. **"Tapi ini hanya awal, Isidore. Mereka akan kembali, dan kau harus siap."**
*"Kau telah melangkah jauh, Isidore,"** kata Bayu Anggana, memandangnya dengan bangga. **"Tapi perjalananmu baru saja dimulai. Mythopia membutuhkanmu—bukan hanya sebagai pewaris, tetapi sebagai pelindung."**
Isidore mengangguk, matanya berkilau dengan tekad yang baru. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**
---
Chapter 17 Pencapaian dan Persiapan Menuju Gunung Lawu
Setelah satu bulan penuh pelatihan keras di bawah bimbingan para ksatria legendaris Mythopia, tubuh Isidore telah berubah. Luka dan lebam menghiasi kulitnya seperti medali perang, sementara otot-ototnya yang kini kekar menegaskan kekuatan yang telah ia peroleh. Setiap langkahnya penuh keyakinan, setiap gerakannya penuh presisi. Namun, di balik fisik yang kuat, jiwanya juga telah ditempa menjadi baja—siap menghadapi tantangan yang lebih besar.
Di penghujung pelatihan, para ksatria memberikan hadiah sebagai tanda pengakuan atas usahanya.
**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, mengulurkan tangannya yang berakar ke arah Isidore. Di telapaknya, terbaring sebuah buah durian ajaib—kulitnya berwarna merah tua seperti darah naga, dan aromanya memancarkan keharuman yang menenangkan jiwa. **"Ini adalah *Durian Mór*, buah yang hanya tumbuh sekali dalam seratus musim,"** kata Rakajati, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Makanlah, dan kau akan merasakan kekuatan bumi menyatu dengan darahmu. Luka-lukamu akan sembuh, dan stamina tubuhmu akan menjadi perkasa."**
Isidore menggigit buah itu, dan seketika rasa manis-segar mengalir di lidahnya, diikuti oleh panas yang merambat ke seluruh tubuh. Luka-lukanya mengering, lebam-lebamnya menghilang, dan tenaganya pulih sepenuhnya. **"Terima kasih, Rakajati,"** katanya, matanya berkilau penuh syukur.
**Pangreksa**, sang Penguasa Es, melangkah maju. Di tangannya, tergantung sebuah kalung kristal es yang berkilauan seperti bintang jatuh. **"Ini adalah *Kalung Nenya*, penjaga fokus dan ketenangan,"** katanya, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Kenakanlah, dan kau tak akan pernah kehilangan arah, bahkan di tengah badai sekalipun."**
Isidore mengenakan kalung itu, dan seketika, pikirannya menjadi jernih seperti air danau di pagi hari. **"Aku bisa merasakan kekuatannya,"** bisiknya, memegang kristal itu dengan penuh hormat.
**Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, menghidangkan makanan yang telah ia siapkan dengan penuh cinta: daging sapi bakar yang empuk, dibumbui rempah-rempah kuno, dan nasi singkong yang harumnya memenuhi udara. **"Makanlah, Isidore,"** katanya, suaranya seperti desiran angin musim semi. **"Makanan ini akan memberimu mimpi indah, dan esok hari, kau akan bangun dengan semangat baru."**
Isidore menyantap hidangan itu dengan lahap, dan ketika malam tiba, ia tertidur dengan nyenyak—tanpa mimpi buruk, tanpa bayangan kegelapan.
---
**Keesokan harinya**, Isidore bangun dengan tubuh yang segar dan jiwa yang siap. **"Kau telah mencapai level tertinggi dalam pelatihanmu,"** kata Raja Alam Wardhana, cahaya kebiruannya memancar seperti fajar pertama. **"Tapi perjalanan kita belum selesai. Kini, kita harus menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**
**Gunung Lawu**, gunung berapi yang legendaris, dikenal sebagai tempat di mana api abadi menyala. Di sanalah Bhra Anuraga, ksatria yang tubuhnya menyala seperti bara, menjaga rahasia kekuatan api Mythopia. **"Dia adalah ksatria terkuat di antara kita,"** kata Pangreksa, suaranya penuh hormat. **"Dan dia tak akan mudah menerimamu, Isidore. Kau harus membuktikan dirimu."**
Dengan keris suci di pinggang, kalung es di leher, dan tekad yang membara, Isidore mengangguk. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**
---
**"Mari kita berangkat,"** kata Bayu Anggana, angin berhembus membawa kabar bahwa perjalanan mereka telah dipersiapkan oleh alam sendiri. **"Gunung Lawu menunggu, dan Bhra Anuraga tak akan membiarkan kita menunggu terlalu lama."**
Dengan langkah pasti, Isidore dan para ksatria melangkah menuju Gunung Lawu, siap menghadapi api abadi dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
Chapter 18 Kemarahan di Gunung Kelud
Di puncak Gunung Kelud, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasananya yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Wajahnya yang kasar dan penuh bekas luka berkerut dalam kemarahan yang membara. Di tangannya, ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang ditempa dalam lahar gunung. Tiba-tiba, dengan gerakan kasar, ia membanting gada itu ke tanah.
**"Mereka telah membunuh mata-mataku!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. Tanah di bawahnya retak, mengeluarkan asap hitam yang berbau belerang. **"Dan kini, Isidore—anak itu—telah menjadi ksatria aura? Tidak! Aku tak akan membiarkan Mythopia bangkit kembali!"**
Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitamnya yang berdesis seperti ular. Di tangannya, bola api hitam **Nyala Udûn** berputar-putar, memancarkan cahaya kehijauan yang menyeramkan. **"Tenang, Sangar,"** bisiknya, suaranya seperti desisan angin malam. **"Aku masih bisa melihatnya. Isidore sedang menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**
Matanya yang merah menyala memandang ke dalam bola api, dan di dalamnya terlihat bayangan Isidore—tubuhnya kini kekar, langkahnya penuh keyakinan, dan keris suci di pinggangnya memancarkan cahaya keemasan. **"Dia telah menjadi kuat,"** lanjut Ki Surya Dahana, **"tapi kekuatannya belum sebanding dengan jawara-jawara kita."**
Sangar Mahadipa menggeram, matanya menyala seperti bara. **"Kirim mereka! Kirim semua jawara desa yang telah kau kendalikan dengan ilmu hitammu! Aku ingin tahu seberapa kuat mereka—dan seberapa lemah Isidore!"**
Ki Surya Dahana mengangguk, dan dengan gerakan tangannya, bola api hitam itu melesat ke langit, membawa pesan kepada para jawara desa yang telah menjadi kaki tangannya. Mereka adalah pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman, tetapi kini jiwa mereka telah dikendalikan oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, tubuh mereka kebal terhadap senjata biasa, dan kematian tak lagi memiliki arti bagi mereka.
**"Mereka akan menghadang Isidore di Gunung Lawu,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat. **"Dan ketika keris suci itu jatuh ke tangan kita, Mythopia akan hancur, dan Nusantara akan menjadi milik kita."**
Sangar Mahadipa tertawa, suaranya seperti gemuruh gunung yang siap meletus. **"Keris sakti Mythopia akan menjadi milikku! Dan dengan itu, tak ada yang bisa menghentikan kita!"**
---
**"Mythopia akan jatuh,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya berputar semakin cepat. **"Dan kegelapan akan menyelimuti Nusantara selamanya."**
Di kejauhan, di lereng Gunung Lawu, Isidore dan para ksatria Mythopia terus melangkah, tak menyadari bahwa bahaya telah mengintai di balik kabut hitam.