Chapter 24 Bala bantuan suku pinrang
Di balik kabut kelam yang menyelimuti lereng Gunung Kelud, di mana bayang-bayang kegelapan bersemayam di celah-celah batu, Sangar Mahadipa sang Terkutuk berdiri di puncak menara runtuhnya, matanya yang seperti bara menyala-nyala memandang ke arah cakrawala. Ia menolak untuk percaya—para jawara yang telah ditempa dalam kawah ilmu hitam, dibalut kekuatan gelap yang tak terperi, ternyata tumbang oleh tangan Isidore, sang pemuda yang dianggapnya tak lebih dari anak angin. Namun, dendamnya takkan padam. Di bawah sinar bulan yang pucat, ia tahu waktu semakin sempit: Bulan Purnama akan segera tiba, saat di mana Suku Pinrang, penguasa binatang suci dari dataran selatan, akan bangkit dari tidur panjang mereka. Mereka, yang dendamnya membara terhadap Kerajaan Mythopia sejak zaman nenek moyang, hanya akan tunduk pada pemegang Keris Suci Caladthil—senjata yang kini berada di genggaman Isidore.
Ki Surya Dahana, sang Peramal Mata Gelap, berdiri di sampingnya, jari-jarinya yang keriput menyentuh permukaan Bola Kristal Azali, cermin jiwa yang memantulkan nasib. Di dalamnya, ia menyaksikan Isidore melangkah di jalan yang semakin terang, dikelilingi para ksatria sepuh yang kini berubah wujud—tubuh mereka kembali muda, kekuatan mereka bersinar bagai bintang fana. "Lihatlah, Penguasa," bisik Ki Surya Dahana, suaranya seperti desis ular berbisa. "Anak manusia itu telah menyentuh inti Mana Mythopia. Para ksatria yang pernah redup kini bangkit sebagai pilar cahaya. Jika Keris Suci tidak kita rebut sebelum Bulan Purnama, Suku Pinrang akan berpaling... dan rencana kita musnah."
Sangar Mahadipa menggeram, tangannya mencengkeram batu altar hingga retak. "Maka kita harus mengikat mereka dengan ikatan yang lebih kuno," ujarnya, suaranya menggelegar seperti guntur di langit kelam. "Kirim pesan kepada Suku Pinrang. Katakan bahwa Caladthil akan menjadi milik mereka—jika mereka bersekutu dengan kita untuk meruntuhkan Mythopia."
Dengan gerakan cepat, ia mengukir huruf-huruf kuno di atas daun pisang emas menggunakan darah gagak hitam—cairan gelap yang berkilau seperti malam tak berbintang. Surat itu diikatkan pada leher Gagak Api, makhluk angkasa yang bulunya menyala-nyala bagai bara neraka. "Terbanglah, wahai pembawa pesan maut," kata Sangar Mahadipa, matanya menyala-nyala. "Sampaikan pada Suku Pinrang bahwa dendam mereka akan terpuaskan... dan Mythopia akan jatuh sebagai debu di bawah kaki kita."
Burung itu mengepakkan sayapnya, meninggalkan jejak api yang menghanguskan udara, melesat menuju selatan—tempat Suku Pinrang menanti di balik kabut zaman.
Di atas langit yang kelam, di mana awan-awan hitam bergulung seperti nafas kegelapan, Gagak Api melesat dengan sayap-sayapnya yang berkilauan seperti bara neraka. Di cakarnya yang berasap, ia membawa pesan yang terukir pada daun pisang emas, bertuliskan huruf-huruf kuno yang berkilau dengan darah gagak hitam—tanda dari Sangar Mahadipa, sang Penguasa Kegelapan. Burung itu terbang menuju selatan, melintasi lembah-lembah sunyi dan gunung-gunung purba, hingga tiba di tanah Suku Pinrang, tempat di mana roh binatang suci bersemayam.
Di tengah hutan yang dipenuhi pohon-pohon raksasa, Maharani Kukuwaran, sang Ahli Roh Binatang, berdiri dengan mata yang tajam bagai elang. Ia merasakan getaran di udara, getaran yang membawa pesan dari dunia yang jauh. Matanya menatap ke langit, dan di sana, ia melihat Gagak Api mendekat, sayapnya menyala-nyala seperti obor di malam kelam. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan jala perangkap burung, jalinan serat magis yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, ketika jala itu dilemparkan, api dari burung itu melahapnya dalam sekejap, menyisakan abu yang berterbangan di angin.
Gagak itu mendarat di cabang pohon raksasa, dan seketika, api menjalar dari tubuhnya, membakar daun-daun dan ranting-ranting hingga pohon itu menjadi tiang api yang menjulang. Dari nyala api itu, terpancarlah pesan Sangar Mahadipa, terbaca dalam bahasa kuno yang hanya dimengerti oleh mereka yang terhubung dengan roh alam.
"Segera datang dengan pasukanmu ke Gunung Kelud," demikian bunyi pesan itu, suaranya bergema seperti bisikan dari dunia lain. "Isidore akan datang ke sini. Keris Suci Caladthil harus menjadi milik kita."
Maharani Kukuwaran berseru kegirangan, suaranya seperti nyanyian burung yang menandakan fajar. Ia segera memanggil Darmakala, ayahnya, sang Penguasa Ular, yang tubuhnya dipenuhi tato ular-ular purba yang seolah hidup. "Lihatlah, Ayah!" serunya, menunjuk ke arah pohon yang terbakar. "Pesan dari Sangar Mahadipa telah tiba. Saatnya telah datang untuk membalas dendam kita terhadap Mythopia!"
Darmakala, dengan tatapan dingin bagai es di puncak gunung, mengulurkan tangannya. Dengan gerakan yang penuh kuasa, ia menangkap Gagak Api itu, memegangnya erat meski api membakar kulitnya. Ia menuangkan air suci dari mata air abadi, air yang telah diberkati oleh roh leluhur, ke atas burung itu. Api pun padam, dan burung itu mengeluarkan suara serak, seolah mengucapkan terima kasih.
Darmakala kemudian memanggil Para Panatua, tetua suku yang bijaksana dan penuh rahasia. Mereka berkumpul di bawah pohon raksasa yang telah hangus, wajah-wajah mereka diterangi oleh cahaya bulan purnama yang mulai menampakkan dirinya. "Suku Pinrang telah lama menunggu saat ini," kata Darmakala, suaranya bergema seperti guntur di kejauhan. "Kita akan berangkat ke Gunung Kelud dengan pasukan binatang suci kita. Gajah Perang dan Badak Besi akan menjadi kaki kita, dan roh-roh alam akan menjadi sekutu kita. Keris Suci Caladthil harus menjadi milik kita, dan Mythopia akan jatuh di bawah kekuatan kita."
Para Panatua mengangguk, mata mereka bersinar dengan tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu, ini bukan sekadar pertempuran untuk kekuasaan, tetapi pertempuran untuk mengembalikan kehormatan yang telah direnggut dari mereka berabad-abad lalu.
Dan demikianlah, di bawah sinar bulan purnama yang mulai naik, Suku Pinrang bersiap. Binatang-binatang suci dikumpulkan, roh-roh alam dipanggil, dan pasukan yang tak terkalahkan mulai bergerak menuju Gunung Kelud—tempat di mana nasib Mythopia akan ditentukan.
chapter 25 Persiapan Menuju Gunung KeludDi dalam gua api Gunung Lawu, di mana dinding batu berkilauan seperti permata hitam yang dipoles oleh nyala abadi, **Isidore** dan para ksatria Mythopia telah menyelesaikan ritual persiapan mereka. **Raja Alam Wardhana**, dengan aura kebiruannya yang memancar seperti cahaya rembulan, mendekati Isidore. **"Berhati-hatilah, Isidore,"** katanya, suaranya penuh kebijaksanaan. **"Sangar Mahadipa adalah musuh yang licik dan kejam. Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam tipu dayanya."**
Isidore mengangguk, matanya penuh tekad. **"Aku akan waspada, Tuanku."**
**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, melangkah maju. Tangannya yang berakar menempel pada dinding gua, dan seketika, sebuah pohon durian raksasa muncul dari batu. Kulit batangnya merekah, membuka jalan rahasia yang gelap dan penuh misteri. **"Ini adalah kekuatanku yang sebenarnya,"** kata Rakajati, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak. **"Akar-akar pohon ini saling terhubung ke seluruh penjuru Nusantara. Masuklah, dan kita akan sampai di Gunung Kelud dalam sekejap."**
Tanpa ragu, Isidore dan para ksatria melangkah ke dalam pohon itu. Akar-akar purba melilit mereka, membawa mereka melesat melalui bumi seperti anak panah yang ditembakkan dari busur Valar. Saat mereka keluar, malam telah menyelimuti Gunung Kelud. Udara terasa berat, dipenuhi oleh bau belerang dan kegelapan yang mengancam.
Isidore mengangkat keris suci **Caladthil**, dan aura putih bersinar memancar dari tubuhnya, menerangi kegelapan. **"Aku bisa merasakan kekuatan besar di sini,"** bisiknya, matanya menyipit. **"Terutama dari hutan di Utara."**
**Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang ke udara. **"Angin kencang dari Utara membawa aura kegelapan,"** katanya, suaranya seperti desiran daun kering. **"Suku Pinrang datang dengan pasukan binatang—gajah, badak, babi, dan harimau. Mereka bersenjata pedang, tombak, dan panah."**
**Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, mengerutkan kening. **"Suku barbar sudah mengetahui kedatangan kita,"** gumannya, api di tubuhnya menyala lebih terang. **"Ini akan menjadi pertarungan yang sebenarnya."**
**Pangreksa**, sang Penguasa Es, mengangkat pedang esnya. **"Di usia mudaku ini, aku siap menghadapi apa pun,"** katanya, zirah esnya berkilauan di bawah sinar bulan.
Sementara itu, di markas suku barbar, persiapan telah selesai. **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, berdiri di atas singgasananya yang terbuat dari tengkorak musuh. Di tangannya, ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang ditempa dalam lahar Gunung Kelud. **"Isidore akan masuk ke sarang harimau,"** katanya, tertawa dengan yakin. **"Dia takkan selamat dari jebakan kita."**
Di sebuah pemakaman kuno, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, sedang melakukan ritual kegelapan. **"Bangkitlah, ksatria Mythopia yang telah lama mati!"** pekiknya, bola api hitam di tangannya berputar-putar. **"Meski hanya separuh kekuatanmu yang bisa kukembalikan, itu cukup untuk menghancurkan musuh kita!"**
Dari kuburan-kuburan yang retak, bangkitlah ksatria-ksatria Mythopia yang telah lama mati. Mata mereka kosong, tubuh mereka dipenuhi oleh aura kegelapan. **"Ini adalah kartu as kita,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat.
**"Kita telah sampai di sarang harimau,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Tapi ingat, Isidore, kita adalah ksatria Mythopia. Kegelapan takkan pernah mengalahkan cahaya."**
Isidore mengangguk, keris sucinya berkilauan di tangannya. **"Untuk Mythopia,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Dan untuk semua yang kucintai."**
Dan di puncak Gunung Kelud, api abadi menyala lebih terang dari sebelumnya, menandakan dimulainya babak baru dalam sejarah Mythopia.
Chapter 26 Kebangkitan Ksatria Wayang
Di pemakaman kuno yang dikelilingi kabut hitam, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri di tengah lingkaran rune kematian. Tangannya yang kurus dan pucat menari di udara, menggambar segel rahasia dengan darah manusia hidup—korban yang dikorbankan untuk ritual kegelapan ini. **"Bangkitlah, wahai ksatria Mythopia yang telah lama tidur!"** pekiknya, suaranya seperti desisan ular berbisa. **"Kalian akan menjadi senjata terkuatku!"**
Dari kuburan-kuburan yang retak, tiga ksatria bangkit. Tubuh mereka dipenuhi oleh aura kegelapan, mata mereka kosong, dan jiwa mereka terkunci dalam segel hitam yang digambar Ki Surya Dahana.
1. **Ksatria Arka**, sang Cahaya Penghancur, bangkit dengan pedangnya yang berkilauan seperti bulan purnama. Namun, cahaya itu kini tertutup oleh kegelapan, menjadikannya bayangan dari dirinya yang dulu.
2. **Ksatria Jayanegara**, sang Ikatan Jagat, muncul dengan rantai besi yang melilit tubuhnya. Rantai itu kini berwarna hitam pekat, seolah menyerap kekuatan alam sekitarnya.
3. **Ksatria Senipati**, sang Penguasa Bayangan Waktu, bangkit dengan bayangan yang melingkupi tubuhnya. Waktu seolah melambat di sekitarnya, membuatnya terlihat seperti hantu yang bergerak dalam gerak lambat.
**"Mereka adalah wayangku sekarang,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat. **"Separuh kekuatan mereka telah kukembalikan, dan itu cukup untuk menghancurkan Isidore."**
Dengan gerakan tangannya, Ki Surya Dahana mengirim burung gagak hitam—makhluk pengintai yang matanya memancarkan cahaya merah. **"Pandulah mereka,"** perintahnya. **"Temukan Isidore dan hancurkan dia!"**
Para ksatria wayang itu berubah menjadi bayangan hitam, mengikuti burung gagak yang melesat ke arah hutan di mana Isidore dan para ksatria Mythopia sedang bersiap.
**Di hutan Gunung Kelud**, **Isidore** duduk bersila, keris suci **Caladthil** di pangkuannya. Matanya terpejam, fokus pada alam batinnya. Tiba-tiba, ia merasakan getaran jahat yang mendekat—sebuah kekuatan besar yang penuh dengan kegelapan.
**Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, segera mendekati Isidore. **"Bentuk perisai, Isidore!"** perintahnya, suaranya tegas. **"Kekuatan gelap sedang mendekat!"**
Sementara itu, **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, telah menghancurkan jebakan-jebakan yang dipasang oleh suku barbar. Akar-akarnya yang hidup melesat dari tanah, memutus tali beracun dan menghancurkan tombak-tombak yang tersembunyi. **"Pohon-pohon memberitahuku di mana jebakan itu berada,"** katanya, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak. **"Mereka adalah sekutu kita."**
**Di langit**, burung gagak hitam melesat seperti anak panah kegelapan, diikuti oleh tiga bayangan hitam yang bergerak cepat. **Ksatria Arka**, **Ksatria Jayanegara**, dan **Ksatria Senipati** telah tiba.
**"Isidore!"** teriak Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang. **"Bersiaplah! Mereka datang!"**
Isidore membuka matanya, keris sucinya berkilauan. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai.
---
**"Kita adalah ksatria Mythopia,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Kegelapan takkan pernah mengalahkan cahaya."**
Dan di hutan Gunung Kelud, pertempuran besar pun dimulai.
Chapter 27 Pertempuran Melawan Ksatria Wayang
Di tengah hutan Gunung Kelud, di mana kabut hitam menyelimuti pepohonan seperti selubung maut, tiga bayangan gelap muncul dari kegelapan. **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, tercengang melihat mereka. **"Arka... Jayanegara... Senipati..."** gumannya, suaranya penuh kepedihan. **"Kalian adalah kawan perjuanganku yang telah lama wafat. Kenapa kalian ada di sini?"**
**Pangreksa**, sang Penguasa Es, bahkan menitikkan air mata yang seketika membeku menjadi kristal kecil. **"Tempat kalian bukan di sini,"** katanya, suaranya bergetar. **"Kalian seharusnya beristirahat dengan tenang di alam kubur."**
**Ksatria Arka**, sang Cahaya Penghancur, mengangkat pedangnya yang kini tertutup kegelapan. **"Kami senang melihat kalian semua baik-baik saja,"** katanya, suaranya seperti gema dari dunia lain. **"Tapi maafkan kami... tubuh ini bergerak sendiri."**
**Ki Surya Dahana**, yang berdiri di kejauhan, terkejut mendengar Ksatria Arka masih bisa berbicara. **"Tidak mungkin!"** geramnya, tangannya segera menggambar segel tambahan di udara. **"Diamlah, wayangku!"**
Namun, sebelum segel itu sempat menyentuh Ksatria Arka, **Pangreksa** telah bertindak. Tangannya mengangkat, dan bunga-bunga es bermekaran di udara, membekukan tubuh para ksatria wayang. **"Semoga kalian kembali beristirahat dengan tenang,"** bisiknya, suaranya penuh duka.
Tiba-tiba, **Ksatria Jayanegara**, sang Ikatan Jagat, menggerakkan tangannya. Rantai besi hitam melesat dari tubuhnya, mengikat Pangreksa dan menghancurkan es yang membekukan mereka. **"Kita tak punya pilihan,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang. **"Mereka bukan lagi kawan kita. Mereka adalah arwah yang telah dirasuki kegelapan."**
Dengan gerakan cepat, Bhra Anuraga mengangkat tangannya. Hujan api turun dari langit, membakar tubuh para ksatria wayang. Namun, **Ksatria Arka** mengangkat pedangnya, menyerap api itu dan mengembuskannya kembali ke arah Bhra Anuraga.
**Isidore** melesat maju, keris suci **Caladthil** di tangannya memotong api itu dengan kilatan cahaya keemasan. **"Aku akan melawanmu, Arka!"** teriaknya, pedangnya beradu dengan pedang Ksatria Arka.
**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, mengerahkan akar-akar purba dari tanah, mencoba menarik para ksatria wayang ke dalam bumi. Namun, tubuh mereka berubah menjadi bayangan hitam, menghindari cengkeraman akar itu.
**Ksatria Senipati**, sang Penguasa Bayangan Waktu, tiba-tiba berhenti. Matanya yang kosong seolah mendapatkan secercah kesadaran. **"Maafkan kami,"** bisiknya, suaranya seperti angin yang berhembus pelan. **"Kami tak ingin menyusahkan kalian... setelah hidup kembali.
**"Kita harus mengakhiri ini,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Mereka bukan lagi kawan kita. Mereka adalah korban kegelapan."**
Isidore mengangguk, keris sucinya berkilauan. **"Untuk Mythopia,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Dan untuk semua yang kucintai."**
Dan di hutan Gunung Kelud, pertempuran besar pun dimulai.
Chapter 28 Kemenangan dan Istirahat di Tengah Kabut
Di tengah hutan Gunung Kelud, di mana kabut hitam menyelimuti pepohonan seperti selubung maut, pertempuran sengit antara para ksatria Mythopia dan ksatria wayang yang telah dikendalikan kegelapan mencapai puncaknya. **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, mengerahkan hujan api dari langit, sementara **Pangreksa**, sang Penguasa Es, melepaskan serangan es yang membeku. **Isidore**, dengan keris suci **Caladthil** di tangannya, menebas dengan cepat dan penuh keyakinan. Namun, serangan mereka seolah sia-sia. Para ksatria wayang menghindar dengan mudah, tubuh mereka berubah menjadi bayangan hitam yang tak tersentuh.
**Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, mendekati Isidore dengan langkah tegas. **"Fokuslah pada pedangmu, Isidore,"** katanya, suaranya seperti gemuruh guntur di kejauhan. **"Pedang itu bisa memotong apa pun, asalkan kau benar-benar menginginkannya."**
Isidore menutup matanya, mencoba memusatkan pikirannya. **Raja Alam Wardhana**, yang melayang di udara dengan aura kebiruannya, masuk ke dalam alam pikiran Isidore. **"Segala sesuatu bisa dipotong, Isidore,"** bisiknya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Asalkan kau percaya pada kekuatanmu sendiri."**
Ketika Isidore membuka matanya, aura pedangnya membesar, memancarkan cahaya keemasan yang menerangi kegelapan. Para ksatria wayang tersenyum puas, mata mereka yang kosong seolah mendapatkan secercah kedamaian. **"Kami kini bisa kembali ke asal kami,"** kata Ksatria Arka, suaranya seperti gema dari dunia lain. **"Terima kasih telah membantu kami."**
Dengan satu tebasan yang penuh keyakinan, Isidore memotong bayangan para ksatria wayang. Tubuh mereka terbelah dua, dan seketika, bayangan itu berubah menjadi jenazah prajurit suku barbar yang telah dikorbankan untuk ritual kegelapan.
**Pangreksa** mengangkat tangannya, dan bunga-bunga es bermekaran di udara. **"Semoga kalian beristirahat dengan tenang,"** bisiknya, sambil mengubur jenazah mereka dengan penuh hormat.
Isidore merasa kelelahan, tubuhnya gemetar setelah memusatkan kekuatan pada pedangnya. **"Kita perlu beristirahat,"** katanya, suaranya lemah namun penuh tekad.
---
**Di dalam hutan yang dipenuhi kabut malam**, para ksatria Mythopia menemukan tempat yang aman untuk beristirahat. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, mengangkat tangannya, dan angin berputar-putar membentuk perisai yang melindungi mereka dari bahaya. **"Kita aman di sini,"** katanya, suaranya seperti desiran daun kering.
**Bhra Anuraga** menyiapkan hidangan: daging rusa muda yang dibakar dengan api sedang, mengeluarkan aroma yang menggugah selera. **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, memberikan buah nanas segar yang dipetik dari pohon ajaibnya. **"Makanlah,"** kata Rakajati, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak. **"Ini akan memulihkan tenagamu."**
**Raja Alam Wardhana** duduk di samping Isidore, matanya memancarkan kebijaksanaan yang dalam. **"Ki Surya Dahana dulunya adalah kepala biksu di Mythopia,"** katanya, suaranya penuh duka. **"Tapi dia tercemar oleh kerakusan akan pengetahuan yang sesat. Dia tidak pernah menguasai pengetahuan Mythopia yang sebenarnya."**
Isidore mengangguk, sambil menyantap hidangan itu. **"Kita harus menghentikannya,"** katanya, suaranya penuh tekad. **"Tapi untuk sekarang, mari kita menenangkan diri dan beristirahat.
**"Kita telah memenangkan pertempuran ini,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Tapi perang belum berakhir. Kita harus bersiap untuk menghadapi Ki Surya Dahana dan Sangar Mahadipa."**
Isidore mengangguk, keris sucinya berkilauan. **"Untuk Mythopia,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Dan untuk semua yang kucintai."**
Dan di hutan Gunung Kelud, di bawah kabut malam yang pekat, para ksatria Mythopia beristirahat, siap menghadapi tantangan yang lebih besar.
Selama dua malam penuh, **Darmakála**, sang Penguasa Suku Pinrang, mengendarai gajah raksasanya yang bernama **Móruvar**, melintasi hutan gelap yang bernyawa. Di belakangnya, pasukan Pinrang bergerak dengan susah payah. Akar-akar pohon purba melilit kaki gajah-gajah mereka seperti ular naga yang lapar, sementara badak-badak baja mereka terpaksa menanduk pohon-pohon raksasa yang menjulang, membuka jalan di tengah labirin kayu yang bergerak sendiri. **"Hutan ini hidup!"** geram Darmakála, suaranya menggelegar seperti gemuruh bumi. **"Ia bernafas, ia memangsa!"**
Dengan kekuatan yang dititipkan leluhurnya, Darmakála mengangkat tongkat komandonya. **Móruvar**, sang gajah perang, menginjak-injak akar-akar itu hingga tanah bergetar sejauh berpuluh liga. Gunung-gunung kecil longsor, dan pohon-pohon berusia ribuan tahun rubuh oleh hantaman gading **Móruvar** yang berkilau seperti bulan sabit. **"Majulah!"** pekik Darmakála. **"Gunung Kelud sudah di depan mata!"**
Di barisan depan, **Maharani Kûkuwaran**, sang Kesatria Harimau, mengendarai **Raudhax**, harimau putih bermata api. Pedangnya, **Nimrost**, berkilauan di kegelapan, memancarkan cahaya keemasan yang mengusir bayangan. **"Dengarkan auman Raudhax!"** serunya. Suara harimau itu menggema, memanggil binatang-binatang hutan—serigala, beruang, dan burung hantu—untuk bergabung dalam barisan. **"Satu langkah lagi! Kita akan mengepung Gunung Kelud!"**
---
**Di sisi lain hutan**, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Kegelapan, berjalan di tengah kabut pekat yang menyelimuti Gunung Kelud. Akar-akar hidup mencengkeram kakinya, tetapi pedang terkutuknya, **Gurthang**, menghujam ke bumi, memotong akar-akar itu dengan gemuruh yang menggetarkan tulang. **"Di mana kau, Isidore?!"** raungnya, suaranya seperti teriakan Balrog yang keluar dari jurang Khazad-dûm. **"Muncul dan hadapilah aku!"**
Pekikannya bergema melintasi lembah dan ngarai, mencapai telinga Isidore yang sedang duduk di bawah pohon **Telperion**—pohon cahaya yang tumbuh dari benih peninggalan Mythopia. Tubuh Isidore telah pulih berkat buah **Yavannalë** pemberian Rakajati dan daging rusa yang dibumbui rempah kuno. Cahaya keris suci **Caladthil** di pinggangnya kini berkilau lebih terang dari sebelumnya, seolah menyimpan kekuatan fajar pertama.
**"Dia memanggilmu,"** bisik **Raja Alam Wardhana**, yang muncul dari bayangan pohon. **"Tapi kau siap, Isidore. Kabut ini adalah sekutumu. Alam sendiri yang akan membimbingmu."**
Isidore bangkit, matanya memancarkan keteguhan yang tak tergoyahkan. **"Aku siap,"** katanya, suaranya tenang namun penuh kuasa. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**
**"Kau mendengarnya?"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala seperti bintang jatuh. **"Sangar Mahadipa sedang memanggil takdirnya sendiri. Dan takdir itu adalah kekalahan."**
Isidore mengangguk, keris **Caladthil** berkilauan di tangannya. **"Biarkan dia memanggil. Aku akan menjawab."**
Dan di bawah kabut Gunung Kelud yang tak pernah reda, pertempuran terbesar di era Mythopia pun dimulai.
Chapter 30 Pertempuran Terakhir Sangar Mahadipa
Angin berhembus pelan, membawa hawa dingin yang menusuk tulang, ketika **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melepas perisai yang melindungi tempat peristirahatan mereka. Udara tiba-tiba berubah: salju turun dari langit kelabu, namun di antara butir-butir putih itu, api-abadi **Bhra Anuraga** berjatuhan seperti bintang yang marah. **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Kegelapan, berdiri di tengah medan perang, matanya melotot menyaksikan fenomena alam yang tak wajar ini.
**"Kalian pikir ini akan menghentikanku?"** raungnya, suaranya seperti gemuruh gunung berapi yang hendak meletus. **"Tubuhku dibalut jimat-jimat leluhur, dan senjataku ditempa dalam lahar Neraka Udûn! Tak ada yang bisa mengalahkanku!"**
Dengan gerakan brutal, ia memutar **Gurthang**, senjata legendarisnya yang berkilau hitam pekat, lalu menghunjamkannya ke tanah. Bumi bergetar, retakan panjang menganga seperti mulut jurang, memecah tanah hingga ke akar-akar purba. **"Serbu mereka!"** pekiknya pada pasukan pemuda desa yang telah dikendalikan paksaan. Para pemuda itu—wajah mereka kosong, jiwa mereka terbelenggu—berlari ke depan, senjata beracun di tangan, tetapi kabut tebal dan akar-akar hidup menjerat mereka.
**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, menggerakkan jarinya halus. Akar-akar pohon melilit kaki para pemuda, menarik mereka ke dalam tanah. **"Tidurlah,"** bisiknya, suaranya seperti gemuruh bumi. **"Kalian bukan musuh kami."**
**Pangreksa**, sang Penguasa Es, melesat maju. Pedang esnya, **Nenheled**, berkilauan seperti kristal Valinor. Setiap tebasan menciptakan bunga-bunga es yang mekar di udara, memancarkan asap racun mematikan. Sangar Mahadipa tertawa, menutup hidung dengan jimatnya, lalu membekukan tubuh Pangreksa dengan pukulan **Gurthang**. Tapi es itu segera retak, dan Bhra Anuraga turun dari langit, menghujani sang tiran dengan hujan api.
**"Api takkan membunuhku!"** teriak Sangar Mahadipa, tubuhnya lenyap menjadi bayangan hitam yang merayap cepat ke arah Isidore. **"Kau hanyalah anak kecil yang—"**
Kalimatnya terpotong. **Isidore**, dengan keris suci **Caladthil** yang memancarkan cahaya fajar pertama, melesat seperti kilat. Tebasannya memotong bayangan itu menjadi dua, mengubah asap hitam menjadi darah kental yang mengalir di tanah. Tubuh Sangar Mahadipa terbelah, tapi lukanya mulai menyatu—regenerasi terkutuk dari ilmunya yang sesat.
**"Tidak lagi!"** seru Pangreksa. Bunga-bunga es bermekaran, membekukan setiap bagian tubuh sang tiran. **Rakajati** menggerakkan tangannya, dan akar-akar purba melesat dari bumi, mencabik tubuh itu menjadi berkeping-keping, menjauhkannya agar tak bisa bersatu kembali.
Isidore memungut **Gurthang** yang terjatuh. Di tangannya, senjata terkutuk itu bergetar, lalu menyusut menjadi pisau kecil berkilauan—**Anglachel**, pisau pusaka Mythopia yang hilang ribuan tahun silam. **"Ini adalah peninggalan leluhur kita,"** bisik Raja Alam Wardhana, muncul dari kabut. **"Kekuatan kegelapan takkan lagi mengotorinya.
---
**"Ini akhir bagimu, Sangar Mahadipa,"** kata Isidore, memandang kepingan tubuh beku yang tercabik akar. **"Tapi bukan akhir bagi Mythopia."**
Di kejauhan, Ki Surya Dahana, sang Peramal Ilmu Hitam, menggeram melihat ritualnya gagal. Bola api hitam di tangannya pecah, dan kabut di Gunung Kelud mulai menipis.
**"Perang belum berakhir,"** bisik Bhra Anuraga, api di tubuhnya meredup. **"Tapi hari ini, kita telah membawa harapan."**
Dan di bawah langit kelabu yang mulai cerah, para ksatria Mythopia berdiri bersama—cahaya mereka bersinar bagai bintang di malam yang panjang.