01/08/25

Season 7 kerajaan mythopia

---

Chapter 44 Di Tepi Bengawan Solo

Di lembah timur yang rimbun, tatkala matahari menggantung tinggi di langit, sinarnya yang menyengat tersembunyi di balik rindangnya dahan-dahan pohon tua yang tumbuh menjulang di tepi Bengawan Solo. Di antara bebatuan yang dilicinkan oleh aliran zaman, mengalirlah sungai jernih bak kaca, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan dedaunan yang menari ditiup angin lembut musim panas.

Di sanalah, di tempat yang tersembunyi dari mata manusia biasa, tiga putri dari istana Majapahit sedang mandi dan bermain air. Mereka adalah bunga terakhir dari zaman keemasan:
Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, putri bungsu dari Prabu Kertawardhana yang agung;
Lembayung Ardhani, pemilik suara selembut sutra dan pandangan secerah senja;
dan Pujeng Rarasati, gadis periang dengan tawa yang mampu menyembuhkan luka hati.

Mereka tertawa ringan, saling memercikkan air seperti masa masih kanak-kanak, jauh dari beban mahkota dan sumpah darah kerajaan. Namun tak jauh dari sana, di balik semak dan pohon, berdirilah para pengawal bersenjata. Di antara mereka, berdiri tegak Rakai Jaya Langgana, seorang ksatria muda berselimut diam dan rahasia. Cintanya kepada sang Putri bagaikan api yang tersimpan dalam perisai — hangat namun tak pernah menyala terang.

Tiba-tiba, di sela desiran angin dan riak air, suara Dyah Sekar mengalun lembut, namun membawa nada gelisah:

> “Pernahkah kalian dengar,” katanya sambil membasuh rambut hitam legamnya,
“bahwa para begundal kegelapan dari Sinabung telah kembali menodai perbatasan timur? Kekaisaran kita, yang lelah oleh bayangan lama, kini telah mengeluarkan sayembara. Siapa pun yang sanggup membawa mereka ke keadilan akan diberi gelar dan tanah di seberang lautan.”



Lembayung menoleh, tatapannya penuh rasa ingin tahu.

> “Katanya ada seorang pendekar yang sudah menjawab tantangan itu,” ujarnya, “Namanya Pandika. Seorang diri ia berangkat, berasal dari Kerajaan Cakram, negeri kecil yang tak banyak dikenal.”



Pujeng Rarasati menambahkan sambil tertawa kecil,

> “Mereka bilang Pandika membawa pesan dari para tetua. Ia mencari raja muda yang hilang dari Mythopia. Seorang pemuda bernama Isidore.”



Putri Sekar mengangkat wajahnya, mata hitam legamnya menatap ke langit seakan mencoba membaca takdir.

> “Isidore…” bisiknya, “Konon ia memiliki wajah tampan dan kulit sawo matang seperti tanah tempat nenek moyang kita berpijak. Namun apa yang bisa kulihat dari raut wajah jika hatinya belum kukenal?”



Tak ada yang menjawab. Hanya desir angin dan gumaman air yang menjawab pertanyaan sang Putri, dan di kejauhan, Rakai Jaya Langgana mengepalkan tangan di balik semak — sebab ia tahu, takdir sedang bergerak, dan kisah besar tengah menanti untuk ditulis dalam kitab para leluhur.


---

Chapter 45 Keajaiban di Bengawan Solo

Nun jauh di jantung tanah timur, kala bayang-bayang siang mulai memendek dan daun-daun berdesir dalam bisikan angin dari pegunungan Lawu, mengalir sebuah sungai tua yang dikenal dalam tembang dan dongeng para tetua — Bengawan Solo.

Ia bukan sungai biasa. Ia adalah arteri dari bumi tua, mengalir sejak zaman para raja belum menjejak tanah, sejak para dewa menanam bintang di langit dan memberi nama bagi segala pohon dan batu. Bengawan Solo mengalir tenang, memeluk batu-batu tua yang dilicinkan oleh ribuan musim, dan menyanyi dengan suara air yang tak pernah bosan memuja waktu.

Pada sebuah tikungan tersembunyi, di mana pepohonan berakar dari zaman purba dan bunga liar tumbuh tanpa takut, di sanalah airnya paling jernih — sebening kaca cermin para peramal, memantulkan langit yang luas dan daun-daun yang bergoyang seperti tirai surga.

Di tempat inilah, kala dunia diam dan hanya burung-burung hutan yang bersuara, para putri dari istana Majapahit kerap datang untuk mandi. Dan ketika kaki mereka yang halus menyentuh airnya, seolah sungai itu sendiri berdebar dalam diam — air menghangat dengan kelembutan, dan bebatuan bersinar seperti baru dilahirkan kembali dari perut bumi.

Sang putri utama, Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, turun pertama kali, diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Air menyambut mereka seperti saudara lama, merangkul tubuh-tubuh muda mereka dengan gemetar lembut, dan seolah menghafal setiap langkah, tawa, dan hela nafas mereka.

Lalu terjadilah keajaiban kecil yang tidak tertulis dalam kitab para pendeta namun disampaikan turun-temurun oleh para leluhur penjaga tanah: setiap kali para putri selesai mandi, air Bengawan Solo berubah harum. Tidak tajam seperti minyak wangi, tapi lembut dan sukar dijelaskan — seperti wangi bunga tanjung yang mekar malam hari, seperti kenangan masa kecil yang hangat dan jauh.

Harum itu bertahan hingga malam. Bahkan para nelayan yang berlabuh di hulu bertanya-tanya siapa yang telah berjalan di atas air dan meninggalkan jejak surga. Dan para tetua desa berkata, "Itu bukan jejak manusia biasa — itu jejak para putri darah raja, yang mandi bukan hanya dengan tubuh, melainkan dengan cahaya dalam jiwa."


---
Chapter 46 Pertanda di Sungai Bengawan

Di balik pepohonan yang menaungi aliran suci Bengawan Solo, dalam bayang-bayang hening di mana cahaya siang menari melalui dedaunan, berdirilah Paman Hanggara — tua, tegap, dan bermata tajam seperti elang yang telah menyaksikan banyak zaman berlalu.

Ia memandang ke arah seorang pemuda yang duduk menyendiri di sisi timur sungai, tangannya menggenggam gagang keris tanpa suara, matanya tertuju ke permukaan air yang berkilau diterpa cahaya. Dialah Rakai Jaya Langgana, pengawal utama sang putri.

> “Nak Jaya...” kata Paman Hanggara perlahan, suaranya dalam dan bergetar oleh rasa sayang yang dibungkus kekhawatiran, “engkau telah memasuki usia di mana lelaki harus berpikir tentang garis keturunan. Jangan kau habiskan hidupmu dalam bayang-bayang yang tak bisa kau capai.”



Rakai menunduk, napasnya berat.

> “Ampun, Paman,” katanya lirih, “jika hati ini telah keliru. Aku memang menyimpan rasa pada sang Putri... namun kupastikan rasa itu takkan pernah keluar dari tempatnya. Cukup bagiku berdiri di sisinya sebagai perisai, bukan sebagai pasangan.”



Hanggara menatapnya lama, lalu menghela napas dan memalingkan wajah, seakan memahami, namun tak bisa menyetujui sepenuhnya.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan di barat, muncullah Wirya Nagapati, prajurit bayangan yang langkahnya lebih sunyi dari desir angin. Jubahnya hitam, dan matanya bersinar bagai bara api dalam kegelapan.

> “Waktumu habis, Putri-putri Istana,” bisiknya dengan suara serak namun jelas. “Hutan telah bicara... Jejak mistis tercium di utara. Ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang tak menyukai kehadiran darah kerajaan di tempat ini.”



Hanggara tak membuang waktu. Ia membawa jari ke bibir dan meniup sebuah siulan panjang — tidak keras, tapi merdu dan dalam. Suara itu menggema pelan seperti nada dari seruling zaman tua, menjalar ke sela-sela daun dan menyentuh telinga mereka yang tahu artinya.

Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, yang tengah membasuh rambutnya dengan air jeruk purut dan bunga tanjung, menoleh pelan.

> “Siulan Paman terdengar lebih cepat dari biasanya,” ucapnya dengan dahi berkerut, “seolah pagi ini ingin berakhir sebelum waktunya. Mungkinkah ada gangguan yang mengintai dari kejauhan?”



Ia berdiri, anggun dan tenang, namun tatapannya tajam — seperti seorang ratu yang tahu kapan harus memerintah dan kapan harus berlari dari bahaya.

Di atas cabang pohon tinggi, tersembunyi di balik dedaunan lebat, Sasi Anglingrat — pengawal rahasia istana — tengah berjaga. Matanya yang tajam menangkap bayangan gelap yang merayap seperti asap dari arah utara. Kabut hitam itu tidak berasal dari bumi, dan tidak pula milik langit.

Ia menghela napas, lalu melompat turun dengan gesit seperti bayangan seekor kijang malam. Tanpa berkata-kata, ia berlari ke arah pasukan dan rekan-rekannya. Pertanda buruk telah datang. Dan waktu takkan memberi mereka banyak kesempatan.


---

Kost Premium Income 62 juta/bulan - Siap Panen Cuan



---

๐Ÿก KOST PREMIUM INCOME 62 JUTA/BULAN – SIAP PANEN CUAN! ๐Ÿ’ธ

๐Ÿ”ฅ Dijual Cepat – Lokasi Super Strategis di BINTARO SEKTOR 3A
๐Ÿ“ Jl. Mutiara Raya, Pondok Ranji, Tangerang Selatan

✨ Cocok untuk INVESTOR yang ingin passive income instan!


---

๐Ÿ’Ž FASILITAS SUPER LENGKAP
๐Ÿ› 31+1 kamar | ๐Ÿ› 31+1 kamar mandi
๐Ÿ  Luas Bangunan: 450 m² | Luas Tanah: 210 m²
๐Ÿงพ SHM – Sertifikat Hak Milik
๐Ÿ” Smart Door Lock + CCTV 24 jam
๐ŸŒฌ AC + Water Heater + Smart TV Tiap Kamar
๐Ÿฝ Dapur Bersama + Dispenser + Microwave
๐Ÿช‘ Meja, Lemari, Kasur, Bantal & Guling
๐Ÿ’ก Token listrik mandiri per kamar


---

๐Ÿš€ LOKASI EMAS
✅ 2 menit ke STAN (11.000 mahasiswa aktif)
✅ 6 menit ke RS Mitra Keluarga
✅ 9 menit ke Stasiun Pondok Ranji
✅ 11 menit ke Bintaro Jaya XChange Mall
✅ 12 menit ke Tol Pondok Ranji


---

๐Ÿ’ฐ POTENSI CUAN: 62 JUTA/BLN
๐Ÿฆ Unit selalu penuh! Dikelilingi ribuan mahasiswa, dokter, dan pekerja!


---

๐Ÿ“ž Harga Spesial: Rp 8,5 M – Masih Bisa Nego!
⏳ Jangan sampai telat… properti seperti ini jarang muncul!

๐ŸŸข Langsung survei, lihat unit, bawa pulang cuan!

Cp: M. Irvan 081317943160
---



01/07/25

season 3 Jatmika dan portal waktu

---

Bulan baru telah tiba, dan PT. Sinar Ultraviolet memasuki fase yang belum pernah mereka alami sebelumnya: stabilitas. Bukan sekadar keberhasilan dalam satu malam, tapi sebuah sistem yang mulai berjalan dengan sendirinya—seolah gravitasi teknologi yang mereka temukan menarik semua hal ke dalam orbitnya.

Divisi produksi tidak mengenal jeda. Mesin-mesin pencetak prototipe artefak lampu beroperasi nyaris tanpa henti, memproduksi dengan presisi dan ketelitian. Setiap lampu replika yang selesai dirakit bukan sekadar suvenir teknologi, tapi simbol harapan—bahwa cahaya bisa membuka jalan ke tempat lain, mungkin bahkan ke masa lalu.

Sementara itu, tim pemasaran dibanjiri permintaan. Laman pemesanan daring mencatat angka yang terus naik. Tak ada ruang kosong di kalender kunjungan. Beberapa bahkan harus menunggu dua bulan ke depan.

Departemen SDM bekerja dalam keheningan yang sibuk, memilah dan menilai ratusan pelamar. Mereka merancang pelatihan intensif bagi 100 karyawan baru, bukan sekadar mengenalkan prosedur kerja, tapi juga menyuntikkan etika baru: bahwa mereka bekerja dengan teknologi yang melintasi batas waktu dan ruang.

Di ruang lain, departemen keuangan merilis laporan yang selama ini hanya menjadi target ambisius—untuk pertama kalinya, saldo rekening perusahaan menunjukkan surplus. Sebuah titik balik. Perusahaan kini mampu membiayai operasional, membayar gaji, dan bahkan merencanakan ekspansi jangka panjang.

Divisi operasional, tanpa menunggu terlalu lama, segera menyusun blueprint kantor baru di Jakarta. Sebuah keputusan strategis yang akan membuka akses lebih luas bagi pelanggan dari luar negeri.

Jatmika, yang kini secara resmi menjadi koordinator teleportasi global, menunjuk John sebagai asistennya. Kepercayaan itu tidak hanya karena kedekatan pribadi, tetapi karena John terbukti efisien dan berpikiran sistematis. Bersama-sama mereka merancang modul pelatihan, menyusun jadwal kunjungan, dan mengelola operasional harian dengan ketepatan waktu nyaris militer.

Hari ini adalah ujian besar pertama mereka.

Sepuluh rombongan dari Tiongkok tiba di pelataran gedung menggunakan bus Big Bird. Masing-masing peserta telah membayar untuk akses penuh ke seratus titik teleport—total transaksi lebih dari satu miliar rupiah.

Untungnya, Pak Toni sudah memprediksi kebutuhan ini. Beberapa bulan sebelumnya, ia memesan 500 set baju astronot tambahan, dan karena kebijakan vendor, mereka menerima bonus 600 unit ekstra. Ketepatan waktu dan perhitungan jangka panjangnya menjadi penyelamat hari itu.

Masalah bahasa tidak sempat berkembang menjadi kendala. Jatmika telah memesan perangkat kacamata pintar dengan fitur penerjemah otomatis berbasis AI, serta menyewa dua puluh mahasiswa terbaik dari universitas unggulan sebagai penerjemah pendukung. Transmisi komunikasi berjalan nyaris tanpa friksi, seolah semua telah dirancang sebelumnya oleh tangan yang tak terlihat.

Rombongan tamu terkesima. Bagi mereka, teleportasi bukan sekadar teknologi—melainkan pengalaman spiritual. Sesuatu yang menggabungkan rasa ingin tahu kuno dengan pencapaian manusia modern.

Seorang delegasi bertanya melalui translator, “Apakah ada titik teleportasi di wilayah Tiongkok?”

Jatmika tersenyum, lalu mengangguk.
“Tentu saja ada,” jawabnya. “Dan bukan hanya satu. Kami menemukan tiga titik aktif. Salah satunya bahkan terletak di kawasan pegunungan dekat provinsi Sichuan.”

Wajah-wajah di hadapannya berbinar. Mereka tidak hanya membeli akses—mereka membeli harapan bahwa sejarah bisa disentuh kembali. Bahwa mungkin, mereka juga akan menemukan artefak yang tersimpan diam di tanah mereka sendiri.

Di langit sore, cahaya bulan baru memantul di kaca gedung laboratorium. Sebuah awal baru sedang didefinisikan, tidak hanya oleh cahaya, tapi oleh arah yang kini mereka pilih.


---

---

Jatmika membagi rombongan tur menjadi sepuluh kelompok, masing-masing beranggotakan lima puluh orang. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang pemandu terlatih serta dibekali satu penerjemah khusus. Perjalanan mereka bukanlah sekadar wisata, melainkan ekspedisi lintas ruang dan budaya — sebuah upaya mengenali kembali fragmen teknologi kuno yang tersembunyi di dalam goa-goa teleportasi.

Jatmika memimpin Kelompok Satu. John ditugaskan untuk Kelompok Dua. Sementara itu, Billy, Fahmi, Sherly, Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal masing-masing bertanggung jawab atas kelompok berikutnya — sepuluh pemimpin, sepuluh arah, sepuluh portal waktu yang aktif.

Di laboratorium pusat, Ny. Tien mengatur jalannya aktivasi teleportasi. Ia menghitung kebutuhan energi dalam satuan mega-watt, menyeimbangkan suplai arus ke setiap titik artefak, memastikan tidak ada satu pun kelompok yang terlempar ke lokasi yang salah.

Bola-bola listrik mulai terbentuk di atas lantai logam berukir, mengambang di udara seolah medan gravitasi diputar ulang. Artefak lampu menyala perlahan, dari kuning hangat hingga keemasan menyilaukan. Kemudian, satu demi satu, sambaran energi mengenai lingkaran setiap kelompok—dan mereka pun menghilang dari laboratorium, seperti dijemput oleh hukum fisika yang belum tercatat.

Dengan kalkulasi yang tepat, Ny. Tien menjadwalkan siklus perpindahan setiap tiga puluh menit sekali, menggeser tiap kelompok ke titik teleportasi berikutnya. Ia mengamati monitor dengan intensitas tenang—seolah ia sedang menjaga gerbang antara dimensi.

Kelompok Jatmika tiba di sebuah gua kuno yang dipenuhi ukiran simbolik pada dindingnya. Ia segera mengenali motif yang telah ia pelajari selama bertahun-tahun: garis-garis cahaya, bentuk segitiga simetris, dan lambang heliks ganda. Tempat ini, ia yakini, adalah situs peninggalan Surya Wikrama—salah satu ksatria legendaris dari masa Mythopia yang menguasai unsur cahaya.

Namun ada satu simbol yang selama ini tak mampu ia pecahkan—aksara bergaya piktograf yang tampak seperti kunci, namun tanpa gembok. Sampai seorang peserta dari rombongan—seorang profesor muda dari Provinsi Anhui, Tiongkok—melangkah maju.

Ia mengamati simbol tersebut dalam diam, lalu berbisik dalam bahasa Mandarin klasik,
“Ini adalah aksara Han kuno... artinya segel, atau perintah tertutup.”

“Bagaimana cara membukanya?” tanya Jatmika, hati-hati.

“Sesuai prinsip dualisme, Anda tak bisa membuka segel dengan membacanya,” jawabnya. “Anda harus menulis lawan katanya… bukan pada dinding, tetapi pada elemen yang bersifat hidup: batu pasir magnetik.”

Jatmika menatap batu di sisi kanan gua—batu dengan urat halus berwarna hitam yang bereaksi pada logam. Ia mengangguk.

Peserta itu mengambil sebilah kayu kecil, lalu dengan tenang menggambar satu simbol—sebuah karakter antitesis dari simbol awal—pada permukaan batu tersebut.

Sejenak tak terjadi apa-apa. Lalu lantai gua bergetar. Rangkaian mekanisme kuno aktif, seolah baru dibangunkan dari tidur ribuan tahun. Bongkahan batu bergerak secara teratur, dan perlahan-lahan, sebuah pintu terbuka ke arah luar, mengalirkan cahaya matahari sore dari celahnya.

Jatmika menahan napas, bukan karena keterkejutan, tapi karena kesadaran bahwa mereka baru saja menyentuh sesuatu yang bukan hanya teknologi, tapi warisan pemikiran.

“Tien,” ucapnya pelan melalui mikrofon, “tolong salin karakter ini ke dalam basis data. Simpan dalam semua format. Ini bisa jadi kunci untuk membuka gua lainnya.”

Dan untuk pertama kalinya sejak proyek teleportasi dimulai, Jatmika tidak hanya melihat sistem bekerja, tapi melihat sejarah itu sendiri menjawab kembali.


---
---

Para peserta diizinkan keluar dari gua untuk menyerap udara segar dan menikmati panorama pegunungan yang menjulang sunyi. Di kejauhan, awan melayang perlahan seolah terbuat dari sutra yang dilipat angin, dan suara burung hantu dari balik hutan memberi nuansa purba yang tak tersentuh waktu.

Jatmika memberi instruksi singkat.
“Lima belas menit. Setelah itu, semua kembali ke titik pertemuan.”

Ia lalu melangkah mendekati salah satu peserta yang tampak mencatat simbol-simbol pada dinding gua ke dalam buku kulit tebal. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Prof. Wen Shuyuan, seorang pakar sejarah dari Universitas Xiamen yang telah menghabiskan tiga dekade hidupnya mempelajari arkeologi Asia Timur.

"Struktur mekanik gua ini luar biasa," ucapnya pelan. "Seperti fusi antara pemahaman kuno tentang energi dan prinsip medan elektromagnetik modern."

Jatmika mengangguk, lalu berkata,
"Perusahaan kami berencana membangun kantor cabang di setiap negara. Saya ingin mengusulkan: bagaimana jika Anda menjadi penanggung jawab pengembangan dan riset kami di Tiongkok?"

Prof. Wen tampak berpikir sejenak. Jatmika menambahkan,
"Sebagai kepala cabang, Anda juga akan mendapatkan akses penuh terhadap sistem teleportasi—termasuk jaringan simbol dan mekanisme aktivasi. Dan... jika Anda mengenal seorang investor yang bersedia mendukung pembangunan fisik kantor kami di sana, itu akan sangat membantu."

Wen Shuyuan tersenyum samar. “Saya pernah berulang kali ditawari dana oleh seorang kolektor yang ingin mendanai yayasan saya. Mereka ingin membuktikan bahwa legenda kuno adalah catatan sejarah, bukan mitos.”
Ia menatap langit, lalu melanjutkan, “Apakah satu triliun rupiah cukup sebagai investasi awal?”

Jatmika menatapnya dalam diam, lalu menjawab,
“Dengan jumlah itu, kami bisa membangun kantor, merekrut tim penuh, dan membiayai riset lintas negara. Saya kira, ini awal yang sangat baik.”

Dari mikrofon di telinganya, suara Ny. Tien terdengar lembut namun tegas:
“Waktu tersisa lima menit. Siapkan evakuasi dari gua.”

Jatmika segera berjalan ke arah peserta, menyampaikan pengumuman dengan suara yang jelas. Ia lalu berpaling pada Prof. Wen,
“Sebelum kita kembali… bisakah Anda bantu menutup pintu gua seperti sebelumnya?”

Wen Shuyuan mengangguk, mengambil tongkat tipis dari lantai, lalu menulis lambang kuno di batu pasir magnetik: segel penutup dalam Aksara Han Tua. Tak lama kemudian, mekanisme gua bereaksi. Batu-batu mulai bergerak, saling bertautan membentuk formasi tertutup. Pintu gua menutup rapat, seperti rahasia yang tak ingin ditemukan dua kali.

Ny. Tien segera memulai proses teleportasi lanjutan. Dalam waktu singkat, seluruh peserta berpindah dari satu titik ke titik berikutnya. Beberapa menunjukkan tanda-tanda kelelahan ringan—detak jantung meningkat, reaksi pupil menurun, sinyal saraf menurun stabil.

Sistem otomatis mendeteksi ambang batas toleransi fisik mereka, dan dengan protokol keselamatan kelas satu, seluruh peserta ditarik kembali menuju laboratorium pusat.

Di sana, suara mesin perlahan mereda. Para peserta kembali dalam kondisi utuh, beberapa terduduk lelah namun tersenyum—seolah baru saja melihat kembali dunia seperti yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.


---
---


Sebelum proses teleportasi selesai, Jatmika telah mempersiapkan sebuah jamuan sederhana namun berkesan—prasmanan dengan cita rasa khas Indonesia. Di ruang makan berpanel kaca, uap sate ayam dan tongseng menyatu dengan aroma nasi goreng dan wedang jahe yang mengepul hangat. Kerak telor digoreng langsung di atas tungku kecil, sementara bakso disajikan dalam mangkuk-mangkuk uap seperti di warung tenda malam hari.

Sebuah keheningan kagum sesaat menyelimuti peserta dari Tiongkok ketika mereka diperbolehkan mengambil makanan. Beberapa mencoba menebak bahan dari setiap sajian melalui rasa dan tekstur. Mereka yang selesai makan memilih untuk pindah ke aula besar—bukan karena ruangan sempit, tetapi karena percakapan dan tawa semakin ramai.

Tak lama, kelompok John tiba. Wajahnya tampak tegang, kontras dengan suasana makan siang yang ceria.

“Jatmika,” katanya pelan tapi tegas. “Kami terpaksa kembali lebih cepat.”

Jatmika berhenti sejenak dari melayani tamu, lalu menoleh.
“Ada apa?”

“Seorang peserta... membuka helmnya sendiri di dalam gua,” kata John. “Dia panik. Tidak bisa bernapas. Kami tidak bisa melanjutkan teleportasi.”

Jatmika mengangguk, menginternalisasi informasi itu dengan cepat.
“Kalau dia merasa dirugikan, kita bisa fasilitasi pengembalian dana penuh,” ucapnya, tenang.

“Tidak perlu,” kata John. “Keadaannya sudah stabil. Tapi orang tuanya… mereka memaksa memberi saya sejumlah uang, mungkin sebagai bentuk... suap agar saya tidak bicara.”

“Berapa?” tanya Jatmika.

“Saya tidak tahu pasti. Dalam mata uang Tiongkok. Jumlahnya... tidak kecil.”

Mereka saling diam sejenak. Dalam dunia di mana teknologi bisa melintasi ruang dalam satu denyut listrik, konsekuensi manusia tetap tak terhindarkan—emosi, ketakutan, dan harga diri.

“Catat kejadian ini ke dalam log keamanan,” kata Jatmika. “Bukan untuk menghukum siapa pun, tapi untuk pembelajaran.”

John mengangguk.

Sementara itu, Jatmika berjalan pelan menuju meja bagian operasional, mencari salah satu penerjemah. Ia memanggil staf senior, kemudian menunjuk ke arah Prof. Wen Shuyuan yang sedang berbincang dengan beberapa delegasi.

“Segera siapkan draf kerja sama. Pak Toni sudah menyetujui pembukaan kantor cabang di luar negeri,” katanya. “Tapi tekankan satu hal—pusat kendali teleportasi tetap di Indonesia. Kantor di negara lain hanya akan berfungsi sebagai pos transit.”

Ia menatap para peserta yang masih makan dan tertawa, lalu melanjutkan,
“Kita mungkin telah membuka pintu ke masa depan. Tapi setiap langkah harus tetap diawasi oleh tangan manusia yang memahami risikonya.”

Di sudut ruangan, wedang jahe terus mengepul. Aroma rempah tetap bertahan, bahkan ketika teknologi dan sejarah terus berputar di sekitarnya.


---

---

Pak Toni tiba di laboratorium dengan langkah mantap, membawa serta atmosfer penghargaan dan keseriusan. Ia menghampiri Profesor Wen Shuyuan yang tengah memeriksa salinan kontrak kerja sama. Mereka berjabat tangan dengan hormat, dan dengan bahasa yang sederhana namun tulus, Pak Toni berkata, “Terima kasih, Profesor, atas kepercayaan Anda pada perusahaan kecil kami.”

Wen Shuyuan membalas dengan anggukan bijak. “Kecil bukan berarti tak besar pengaruhnya. Saya percaya pada teknologi yang lahir dari keterbukaan terhadap masa lalu,” ujarnya.

Kontrak pun disepakati sepenuhnya. Klausul-klausul yang diajukan PT. Sinar Ultraviolet diterima tanpa revisi: penyediaan lahan dan fasilitas di Tiongkok, kelengkapan legalitas kantor cabang, peran aktif sebagai penghubung dengan investor, regulator, dan akademisi, serta komitmen penuh pada kerahasiaan dan keamanan teknologi teleportasi. Setiap penemuan baru wajib dilaporkan secara berkala—bukan hanya sebagai bentuk akuntabilitas, tetapi juga sebagai tanggung jawab terhadap sejarah itu sendiri.

Sebagai kepala cabang, Wen Shuyuan akan menerima bagian dari pendapatan teleportasi, bukan sekadar sebagai imbalan kerja, tetapi sebagai bagian dari simbiosis pengetahuan dan kepercayaan.

Sambil tersenyum, Profesor Wen menambahkan satu bentuk keramahan pribadi: “Jika suatu saat Anda, Pak Toni, atau Jatmika ingin mengunjungi Tiongkok, Anda boleh tinggal di mana pun yang saya miliki. Anggap saja itu bentuk kecil dari sambutan saya.”

Sementara percakapan itu berlangsung, Jatmika mengakses terminal kontrol untuk memeriksa status tim yang masih berada di luar laboratorium. Nama Billy muncul dalam daftar yang belum kembali. Ia meminta konfirmasi pada Ny. Tien, yang segera memberi laporan: “Satu peserta dari tim Billy mengalami kelelahan fisik. Saya akan melakukan pemulangan manual sekarang.”

Di dalam ruang teleportasi yang disterilkan, artefak lampu kembali memancarkan cahaya keemasan. Bola-bola listrik bermunculan, seolah menganyam geometri waktu dan ruang. Suara statis meningkat, lalu dengan satu kilatan petir yang tajam namun bersih, seluruh anggota tim Billy muncul di tengah lingkaran energi.

Jatmika segera masuk ke ruang pemulihan, memeriksa satu per satu peserta dengan senter dan sensor biometrik. Tak ada tanda-tanda bahaya. Namun seperti prosedur biasa, ia bertanya, “Apakah ada kejadian yang perlu dicatat selama di gua?”

Seorang pemandu dari tim Billy menjawab, “Ada seorang peserta yang menyentuh batu biru yang menonjol dari dinding. Ia mencoba mencabutnya, mungkin mengira itu artefak. Tapi batu itu licin, dan ia kehilangan pijakan. Terjatuh dari ketinggian dua meter. Pergelangan kakinya terkilir.”

“Apakah sudah ditangani?”

“Sudah. Ia menerima perawatan dasar, dan kini tampak pulih. Ia bahkan bersikeras tidak mau merepotkan tim medis.”

Jatmika mencatat laporan itu. Dalam benaknya, insiden itu bukan sekadar kecelakaan, melainkan sinyal bahwa gua-gua teleportasi mungkin memiliki mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti—mekanisme yang bukan hanya merespons alat, tapi juga niat.

Ia memandang artefak lampu yang kini telah padam, menyadari bahwa setiap kilatan bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga momentum sejarah yang sedang bergerak maju.


---
---

Tim pendamping dari kelompok Fahmi, Sherly, Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal belum juga kembali ke laboratorium. Sebagian besar telah berhasil dipulangkan, namun tujuh kelompok masih tertahan di titik teleportasi mereka masing-masing. Di ruang kendali, Ny. Tien melaporkan progres dan menatap layar monitor dengan ekspresi serius. “Tim Fahmi masih aktif di titik 50,” ucapnya.

Tanpa ragu, Jatmika menjawab, “Kirim saya ke lokasi mereka.”

Dengan seberkas cahaya keemasan dan suara petir yang menggelegar, tubuh Jatmika menghilang dari ruangan.

Ia tiba di koordinat titik 50, sebuah gua yang terletak di kawasan Nevados Ojos del Salado, Chili—gunung berapi tertinggi yang masih aktif di permukaan bumi. Dingin dan hening menyelimuti suasana, namun tak lama suara percakapan ramai terdengar dari lorong bagian dalam gua. Ia melangkah lebih dalam dan menemukan pemandangan yang tak kalah mencengangkan: ukiran di dinding menggambarkan seratus ksatria dalam posisi bersujud kepada Raja Alam Wardana—penguasa pertama kerajaan Mythopia, sebagaimana tercatat dalam teks-teks kuno yang belum seluruhnya diterjemahkan.

Artefak lampu di gua ini pun berbeda. Lebih besar, tersusun dari mineral berstruktur kristalin dan batuan jamrud yang tampak seperti menyimpan energi dalam lapisan geologisnya sendiri. Sebuah teknologi kuno yang seolah berasal dari masa yang belum dikenali sejarah.

Jatmika mendekati kerumunan peserta. Kebanyakan dari mereka bukan hanya pengunjung biasa, melainkan akademisi lintas disiplin: arkeolog, ahli sejarah kuno, dan pakar linguistik dari berbagai negara.

“Fahmi, kenapa belum kembali?” tanyanya dengan nada ramah.

Fahmi mendekat, wajahnya dipenuhi semangat namun juga keraguan. “Mereka sangat antusias. Beberapa mencoba menelusuri ruang-ruang gua lebih dalam, mencari pusat energi teleportasi. Tapi kami belum menemukannya. Gua ini menyimpan banyak teka-teki.”

Jatmika mengangguk. “Saya akan coba membuka pintunya.”

Ia berjongkok dan mulai menggambar segel kuno di lantai batu berpasir magnet, mengikuti metode yang sebelumnya berhasil di titik lain. Garis-garis simetris terbentuk, tapi tidak terjadi apa pun. Tidak ada suara, tidak ada pergerakan mekanis. Hening.

Beberapa peserta yang memperhatikan dari kejauhan mulai tertawa pelan. Salah satu dari mereka, seorang profesor dari Universitas Osaka, mendekat dan menunjuk pada satu bagian.

“Anda lupa satu titik di ujung segel,” katanya sambil tersenyum.

Satu titik. Detail sekecil itu. Jatmika menarik napas pelan, lalu menambahkan titik tersebut.

Hampir seketika, gemuruh lembut terdengar dari kedalaman gua. Batu-batu perlahan bergerak, menciptakan celah dan lorong menuju cahaya. Pintu keluar gua terbuka, dan cahaya dari langit Andes yang dingin menyinari wajah-wajah peserta.

Sorak gembira terdengar dari seluruh penjuru gua. Beberapa dari mereka bahkan memeluk satu sama lain—bukan hanya karena pintu terbuka, tapi karena menyaksikan langsung bahwa sejarah bukan hanya tulisan mati, melainkan perangkat aktif yang masih bisa berfungsi, bahkan bereaksi.

Namun, di tengah kegembiraan itu, ada satu kenyataan yang luput dari perhatian mereka. Gua ini berada di kawasan gunung api aktif. Walau tak menunjukkan gejala erupsi, tetap ada risiko tersembunyi. Beberapa peserta, setelah menyadari hal ini, memilih untuk segera kembali ke dalam gua.

Tanpa perlu aba-aba, tim dengan cepat bersiap untuk kembali.

Setelah satu per satu peserta kembali ke titik teleportasi, Ny. Tien mengaktifkan sistem pemulangan. Dalam pancaran cahaya keemasan yang membelah udara, seluruh tim dan peserta ditarik kembali ke laboratorium pusat.

Di ruang pemulihan, Jatmika kembali memeriksa kondisi peserta. Tak ada yang terluka, tak ada insiden serius, namun dalam pikirannya, ada satu pelajaran yang terus berulang: bahwa bahkan teknologi yang paling mutakhir sekalipun masih tunduk pada detail-detail kecil—titik pada segel, perubahan suhu, atau tempat yang salah di waktu yang nyaris tepat.

Dan dalam titik-titik kecil itulah sejarah, kesalahan, dan kemajuan terus berulang.


---
---

“Fahmi, kau sudah bekerja dengan baik. Sekarang saatnya istirahat dan nikmati jamuan makan bersama rombongan,” ujar Jatmika sambil menepuk bahu asistennya.

Setelah memastikan timnya dalam keadaan baik, ia menoleh ke arah Ny. Tien di ruang kendali.

“Ny. Tien, kirim saya ke titik selanjutnya. Tim Sherly belum kembali.”

“Baik. Koordinat terkunci. Lokasi: Gunung Monte Pissis, Argentina. Titik ke-60.”

Dalam sepersekian detik, cahaya kuning keemasan muncul, membungkus tubuh Jatmika. Dengan semburat listrik statis di udara dan dengung resonan dari ruang hampa, ia menghilang.

Ketika Jatmika tiba, suhu di sekelilingnya lebih rendah dari biasanya. Ia berdiri di bibir sebuah gua yang tampak terbentuk dari perpaduan proses vulkanik dan mekanisme yang tidak sepenuhnya alami. Struktur lorong gua melingkar, seperti terancang oleh logika yang menggabungkan estetika dengan fungsi.

Ia mulai berjalan, mengikuti jejak langkah yang samar di debu gua. Lorong itu seakan-akan memutar dirinya, memisahkan waktu luar dan waktu dalam. Setelah beberapa menit berjalan, ia tiba di sebuah ruangan besar.

Ruangan itu... luar biasa.

Di tengahnya berdiri sebuah meja batu bundar, tidak seperti meja kerajaan dalam sejarah manusia—tetapi lebih menyerupai dewan waktu, tempat keputusan tidak dibuat untuk hari ini, melainkan untuk berabad-abad ke depan. Di tengah meja tertanam sebuah permata berkilau, dengan bias warna yang sulit dijelaskan—bukan hanya merah, tapi merah yang seakan hidup. Di sekelilingnya, berdiri kursi-kursi batu dengan sandaran yang tinggi, masing-masing dihiasi batu ruby seukuran kepalan tangan.

Di atas setiap kursi, terasa seolah ada bayangan tak kasatmata. Sejarah. Atau mungkin... ingatan.

Para peserta dari tim Sherly sedang berkumpul di sekeliling meja, berdiskusi dengan penuh semangat tentang keajaiban kerajaan Mythopia. Bagi mereka, ini bukan sekadar eksplorasi ilmiah, melainkan penemuan yang menyentuh batas antara mitos dan realitas. Kerajaan yang tidak tercatat di buku sejarah manapun, namun hadir begitu nyata di hadapan mereka.

Jatmika mendekati Sherly.

“Bagaimana kalian bisa menemukan ruangan ini?” tanyanya pelan.

Sherly menoleh, matanya masih penuh takjub.

“Seseorang dalam tim berhasil memecahkan pola ukiran di artefak dinding. Gambar itu seperti teka-teki simbolik—begitu disusun dengan benar, dindingnya bergeser, dan pintu ini terbuka.”

Ia lalu berbisik, hampir seperti anak kecil yang sedang curhat.

“Meja itu... kau tahu kan, betapa mahalnya jika dijual?”

Jatmika tersenyum lebar, memainkan candanya dengan nada serius.

“Air liurku saja hampir menetes, melihat batu ruby sebesar itu di sandaran kursi. Tapi setiap batu yang kita ambil bisa jadi satu kunci yang hilang. Mungkin batu itu tidak hanya berharga secara materi.”

Sherly mengangguk. Ia paham.

“Sudah saatnya kita kembali,” ujar Jatmika. “Kita terlalu lama di sini. Tempat ini… bukan hanya gua. Ini warisan. Dan warisan bukan untuk dimiliki, tapi untuk dijaga.”

Sherly memanggil timnya. Dengan enggan, mereka meninggalkan kursi dan meja batu yang seperti menunggu sesi dewan selanjutnya. Jatmika menekan komunikator di pergelangan tangannya.

“Ny. Tien, lokasi aman. Siap untuk pemulangan.”

Beberapa detik kemudian, ruang gua dipenuhi kilatan emas. Suara listrik menyambar ringan, dan para peserta satu per satu menghilang dari tempat itu, kembali ke laboratorium pusat.

Gua kembali sunyi.

Dan Jatmika tahu, di balik kesunyian itu, sejarah masih menunggu untuk ditemukan—bukan untuk dijual, tapi untuk dimengerti.


---

---
Laboratorium pusat perlahan mulai lengang, namun layar holografik di ruang kendali masih menampilkan lima titik yang aktif. Kelompok Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal belum kembali.

"Masih ada lima kelompok lagi, Ny. Tien?" tanya Jatmika sambil mengenakan baju astronot dengan emblem perusahaan di dada.

"Ya. Titik terakhir menunjukkan stabil, tapi tidak bergerak ke arah portal pulang. Kemungkinan mereka terlalu fokus dengan apa pun yang mereka temukan," jawab Ny. Tien.

Jatmika mengangguk pelan. “Kirim saya ke titik Sharon dulu. Kita jemput mereka satu per satu.”

Dengan cahaya keemasan dan ledakan elektromagnetik kecil, tubuh Jatmika lenyap dari ruang kendali.


---

Ia tiba di dalam gua yang terletak di kawasan Altai, Mongolia. Cahaya redup dari artefak lampu memantulkan kilatan merah dari sesuatu yang besar dan berkarat.

Sharon sedang berdiri dengan helm terbuka, berbicara dengan peserta dari Tiongkok yang menunjuk ke arah dinding batu.

“Sharon,” panggil Jatmika.

Sharon menoleh. “Pak Jatmika! Anda harus lihat ini. Mereka menemukan zirah besi tua. Ukurannya sangat tidak biasa, hampir dua meter tingginya.”

Jatmika mendekat. Di sana, dalam pelukan batu dan lumut, tergeletak setelan zirah penuh dengan ornamen berbentuk spiral dan pola-pola geometris. Di sampingnya, pedang besar dengan bilah berwarna abu kehijauan tertancap separuh ke lantai gua.

“Apakah ini senjata manusia?” tanya Jatmika setengah kepada Sharon, setengah kepada dirinya sendiri.

“Saya tidak yakin. Tapi menurut peserta dari tim kami, ukiran pada zirah ini mirip simbol yang pernah ditemukan di Dinasti Xia, tapi dengan struktur logam yang jauh lebih maju,” jawab Sharon.

Seorang peserta dari Beijing mendekat. “Kami menyebut ini ‘besi yang tak mungkin’. Logam seperti ini tak bisa ditempa dengan teknologi saat itu. Tapi benda ini ada, lengkap, dan nyata.”

Jatmika memandangi zirah itu sekali lagi. Di kepalanya muncul pertanyaan: apakah teknologi masa lalu lebih kompleks dari yang selama ini diyakini, atau apakah sejarah telah kehilangan terlalu banyak fragmen untuk didekonstruksi secara linier?

“Waktu kita terbatas. Catat dan dokumentasikan dengan pemindai, kita harus kembali.”

Sharon mengangguk. Jatmika memberi sinyal ke Ny. Tien. Dalam kilatan cahaya, mereka semua menghilang.


---

Titik kedua: Lembah Nubra, Himalaya Barat.

Lisa dan timnya sedang berkumpul di sekitar sebuah batang kayu berukir yang berdiri tegak di tengah ruangan batu. Di ujung tongkat itu tertanam batu merah delima yang berdenyut pelan, seolah menyimpan napas.

“Tongkat ini beresonansi dengan artefak lampu saat kami mendekatkannya. Saya rasa ini adalah alat pengarah... atau semacam kunci,” kata Lisa sambil menunjuk fluktuasi medan magnetik di layar tablet transparannya.

“Apakah ada teks?” tanya Jatmika.

“Satu kalimat. Ditulis dalam bahasa Sanskrit kuno: ‘Yang membawa cahaya, biarlah ia mengarahkan jalan raja.’”

“Batu ini menyimpan energi. Seperti artefak, tapi lebih terfokus. Mungkin dulu digunakan untuk memanipulasi sistem teleportasi.”

Lisa memutar tongkat itu ke arah dinding. Sekilas, artefak lampu menyala lebih terang.

Jatmika menghela napas. “Hebat. Tapi kita harus pulang. Waktunya hampir habis.”


---

Titik ketiga: Guiana Highlands, Amerika Selatan.

Aska duduk bersila di depan sebuah altar batu. Di atas altar, tergeletak pedang dengan bilah tipis, melengkung seperti sabit. Cahaya dari artefak memantulkan kilau ungu dari sisi bilahnya.

“Ini bukan hanya senjata,” kata Aska tanpa menoleh. “Ini... instrumen musik. Kami coba mengetukkan pelan ke batu, dan menghasilkan resonansi seperti suara dawai.”

Peserta lain mengangguk. “Pedang ini tampaknya punya dua fungsi: membelah udara dan membelah suara. Salah satu peserta mencatat notasi musik di dinding yang sepertinya berhubungan.”

Jatmika mengangkat pedang itu pelan. Pedangnya ringan—nyaris tidak berbobot. Ia memikirkan sejarah bukan hanya sebagai kumpulan data, tetapi sebagai simfoni yang tercatat dalam benda-benda.

“Kita harus kembali,” katanya.


---

Titik keempat: Gua bawah tanah di Kepulauan Faroe.

Hafiez dan timnya tengah membuka sebuah lemari batu. Di dalamnya: puluhan senjata. Namun tak satu pun terbuat dari logam yang dikenal. Ada bilah seperti kaca yang tak bisa dipatahkan, dan tombak kayu dengan inti bercahaya dari dalam.

“Senjata... atau simbol kekuasaan?” tanya Jatmika.

“Saya rasa keduanya. Tapi bukan untuk perang. Mereka terlalu halus. Mungkin ini... tanda hierarki,” jawab Hafiez.

“Ambil dokumentasi. Simpan koordinat. Kita harus pulang.”


---

Titik kelima: Terowongan berlapis kristal di bawah Laut Hitam.

Novrizal berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh artefak melayang yang berpendar.

“Mereka aktif ketika kami bernyanyi,” ucap Novrizal pelan. “Salah satu peserta membaca puisi kuno, dan tiba-tiba semua artefak ini bergetar. Mereka... merespons suara manusia.”

Jatmika mendekat. “Apakah ini semacam sistem keamanan atau komunikasi?”

“Entahlah. Tapi saya tahu satu hal: kita baru menyentuh permukaan sejarah ini.”


---

Kembali di laboratorium, seluruh tim telah berkumpul. Artefak-artefak tercatat, data terkumpul. Di layar holografik, jam sistem menunjukkan 00:00. Batas waktu telah habis.

Ny. Tien mematikan sistem teleportasi untuk hari itu.

Jatmika berdiri diam di tengah ruangan, menyerap keheningan yang kini memenuhi laboratorium.

Mereka semua membawa pulang lebih dari sekadar temuan. Mereka membawa pulang pertanyaan—pertanyaan tentang siapa yang menciptakan semua itu, untuk siapa, dan mengapa mereka memilih untuk meninggalkannya.

Teknologi teleportasi telah membuka pintu. Tapi yang ada di baliknya bukan hanya tempat baru. Melainkan sejarah yang hidup, menunggu untuk dibaca kembali.


---
.
---

Evaluasi Setelah Teleportasi: Sebuah Laporan Tak Lengkap

Di tengah aroma sate ayam, wedang jahe yang masih mengepul, dan riuh rendah percakapan dari berbagai bahasa, para pemandu dan peserta duduk melingkar dalam suasana yang tak sepenuhnya santai. Mereka sedang menyantap makan siang, namun di balik sendok dan gelas, ada kesadaran kolektif: sesuatu telah berubah. Bukan hanya tentang apa yang telah ditemukan, melainkan tentang apa yang belum mereka mengerti.

Jatmika berdiri perlahan, menyampaikan pengumuman dengan suara yang tenang tapi cukup untuk menghentikan percakapan.

“Dari total seratus titik teleportasi yang telah diprogram, kita hanya berhasil menjangkau titik ke-64. Sisanya, tiga puluh enam titik, akan dijadwalkan ulang sebulan mendatang. Ini bukan keputusan sepihak, melainkan hasil dari kalkulasi sistem teleportasi yang saat ini mulai menunjukkan gejala kelebihan muatan.”

Ny. Tien menambahkan, sambil memproyeksikan grafik data ke layar lengkung transparan di atas meja makan: deteksi kelelahan neurologis ringan pada mayoritas peserta, fluktuasi sinaptik selama proses teleport, dan pembentukan residu energi tak dikenal di titik-titik teleport tertentu.

"Teleportasi ditunda, bukan dihentikan," ujar Ny. Tien singkat, seolah mengingatkan bahwa bahkan mesin pun butuh istirahat.

Namun, kabar baik pun hadir, menyusup di antara jeda logika dan kelelahan fisik. Perusahaan, yang awalnya hanya digerakkan oleh idealisme sekelompok ilmuwan Indonesia, kini mendapatkan suntikan investasi sebesar 1 triliun rupiah. Dana itu akan digunakan untuk mendirikan kantor cabang di berbagai negara. Tapi lebih dari sekadar ekspansi bisnis, kantor-kantor ini akan menjadi simpul distribusi dari artefak paling misterius yang mereka miliki: lampu teleportasi.

“Dan ternyata,” kata Jatmika sambil menyesap wedang jahe, “lampu itu bukan sekadar perangkat perpindahan spasial.”

Ia memandang ke arah Novrizal, yang mengangguk pelan sebelum menjelaskan.

“Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—baik dari struktur material maupun dari sumber tenaganya. Beberapa peserta dari Tiongkok menduga teknologi ini bukan berasal dari bumi. Dan jika benar, maka ini bukan lagi eksplorasi, tapi perbatasan baru dari pemahaman umat manusia.”

Sementara itu, diskusi berkembang dari ruang logika ke ruang mitologi.

Billy mengungkapkan: “Beberapa peserta mendapati peti mati yang diduga tempat peristirahatan para ksatria Mythopia. Ada tameng suci. Ada keris Raja Isidore. Tapi... apa yang mereka jaga?”

“Dan lebih penting lagi, apa yang mengalahkan mereka,” ujar Sharon, dengan nada yang setengah bercanda, setengah bertanya pada sejarah yang tak tercatat.

“Dalam kisah para peserta dari Tiongkok,” sambung Sherly, “disebut bahwa dahulu ada seratus ksatria Mythopia. Tak terkalahkan. Namun di akhir sejarah, hanya tersisa sepuluh. Yang lain hilang. Lenyan.”
Ia berhenti sejenak. “Mungkinkah mereka dikalahkan oleh kekuatan dari aliansi Majapahit sendiri? Atau oleh entitas yang bahkan tidak mengenal waktu seperti yang kita pahami?”

Di tengah percakapan serius itu, Hafiez menyuarakan keprihatinan yang lebih praktis. “Kalau teleportasi diundur sebulan penuh, bagaimana jika para peserta tidak menerima?”

Jatmika mengangguk, sudah memikirkan hal itu. “Kita siap mengembalikan dana mereka sepenuhnya. Tapi lebih penting dari semua itu: kita harus memastikan barang-barang berharga yang ditemukan tetap aman. Gua-gua itu bukan sekadar museum. Mereka adalah sistem yang hidup. Dan seperti semua sistem yang hidup—ia bisa rusak, atau lebih buruk lagi, ia bisa dilukai.”

Ia menatap semua yang hadir, suaranya lebih rendah kali ini.

“Ada ruangan-ruangan yang belum kita buka. Ada segel yang belum kita baca. Mungkin ada kebenaran yang belum siap diungkap. Tapi kalau kita tidak berhati-hati, bisa jadi bukan hanya penemuan yang hilang. Tapi juga kepercayaan.”

Di luar jendela laboratorium, langit berwarna jingga keemasan. Senja. Waktu transisi. Batas antara terang dan gelap.

Sama seperti teleportasi itu sendiri.


---

















07/06/25

season 6 kerajaan mythopia

Chapter 34 Dalam Bayang-Bayang Gunung Kelud

Di tengah hutan purba Gunung Kelud, di mana pepohonan tua menjulang seperti menara penjaga zaman, mereka berhenti untuk beristirahat. Udara di sini berat dengan hawa magis, seakan bumi masih menyimpan bisikan-bisikan gelap yang tertinggal. Rakajati, sang penjelajah akar, menempelkan telapak tangannya ke tanah, menyatu dengan getaran-getaran yang mengalir di bawah.  

***"Wahai akar-akar yang telah melihat ribuan musim,"*** bisiknya dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh yang tumbuh dari tanah, ***"adakah sisa kegelapan Ki Surya Dahana masih bersembunyi di sini?"***  

Namun, hutan itu diam. Tidak ada bisikan jahat, tidak ada jejak hitam yang merayap di antara lumut. Bahkan markas suku Pinrang—yang sebelumnya berdiri megah seperti benteng duri—kini telah lenyap tanpa bekas, seakan ditelan oleh bumi sendiri. Ki Surya Dahana telah menghilang, melesat jauh ke persembunyian barunya di lereng Gunung Sinabung, di mana kabut abadi menyembunyikan rahasia-rahasia yang tak ingin ditemukan.  

### **Desa di Bawah Naungan Gunung**  

Sementara itu, dalam perjalanannya, Isidore tiba di sebuah desa tersembunyi di kaki Gunung Kelud. Desa itu indah, dipenuhi pohon mangga yang berbuah lebat, rambutan yang manis, dan durian yang harum semerbak memenuhi udara. Warga desa mengenalinya—kisah sang pemuda yang berhasil mengusir suku barbar telah tersebar dari mulut ke mulut, dibumbui dengan keajaiban dan keberanian.  

***"Sang Penakluk Bayangan!"*** seru seorang tua berjanggut putih, tangannya mengacungkan buah ranum sebagai persembahan. ***"Kami telah menunggumu. Makanlah, minumlah, dan beristirahatlah, sebab jasamu takkan kami lupa."***  

Malam itu, desa berpesta. Api unggun menjilat langit, tarian tradisional diiringi tabuhan gendang mengalun, dan cerita-cerita heroik diceritakan kembali dengan penuh semangat. Isidore duduk di tengah mereka, menikmati hidangan lezat dan tawa hangat. Namun, di tengah keramaian, suara Raja Alam Wardana bergema dalam pikirannya—suara itu dalam dan berwibawa, seperti guntur yang bergulung dari balik gunung.  

***"Jangan terlena, Isidore,"*** bisiknya. ***"Tugasmu belum usai. Ksatria Mythopia masih menunggumu di Bukit Kemuning, di mana cahaya dan bayangan bertarung tanpa henti. Persiapkan dirimu, sebab perjalanan yang sesungguhnya baru akan dimulai."***  

Isidore mengangguk pelan. Matanya menatap ke arah timur, di mana Bukit Kemuning berdiri, disinari cahaya keemasan yang tak seperti cahaya matahari biasa. Di sanalah Penguasa Ksatria Cahaya menanti—dan takdir yang lebih besar memanggil.  

---
Chapter 35 "Di Bawah Cahaya Bulan Purnama dan Bisik Batu Purba"

Malam itu, bulan purnama menggantung di langit bagai lentera raksasa dari Valinor, menyinari jalan berliku yang membentang dari Desa Gunung Kelud menuju timur. Pesta telah usai, nyanyian dan tawa warga pun mereda, digantikan oleh desau angin malam yang berbisik di antara daun-daun jati. Dalam kesunyian itu, Isidore dan para ksatrianya menyelinap pergi, jejak mereka dihapus oleh kabut malam yang merayap seperti makhluk hidup, seakan alam sendiri membantu mereka menghilang tanpa bekas.  

Tidak lama kemudian, mereka tiba di **Bukit Kemuning**—sebuah tempat yang terpancar kemuliaan sejak zaman pertama. Bukit ini memancarkan cahaya sendiri, batu-batuannya berkilauan seperti terkandung nyala bintang di dalamnya, memantulkan warna emas dan ungu ketika disentuh sinar matahari. Bukit ini bukan sekadar tanah tinggi, melainkan bagian dari **Bukit Barisan**, rangkaian pegunungan yang konon dibangun oleh para Maiar kuno sebagai benteng melawan kegelapan.  

Rakajati, penjelajah akar yang bijak, menunjuk ke sebuah batu raksasa yang memancarkan cahaya keemasan. **"Lihatlah,"** bisiknya, suaranya bergetar penuh kagum. **"Batu ini telah menyimpan cahaya sejak sebelum manusia pertama berjalan di bumi."**  

Isidore mengangkat keris pusakanya, **"Nyai Sanghyang Api"**, dan seketika bilah keris itu beresonansi dengan bebatuan sekitar. Cahaya ungu membentang dari mata keris, menyatu dengan kilau emas dan pirus dari batu-batu Bukit Kemuning, seakan mereka saling mengenal dalam bahasa yang terlupakan.  

Lalu, tanpa peringatan, bumi di bawah mereka bergerak. Sebuah **gua tersembunyi** terungkap di balik batang pohon purba berusia sepuluh ribu tahun—pohon yang mungkin telah menyaksikan kelahiran gunung-gunung. Mereka melangkah masuk, dan di dalamnya, gua itu berkilauan seperti istana khayalan. **Dindingnya dipenuhi jamrud yang berdenyut, intan yang bernyawa, dan permata yang memancarkan cahaya sendiri.**  

Di tengah ruangan, di atas sebuah batu altar yang disinari cahaya emas dari celah langit-langit gua, terbaring seorang ksatria. **Surya Wikrama**, Ksatria Cahaya yang telah lama tertidur dalam mimpi abadi. Pakaiannya terbuat dari untaian batu mulia yang berkilauan, matanya tertutup, namun dari balik kelopaknya terlihat cahaya keemasan yang berdenyut seperti nyala api suci.  

Raja Wardana, suaranya bergema dari dimensi yang tak terlihat, berseru:  

***"Bangunlah, Surya Wikrama! Cahaya Mythopia memanggilmu! Berdirilah dan berbaktilah sekali lagi!"***  

Keris Isidore bergetar hebat, cahaya ungunya membanjiri gua, menyentuh tubuh sang ksatria. Perlahan, **Surya Wikrama membuka matanya—dua mata yang bersinar seperti dua matahari kecil, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan zaman lampau.**  

Dia bangkit, permata di pakaiannya berkilauan seperti bintang-bintang yang baru lahir. Dengan suara yang dalam dan megah, seperti gema dari masa silam, dia berseru:  

***"Aku telah bermimpi terlalu lama. Tapi kini, aku terjaga."***  

Dia menundukkan kepala, tangan kanannya mengepal di dada dalam hormat ksatria kuno.  

***"Dengan darah cahaya yang mengalir dalam nadiku, aku bersumpah setia kepada Raja Mythopia, Isidore. Perintahkanlah, dan aku akan menjadi pedangmu, perisaimu, dan cahayamu di kegelapan."***  

Udara di gua itu bergetar, seakan alam sendiri mengakui sumpah ini. Batu-batu mulia di dinding gua berpendar lebih terang, seakan merayakan kebangkitan sang Ksatria Cahaya.  

Dan di luar gua, Bukit Kemuning mulai bersinar lebih terang dari sebelumnya, seakan memberitahu dunia bahwa **sebuah kekuatan purba telah bangkit kembali.**  

Chapter 36 Kisah Surya Wikrama, Ksatria Cahaya dari Mythopia

Di bawah sinar bulan perak yang menyentuh puncak-puncak gunung bagai tangan para Valar, berdiri seorang ksatria yang namanya telah terukir dalam nyanyian zaman—**Surya Wikrama Sang Pembawa Fajar**. Tubuhnya tinggi menjulang bak pohon mallorn di tanah Eldamar, kekar bagai benteng batu yang tak tergoyahkan, dan parasnya rupawan laksana pangeran dari garis keturunan Maiar. Matanya, dua biji bintang yang tak pernah padam, memancarkan cahaya suci yang mampu menyembuhkan luka-luka jasmani maupun rohani, sekaligus mengusir makhluk-makhluk kegelapan yang bersembunyi di balik bayang-bayang dunia.  

**Raja Alam Wardana**, yang bersemayam di antara awan dan gunung, mengisahkan keagungan sang ksatria di zaman keemasannya:  

*"Dengarkanlah, wahai Isidore, dan ketahuilah bahwa Surya Wikrama pernah memimpin seratus ribu prajurit cahaya dalam sebuah perang besar melawan Suku Gurnaka—rasa terkutuk yang berjalan dalam kesenyapan, membunuh dengan pisau-pisau mereka yang tak bersuara, dan menjarah desa-desa tak berdosa bagai serigala lapar di malam tanpa bulan."*  

*"Di bawah panji-panji Mythopia yang berkilauan, Surya Wikrama menggerakkan pasukannya dengan kebijaksanaan yang hanya dimiliki oleh para pemimpin sejati. Setiap misi yang diembannya berbuah kemenangan, dengan nyawa prajurit yang gugur dapat dihitung dengan jari satu tangan. Ia bukan hanya seorang panglima, melainkan juga tabib bagi jiwa-jiwa yang terluka, menyembuhkan dengan sentuhan cahaya yang mengalir dari tangannya."*  

*"Ketika pasukannya bergerak, kabut pagi menyelimuti langkah-langkah mereka, dan matahari selalu bersinar di belakang mereka, seakan Anor sendiri memberkati perjalanan mereka. Tidak ada kegelapan yang mampu bertahan di hadapan Surya Wikrama, tidak ada musuh yang sanggup melawan ketika ia mengangkat pedang cahayanya, **Caladthor**, yang berpendar seperti fajar yang abadi."*  

Kini, setelah berabad-abad tertidur dalam gua suci Bukit Kemuning, sang Ksatria Cahaya telah bangkit kembali. Dan dunia, yang perlahan-lahan mulai diliputi bayang-bayang hitam, sekali lagi akan merasakan kehadirannya.  

---
Chapter 37 Perjalanan Melalui Cahaya dan Guntur

Surya Wikrama mengerjapkan matanya yang masih memancarkan sisa-sisa cahaya zaman keemasan, lalu memandang sekeliling dengan tatapan yang dalam. **"Berapa abad telah berlalu sejak perang terakhir?"** suaranya bergema seperti guntur jauh, **"Mengapa kalian semua masih bersemangat seperti embun pagi, sementara aku merasakan beratnya ribuan musim dalam tulang-tulangku?"**  

Pangreksa, sang Penjaga Zaman, melangkah maju dengan jubahnya yang berkilauan seperti es di bawah sinar bulan. **"Waktu bergerak berbeda bagi mereka yang tertidur dalam pelukan magis, Surya Wikrama. Tapi bukan saatnya meratapi usia—marilah kita bercerita sambil berjalan menuju tujuan kita berikutnya: Bukit Halilintar."**  

**"Maksudmu... dekat Gunung Salak?"** Surya Wikrama mengerutkan kening, cahaya di matanya berkedip seperti kilat yang tertahan. **"Tempat di mana Guntur Wisesa, Sang Penakluk Petir, berkuasa?"**  

Rakajati, yang selama ini bersandar pada tongkat akar hidupnya, menghela napas. **"Aku letih, Surya Wikrama. Perjalanan darat terlalu panjang untuk tubuh yang baru saja terbangun dari mimpi abadi. Tidakkah kau masih ingat ilmu perpindahan tempat yang kita pelajari dahulu?"**  

Surya Wikrama tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya. **"Untung kau mengingatkanku, Rakajati. Tapi aku membutuhkan kekuatan dari Keris Suci sang Raja—Isidore, semoga artefak lampu kuno kita masih berfungsi."**  

Dengan gerakan penuh presisi, Surya Wikrama merentangkan jari-jarinya, membentuk segel di udara. Sebuah pola cahaya emas terukir di telapak tangannya, dan seketika, batu-batu di dinding gua bereaksi. Mereka bergetar, lalu bergerak saling mendekat, menyusun diri seperti puzzle raksasa hingga membentuk sebuah **kotak portal** yang berpendar.  

Isidore mengangkat keris pusakanya, **Nyai Sanghyang Api**, dan seberkas sinar keemasan menyembur, menyatu dengan cahaya Surya Wikrama. Energi mereka membesar, melingkupi semua ksatria yang hadir—tiba-tiba, **sebuah bola petir liar muncul dari pusaran magis**, menggeram seperti makhluk hidup yang hendak melahap mereka semua.  

**Raja Alam Wardana** muncul dari dimensinya, auranya yang biru keperakan membentang seperti perisai. **"Berlindung!"** serunya, suaranya menggema melintasi ruang dan waktu. **"Semoga kita selamat dari amukan petir kuno ini!"**  

Dunia di sekitar mereka bergetar, dan dalam sekejap—**ZAP!**—mereka tersedot ke dalam pusaran energi. Batu-batu di Gua Bukit Kemuning berdentum, lalu segalanya menjadi gelap.  

---

**Di Dalam Gua Gunung Salak**  

Udara di sini beraroma logam dan ozon, seperti setelah badai petir yang dahsyat. Dinding-dinding gua dipenuhi batu kristal yang menyala dalam cahaya emas, berdenyut seperti jantung hidup. Perlahan, batu-batu itu mulai bergerak lagi, menyusun diri membentuk **kotak portal** yang sama.  

Kemudian—**ZAP!**—kilat menyambar ruang kosong di tengah gua, dan dari dalam ledakan cahaya itu, Isidore dan para ksatria muncul kembali, sedikit terhuyung namun utuh.  

Surya Wikrama mengamati sekeliling, lalu tersenyum. **"Gunung Salak... rasanya seperti kembali ke rumah."**  

Di kejauhan, gema suara Guntur Wisesa mulai terdengar, dan langit di luar gua mulai menggelap.  

**Petualangan mereka yang sesungguhnya baru saja dimulai.**  

---
Chapter 38 Di Dalam Gua Cahaya Biru dan Kemarahan Halilintar 

Gua yang semula gelap gulita kini berpendar dalam cahaya biru mistis, memancar dari kristal-kristal kuno yang tertanam di dinding bagai bintang-bintang yang terjebak dalam batu. Surya Wikrama mengulurkan tangannya, jari-jarinya melukis segel berkilau di udara—sebuah lingkaran rune yang berputar perlahan sebelum menempel pada batu biru terbesar di hadapan mereka. Dengan gemuruh rendah, pintu batu raksasa itu pun terbuka, mengungkap jalan keluar menuju **Bukit Halilintar**.  

Isidore memandang takjub pada sistem gua yang rumit ini. **"Apakah kau yang membangun ini semua, Surya Wikrama?"** tanyanya, suaranya bergetar kagum.  

Raja Alam Wardana menjawab dengan suara yang bergema seperti gema dari masa silam, **"Tidak, Isidore. Gua ini adalah mahakarya seratus ksatria Mythopia kuno—para arsitek sekaligus penyihir yang menguasai seni bangunan dan magis tingkat tinggi. Mereka menciptakan ini di zaman ketika gunung-gunung masih muda dan sihir mengalir bebas di dalam tanah."**  

Begitu mereka melangkah keluar, **Bukit Halilintar** menyambut mereka dengan kemarahan langit. Awan hitam bergulung-gulung seperti lautan yang murka, dan halilintar menyambar-nyambar tanpa henti, menghujani bumi dengan kilatan cahaya putih-biru. Para ksatria segera membentuk **perisai kasat mata**, sebuah tameng energi yang berkilau seperti gelembung kaca, melindungi mereka dari amukan petir.  

**Bayu Anggana**, sang Pengendara Angin, menunjuk ke arah pusaran angin raksasa yang berputar di kejauhan. **"Lihatlah! Pusaran itu akan segera menjadi badai petir berjalan. Kita harus bergegas sebelum ia mencapai puncak kekuatannya!"**  

**Rakajati** mengerutkan kening, tongkat akarnya menunjuk lurus ke arah pusaran angin itu sendiri. **"Tempat Guntur Wisesa berada tepat di pusatnya."**  

**Bhra Anuraga** mengumpat, **"Sialan! Mengapa orang-orang kuat selalu memilih tempat paling berbahaya sebagai rumah?"**  

Tanpa pilihan lain, mereka berlari menuju pusat badai, dihempas angin yang menderu seperti suara naga yang mengamuk. Berkat kekuatan **Bayu Anggana**, angin yang awalnya mengancam justru mengangkat mereka, membawa mereka melayang seperti daun di tengah pusaran, hingga akhirnya mendarat di depan **sebuah gua megah yang dijaga oleh dua patung singa dari kayu hitam legam—kayu yang lebih keras dari baja, tak termakan zaman.**  

Surya Wikrama kembali melukis segel di udara, dan dengan suara berderit, pintu kayu hitam itu terbuka ke atas, mengungkapkan **ruangan dalam gua yang dipenuhi dengan lemari-lemari senjata berlapis emas, baju besi yang berkilauan dengan permata kuno, dan artefak-artefak yang memancarkan kekuatan tak dikenal.**  

Di tengah ruangan, di atas **batu altar yang dipenuhi ukiran petir**, terbaring **Guntur Wisesa—Sang Penakluk Petir**. Tubuhnya besar dan berotot, kulitnya berkilau seperti tembaga yang tersambar halilintar, dan rambutnya yang keperakan terurai bagai awan badai.  

Surya Wikrama mengulurkan tangannya, mengeluarkan **cahaya emas** yang menyentuh dahi Guntur Wisesa. **"Bangunlah, saudara lama. Mythopia memanggilmu sekali lagi."**  

Lambat laun, **Guntur Wisesa membuka matanya—dua bola biru listrik yang berkilat-kilat.** Ia bangkit, dan suaranya menggelegar seperti guruh, **"Siapa yang mengganggu tidurku?"**  

**Raja Alam Wardana** maju, auranya memancar dengan wibawa. **"Guntur Wisesa, hadapilah Isidore—Raja Baru Mythopia. Maukah kau berbakti kembali, seperti yang pernah kau lakukan di zaman keemasan?"**  

Guntur Wisesa memandang Isidore, dan untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, **wajahnya menunjukkan gestur terpesona.** Tanpa ragu, ia berlutut, tangan kanan mengepal di dada. **"Dengan petir yang mengalir dalam nadiku, aku bersumpah setia padamu, Raja Isidore. Perintahkan, dan halilintar akan menjadi senjatamu."**  

Di luar gua, langit yang tadinya mengamuk tiba-tiba tenang, seakan alam sendiri mengakui **kembalinya sang Penguasa Petir ke dunia fana.**  

---
Chapter 39"Bayang-Bayang di Gunung Sinabung: Persekutuan Kegelapan"

Jauh di sebelah utara, di mana kabut abadi menyelimuti puncak **Gunung Sinabung** seperti selubung para pelaku kejahatan kuno, **Ki Surya Dahana** bersembunyi di balik kegelapan yang hidup. Ia telah lolos dari pelacakan Isidore, jejaknya dihapus oleh angin yang membisikkan dusta, dan bayangannya menyatu dengan malam. Namun, kekuatannya telah tercerai-berai sejak kejatuhan **Sangar Mahadipa**, sekutunya yang perkasa. Kini, ia tahu bahwa ancaman baru telah bangkit—**Isidore, sang Raja Mythopia, telah bersatu dengan Surya Wikrama, Sang Ksatria Cahaya, dan Guntur Wisesa, Penguasa Halilintar.**  

Dengan gigih, Ki Surya Dahana merencanakan balas dendam. Ia membutuhkan sekutu baru—**pasukan yang tidak hanya kuat, tetapi juga haus akan kekacauan.**  

### **1. Suku Gurnaka – Para Pembunuh Senyap**  
Di kedalaman **Hutan Berdarah**, di mana pepohonan tumbuh dengan akar yang menggenggam tengkorak, berdiam **Suku Gurnaka**. Mereka adalah pembunuh yang bergerak tanpa suara, seperti bayangan yang terlepas dari pemiliknya. Pedagang yang melewati wilayah mereka lenyap tanpa jejak, dan penduduk desa sering diculik untuk **dijadikan tumbal bagi Dewa Bulan**, yang mereka sembah dengan pisau-pisau berlapis racun.  

**"Bergabunglah denganku,"** bisik Ki Surya Dahana kepada pemimpin mereka, **Orkaghor si Bercak Darah**, **"dan kau akan memiliki tawanan sebanyak yang kau mau—darah untuk dewa kalian, emas untuk kantong kalian."**  

### **2. Suku Rakayan – Para Pencuri Terpelajar**  
Di reruntuhan **Kota Terkutuk Argondir**, yang pernah menjadi pusat pengetahuan sebelum dihancurkan oleh keserakahan sendiri, **Suku Rakayan** mendiami istana-istana yang setengah runtuh. Mereka adalah kaum terpelajar yang dibuang dari kerajaan-kerajaan besar karena mencuri bukan hanya harta, tetapi juga **naskah-naskah magis terlarang**. Kini, mereka mengoleksi barang-barang mewah dan ilmu hitam yang tak seharusnya dibuka kembali.  

**"Ilmu kalian akan berguna,"** bujuk Ki Surya Dahana kepada **Lorendis si Licik**, pemimpin mereka. **"Bergabunglah, dan aku akan memberikan kalian buku-buku kuno dari perpustakaan Mythopia yang hilang."**  

### **3. Suku Jalarang – Pembunuh Bayaran Tanpa Tanda**  
Di **Lembah Sunyi**, di mana angin berbisik nama-nama orang yang akan mati, **Suku Jalarang** melatih anak-anak mereka menjadi pembunuh sejak lahir. Mereka tidak memiliki rumah, tidak memiliki raja—hanya **kontrak dan bayaran**. Setiap korbannya meninggal tanpa luka yang terlihat, hanya **seulas senyum aneh di bibir mereka, seakan mereka melihat sesuatu yang indah sebelum ajal datang.**  

**"Bayaran kalian akan berlipat ganda,"** janji Ki Surya Dahana kepada **Mhezzrak si Pisau Tak Terlihat**. **"Isidore dan para ksatria Mythopia adalah target yang layak untuk keahlian kalian."**  

### **4. Suku Murkalana – Pemuja Darah dan Kekuatan Terlarang**  
Di **Gua Tergelap di Bawah Sinabung**, **Suku Murkalana** menyembah entitas kuno yang haus darah. Mereka adalah aliran sesat yang percaya bahwa **dengan mengorbankan nyawa, mereka dapat membangkitkan kekuatan purba yang terpendam**. Ritual mereka mengerikan—**tulang-tulang berserakan di lantai gua, dan dindingnya ditulisi simbol-simbol yang membuat mata berdarah jika dilihat terlalu lama.**  

**"Dengan darah Isidore dan ksatria Mythopia, dewa kalian akan bangkit,"** goda Ki Surya Dahana kepada **Vorthax si Gila Darah**. **"Mereka adalah tumbal terbaik yang pernah kalian dapatkan."**  

### **Persiapan Perang di Sinabung**  
Kini, dengan **sekutu-sekutu baru yang haus kekerasan**, Ki Surya Dahana membangun kekuatannya di **Kawah Hitam Sinabung**, tempat di mana asap beracun dan lava dingin membentuk benteng alam yang tak tertembus.  

**Ia tahu perang akan datang.**  
**Ia tahu Isidore semakin kuat.**  
**Tapi ia juga tahu—kegelapan selalu punya lebih banyak sekutu daripada yang terlihat.**  

Di bawah sinar bulan yang pucat, **bayang-bayang mulai bergerak.**  

---
Chapter 40"Persembahan Bulan Purnama: Kebangkitan Para Ksatria Kegelapan"

Di kedalaman **Hutan Terkutuk Sinabung**, di mana akar-akar pohon menjalar seperti urat nadi bumi yang terluka, **Ki Surya Dahana** mengadakan pertemuan rahasia yang mustahil—mengumpulkan para pemimpin suku yang saling membenci dan saling curiga. Tak mudah mempersatukan mereka, sebab masing-masing menyimpan dendam dan ketakutan akan tipu muslihat Ki Surya Dahana sendiri. Namun, satu janji berhasil memikat mereka:  

***"Bawalah seorang tumbal—prajurit terkuat dari sukumu—dan aku akan mengubahnya menjadi ksatria dengan kekuatan yang melampaui manusia biasa."***  

### **Malam Persekutuan Gelap**  
Ketika **bulan purnama** menggantung tepat di puncak langit, memancarkan cahaya pucat yang seakan enggan menyentuh tanah, para pemimpin suku pun datang dengan tumbal mereka:  

- **Orkaghor si Bercak Darah** dari Suku Gurnaka membawa seorang pembunuh yang matanya telah dijahit tertutup, agar tak melihat kematiannya sendiri.  
- **Lorendis si Licik** dari Suku Rakayan mempersembahkan seorang pencuri ulung yang tangannya dipotong karena mencuri harta pemimpinnya.  
- **Mhezzrak si Pisau Tak Terlihat** dari Suku Jalarang menghadirkan pembunuh bayaran terbaiknya, yang kini terbelenggu rantai perak.  
- **Vorthax si Gila Darah** dari Suku Murkalana membawa seorang dukun muda yang dikhianati oleh ritualnya sendiri.  

Mereka semua duduk bersila dalam **lingkaran kematian**, di tengahnya tergeletak **peti mati kuno** berukir tulisan-tulisan yang membuat kepala pusing jika dilihat terlalu lama. Konon, peti itu berisi jenazah **seorang ksatria Mythopia yang hilang dalam Perang Bayang-Bayang**.  

### **Ritual Dimulai**  
Ki Surya Dahana, mengenakan jubah hitam yang berdesis seperti ular, memotong leher **kambing hitam**—binatang yang dikutuk sejak zaman purba. Darahnya yang pekat dipercikkan ke arah masing-masing suku, membentuk **tanda segel di dahi mereka**.  

***"Dengan darah ini, ikatan kita terajut!"***  

Lalu, ia mengukir **tanda gelap** di tanah dengan pisau ritual, sambil melantunkan kata-kata dalam bahasa yang telah lama dilupakan. Segera, **angin berdesir aneh**, **anjing-anjing hutan melolong ketakutan**, dan **burung hantu berteriak seakan memperingatkan sesuatu yang mengerikan**.  

Ki Surya Dahana mengenakan **topeng setan** dari kayu eboni, matanya yang asli tertutup, tetapi dari balik topeng itu, **cahaya merah menyala**. Ia mulai menari—gerakannya kaku dan tidak wajar, seperti boneka yang ditarik oleh benang tak terlihat.  

***Udara semakin panas.***  
***Awan hitam bergulung-gulung.***  
***Petir menggelegar tanpa henti.***  

Para pemimpin suku mulai gelisah. **Orkaghor meremas kapaknya, Lorendis memegang jimat anti-sihir, Mhezzrak mengasah belatinya, dan Vorthax… tersenyum lebar, menikmati kegilaan yang akan datang.**  

### **Kebangkitan Sang Ksatria Terkutuk**  
Tiba-tiba—***KRAAAK!***—**sebuah petir menyambar pohon besar di tepi lingkaran**, membakarnya dalam sekejap. Beberapa pemimpin suku terkejut, ada yang berteriak, ada yang langsung menghunus senjata.  

Ki Surya Dahana tak bergeming. Tangannya menunjuk ke tanah, dan **segel yang digambarnya tiba-tiba menyala merah darah**.  

***"Bangkitlah, wahai yang telah lama tidur!"***  

Peti mati itu **bergetar**, lalu **terbuka dengan suara mengerikan**. Dari dalamnya, **sesosok mayat bangkit**—tubuhnya kering, tapi matanya... **matanya menyala biru pucat**.  

Satu per satu, mayat itu berjalan ke setiap tumbal. Begitu ia mendekat, **api biru tiba-tiba menyambar tubuh tumbal**, membakar mereka dalam seketika—tetapi bukan menjadi abu, melainkan **menjadi bahan bagi sesuatu yang baru**.  

**Otot-otot tumbal meleleh, lalu membungkus tulang sang mayat.**  
**Daging tumbuh kembali, kulit meregang, dan wajah-wajah baru terbentuk.**  

Dalam beberapa detik, **lima ksatria baru berdiri**—tubuhnya lebih tinggi, matanya bersinar, dan aura kegelapan mengelilingi mereka seperti kabut.  

### **Ikrar Kesetiaan**  
Ki Surya Dahana berhenti menari. Topengnya perlahan retak, lalu jatuh berdebum. **Matanya masih merah, tapi kini penuh kemenangan.**  

***"Peganglah tangan ksatria barumu,"*** perintahnya. ***"Darahmu telah menyatu dengan kekuatan mereka. Mereka adalah perisaimu, pedangmu… dan pengawal setiamu."***  

Para pemimpin suku, awalnya ragu, kini **terpesona**. Mereka merasakan **energi gelap mengalir** saat menyentuh para ksatria baru itu.  

**Orkaghor tertawa kasar.**  
**Lorendis tersenyum licik.**  
**Mhezzrak menguji ketajaman pisau di lengan ksatria barunya—tidak terluka.**  
**Vorthax menjilat darah yang menetes dari mata ksatria miliknya.**  

***"Mythopia tidak akan tahu apa yang menimpa mereka,"*** bisik Ki Surya Dahana, sambil menatap ke arah selatan—tempat Isidore dan sekutunya bersiap.  

**Malam itu, sebuah persekutuan kegelapan lahir.**  
**Dan pertumpahan darah yang lebih besar sedang menanti.**  

---
Chapter 41 Sayembara Raja Hayam Wuruk dan Panggilan Sang Pengembara

Seiring berjalannya waktu, **kekuatan persekutuan gelap di Hutan Sinabung tumbuh bagai kanker di jantung dunia**. Kabar buruk menyebar dari mulut ke mulut di antara para pedagang yang berani melintasi jalur utara—**pencurian yang tak terjelaskan, penculikan di malam hari, dan desis-desis suara aneh dari balik pepohonan yang seolah hidup untuk memangsa**.  

Hingga pada suatu hari, kabar ini sampai ke telinga **Sri Maharaja Hayam Wuruk**, penguasa agung Majapahit yang berkilau bagai matahari di singgasana emasnya.  

***"Bagaimana mungkin kegelapan berani merangkak di bawah naungan panji-panji kerajaanku?"*** gertak sang Raja, suaranya menggelegar di balairung istana bagai guntur yang murka. Tangannya mengepal erat di atas tongkat kebesaran yang diukir dari taring naga purba. ***"Aku tidak akan membiarkan bayang-bayang ini terus mengancam rakyatku!"***  

Maka, dikeluarkanlah **Sayembara Kerajaan**—sebuah maklumat yang dibacakan di setiap sudut pasar dan persimpangan jalan:  

***"Siapa pun ksatria yang berhasil menangkap atau menumpas gembong penjahat di Hutan Sinabung, akan dinikahkan dengan Putri Rajapadmi, Sang Permata Majapahit, serta dianugerahi harta kekayaan yang cukup untuk membeli tujuh kerajaan kecil!"***  

---

### **Pengumuman di Pasar Agung**  

Di **Pasar Agung Majapahit**, di mana aroma rempah-rempah bercampur dengan gemerisik sutra, seorang **Juru Bicara Kekaisaran** berdiri di atas mimbar yang dihiasi ukiran garuda. Suaranya lantang membelah keriuhan pasar:  

***"Dengarkanlah, wahai para ksatria dan pemberani! Demi titah Sri Baginda Hayam Wuruk, yang berkilau laksana Dewa Surya..."***  

Seketika, ribuan orang **berlutut dalam hening**, termasuk para pedagang dari negeri seberang yang tak memahami bahasa, namun paham betul akan wibawa sang Juru Bicara.  

Saat pengumuman usai, seorang ksatria tinggi tegap dengan **tombak bersayap** di punggungnya melangkah maju. **Pandika**, namanya—seorang prajurit ulung yang matanya tajam bagai elang dan bekas luka di pipinya bercerita tentang seratus pertempuran.  

***"Aku, Pandika, akan membersihkan hutan itu dari kotoran yang mengganggu!"*** serunya, suaranya bergetar penuh keyakinan.  

Juru Bicara itu mengamatinya dengan seksama, lalu berkata dengan nada rendah yang hanya terdengar oleh Pandika:  

***"Keberanianmu patut diacungi jempol, wahai Pandika. Tapi ketahuilah—yang kau hadapi bukan sekawanan pencuri biasa. Mereka adalah persekutuan terkutuk yang dipimpin oleh Ki Surya Dahana, penyihir hitam yang bahkan bayangannya bisa membunuh. Pergilah kau cari Isidore, sang Pengembara dari Kerajaan Mythopia. Hanya dia yang pernah bertarung langsung dengan kegelapan semacam ini."***  

Mata Pandika berkilat. **Nama Isidore**—seperti legenda yang dihembuskan angin malam—telah sampai ke telinganya.  

***"Di mana aku bisa menemukannya?"*** tanya Pandika.  

***"Carilah di tempat di mana petir menari tanpa awan, dan cahaya berkelahi dengan bayangan,"*** jawab sang Juru Bicara, **matanya berbinar seperti tahu sesuatu yang tak terucap.**  

---

### **Pencarian Akan Dimulai**  

Pandika menganggap, lalu berbalik meninggalkan pasar. Langkahnya mantap, **seolah bumi sendiri membuka jalan untuknya**.  

Di kejauhan, **Gunung Sinabung mengeluarkan asap hitam**, seakan mengejek tantangan yang baru saja diterima.  

Sementara itu, di suatu tempat di antara bukit dan lembah, **Isidore** mungkin sedang duduk di tepi sungai, tanpa sadar bahwa nasib telah mulai merajut benang merah menuju pertemuannya dengan Pandika...  

Dan **pertempuran terbesar mereka akan segera dimulai.**  

---
chapter 42 Pertemuan dengan Sang Syahbandar dan Janji Pengembara

Seorang utusan berpakaian jubah sutra biru laut mendekati Pandika dengan langkah terburu-buru. **"Maafkan gangguan ini, Tuan Ksatria,"** ujarnya sambil memberi hormat dengan telapak tangan menyentuh dada. **"Bisakah Tuan berkenan mengikuti saya? Tuanku, Syahbandar Agung, ingin berbicara dengan Tuan."**  

Pandika mengerutkan kening, tangannya tak lepas dari gagang pedangnya. **"Kau utusan dari Syahbandar, sang Penguasa Perdagangan? Urusan apa yang mengharuskanku bertemu dengannya? Apakah ini terkait sayembara sang Raja?"**  

**"Benar, Tuan,"** jawab sang utusan dengan suara rendah. **"Tuanku memohon bantuan Tuan. Tolonglah kami."**  

### **Di Rumah Makan Mewah Sang Syahbandar**  
Rumah makan itu megah, dindingnya dihiasi ukiran kayu jati berlapis emas, dan aroma rempah-rempah langit—kayu manis, cengkeh, dan pala—memenuhi udara. Di balik tirai sutra yang ditiup angin lembut, duduklah **Syahbandar**, seorang lelaki berjanggut rapi dengan sorban merah melingkar di kepala, matanya tajam bagai elang yang mengawasi lautan perdagangannya.  

**"Aku menyaksikan keberanianmu di pasar tadi,"** ujar Syahbandar, suaranya dalam seperti gema dari gua karang. **"Kau berani melawan persekutuan gelap sendirian. Aku butuh orang sepertimu."**  

Dia mengangkat tangan, dan seorang pelayan segera menempatkan piring perak berisi buah-buahan ranum dan anggur hitam pekat di hadapan Pandika.  

**"Banyak pedagangku yang hilang di Hutan Sinabung,"** lanjut Syahbandar, wajahnya berkerut oleh kepedihan. **"Jika kau berhasil menemukan mereka—hidup atau mati—aku akan memberimu hadiah apa pun yang kau inginkan. Emas? Kapal? Atau bahkan istana kecil di pesisir?"**  

Pandika menghela napas. **"Aku berterima kasih atas tawaranmu, Tuan Syahbandar. Tapi sebelumnya, aku harus mencari Isidore dari Mythopia. Hanya dia yang tahu cara melawan kegelapan ini."**  

**"Isidore?"** Syahbandar mengangguk pelan. **"Aku pernah mendengar namanya. Tapi di mana kau bisa menemukannya?"**  

**"Petunjuk yang kudapat hanya ini: 'tempat di mana petir menari tanpa awan, dan cahaya berkelahi dengan bayangan',"** jawab Pandika.  

Tiba-tiba, sang utusan yang berdiri di sampingnya berseru, **"Tuan! Itu Gunung Salak! Di Bukit Halilintar! Tempat itu terkenal dengan petirnya yang menyambar bahkan saat langit cerah!"**  

Syahbandar tersenyum. **"Kalau begitu, biar utusanku mengantarmu dengan kuda tercepatku. 'Angin Barat' namanya—dia bisa membawamu ke Gunung Salak sebelum fajar besok."**  

### **Permohonan dari Para Pedagang**  
Saat Pandika bersiap pergi, sekelompok pedagang menghampirinya. Seorang lelaki Tionghoa dengan jubah hijau tua dan kuncir panjang melangkah maju. **"Tuan Ksatria,"** ujarnya dengan logat kental, **"Aku dengar kau akan ke Hutan Sinabung. Tolong, carikan anak perempuanku, Mei Mei. Dia hilang seminggu lalu. Dukunku meramalkan dia masih hidup!"**  

Seorang pedagang Gujarat dengan sorban putih ikut berbicara, **"Dan saudaraku, Tuan! Dia membawa barang-barang berharga kami. Jika kau temukan, separuh hartanya untukmu!"**  

Yang lain berdatangan—permohonan untuk mencari ayah, istri, saudara—semua menghilang di hutan terkutuk itu.  

Pandika menatap mereka satu per satu, lalu mengangguk mantap. **"Aku berjanji akan berusaha menemukan mereka semua."**  

Dia menaiki **'Angin Barat'**, kuda hitam legam yang matanya berkilau seperti bintang. Dengan tendangan ringan, kuda itu melesat, meninggalkan debu dan harapan para pedagang yang berdiri terpana.  

Di kejauhan, **Gunung Salak menjulang dengan puncaknya yang diselimuti petir abadi**, seakan menantang sang ksatria untuk datang.  

---
---

Chapter 43 Di Gua Guntur Wisesa

Di antara rerimbunan hutan yang dilupakan waktu dan puncak-puncak berkabut yang dijaga angin senyap, terletak sebuah gua purba yang dikenal sebagai Rumah Guntur Wisesa. Di dalamnya, tersembunyi sebuah sungai bening yang mengalir dari dinding batu, jatuh menjadi air terjun gemuruh yang bergaung lembut seperti nyanyian masa silam.

Di sinilah Isidore dan para ksatria Mythopia berkumpul dalam perjamuan yang sederhana namun sakral. Nyala api menari di dinding gua, memantulkan cahaya pada wajah-wajah pejuang yang pernah menantang gelap itu sendiri. Domba panggang berbalur bumbu kacang harum dan ikan bakar disiram sari buah nanas menjadi sajian malam itu. Mereka bercengkrama dalam kehangatan, namun bayang-bayang masa lalu menggantung di udara seperti kabut yang enggan pergi.

"Bagaimana nasib para ksatria kita yang telah gugur di medan Mythopia?" tanya Isidore dalam suara rendah, namun penuh rasa duka. "Bukankah mereka tiada tanding dalam keberanian dan keperkasaan?"

Guntur Wisesa, sang penjaga gua, menjawab dengan sorot mata yang dalam, seperti memandang ke dalam lorong waktu.
"Mereka tidak jatuh oleh tangan manusia... tetapi oleh sesuatu yang jauh lebih tua, lebih kelam—makhluk-makhluk mistis yang bangkit saat tirai kegelapan terkoyak."

Ia pun menceritakan Perang Terakhir melawan Kegelapan, ketika bumi sendiri bergetar oleh langkah kaki makhluk-makhluk purba yang tak berasal dari dunia ini. Bahkan Ki Surya Dahana, kepala para biksu, kehilangan kewarasannya oleh bisikan makhluk-makhluk gaib yang mengganggu jiwanya hingga tercerai dari tubuh fana.

Kemudian, dari balik gema gua, muncullah suara lain — dalam dan bergema bagaikan petir dari dalam tanah. Itu adalah Raja Alam Wardana, yang telah melihat zaman bangkit dan runtuh.

“Mereka,” katanya, “adalah ciptaan dari dendam yang tak terampuni, dari kebencian yang tak terucapkan, dan dari rasa takut yang tak pernah padam. Mereka disebut Makhluk Mistis, dan terbagi menurut kedahsyatan mereka.”


---

๐ŸŒ€ Tingkat I: Makhluk Mistis Sedang

(Sebanding dengan manusia atau binatang perkasa — ancaman lokal)

1. Wangkara
Bayangan separuh manusia, kabut menjadi kulitnya, dan matanya legam tak bernyawa.
Bersemayam di hutan berkabut, ia menyerap rasa marah dan takut, memutarbalikkan persahabatan menjadi pengkhianatan.
Konon, ia adalah arwah para korban perang Majapahit yang mati tanpa pengadilan.

2. Jelangga
Sesosok kera putih raksasa dengan wajah manusia yang menatap penuh pengetahuan namun tanpa nurani.
Ia tinggal di gunung-gunung selatan, menirukan suara manusia demi menipu para pengelana.
Selama kedamaian dijaga, ia damai. Namun jika habitatnya dirusak, ia menjadi badai yang tak terhentikan.


---

๐ŸŒ‹ Tingkat II: Makhluk Besar

(Sebanding dengan gajah raksasa atau naga kecil — ancaman satu wilayah)

3. Nagagini
Ular bersisik emas, bertanduk dan bersayap seperti kabut pagi.
Ia mengalir di Sungai Bengawan Solo, mengendalikan aliran dan pasang air.
Dipuja pelaut, ditakuti pendosa; kemarahannya datang bila sungai dinajiskan.

4. Barong Lodra
Bayangan Barong tua, lebih gelap dari malam, matanya menyala merah bagai bara dalam arang.
Penjaga hutan dalam dunia gaib, yang bisa mengirim wabah atau menyembuhkannya.
Pernah membuat desa-desa lenyap dalam semalam, ia disegel oleh raja Majapahit dalam mantra tak terucap.


---

๐ŸŒช️ Tingkat III: Makhluk Bencana

(Sebanding dengan kehancuran alam — mengubah ekosistem dan kota)

5. Lelakut Gunung
Raksasa dari batu dan lava, setinggi puncak gunung.
Tidurnya dalam kawah, namun bangkit saat manusia menggali terlalu dalam.
Bila ia marah, gunung meletus dan tanah menjadi mati selama empat puluh musim tanam.

6. Gendrawani
Bayangan perempuan raksasa bertangan delapan, rambutnya lidah-lidah api dari dunia bawah laut.
Bisa memanggil badai, menelan kapal dan armada dalam sekejap.
Namanya disebut dengan ketakutan oleh pelaut Majapahit yang tak pernah kembali.


---

๐ŸŒ‘ Tingkat IV: Makhluk Malapetaka

(Langka dan apokaliptik — pengakhir kerajaan, hanya bangkit sekali dalam seribu tahun)

7. Kala Rambat – Dewa Waktu Pembalik Dunia
Tiada tubuh yang nyata, hanya jam pasir, lonceng tua, dan bisikan masa depan.
Ia muncul ketika sejarah mencoba berulang dan kehendak manusia mengoyak tatanan waktu.
Desa jadi purba, raja menjadi bayi, dan yang hidup kehilangan ingatan mereka sendiri.

8. Bayang Agung
Bayangan sehitam langit badai, setinggi langit, tak bisa disentuh atau disakiti.
Tercipta dari darah pemberontak yang mati tanpa pemurnian jiwa.
Ia membawa kelaparan, membakar tanpa api, dan menutup matahari dengan bayang dendam.
Hanya bisa disegel, tidak bisa dikalahkan. Ia datang saat raja kehilangan karma terakhirnya.


---

Guntur Wisesa menundukkan kepala, dan api di tengah lingkaran para ksatria bergetar kecil. “Inilah lawan yang kita hadapi, wahai ksatria Mythopia. Tak hanya senjata yang kau butuhkan… tapi jiwa yang bersih, niat yang murni, dan keberanian yang tak tergoyahkan bahkan oleh bayang-bayang dunia itu sendiri.”

Dan dalam keheningan malam, suara air terjun tetap bernyanyi… seolah menyimpan rahasia ribuan tahun.


---