03/09/25

Season 3 Kisah Pandika dari kerajaan cakram


Setelah berhari-hari menyusuri jalur pesisir, akhirnya tampaklah di cakrawala Pelabuhan Jepara, mutiara terbesar di pesisir utara Majapahit. Dari kejauhan, layar-layar putih kapal asing menjulang bagaikan hutan yang tumbuh di lautan, dan suara gong serta terompet pelabuhan menyambut kapal-kapal yang masuk ke dermaga.

Jepara tidak sekadar sebuah pelabuhan, melainkan jantung dagang Majapahit. Jalanan menuju dermaga dipenuhi pedagang dari berbagai bangsa: orang Gujarat dengan jubah panjang dan sorban warna-warni; saudagar Tiongkok dengan kotak-kotak porselen berisi keramik berkilau; pelaut Arab yang membawa rempah dari Maluku; hingga pedagang Jawa sendiri yang menawar keras demi menjaga harga tetap tinggi.

Gerobak rombongan Pandika melintas di antara keramaian itu. Tidak seorang pun pejabat pelabuhan berani mendekat untuk meminta upeti. Para petugas hanya menunduk hormat, sebab mereka mengenali tanda kebangsawanan pada Dyah Ratnaswari — putri dari garis keturunan ksatria Majapahit. Nama keluarganya saja sudah cukup untuk membuat para pejabat menyingkir, seolah jalan terbuka lapang tanpa halangan.

Si Maung, duduk gagah di atas gerobak, mengaum kecil, membuat beberapa orang asing mundur dengan wajah pucat, menyangka sang pemuda membawa peliharaan gaib. Pandika sendiri diam-diam merasa lega, sebab kehadiran Dyah Ratnaswari memberinya perlindungan yang lebih besar daripada pedangnya sendiri.

Namun di tengah hiruk pikuk perdagangan itu, kabar-kabar mulai berbisik di antara para pedagang dan pelaut.

“Kapal dari Tiongkok membawa berita, Kaisar sedang memperluas pengaruhnya ke lautan selatan.”
“Dari barat, orang-orang asing berkulit pucat mulai tampak di Samudra Hindia, kapal-kapal mereka lebih besar dari jung kita.”
“Ada pula desas-desus bahwa negeri-negeri seberang lautan mulai iri pada kekayaan rempah Majapahit.”

Bisik-bisik itu, meski lirih, beredar cepat, laksana angin yang membawa aroma laut. Pandika mendengarkan dengan seksama, dadanya berdesir oleh firasat. Ia tahu bahwa perjalanan mereka bukan sekadar pengawalan dagang; mereka berada di tengah pusaran zaman yang mulai berubah.

Dyah Ratnaswari menoleh pada Pandika, matanya tajam namun teduh.
“Kelak engkau akan melihat sendiri, Pandika. Majapahit bukan hanya kerajaan besar, ia juga dikelilingi ancaman dari segala penjuru. Maka ksatria sejati tidak hanya berjuang dengan pedang, tetapi juga dengan hati yang teguh.”

Pandika menunduk hormat, lalu menggenggam pedangnya erat. Di pelabuhan Jepara yang megah itu, ia merasakan — mungkin inilah awal dari perjalanan yang akan menguji tidak hanya tenaganya, tetapi juga jiwa dan kesetiaannya.


Setelah segala urusan di Jepara terselesaikan, para pedagang memutuskan mengambil jalur laut, sebab itu adalah jalan tercepat menuju Trowulan. Sebuah jung besar Majapahit, berhias ukiran naga emas di haluannya, disewa untuk mengangkut rombongan beserta rempah-rempah mereka.


Angin laut bertiup kencang, layar-layar putih menjulang tinggi, dan ombak berdebur menghantam lambung kapal. Pandika, yang belum pernah menjejak kapal sebelumnya, merasakan perutnya bergolak. Wajahnya pucat, tubuhnya limbung, dan akhirnya ia tersungkur di sisi kapal, memuntahkan isi perutnya ke laut lepas.


“Wahai Pandika, engkau seorang ksatria, namun kalah oleh goyangan laut,” canda salah satu pelaut sambil tertawa lebar.


Si Maung, dengan tenangnya duduk di atas geladak, seolah menikmati semilir angin asin. “Aku selalu tahu, Pandika,” ujarnya sambil menjilat cakarnya, “bahwa laut lebih perkasa daripada pedangmu.”


Dyah Ratnasari menatap Pandika dengan iba, lalu memberinya kendi berisi air jahe hangat. “Minumlah ini. Laut memang menguji kesabaran dan perut lebih dulu sebelum menguji keberanian,” katanya lembut.


Hari-hari di atas laut panjang dan penuh tantangan. Ombak mengguncang, angin malam menusuk tulang, dan kabut kadang menutup pandangan. Namun kapal tetap melaju, dibimbing oleh bintang-bintang yang dipahami para nakhoda Jawa.


Setelah beberapa hari berlayar di sepanjang pesisir, tibalah mereka di muara Sungai Bengawan Solo. Air asin bercampur tawar, dan kapal perlahan masuk ke sungai besar yang bagai naga raksasa berliku menuju jantung pulau.


Di sepanjang tepian sungai, desa-desa ramai berdiri, anak-anak kecil melambai pada kapal yang lewat, dan perahu-perahu kecil penuh ikan menepi memberi jalan. Udara berubah lebih lembap dan tenang, namun Pandika masih berbaring lemah, tubuhnya belum terbiasa dengan guncangan air.


“Bertahanlah, Pandika,” kata Dyah Ratnasari, “sebentar lagi kita akan tiba di Trowulan. Saat itu kau akan berjalan lagi di tanah kokoh.”


Dan di kejauhan, ketika senja merona di langit barat, mereka melihat kabut tipis menyingkap bayangan tembok tinggi kota agung Trowulan, pusat dari Majapahit yang megah.


Setelah berhari-hari berlayar dan menyusuri Bengawan Solo yang perkasa, tibalah rombongan itu di sebuah dermaga besar, di mana air sungai yang luas berkilauan seperti perak di bawah sinar matahari. Dari sana, tampak bayangan tembok merah bata menjulang, bagaikan benteng raksasa yang melindungi jantung kejayaan Majapahit.


Trowulan berdiri dengan megahnya, ibukota sebuah kerajaan yang menguasai samudra dan daratan. Jalan-jalan lebar terbentang lurus, dipenuhi pedagang dari negeri jauh: Gujarat, Champa, Tiongkok, bahkan Arab, masing-masing menawarkan kain sutra, keramik, rempah, dan logam mulia. Gapura-gapura besar berdiri kokoh, dihiasi relief tentang kemenangan Majapahit dalam perang.


Ketika rombongan turun dari kapal, para pedagang menunduk hormat kepada Pandika. “Wahai anak muda,” ucap seorang saudagar tua, “tanpa keberanianmu, mungkin kami takkan sampai dengan selamat.” Ia lalu menyerahkan sebuah plakat kayu berukir—lambang persatuan pedagang dari pesisir utara. “Terimalah ini sebagai tanda persaudaraan. Di manapun kau berjalan, para pedagang akan mengenalmu sebagai pelindung dagangan dan sahabat mereka.”


Pandika menerima dengan tangan gemetar, matanya berbinar penuh syukur. “Aku hanyalah pengembara biasa,” jawabnya rendah hati. “Namun aku berjanji menjaga kepercayaan ini dengan segenap hidupku.”


Sementara itu, Dyah Ratnasari segera disambut oleh utusan kerajaan. Seorang prajurit berpakaian kebesaran menunduk hormat. “Paduka Dyah, keluarga istana telah menantikan kedatanganmu. Mari, kami akan mengantarkanmu.” Ratnasari tersenyum, wajahnya bercahaya di tengah keramaian, dan mengikuti rombongan menuju keraton agung.


Adapun Pandika, yang baru saja hendak berpamitan, tiba-tiba dicegat oleh seorang abdi dalem yang berwajah bijak. “Wahai pemuda,” katanya, “Sri Baginda ingin engkau datang menghadap. Ada perkara besar yang mungkin bersangkut dengan perjalananmu.”


Si Maung, yang sejak tadi berbaring malas di pundak Pandika, berdesis pelan, “Lihatlah, Pandika. Takdir mulai membuka pintunya. Mungkin jawaban atas pencarianmu akan kau temukan di dalam tembok merah itu.”


Dengan hati berdebar, Pandika melangkah menyusuri jalan batu menuju gerbang keraton Trowulan. Bayangan gapura raksasa dan atap bertingkat yang menjulang menandai awal dari perjumpaannya dengan rahasia yang telah lama dicari: kisah tentang ksatria agung, Prabu Galang Siwah, yang hilang tanpa jejak.


Season 4 Jatmika & portal waktu


Ketika Kota Menjadi Gema

Jatmika dan John duduk di ruang tamu sederhana, layar holografis di dinding menampilkan linimasa yang bergerak terlalu cepat untuk diikuti. Di sana, berita dan komentar bercampur, bukan lagi dibedakan antara fakta dan opini. Hashtag berganti setiap menit, tetapi intinya tetap sama: amarah kolektif yang menolak untuk diredam.

Semuanya berawal dari satu kalimat seorang anggota DPR, yang menantang rakyat dengan menyebut wacana pembubaran DPR sebagai “tolol.” Kalimat itu, dalam hitungan jam, berubah menjadi simbol kesenjangan: bukan sekadar jarak antara wakil dan rakyat, melainkan antara mereka yang bisa menertawakan kesulitan, dan mereka yang harus menanggungnya setiap hari.

Ketika rekaman anggota DPR berjoget-joget dalam sidang kenaikan gaji tersebar luas, resonansinya semakin keras. Gambar tubuh-tubuh yang bergoyang di ruang parlemen terasa seperti ejekan bagi jutaan orang yang sedang berjuang membeli beras dengan harga yang terus merangkak naik.

Jakarta pun meledak. Aksi protes di depan gedung DPR pada awalnya adalah upaya artikulasi, tetapi diabaikan. Anggota dewan memilih menghindar, sebagian besar meninggalkan negeri untuk “urusan dinas.” Kekosongan itu segera diisi oleh amarah. Rumah-rumah pejabat menjadi sasaran penjarahan—bukan sekadar mencari barang, melainkan membongkar simbol. Mobil polisi dibakar, jalanan penuh kepulan asap.

Puncaknya datang ketika sebuah mobil taktis Brimob melindas seorang pengemudi ojek daring. Rekaman itu menyebar dalam hitungan detik, dan dalam hitungan jam menjadi bahan bakar yang membuat demonstrasi menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.

Di laboratorium, notifikasi masuk ke sistem pusat teleportasi. Satu kalimat singkat:

“Semua operasi dibatalkan. Tunggu sampai keadaan stabil.”

Jatmika menatap layar itu lama, sebelum memandang John.

“Teknologi ini,” katanya pelan, “diciptakan untuk membuka dunia, bukan untuk melarikan diri darinya. Tapi hari ini, kita belajar bahwa dunia bisa menutup dirinya sendiri.”

Di luar, Jakarta masih bergemuruh. Namun gema itu bukan hanya suara demonstran, bukan hanya dentuman gas air mata. Itu adalah gema sebuah bangsa yang tengah mencari titik teleportasinya sendiri: bukan ke ruang lain, tetapi ke masa depan yang berbeda.

---

Sinkronisasi yang Hilang

Malam itu, ketika Jakarta masih bergetar oleh gema demonstrasi, John duduk di beranda rumah Jatmika. Lampu jalan berkelip, seakan ikut goyah oleh ketidakpastian. Ia menyalakan sebatang rokok, menarik dalam-dalam, lalu berkata seolah kepada dirinya sendiri:

“Teleportasi tidak pernah benar-benar gagal karena teknologinya,” ujarnya lirih. “Yang membuatnya gagal adalah ketika sinkronisasi tidak tercapai. Tubuh, pikiran, dan medan energi harus selaras. Begitu salah satu keluar jalur, hasilnya bisa fatal—seseorang bisa hilang di tengah perpindahan, atau muncul kembali tidak utuh.”

Ia berhenti sejenak, memperhatikan layar holo yang masih menampilkan potongan-potongan video kerusuhan.

“Negara ini,” lanjutnya, “tidak jauh berbeda. Energinya besar, rakyatnya luar biasa. Tapi kalau frekuensi antara pemimpin dan rakyat tidak pernah sinkron, apa yang terjadi? Kita melihatnya sekarang: pecahnya struktur, chaos yang tak bisa dihentikan hanya dengan perintah.”

Jatmika tidak langsung menjawab. Baginya, kata-kata John bukan sekadar renungan, melainkan hipotesis sosial yang bisa diuji. Ia tahu benar bahwa teleportasi hanyalah alat—cermin yang memperlihatkan bagaimana manusia mengelola kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Keesokan harinya, meski laporan pembatalan operasi sudah jelas, Jatmika tetap datang ke kantor. Bukan untuk menentang keadaan, melainkan karena keyakinan bahwa teknologi tidak boleh ikut lumpuh oleh politik. Bersama ketua tim sepuluh, ia mengaktifkan kembali artefak lampu di ruang laboratorium. Proses teleportasi dijalankan dengan hati-hati, bukan untuk mengangkut orang, melainkan untuk mengamankan temuan yang telah dikumpulkan di titik-titik gua.

Kotak-kotak besi dibawa ke hadapan mereka, masing-masing berisi benda yang lebih menyerupai teka-teki daripada harta karun: zirah besi yang meski berkarat masih terasa berat dengan makna, tongkat kayu dengan batu delima merah yang berkilau dari dalam, lemari tua penuh pedang yang bilahnya seakan masih haus medan perang.

Namun perhatian Jatmika tertuju pada satu benda: sebuah keris yang disimpan dalam kotak besi berlapis segel. Kotak itu bukan sekadar wadah, melainkan penjara yang dibuat agar sesuatu tetap terikat.

Jatmika menyentuh permukaan kotak itu. Dingin, namun berdenyut halus, seolah ada nadi yang masih bekerja di dalamnya.

“Kalau teleportasi bisa gagal karena sinkronisasi yang hilang,” katanya pelan, “saya bertanya-tanya: benda ini… apakah ia pernah menjadi pusat dari sinkronisasi sebuah kerajaan? Dan kalau dulu sempat hilang, apa itu yang membuat mereka runtuh?”

John hanya menatap, rokoknya telah padam. Ia tahu, seperti halnya pada masyarakat, ada kekuatan yang jika tidak diseimbangkan akan memecah belah—baik manusia maupun sejarahnya sendiri.

Dan malam itu, di dalam laboratorium yang hening, pertanyaan itu menggantung di udara: apakah keris itu sekadar artefak, ataukah ia masih mencari keseimbangan yang hilang?

---

Kotak yang Kosong

Laboratorium telah sunyi. Hanya dengungan generator dan suara jarum jam dinding yang terdengar, beradu dengan kilau redup lampu neon. Para karyawan sudah pulang, menyisakan tiga orang: Pak Toni, Jatmika, dan John. Mereka duduk di meja panjang, dikelilingi tumpukan berkas laporan serta grafik kerugian akibat penundaan jadwal teleportasi.

“Semoga pemerintah cepat menyelesaikan tuntutan massa,” kata Pak Toni, memijit pelipisnya. “Kalau ekonomi tetap lumpuh, tidak ada artinya kita melanjutkan proyek ini. Semua orang sibuk dengan urusan perut.”

John, yang sejak tadi diam, menggeser pandangannya ke kotak besi di pojok meja. Kotak itu tampak tak asing, seolah ada gravitasi tersendiri yang menarik matanya. “Bagaimana kalau,” katanya hati-hati, “kita periksa isi kotak itu? Kerisnya mungkin menyimpan jawaban—atau setidaknya, petunjuk—tentang asal mula semua ini.”

Pak Toni menatapnya, awalnya ingin menolak, tapi rasa ingin tahunya lebih besar dari kehati-hatian. “Mungkin kau benar,” gumamnya.

Jatmika mengangguk pelan. Ia mendekat ke kotak besi itu. Tidak ada kunci, tidak ada engsel. Hanya sebuah gambar samar di permukaan, terbuat dari debu magnetik yang menempel seperti ukiran hidup. Ia teringat pada pelajaran singkat dari Wen Shuyuan tentang segel kuno: gambar tidak hanya lambang, tapi juga perintah.

Dengan tangan gemetar, Jatmika menarik sebatang besi tipis, lalu menggambar pola segel di atas permukaan kotak. Goresannya menggetarkan butiran debu magnetik, membentuk simbol yang berdenyut seakan mengenali maksudnya.

Terdengar bunyi mekanis—klik, klik, klik—suara tua seperti gigi roda yang lama tak bergerak. Kotak itu bergetar, lalu perlahan membuka.

Mereka bertiga menahan napas.

Namun di dalamnya: kosong.

Bukan keris, bukan batu permata, bukan benda apapun yang mereka harapkan. Hanya ruang hampa berlapis beludru hitam, seakan keris itu pernah ada namun telah meninggalkan jejaknya.

John melangkah mundur. “Apa… ada yang salah dengan segelnya?”

Jatmika menggeleng, wajahnya kaku. “Tidak. Segelnya bekerja. Mekanisme kotak terbuka sempurna. Yang aneh adalah…” Ia berhenti, suaranya merendah, “…jejak energi masih ada.”

Pak Toni menyentuh bagian dalam kotak. Ujung jarinya merasakan getaran halus, bukan dingin logam melainkan sisa panas, seakan sesuatu baru saja menghilang sesaat sebelum kotak itu dibuka.

“Kerisnya tidak hilang,” bisik Jatmika akhirnya. “Ia berpindah. Entah ke mana.”

Hening turun, lebih berat dari sebelumnya. Rasanya seperti mereka bukan membuka kotak, melainkan membuka ruang kosong di dalam sejarah.

Pak Toni mencoba menertawakannya, tapi tawanya tidak berhasil menutupi ketakutan yang tumbuh. “Kalau keris bisa berpindah sendiri, berarti kita bukan hanya berurusan dengan mesin teleportasi. Kita berurusan dengan sesuatu yang memilih ke mana ia akan pergi.”

John menatap kotak yang kini terbuka, seperti menatap mulut gua gelap yang tak berujung. “Atau sesuatu… yang menunggu saatnya untuk kembali.”

Laboratorium terasa lebih dingin. Dan untuk pertama kalinya, mereka bertiga merasa bahwa teknologi teleportasi hanyalah gerbang kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang mungkin tidak bisa mereka kendalikan.

Layar yang Menyimpan 17+8 Tuntutan

Di ruang tamu sederhana itu, televisi menyala tanpa jeda. Gambar dari gedung DPR di Jakarta terpampang: ribuan orang memadati jalan, suara lantang influencer bercampur dengan gema pengeras suara. Jatmika dan John duduk bersebelahan, masing-masing memegang cangkir kopi yang sudah dingin.

Narasi berita beralih ke infografik: “Tuntutan 17+8 Rakyat.”
Tulisan itu tampil dengan huruf tebal, dibagi menjadi dua bagian: jangka pendek, jangka panjang.

John menyipitkan mata. “Lucu, bukan? Ini seperti daftar bug dalam sebuah sistem. Ada yang harus diperbaiki segera, dan ada yang perlu patch besar di versi berikutnya.”

Jatmika tersenyum samar, meski matanya tetap terpaku pada layar. “Bedanya, bug dalam sistem hanya memengaruhi program. Bug di sini menyentuh kehidupan nyata: harga beras, ongkos rumah sakit, masa depan orang-orang yang bahkan tak pernah tahu apa itu teleportasi.”

Satu per satu poin dibacakan: tim investigasi independen, penghentian kriminalisasi, audit harta DPR, reformasi partai, revisi pajak, perlindungan buruh, penegakan HAM.

“Ini peta jalan,” kata Jatmika pelan. “Bukan sekadar tuntutan. Jika dipenuhi, ia bisa memperbaiki jaringan kepercayaan yang sekarang retak.”

John menambahkan, “Tapi seperti teleportasi—energi harus seimbang. Kalau satu titik menyerap terlalu banyak tekanan, jaringan bisa runtuh. Demo ini… adalah uji sinkronisasi sosial. Kalau gagal, konsekuensinya chaos.”

Hening sebentar. Hanya suara reporter yang terus membacakan poin-poin, seperti mantra modern: reformasi DPR, perbaikan pajak, penguatan KPK.

Di luar rumah, dunia tetap berjalan. Motor lewat, suara anak kecil bermain, aroma gorengan dari warung tetangga. Tapi mereka berdua tahu: keseharian itu rapuh.

Jatmika menegakkan duduknya. “Semoga pemerintah bisa menanggapi dengan bijak. Kalau tidak, teleportasi bukan halangan. Yang runtuh duluan bukan teknologi, tapi fondasi kepercayaan.”

John tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, menatap layar yang masih memancarkan daftar 17+8 itu—sebuah algoritma politik yang menunggu untuk dijalankan.

Mimpi Keris

Televisi masih menyala, menampilkan gambar demonstrasi yang berulang seperti loop tak berkesudahan. Jatmika dan John tertidur di sofa, cahaya layar membias pada wajah mereka yang lelah.

Dalam tidurnya, Jatmika berada di ruang asing. Kotak besi yang pernah ia buka kini hadir kembali, seolah tak pernah disentuh. Ia melihat keris itu jelas: bilahnya hitam berkilau, gagangnya terukir halus. Saat tangannya menyentuh, seketika tubuhnya tersentak. Rasa nyeri itu bukan sekadar sakit—lebih mirip aliran listrik yang memaksa masuk, menembus tulang dan syaraf.

Ia berteriak, mencoba melepaskan, namun keris itu menempel erat, seakan menolak dipisahkan.

Lalu, sosok muncul: seorang pria berjubah kerajaan, wajahnya teduh, matanya mengandung sejarah yang terlalu panjang untuk diukur dengan tahun.

“Tenanglah,” ujarnya lembut. Suaranya menenangkan, seperti gema yang berasal dari dua arah: masa lalu dan masa depan.

“Aku Isidore.”

Senyumnya menyingkap sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkenalan.

“Keris itu masih ada. Tapi bukan di sini. Ia tersimpan di pusat persenjataan kerajaan Mythopia. Hanya keturunan Mythopia yang dapat melangkah ke sana. Dan kau, Jatmika, harus datang sendiri.”

Dengan gerakan tangannya, Isidore menunjukkan gambaran sebuah gua. Pintu segel terbuka perlahan, cahaya matahari menembus dari balik celah batu. Ada jalan setapak yang dilingkupi kabut putih.

“Jangan keluar dari kabut itu,” katanya. “Kabut adalah penuntun sekaligus pelindung. Ikuti jalan sampai kau tiba di gua berikutnya. Di sana, segel akan membawamu pada keris yang sesungguhnya.”

Semua itu terasa nyata. Terlalu nyata untuk sekadar mimpi.

Jatmika terbangun dengan keringat dingin, televisi masih menyala dengan suara pelan. Ia segera mematikannya, lalu duduk dalam gelap. Nafasnya masih berat, tapi pikirannya jernih.

Apakah ini sekadar bunga tidur? pikirnya. Atau pesan yang memang ditujukan kepadaku?

Ia menyadari satu hal: ia belum pernah melihat pria bernama Isidore itu sebelumnya. Dan justru karena itu, kata-kata dalam mimpi itu terasa lebih kuat daripada sekadar khayalan.

Pertanyaan menggantung di udara kamar:
Apakah aku harus mencarinya sendiri?




Keesokan harinya, di ruang laboratorium yang penuh dengan dengung mesin, Jatmika berdiri di depan Ny. Tien—sebuah program AI yang suaranya tenang, nyaris terlalu manusiawi untuk disebut buatan. Ia meminta agar lokasi yang diduga sebagai pintu menuju Istana Mythopia diperiksa. Ny. Tien, dengan kecermatan dingin, menampilkan hasil: lima gua, masing-masing di Gunung Lawu, Merbabu, Dempo, Gede, dan Kerinci. Semua memiliki ciri yang mirip dengan apa yang Jatmika lihat dalam mimpinya: jalan berkabut, samar, seakan menanti untuk ditafsirkan.

“Teleportasikan aku ke sana,” ucap Jatmika akhirnya, meski dalam hati ia masih ragu apakah ini langkah yang benar, atau sekadar pengejaran terhadap sesuatu yang barangkali tak pernah nyata.

Setelah mengenakan baju pelindung dan menegakkan bahunya, ia menyatakan siap. Ny. Tien menghitung mundur. Dari artefak lampu, cahaya emas merekah, berganti merah, lalu putih. Kilatan listrik menyambar, dan dalam sekejap tubuh Jatmika lenyap dari laboratorium.


Ia tiba di gua Gunung Lawu. Hening, dingin, hanya gema langkahnya yang menemani. Ia menelusuri lorong, menemukan sebuah pintu, lalu menggambar segel persis seperti dalam mimpinya. Pintu itu membuka ke jalan berkabut. Ia mencoba menapaki jalan itu, kabut putih menggulung pelan di sekelilingnya. Ia berjalan lama, tanpa tahu arah. Tak ada pintu gua lain, tak ada tanda kehidupan. Hanya kesunyian. Dengan hati berat, ia memutuskan kembali.

Satu per satu gua lain ia coba—Merbabu, Dempo, Gede—namun semuanya hanya memberi jalan yang buntu. Hingga akhirnya, ia tiba di Gunung Kerinci.

Kali ini, ia mencoba mengingat dengan sungguh-sungguh: dalam mimpi, ia diperintah agar mengikuti jalan berkabut, jangan pernah keluar darinya, atau ia akan tersesat. Ia melangkah, kabut terasa lebih padat, seakan berlapis-lapis, namun jalan setapak tetap tampak samar. Hingga akhirnya ia tiba pada sebuah tebing batu, buntu, seolah perjalanan berakhir di sana.

Dengan tangan gemetar, ia menggambar segel kunci di papan batu menggunakan debu magnetik. Pintu pun terbuka, dan jantungnya berdetak keras ketika cahaya menyemburat.


Di dalam gua itu, tumpukan koin emas dan cawan-cawan berkilau menyambutnya. Namun ia hanya menatap sekilas; benda-benda itu, betapapun mewah, terasa hampa. Ia tahu, ia sedang mencari sesuatu yang lain.

Di sisi ruangan, ia menemukan sebuah lemari buku kuno. Lembaran-lembaran di dalamnya memuat peta gua dalam bahasa asing yang tampak terlalu tua untuk dikenali. Ada pula silsilah kerajaan Mythopia, nama-nama yang asing sekaligus samar, seakan sebagian dari dirinya pernah mendengarnya dalam bisikan. Batu-batu biru di dinding gua menyala perlahan, memantulkan cahaya dingin ke wajahnya.

Tiba-tiba, terlintas pikiran yang menusuk: hanya keturunan Mythopia yang bisa memegang keris itu. Ia tak pernah benar-benar mengenal ayahnya, apalagi kakeknya. Jika ia benar keturunan raja, mungkinkah hidupnya sejak dulu tak seharusnya sesulit ini? Ia menggigit bibir, menahan getir, lalu bergumam dalam hati: mungkin aku memang orang asing di tanahku sendiri.


Di ujung ruangan, sebuah lemari besi besar berdiri. Dengan ragu ia membukanya. Di dalam, ada sebuah kotak bersegel. Ia membuka kotak itu, dan mendapati sebuah cincin berukir, dihiasi batu merah delima yang tampak terlalu murni untuk dunia ini.

Ia mengangkat cincin itu, lalu—tanpa banyak pertimbangan—mencoba menyelipkannya di jarinya.

Sekejap, cincin itu menyala merah. Panasnya menusuk, ruangan bergetar, cahaya di dinding berubah liar. Atmosfer menjadi mencekam, seolah ada sesuatu yang baru saja terbangun. Jatmika panik, berusaha mencabut cincin itu, namun cincin melekat erat, tak mau lepas.

Saat itu juga, sebuah tongkat melayang dari kejauhan, terhenti di depan dirinya. Refleks, ia meraihnya, seolah tangannya digerakkan oleh kehendak lain.

Lalu, dari kegelapan, sebuah keris melesat cepat. Jatmika berteriak, tubuhnya mencoba mundur, tapi bilah itu berhenti tepat di depan tangannya, bergetar perlahan.

Untuk sesaat, dunia terasa membeku. Ia tak tahu apakah ia baru saja dipilih… atau dikutuk.





Keris itu berhenti di udara, persis di depan tangannya. Untuk beberapa saat, Jatmika hanya menatapnya, seakan bilah itu menatap balik, menimbang apakah ia layak. Lalu, tanpa benar-benar berniat, tangannya bergerak. Jari-jarinya meraih gagang keris itu.

Sekejap, tubuhnya seperti dihantam arus listrik. Nyeri menjalar, tajam dan panas, menyusuri setiap saraf. Ia ingin melepaskannya, tapi keris itu menempel, seolah melekat pada kulit dan tulangnya.

“Tidak… seharusnya bukan aku,” bisiknya lirih, setengah memohon. Namun genggaman itu tak bisa lepas.

Rasa sakit semakin menghancurkan. Lututnya goyah. Ia jatuh terduduk, lalu bersujud, dahi menempel pada batu yang dingin. Sakit itu berubah jadi gelombang, menelan kesadarannya. Hingga akhirnya gelap.


---

Di dalam kegelapan, sebuah medan pertempuran terbentang. Ia melihat para ksatria berdiri berbaris, tongkat-tongkat mereka menyala dengan api. Di depan mereka, prajurit-prajurit biasa mengangkat tombak, melemparkan panah, bahkan mencoba menjerat monster itu dengan tali yang tampak rapuh.

Makhluk yang mereka hadapi… raksasa bertangan sepuluh, setiap tangan menggenggam senjata, bergerak dengan kekejaman yang sulit dipahami. Setiap kali satu prajurit mencoba mendekat, satu lengan mengayun, dan tubuh manusia itu terpotong, lenyap begitu saja dari dunia.

Para ksatria berusaha menahan, api dari tongkat mereka melesat, membakar kulit raksasa itu. Dan Jatmika—atau mungkin seseorang yang mirip dirinya—menerjang ke depan, keris di tangan, bilahnya berkilat dengan cahaya aneh. Ia menusuk, menggores kulit keras monster itu, meninggalkan luka yang tak sembuh.

Namun raksasa itu seolah tak pernah kehabisan kekuatan.

Lalu, ksatria yang memegang keris itu mengangkat tinggi bilahnya, membelah udara. Dari sana, sinar putih muncul, begitu terang hingga menyilaukan segala yang ada. Sesaat kemudian, sosok ksatria itu lenyap, menghilang dari pandangan.


---

Jatmika terbangun dengan napas terengah. Keringat membasahi tubuhnya, dan keris itu masih ada, melekat di tangannya. Rasanya dingin sekarang, bukan panas. Tapi dingin itu pun membawa beban, seolah-olah ia telah diwarisi sesuatu yang tak pernah diminta.


---







12/08/25

season 2 kisah pandika dari kerajaan cakram

---

Misi Ketiga: Menuju Mata Air Terlarang

Di bawah rindang pohon raksasa yang akar-akarnya menjalar bagaikan urat bumi, Pandika berbaring bersandar, membiarkan lelah merayapi raganya. Embusan angin malam membawa aroma tanah lembap, sementara cahaya rembulan menyusup di antara celah dedaunan, menorehkan kilau pucat di wajahnya yang letih.

Namun ketenangan itu terputus ketika suara dalam, sedikit serak namun tegas, memanggil dari samping.
"Sudah cukup kau terlelap, Pandika. Waktumu di sini terlalu lama. Bangun, kita harus pergi," ujar Si Maung, matanya berkilat seperti bara di kegelapan.

Pandika mengerang pelan, lalu duduk dengan wajah menahan nyeri.
"Aduh… badanku sakit semua," keluhnya sambil menatap lengan yang tergores dalam. Dari luka itu, cairan keruh merembes perlahan.
"Luka ini… mengeluarkan nanah. Sepertinya cakarnya mengandung racun."

Si Maung mendengus pendek, lalu menatap jauh ke utara.
"Jika begitu, kita tak punya banyak waktu. Aku akan membawamu ke Gunung Rinjani. Di sana, di puncak yang diselimuti awan abadi, mengalir air suci bangsa peri. Hanya air itulah yang mampu menawar racun ini."

Pandika menatapnya, kebingungan bercampur keraguan.
"Aku bahkan tak tahu di mana letaknya. Aku belum pernah ke sana."

Sekilas senyum nakal terlukis di wajah Si Maung.
"Kau bisa naik ke pundakku."

Pandika terbahak, meski nyerinya membuat tawa itu terpotong.
"Kau bercanda? Tubuhmu sekecil itu mau kutunggangi? Nanti kau remuk."

"Pokoknya naik saja," balas Si Maung, matanya menyipit seolah tak mau dibantah. "Kau ini bawel sekali."

Menghela napas, Pandika pun mencoba menuruti kemauan sahabatnya itu. Ia berdiri dengan langkah berat, lalu dengan gaya jenaka seperti hendak menaiki seekor kuda, ia mengangkat kaki. Namun sebelum ia sempat menapak, tubuh Si Maung bergetar—bulunya berdiri, matanya menyala seperti purnama, dan cahaya perak menyelubungi seluruh sosoknya.

Dalam sekejap, sang kucing mungil itu menjelma menjadi seekor serigala raksasa—bahunya setinggi dada Pandika, taringnya bagaikan bilah gading, dan bulunya berkilau seakan ditempa dari cahaya fajar.

Si Maung menundukkan tubuhnya.
"Naiklah, Pandika. Malam ini, kita akan menembus hutan purba menuju tanah terlarang."


---


---

Perjalanan ke Segara Anak

Bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busur dewa, Si Maung melesat menembus hutan pinus dan jati. Nafasnya berembus seperti kabut tipis di pagi buta, sementara tapak kakinya nyaris tak meninggalkan jejak. Sesekali, tubuhnya lenyap ke dalam bayangan, seolah ia tak lebih dari hembusan angin yang berlari di antara batang-batang pohon. Ada kalanya ia melompat ke cabang-cabang raksasa, berlari di atasnya seperti seekor roh penjaga hutan.

Pandika, yang bertengger di punggung sang makhluk, berpegangan erat pada bulu lehernya yang tebal. Kecepatan lari Si Maung membuat dunia di sekeliling mereka menjadi garis-garis kabur — hutan, sungai, bahkan laut pun mereka seberangi, sebab kaki Si Maung mampu berlari di atas permukaan air seperti menjejak kaca yang tenang.

Saat mereka mencapai bukit berpasir, langkah Si Maung melambat. “Sebentar lagi,” ujarnya, suaranya berat namun lembut, “kita akan tiba di Danau Segara Anak.”

“Apakah itu tempat mata air suci yang dijaga bangsa peri?” tanya Pandika, matanya menatap puncak gunung yang diselimuti awan.

“Iya, bisa dibilang seperti itu,” jawab Si Maung singkat.

Namun, keheningan yang menyelimuti tempat itu membuat Pandika heran. “Di manakah para peri? Mengapa sepi sekali di sini?”

“Lebih baik kau istirahat. Tidurlah… perjalananmu panjang,” kata Si Maung.

Kelelahan menguasai Pandika. Ia merebahkan diri di tepi danau, di mana air memantulkan cahaya bulan laksana cermin perak. Mimpi pun datang — ia bermain lompat tali bersama bidadari yang tertawa lembut di bawah cahaya bintang.

Namun, kabut mulai turun dari hutan, menyelimuti tepian air. Dari dalam kabut itu, muncul rombongan peri. Mereka cantik dan anggun, tetapi di mata mereka berkilat sesuatu yang dingin. Laksmiranindya Kirana, sang peri berambut seputih embun, mendekat sambil membawa tali emas. Dengan gerakan halus namun tegas, ia mengikat tubuh Pandika yang tertidur lelap.

Peri Wulanratih Sekarwangi menatap Si Maung dengan senyum penuh rahasia. “Terima kasih, wahai pembawa persembahan. Usahamu tidak sia-sia.”

Cempakalirna Dewimaya menjilat bibirnya. “Aku sudah tak sabar mencicipi daging darah bangsawan ini.”

Namun Nirwasitasari Kalacandra mengangkat tangannya. “Tunggu. Ia terluka… cakar racun telah mengenainya. Biarkan kita mengobatinya. Setelah ia gemuk, barulah kita santap.”

Si Maung menunduk. “Dia bukan bangsawan, tapi calon ksatria dari Kerajaan Cakram.”

Kalyana Mahindrawari mengernyit, suaranya tajam seperti ujung tombak. “Calon ksatria? Dari kerajaan tak ternama? Aku mengira kau membawa anak raja, atau setidaknya bangsawan. Ini—hanya seorang petani!”

Pertengkaran mereka memecah keheningan hutan, hingga Pandika terbangun. Namun tubuhnya tak mampu bergerak; tali emas peri telah membelenggunya.


---

Di Antara Peri dan Bayangan Mimpi

Pandika terjaga, namun pikirannya terombang-ambing antara sadar dan mimpi. Dunia di sekelilingnya bagaikan lukisan hidup — kabut perak melayang di udara, aroma bunga liar memenuhi napas, dan di hadapannya berdiri para wanita jelita bermahkota cahaya. Namun, tubuhnya terikat tali emas yang dingin, memantulkan sinar bulan.

Dengan suara yang sedikit gemetar namun penuh hormat, ia berkata,
“Mohon maaf… apakah kalian bangsa peri? Aku Pandika, hanya rakyat jelata, mengembara demi menunaikan misi sebagai calon prajurit Kerajaan Cakram.”

Kalyana Mahindrawari, peri bermata laksana batu nilam, memandangnya dengan raut bingung. “Rakyat jelata? Calon prajurit yang bahkan belum diangkat? Oh, Maung… apakah kau sekali lagi menangkap orang yang keliru?”

Sebelum Si Maung sempat menjawab, dari balik kabut muncullah seorang perempuan dengan mahkota halus seperti anyaman bintang, memegang tongkat berujung kristal biru. Matanya memancarkan kebijaksanaan yang menembus jiwa. Dialah Safiranindya Parameswara, Ratu Peri dan penjaga rahasia gunung.

Dengan suara yang lembut namun berwibawa, ia berkata,
“Lepaskan ikatan itu. Ia bukan mangsa, melainkan seorang pengembara yang tersesat.”

Tali emas pun longgar, jatuh ke tanah seperti ular berkilau. Pandika segera bersujud, menundukkan kepala hingga menyentuh tanah berlumut.
“Hamba berterima kasih, Ratu yang mulia. Aku datang mencari air suci untuk mengobati tanganku… racun dari cakar monster telah meresap ke dalam darahku.”

Safiranindya menatapnya lama, seakan membaca riwayat hidupnya dari sorot mata. Kemudian ia memberi perintah pada para peri pengikutnya,
“Bawalah ia ke mata air yang tersembunyi di jantung hutan. Biarkan air mancur ajaib itu membersihkan lukanya, agar ia dapat melanjutkan perjalanannya.”

Namun bisik-bisik segera pecah di antara para peri. Beberapa memperdebatkan di mana Pandika akan beristirahat, sebab jarang sekali lelaki diizinkan tinggal di wilayah mereka.

Ratu Safiranindya mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan itu.
“Ia akan beristirahat di rumahku. Dan lebih dari itu…” ia menatap Pandika dengan tatapan yang dalam dan misterius, “…ia akan menjadi penabur benih masa depan bangsaku.”

Tak seorang pun berani membantah. Udara terasa lebih berat, dan Pandika menyadari bahwa tak semua keputusan para peri adalah anugerah — sebagian adalah takdir yang sulit dielakkan.

---

Malam di Istana Kabut

Sore merayap turun ke lembah, menumpahkan warna emas dan ungu di permukaan Danau Segara Anak. Kabut tipis mulai berkumpul di permukaan air, seperti roh-roh kuno yang bangkit dari tidur panjangnya. Dari kejauhan, Pandika melihat bayangan sebuah istana yang tak dibangun dari batu, melainkan dari cahaya dan kabut yang menari. Pilar-pilarnya terbuat dari pohon hidup berbalut lumut perak, sementara atapnya menjulang seperti sayap kupu-kupu raksasa yang membeku di udara.

Safiranindya Parameswara memimpin langkah, gaunnya menyapu tanah tanpa suara, meninggalkan jejak aroma melati liar. Si Maung berjalan di belakang Pandika, seolah memastikan ia tidak lari—atau mungkin memastikan ia tidak hilang.

Ketika Pandika melangkah ke dalam istana, udara berubah: hangat, harum, namun berat seperti di dalam mimpi. Lantai berkilau bagaikan air, dan di atasnya mengambang bunga-bunga bercahaya yang tak pernah layu.

Para peri berbaris di sisi lorong, memandangi Pandika dengan tatapan bercampur ingin tahu dan waspada. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, seakan kata-kata tak layak diucapkan di hadapan tamu yang akan menjadi bagian dari takdir bangsanya.

Ratu membawanya ke sebuah ruangan bundar di puncak menara. Dari jendela terbuka, bulan purnama tampak begitu dekat, seolah ia hanya perlu mengulurkan tangan untuk meraihnya. Di tengah ruangan berdiri sebuah ranjang yang terbuat dari anyaman daun berlapis sutra tipis, memantulkan cahaya perak bulan.

“Di sinilah engkau akan beristirahat malam ini,” ujar sang Ratu, suaranya lembut namun membawa sesuatu yang tidak dapat Pandika tolak.
Pandika mencoba berbicara, namun kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ada perasaan aneh—antara kehormatan, rasa takut, dan sebuah kesadaran bahwa ia kini berada di luar kendali nasibnya sendiri.

Safiranindya mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh perban di tangan Pandika.
“Air suci akan menyembuhkanmu… namun darahmu akan menyembuhkan sesuatu yang lebih besar di bangsaku.”
Mata Pandika menatap matanya, mencari jawaban, namun yang ia temukan hanyalah kedalaman tak terukur—seperti langit malam tanpa bintang.

Di luar, angin pegunungan membawa suara nyanyian lembut para peri, lagu kuno yang berbicara tentang pengorbanan dan kelahiran kembali. Pandika menyadari bahwa malam itu tidak hanya akan menguji tubuhnya… tetapi juga jiwanya.


---
---

Ritual di Mata Air Bintang

Fajar belum tiba ketika Pandika terbangun. Udara di kamarnya dipenuhi aroma segar dedaunan basah dan wangi bunga yang tidak pernah ia kenal. Safiranindya Parameswara berdiri di ambang pintu, jubahnya berkilau oleh cahaya bintang yang terakhir sebelum fajar.

“Sudah saatnya,” katanya singkat.

Pandika mengikuti sang Ratu menuruni lorong-lorong istana kabut. Tidak ada suara langkah, hanya gema napas mereka di udara dingin. Mereka keluar melalui gerbang belakang, menuju sebuah jalur batu yang diapit pepohonan tinggi. Di antara daun-daun gelap, kunang-kunang hijau berkumpul, membentuk lingkaran cahaya yang memandu jalan.

Akhirnya mereka tiba di sebuah gua terbuka. Di dalamnya, sebuah kolam kecil memantulkan cahaya langit yang penuh bintang—padahal mereka berada di bawah tanah. Airnya berkilau seperti cairan perak, dan di tengahnya mengalir sebuah mata air kecil, bening dan murni.

“Inilah Mata Air Bintang,” ujar sang Ratu, suaranya bergetar dengan hormat. “Satu tetesnya dapat menyembuhkan racun terburuk. Namun, agar air ini mau menerima perintah, ia harus mengenal jiwamu.”

Para peri muncul dari bayangan, masing-masing membawa kendi kristal. Mereka mulai melantunkan nyanyian kuno, suara mereka bergema lembut di langit-langit gua seperti doa yang telah diucapkan ribuan kali.

Safiranindya menatap Pandika, matanya setajam cahaya bulan. “Berdirilah di tengah kolam. Biarkan air menyentuh lukamu.”

Pandika melangkah masuk. Airnya sedingin es, namun entah mengapa terasa menenangkan. Saat air menyentuh tangannya yang bernanah, cahaya biru lembut mulai menyebar, menelan rasa sakit yang selama ini ia tahan.

Namun tiba-tiba, nyanyian para peri berubah nada—dari lembut menjadi berat, hampir menyerupai mantra pengikat. Air di sekeliling Pandika beriak tanpa angin. Dari dasar kolam, muncul pusaran cahaya, merayap ke atas tubuhnya.

Safiranindya mendekat ke tepi kolam. “Air ini tak hanya menyembuhkan, Pandika. Ia akan menandai dirimu—agar darahmu dan takdirmu menjadi bagian dari bangsa kami.”

Pandika mencoba bergerak, namun tubuhnya berat, seakan air itu sendiri menahannya. Dari pusaran, muncul bayangan wajah-wajah peri kuno, memandangnya dengan tatapan yang mengukur nilai jiwanya.

Dalam hati, Pandika bertanya-tanya… apakah ini benar-benar penyembuhan—atau awal dari ikatan yang tidak akan pernah bisa ia lepaskan?

---

Tanda dari Mata Air Bintang

Pusaran cahaya itu semakin kuat, membungkus Pandika seperti jubah hidup. Air yang semula dingin kini menghangat, seolah darah bumi sendiri mengalir di sekelilingnya. Dari kejauhan, dentang lonceng perak terdengar—padahal tak ada satu pun lonceng di gua itu.

Safiranindya mengangkat tongkatnya, ujungnya memancarkan cahaya putih keperakan. “Wahai Mata Air yang lahir sebelum cahaya pertama, kenalilah dia. Tautkan nadinya pada nadimu, agar langkahnya menyusuri jejak para penjelajah abadi.”

Air mendidih tanpa panas, lalu tiba-tiba merayap naik seperti tangan tak kasat mata, menempel di dada Pandika. Rasa hangat itu berubah menjadi nyeri yang menusuk. Pandika ingin berteriak, namun suaranya tenggelam di dalam gema mantra para peri.

Di balik kelopak matanya yang terpejam, gelap berubah menjadi hamparan cahaya. Pandika melihat dirinya berdiri di padang luas di bawah langit merah darah. Di kejauhan, sebuah kota berkubah emas terbakar, dan seekor naga raksasa berputar-putar di udara, sayapnya menutupi matahari.

Lalu, sosok-sosok muncul dari kabut—wajah-wajah yang belum pernah ia kenal namun terasa akrab: seorang perempuan berpedang dengan mata seperti malam tanpa bintang, seorang anak kecil memegang obor yang tak padam meski diterpa badai, dan di tengah mereka… dirinya sendiri, mengenakan zirah perak dengan lambang yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Namun bayangan itu retak seperti kaca, dan dari celahnya mengalir darah, bercampur dengan bisikan: “Takdirmu bukan milikmu seorang. Ia akan menuntut harga yang tak ingin kau bayar.”

Tiba-tiba cahaya sirna. Pandika terhuyung, namun Safiranindya menahannya dengan satu sentuhan di bahu. Di tempat nyerinya tadi, kini terukir sebuah tanda bercahaya: lingkaran dengan bintang bersudut tujuh di tengahnya.

“Itu adalah Tanda Perjanjian,” kata sang Ratu pelan. “Mulai hari ini, engkau bukan lagi hanya anak manusia. Air telah mengenalimu, dan kau tak akan pernah bisa mengingkarinya.”

Pandika menatap tanda itu, antara takjub dan takut. Ia merasakan kekuatan baru berdenyut di nadinya… namun di baliknya, ada sesuatu yang berat, seperti pintu besar yang baru saja terbuka—dan tidak akan pernah tertutup lagi.



Perpisahan dari Lembah Peri

Hari-hari di lembah bangsa peri mengalir bagaikan arus bening yang tak berbunyi. Pandika hampir lupa akan dentang waktu di luar sana; hutan yang melindungi negeri ini seperti menahan nafas dunia luar. Namun di lubuk hatinya, ia tahu—misinya belum usai.

Maka ia pun menghadap Sang Ratu Safiranindya untuk memohon izin berangkat. Namun sebelum ia sempat mengucapkan salam perpisahan, sang Ratu menatapnya dengan mata yang memantulkan cahaya bintang, lalu bersuara lembut namun sarat beban masa silam.

“Pandika,” ucapnya, “dahulu, sebelum kakimu menginjak tanah ini, pernah datang seorang ksatria agung. Namanya Prabu Galang Siwah, penguasa seni tempur yang tiada tanding, dan pengendali magis setara para bijak tertua. Di setiap pertempuran, ia selalu berada di garda terdepan; banyak musuhnya yang gugur di ujung pedang dan sorot matanya. Namun pada akhirnya, rasa lelah merayapi jiwanya, dan ia memilih menetap di sini, jauh dari bau darah dan pekik perang.”

Ratu menghela nafas panjang, seakan ingatan itu menorehkan luka yang belum sembuh.
“Namun tak lama, datanglah seorang bangsawan dari kerajaan yang tak dikenal. Entah apa yang dibisikkan padanya, Prabu Galang pergi tanpa sepatah kata, lenyap dari mata kami… dan hingga kini, ia tak pernah kembali. Jika engkau menemuinya di luar sana, sampaikanlah pesan ini—bahwa aku masih menunggu.”

Pandika menunduk, hormat pada kisah itu. “Ampun, Paduka Ratu, hamba tak dapat tinggal lebih lama. Misi hamba memanggil, dan jalan yang telah kupilih harus kutempuh hingga akhir.”

Sang Ratu bangkit dari singgasananya. Dari peti perak berukir daun telinga rusa, ia mengeluarkan sebilah pedang. Bilahnya berkilau bagai cahaya bulan di puncak salju, dan pada gagangnya terukir huruf-huruf kuno bangsa peri.

“Terimalah Linduparama,” kata Safiranindya, “pusaka dari leluhur kami, yang pernah menempa senjata para pahlawan di zaman purba. Semoga bilah ini menjadi perisai dan penuntunmu, hingga kau dapat kembali dengan selamat.”

Dengan penuh hormat, Pandika menerima pedang itu, merasakan getaran halus mengalir dari gagangnya ke nadinya.

Di bawah naungan pepohonan raksasa, Si Maung telah menanti. Ia akan menjadi penuntun Pandika keluar dari negeri yang tersembunyi ini, kembali ke jalan panjang yang penuh bayang-bayang dan misteri.

Maka, dengan satu salam terakhir, Pandika meninggalkan lembah peri—membawa pedang yang berkilau, pesan seorang ratu, dan takdir yang kini semakin berat di pundaknya.


Jalan Keluar dari Lembah yang Terlindung

Kabut pagi masih bergelayut di pucuk pohon ketika Pandika menoleh terakhir kalinya ke arah lembah bangsa peri. Dari kejauhan, ia melihat bayangan Sang Ratu Safiranindya berdiri di ambang gerbang kristal, jubahnya berkibar perlahan bagai sayap angin. Di sampingnya, peri-peri pengawal berdiri diam seperti patung giok, sementara sinar matahari pertama menyinari menara-menara berukir batu zamrud.

Si Maung—kini dalam wujud serigala besar dengan bulu hitam berkilat—menundukkan kepala, memberi isyarat agar Pandika naik ke punggungnya. Tanpa suara, mereka bergerak menembus jalan setapak yang membelah hutan purba.

Pohon-pohon di sini jauh lebih tua dari segala yang pernah Pandika lihat; batangnya lebar, kulitnya berlapis lumut keperakan, dan dari cabang-cabangnya menggantung akar-akar bercahaya bagai benang bintang. Udara terasa berat, seolah mengandung bisik-bisik dari zaman sebelum manusia pertama dilahirkan.

Namun perjalanan keluar tidaklah mudah. Jalan itu dijaga oleh Gerbang Cahaya, sebuah pusaran cahaya keemasan yang hanya akan terbuka bagi mereka yang diizinkan para penjaga hutan. Dari kegelapan pepohonan, muncullah sosok-sosok tinggi berjubah hijau tua, wajahnya tertutup topeng daun. Suara mereka terdengar seperti hembusan angin di dedaunan.

> “Kau membawa pedang leluhur kami,” kata salah satu penjaga, matanya memancarkan cahaya samar. “Maka kau akan diizinkan lewat… namun ingatlah, dunia di luar sini tidak mengenal belas kasihan seperti yang kau temui di lembah ini.”



Gerbang Cahaya bergetar, memekarkan lingkaran cahaya yang menelan kabut dan bayang-bayang. Begitu mereka melangkah masuk, Pandika merasakan hembusan udara dingin dan berat di dadanya—tanda bahwa mereka telah meninggalkan perlindungan magis bangsa peri.

Di luar, dunia tampak asing dan kelam. Lautan hutan berganti menjadi tebing curam, dan di bawah sana terbentang lembah berbatu yang dikuasai bayangan mendung. Dari kejauhan, Pandika dapat melihat kilatan petir yang membelah langit—sebuah pertanda bahwa badai besar sedang menunggu di arah perjalanan mereka.

Si Maung menoleh sekilas. “Kita sudah keluar… tapi ingat, ini baru permulaan.”

Maka mereka pun melanjutkan langkah, meninggalkan cahaya lembah peri, menuju dunia yang kini terasa jauh lebih sunyi—namun penuh dengan janji petualangan yang belum terungkap.


---
---

Di Kedai Pawon Adirenggo

Di jantung Kerajaan Apsari—sebuah negeri yang makmur oleh rempah-rempah dan hasil bumi—terdapat sebuah desa kecil bernama Salak. Di desa itu, para petani dan pedagang hidup dalam kesejahteraan, terutama setelah musim panen tiba. Udara sore hari dipenuhi aroma cengkeh, pala, dan kayu manis yang terbawa angin dari gudang-gudang penyimpanan.

Di tepi jalan desa berdirilah sebuah kedai makan sederhana namun masyhur: Pawon Adirenggo Nyi Saras. Atap ilalangnya menjulang, dan dari tungku tanah liat mengepul asap wangi yang menggoda siapa pun yang lewat. Kedai itu hari ini dipenuhi pengunjung; bangku-bangku kayu penuh oleh para petani yang baru saja menjual hasil panennya, kantung-kantung koin tembaga bergemerincing di pinggang mereka.

Nyi Saras sendiri, seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah, berkeliling sambil mengantar pesanan. Tangannya cekatan, membawakan piring-piring berisi lalapan hijau segar, urap berbumbu kelapa, jukut sayuran hangat, serta ikan dan ayam bakar yang masih berasap, dipadu dengan minuman tuak manis dan es dawet yang dingin menyegarkan.

Di salah satu meja, duduklah seorang tamu asing. Pakaian perjalanannya usang oleh debu jalan, namun di pinggangnya tergantung sebuah pedang indah yang berkilau redup, seolah menyimpan kisah lama dari jauh. Di samping kakinya meringkuk seekor kucing hitam gemuk dengan mata kuning menyala—terlihat jinak, namun penuh rahasia. Di hadapannya tersaji hidangan semeja penuh, dan ia makan dengan tenang, seakan perjalanan panjangnya belum cukup untuk meredakan lapar.

Tak jauh dari situ, pintu kedai berderit terbuka. Masuklah seorang wanita muda berparas ayu, wajahnya tersembunyi di balik cadar tipis dan topi lebar. Di sampingnya berjalan seorang pendekar tegap, sorot matanya tajam, geraknya ringan namun menyiratkan kekuatan seorang ahli kanuragan. Mereka mengambil tempat di kursi dekat pemuda asing dan kucingnya, seolah sengaja memilih posisi itu.

Sementara itu, di sudut lain kedai, sekelompok pedagang tengah berbincang hangat. Suara mereka berbaur dengan denting gelas dan riuh para pengunjung.

> “Musim ini rempah melimpah, harga naik di pelabuhan,” ujar seorang pedagang berjanggut. “Tapi jalanan tak lagi aman. Bandit-bandit dari utara makin sering menyerang pedagang yang berjalan tanpa pengawalan.”



Seorang pedagang lain menunduk, wajahnya cemas. “Aku butuh pengawal untuk kafilahku… mungkin pemuda asing itu,” katanya, menuding halus ke arah pria dengan kucing hitam. “Lihatlah pedangnya. Bukan pedang orang biasa. Barangkali dia seorang pendekar.”

Riuh kedai perlahan mereda, seakan udara ikut memperhatikan kehadiran sang tamu misterius. Pedang di pinggangnya, kucing hitam di sisinya, dan tatapannya yang dalam membuat para pengunjung bertanya-tanya: siapakah sebenarnya orang itu, dan apa maksud kedatangannya di negeri yang damai ini?


---

Pertemuan di Kedai Pawon Adirenggo

Suasana kedai semakin padat, suara obrolan dan dentingan mangkuk berpadu dengan aroma rempah yang memenuhi udara. Pandika duduk tenang, menepuk lembut kepala Si Maung yang asyik menjilati kakinya di bawah meja. Pandika makan dengan sederhana, meski hidangan di hadapannya melimpah; ia tampak lebih seperti seorang pengembara yang bersyukur atas sesuap nasi ketimbang bangsawan yang memamerkan kelimpahan.

Beberapa pedagang yang duduk di sudut akhirnya bangkit dan menghampiri mejanya. Mereka menunduk singkat sebagai tanda hormat—bukan hormat pada gelar, sebab mereka belum mengenalnya, melainkan pada aura wibawa yang terpancar dari dirinya.

“Maafkan keberanian kami, Tuan,” ujar seorang pedagang berjanggut tebal, suaranya bergetar namun penuh harap. “Kami dengar jalanan menuju pelabuhan kerap diganggu gerombolan perampok. Kafilah kami membawa rempah dari panen musim ini, dan kami membutuhkan seorang pelindung. Pedang di pinggang Tuan menandakan bukan sembarang pengelana… apakah Tuan sudi menjadi pengawal kami?”

Pandika meletakkan cangkir tuaknya, menatap mereka dengan mata yang jernih. “Aku hanyalah seorang pengembara dari Kerajaan Cakram,” ujarnya lirih namun tegas. “Bukan ksatria ternama, bukan pula pendekar yang diagungkan. Namun bila niat kalian tulus dan jalan kalian benar, aku akan mempertimbangkannya.”

Sebelum para pedagang sempat menjawab, wanita bercadar yang tadi duduk bersama seorang pendekar tegap bangkit dari tempatnya. Gerakannya anggun, dan suara lembut namun berwibawa terdengar di seluruh kedai.

“Bukan sembarang pengembara, kulihat,” katanya, menatap Pandika dengan mata bening yang menyembul dari balik cadarnya. “Di setiap helai langkahmu tampak jejak seorang yang pernah berlatih dalam seni perang dan ketabahan. Namaku Dyah Ratnaswari, putri dari seorang ksatria Majapahit. Aku dalam perjalanan menuju tanah leluhurku, ditemani pengawal setia, Ki Wijangga.”

Pendekar tegap di sampingnya menunduk hormat.

Dyah Ratnaswari menatap Pandika lebih dalam. “Jika engkau memang benar seorang dari Cakram, maka takdir mungkin telah menuntun langkah kita untuk bertemu di sini. Jalan menuju Majapahit pun tak bebas dari bahaya. Barangkali, bila engkau bersedia, kita dapat berjalan bersama.”

Kedai hening sejenak. Semua mata tertuju pada Pandika, pemuda asing dengan kucing hitam di sisinya. Si Maung mendongak, matanya berkilau bagai bara api, seolah memahami beban pilihan yang akan diambil tuannya.

Pandika tersenyum samar. “Barangkali takdir memang menghendaki demikian,” ujarnya, seraya menggenggam gagang pedangnya. “Bila jalan kita searah, maka kita akan berjalan bersama—menjaga kafilah para pedagang, dan barangkali… menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar tujuan perjalanan.”

Suasana kedai kembali riuh, namun kini berbalut rasa takjub. Pertemuan itu, meski sederhana, terasa seperti awal dari sebuah kisah besar yang akan tercatat dalam ingatan banyak orang.
---

Perjalanan Menuju Majapahit

Pandika menerima permintaan para pedagang tanpa meminta upah, sebab dalam hatinya ia tahu—ia belum layak menyandang nama ksatria di tanah kelahirannya. Maka ia menganggap perjalanan ini sebagai jalan pembuktian dirinya. Para pedagang pun bersorak lega, sebab mereka percaya kini kafilah rempah mereka akan lebih terjaga.

Rombongan pun berangkat. Gerobak-gerobak besar berisi karung rempah ditarik oleh kerbau-kerbau yang sabar, roda-rodanya berderit menyusuri jalan berbatu. Di sisi rombongan itu, Dyah Ratnasari memilih berjalan kaki, meski kudanya dibawa oleh Ki Wijangga. Ia melangkah dengan tenang di samping Pandika, seolah ingin berbagi jalan dan nasib dengan pemuda asing itu.

Si Maung berjalan di depan mereka, sesekali mengendus tanah, sesekali melompat ke semak, seakan tahu dirinya kini bukan sekadar seekor kucing, melainkan penjaga kecil bagi perjalanan besar.

Dalam heningnya langkah, Pandika akhirnya membuka percakapan, suaranya dalam dan tenang.
“Aku sedang mencari seorang pendekar,” katanya. “Namanya Prabu Galang Siwah. Pernahkah kisanak mendengar nama itu?”

Dyah Ratnasari tersentak, matanya terbelalak di balik cadar tipisnya. “Prabu Galang Siwah…?” bisiknya, lirih namun penuh takjub. “Bagaimana engkau tahu nama itu? Dia adalah kakak dari ayahku—seorang ksatria agung Majapahit yang menghilang sejak ekspedisi ke tanah Melayu. Tak seorang pun mendengar kabarnya lagi, seakan ditelan bumi.”

Ia menatap Pandika dengan penuh selidik. “Apa hubunganmu dengannya? Apakah engkau mengenalnya?”

Pandika menggeleng perlahan. “Aku tak pernah mengenalnya. Namun aku membawa sebuah amanat… ada yang menitip pesan untuk menemukannya, bila ia masih hidup di jagat raya ini.”

Dyah Ratnasari menunduk, hatinya bergetar oleh ingatan pada kisah keluarganya yang hilang. Namun sebelum ia sempat menanggapi, Si Maung menggeram pelan, bulu-bulunya berdiri tegak.

Pandika menoleh ke arah hutan lebat di sekitar Gunung Salak. Awan tipis menggantung rendah di antara pepohonan, dan suara burung-burung mendadak sirna. Keheningan itu bukan pertanda baik.

Dyah Ratnasari menggenggam erat sarung pedangnya. “Hutan di Gunung Salak ini,” katanya dengan nada waspada, “terkenal menjadi sarang kelompok perampok. Kita harus berhati-hati.”

Ia mengangkat dagunya, sorot matanya berani. “Namun jangan takut, Pandika. Meski aku seorang perempuan, aku telah ditempa dalam seni bela diri sejak kecil. Jika bahaya menghadang, aku takkan bersembunyi.”

Pandika menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar, penuh hormat. “Keberanianmu, Ratnasari, tak kalah dengan para ksatria lelaki. Semoga benar kata-katamu, sebab aku merasa perjalanan ini baru saja membuka tabir dari ujian yang lebih berat.”

Dan seakan mengamini kata-kata Pandika, dari kejauhan terdengar sahutan samar—teriakan kasar, berpadu dengan gemerisik langkah kaki yang berat di semak belukar.
---

Perkemahan di Kabut Gunung Salak

Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan diselubungi kabut putih pekat. Pohon-pohon besar berdiri seperti bayangan raksasa yang bisu, sementara jalan di depan nyaris lenyap tertutup kabut. Roda gerobak berdecit, kerbau mendengus resah, dan tak seorang pun berani berjalan terlalu jauh dari rombongan.

Akhirnya Pandika mengangkat tangan, memberi tanda untuk berhenti. Suaranya terdengar mantap, meski udara dingin menusuk hingga ke tulang.
“Lebih bijak bila kita berkemah di sini malam ini. Kabut ini terlalu tebal, langkah kita hanya akan menjerumuskan ke bahaya.”

Para pedagang mengangguk lega meski wajah mereka pucat. Mereka segera menurunkan muatan, mengikat kerbau agar tak berkeliaran, dan mulai mendirikan tenda seadanya dari kain dan bambu yang dibawa. Bau rempah dari karung-karung yang tersimpan samar tercium, berpadu dengan aroma lembab tanah hutan.

Namun malam di hutan Gunung Salak bukan malam yang ramah. Dari kejauhan terdengar suara pekikan monyet, meraung panjang dan mendadak terputus. Menyusul kemudian lolongan nyaring—seekor harimau mengaum, membuat bulu kuduk setiap orang berdiri. Lalu hening, disusul oleh suara burung hantu yang melengking panjang, menambah mencekamnya suasana.

Si Maung, yang biasanya setia di sisi Pandika, kali ini melompat ringan ke batang pohon tinggi dan menghilang di antara cabang-cabang. Dari sana matanya yang berkilau tampak mengawasi, seakan mencari perlindungan sekaligus berjaga-jaga dari atas.

Dyah Ratnasari menoleh ke Pandika, matanya sedikit khawatir. “Hutan ini seakan hidup… penuh mata yang mengintai.”

Pandika menyalakan obor, nyalanya menembus kabut dengan cahaya kuning redup. “Hutan memang penuh roh—entah roh hewan, entah roh manusia yang tersesat di sini. Jangan khawatir. Selama kita tetap waspada, kabut hanya akan menjadi tirai, bukan maut.”

Para pedagang duduk melingkar, membuka bekal nasi dan lauk sederhana. Mereka makan dengan cepat, seakan setiap suap hanya untuk mengusir rasa takut. Tenda-tenda kecil berdiri, dan di tengah perkemahan api unggun dinyalakan. Nyala api menari-nari, membelah kabut, seakan menjadi satu-satunya pelindung di antara dunia manusia dan kegelapan hutan.

Namun, jauh di balik kabut, samar-samar terdengar bunyi lain—gemerisik ranting patah, langkah-langkah yang berat, dan bisikan rendah seperti suara manusia yang berunding di balik tirai kabut.

Pandika meraih pedangnya, menatap ke dalam pekatnya malam. “Tidurlah dengan mata terbuka,” ucapnya lirih. “Aku merasa kita tidak sendirian di sini.”

---

Pertemuan Si Maung dengan Si Belang dan Bayangan di Utara

Di ketinggian pohon, Si Maung bergerak lincah bagai bayangan malam. Tiba-tiba dari balik kabut terdengar derap langkah berat, dan muncullah seekor harimau belang raksasa, matanya menyala bak bara dalam gelap. Kedua makhluk itu saling menatap, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai sesama penguasa hutan.

Si Maung menundukkan kepala sedikit, tanda hormat, dan Si Belang menjawab dengan tiga kali auman panjang yang menggema di lembah. Gema itu mengguncang dedaunan, menghalau monyet-monyet yang menjerit ketakutan, burung-burung malam pun terbang bertaburan, hingga hutan menjadi lebih tenang.

Namun, ketenteraman itu tak bertahan lama. Di salah satu pohon tua, berayunlah sesosok bayangan ganjil: makhluk berambut panjang, berbusana putih lusuh, dengan wajah pucat menakutkan. Ia tidak terusir oleh auman Si Belang. Malah bergelayut dengan mata menyala, seakan menantang.

Si Maung menggeram rendah, bulu-bulunya berdiri. Ia segera turun menemui Pandika.
“Tuanku,” bisiknya lirih, “ada makhluk halus yang bergelayut di atas pohon. Ia bukan dari dunia fana, dan ia tidak mau pergi. Namun bukan itu yang paling ku cemaskan. Di utara, aku mencium bau manusia—manusia hidup, yang datang dengan niat busuk. Mereka sedang mengendap-endap menuju kita.”

Pandika mendengarkan dengan wajah tenang namun sorot mata tajam. Perlahan ia membuka tasnya, mengeluarkan zirah besi yang berkilau samar di bawah cahaya api unggun. Suara logam beradu terdengar lirih saat ia mengenakan pelindungnya.
“Yang ku takutkan bukan roh,” ujarnya pelan. “Roh hanya menakutkan. Tetapi manusia hidup bisa lebih kejam daripada bayangan gaib.”

Seketika tubuh Pandika seolah lenyap bersama kabut, Si Maung melompat ke punggungnya. Mereka bergerak bagai angin, tanpa suara, hingga tiba di dekat sekelompok pengintai. Dari balik kabut, suara Pandika terdengar bergema, tegas namun tanpa wujud:

“Satu guru, satu ilmu. Jangan mengganggu kami. Bila tak segera pergi, darahmulah yang lebih dahulu akan tumpah.”

Para pengintai saling menoleh, wajah mereka pucat. Pemimpin mereka, seorang bertubuh besar dengan sorot mata liar, maju selangkah. Dialah Singa Lodra, perampok yang namanya ditakuti para pedagang di jalur selatan.
“Siapa kau?! Keluar dan hadapilah aku!” teriaknya.

Tak ada jawaban, hanya hening. Hingga tiba-tiba, dari kabut, kilatan baja menyambar. Pedang Pandika menghantam kepala Singa Lodra dengan pukulan datar, dan tubuh sang pemimpin roboh tak sadarkan diri.

Kengerian segera menyebar di kalangan anak buahnya. Mereka menjerit, melepaskan senjata, lalu berlarian kocar-kacir ke dalam kabut, seakan bayangan hutan sendiri mengejar mereka.

Pandika berdiri di atas tubuh Singa Lodra yang terkapar, pedangnya berkilau oleh cahaya api unggun yang redup. Si Maung mendesis puas, sementara kabut seakan menutup kembali rahasia hutan yang barusan terbuka.

---

Singa Lodra yang Tertawan

Tubuh Singa Lodra, bagai karung daging yang tak berdaya, diikat kuat dengan rotan hutan yang liat. Pandika menyeretnya tanpa belas kasihan, langkahnya mantap meski tanah becek oleh kabut embun. Di kejauhan, raungan singkat terdengar: Si Maung tengah mengejar para perampok yang melarikan diri. Beberapa di antaranya jatuh tersungkur dengan kaki berdarah, bekas taring tajam sang penguasa rimba. Mereka yang lolos pun akan berjalan timpang sepanjang sisa hidupnya, sebagai tanda bahwa hutan tidak pernah lupa kepada pengkhianat.

Dengan ayunan ringan, Pandika melemparkan tubuh pemimpin perampok itu ke dekat api unggun, hingga bara menyembur percikan kecil. Para pedagang yang sedang menggigil segera mengenal wajahnya.
“Itu… itu dia!” seru salah seorang dengan mata membelalak. “Singa Lodra! Kepala perampok yang selama ini menjarah jalur dagang kami! Kepalanya dihargai mahal, dan barangsiapa yang menangkapnya akan diganjar gelar terhormat oleh Sang Raja!”

Kegembiraan bercampur ketakutan terlihat di wajah mereka.

Dyah Ratnasari yang baru saja bangkit dari tidurnya tertegun. Selimut Pandika hanya menyisakan tas perlengkapan; ia mengira pemuda itu masih terlelap. Kini ia berdiri di hadapannya, zirahnya berkilau samar, nafasnya tenang seperti baru kembali dari perjalanan panjang.
“Bagaimana dengan kawanan perampok yang lain?” tanyanya, suaranya setengah cemas.

Pandika menatapnya singkat, lalu menancapkan pedangnya ke tanah lembap.
“Mereka telah tercerai-berai. Yang berlari akan membawa luka di kakinya; yang sembunyi akan selalu dihantui rasa takut. Tak seorang pun akan kembali dalam waktu dekat. Hutan telah menghukum mereka.”

Ia menarik nafas panjang, menatap ke arah jalan yang tertutup kabut. “Sepertinya gangguan sudah sirna. Bagaimana jika kita melanjutkan perjalanan?”

Seorang pedagang mengangguk cepat, wajahnya serius namun penuh kelegaan.
“Baiklah, aku setuju. Terlalu lama kita berhenti di sini, rempah-rempah yang kami bawa bisa rusak oleh lembab. Mutunya akan turun, dan kerugian menanti kami.”

Api unggun bergemuruh lirih, seakan mengamini keputusan itu. Di balik kabut, Si Maung mengaum rendah, tanda bahwa jalan telah aman untuk sementara.

---

Perjalanan Menuju Kerajaan Sunda

Perjalanan menuju Trowulan akan memakan waktu panjang, nyaris sebulan penuh bila ditempuh dengan langkah kaki yang lambat. Di tengah kabut pagi yang mulai menipis, seorang pedagang angkat bicara, suaranya tenang namun penuh pertimbangan.
“Namun, kita kini tak jauh dari batas Kerajaan Sunda. Tidakkah lebih bijak bila kita singgah terlebih dahulu di sana, sebelum menempuh jalan panjang ke timur?”

Pandika menoleh, matanya redup diterpa cahaya lembut matahari. Ia menarik nafas panjang lalu berkata, “Aku tak keberatan, meski uangku telah habis untuk santapan di kedai semalam.”

Pedagang itu tersenyum dan menundukkan kepala. “Jangan resah akan hal itu, kawan muda. Selama engkau mengawal kami, biarlah segala keperluan menjadi tanggungan kami.”

Dyah Ratnasari pun mengangguk, wajahnya berseri bagai bunga yang merekah di embun pagi.
“Sudah lama aku mendambakan sebuah penginapan. Setidaknya, untuk menyegarkan tubuh dan membersihkan wajah dari debu perjalanan.”

Maka rombongan pun berbelok menuju tanah Sunda. Pandika tertegun ketika matanya menangkap pemandangan yang asing baginya. Rumah-rumah panggung menjulang rapi di tepi Sungai Cisadane, terbuat dari kayu dan bambu, dengan atap kayu nipah yang tersusun rapi. Bayangan rumah-rumah itu terpantul di air yang berkilauan, sementara perahu-perahu kecil hilir mudik membawa hasil bumi. Suasana kota perbatasan terasa damai, namun penuh wibawa.

Para pedagang segera memberi saran bijak. “Wahai Pandika, bukankah lebih terhormat bila engkau menyerahkan tawananmu, Singa Lodra, kepada Maharaja Linggajaya sendiri? Nama baikmu akan sampai ke telinga raja.”

Pandika mengangguk, dan rombongan pun menuju istana kerajaan.

Tembok pertahanan berdiri kokoh, dibangun dari batu besar yang disusun tanpa cela, seolah dijaga oleh tangan para dewa. Di gerbang agung yang menjulang, sekelompok prajurit bersenjata tombak berdiri tegak, mata mereka tajam seperti elang.

Salah satu maju selangkah, suaranya bergema di antara dinding batu.
“Apakah gerangan maksud kedatanganmu ke istana, kisanak?”

Pandika melangkah ke depan, tubuhnya tegap, lalu menunjuk tawanan yang diikat kuat dengan rotan.
“Aku hendak menyerahkan orang ini—Singa Lodra, kepala perampok yang selama ini menjadi duri di jalanan hutan.”

Para prajurit memandang lekat, lalu saling berbisik dengan wajah terkejut. Segera mereka mengucapkan salam hormat.
“Selamat kepadamu, pemuda gagah. Engkau telah menangkap buronan pertama di kerajaan kami. Tiada lagi pengkhianat yang lebih ditakuti selain dirinya. Silakan masuk, bertemulah dengan Sri Maharaja Linggajaya. Ia pasti akan mendengar kabar ini dengan penuh suka cita.”

Maka pintu gerbang pun terbuka, dan jalan menuju singgasana raja terbentang di hadapan Pandika.

---

Audiensi di Istana Sunda

Maka terbukalah gerbang istana, dan Pandika bersama rombongannya dipandu oleh para prajurit melalui jalan berlapis batu hitam yang mengkilap bagai permukaan cermin setelah hujan. Tiang-tiang kayu jati menjulang tinggi menopang balairung, dihiasi ukiran halus berupa naga dan burung garuda. Cahaya obor dan pelita berkilauan, menari di permukaan emas yang menghias dinding.

Di ujung balairung berdiri singgasana megah, berlapis kain sutra hijau dan emas. Di atasnya, dengan tubuh tegap dan wajah berwibawa, duduk Maharaja Linggajaya. Jubahnya putih bersulam benang emas, dan mahkota kecil bertatahkan permata menghiasi kepalanya. Tatapan matanya tajam, namun penuh kebijaksanaan.

Para prajurit mendorong tubuh Singa Lodra ke hadapan raja. Tubuh sang perampok terikat kuat, wajahnya penuh noda tanah dan luka. Suara gemuruh terdengar ketika para bangsawan yang hadir berbisik di antara mereka—sebuah keheranan dan kekaguman akan pemuda asing yang berhasil menaklukkan musuh yang begitu ditakuti.

Maharaja Linggajaya bersuara, dalam, dan bergema di seluruh balairung:
“Siapakah engkau, pemuda gagah, yang berani menyeret ke hadapanku perampok yang selama ini menjadi duri di jalanan hutan kami?”

Pandika menunduk dalam hormat, kemudian menjawab dengan tenang,
“Hamba hanyalah seorang pengembara yang menempuh jalan panjang menuju Trowulan. Namun tak layaklah hamba membiarkan kejahatan berjalan di hadapan mata. Maka Singa Lodra kutangkap, agar tanah Sunda bebas dari terornya.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Lalu Maharaja bangkit dari singgasananya, suaranya lantang bagai guntur.
“Bangkitlah, pemuda! Engkau bukan lagi pengembara tanpa nama. Mulai hari ini, engkau kusebut Ksatria Pandika—seorang yang terhormat di hadapan Sunda dan Majapahit.”

Sorak-sorai bergema, para bangsawan bertepuk tangan, dan para prajurit menghentakkan tombak mereka ke lantai sebagai tanda penghormatan.

Seorang bendahara kerajaan membawa sebuah peti besar, dipenuhi kepingan emas dan perak.
“Terimalah hadiah ini,” ujar sang raja, “serta sebidang tanah di perbatasan sebagai tanda kebesaran namamu. Engkau akan dikenang sebagai sahabat Sunda.”

Namun Maharaja belum selesai. Ia menoleh ke arah dayang-dayang yang berdiri di sisi balairung, lalu memberi isyarat. Seorang wanita muda yang cantik jelita melangkah maju, wajahnya bagai bulan purnama, matanya bening penuh keanggunan.
“Bahkan lebih dari itu,” kata raja, “bila engkau berkenan, ia akan menjadi selirmu, agar darahmu dan darah Sunda menyatu dalam ikatan mulia.”

Sejenak Pandika terdiam. Suasana balairung menahan nafas, menanti jawabannya. Lalu ia melangkah maju, menunduk hormat, dan berkata dengan suara lembut namun tegas:
“Hamba menerima segala anugerah dengan kerendahan hati. Namun, maafkanlah, wahai Maharaja, hamba tak bisa menerima seorang wanita dengan jalan demikian. Jalan pengembaraanku belumlah usai, dan hatiku tak patut diikat hingga tugas itu selesai.”

Balairung terdiam sesaat, namun kemudian Maharaja tertawa panjang, suara gembira yang menggema di setiap pilar.
“Engkau benar-benar seorang ksatria sejati, Pandika! Tidak tamak pada emas, tidak pula pada keindahan dunia. Makin teguhlah hatiku bahwa Sunda dan Majapahit kelak akan disatukan oleh jiwa-jiwa mulia sepertimu.”

Maka Pandika pun meninggalkan balairung dengan gelar baru—Ksatria Terhormat Sunda—membawa nama yang kini disanjung, namun tetap dengan hati rendah dan langkah ringan seorang pengembara.

---

Malam di Penginapan Raja

Malam itu, di bawah langit Sunda yang bertabur bintang, Pandika dan rombongannya beristirahat di sebuah penginapan yang megah, tak jauh dari istana. Bangunannya dari kayu jati tua, dipahat halus dengan ukiran awan dan naga, atapnya tinggi menjulang, dan halaman dalamnya dipenuhi lampion yang berayun tertiup angin malam.

Karena perintah Maharaja, seluruh perhatian dicurahkan pada mereka. Makanan dihidangkan dengan penuh kemewahan: nasi harum ditanak dengan santan, ayam panggang berlumur madu, sayuran segar dari ladang kerajaan, dan sup hangat yang beraroma rempah.

Di salah satu sudut, si Maung duduk dengan tenang, namun matanya berbinar seperti anak kecil ketika pelayan menghidangkan ikan bakar utuh, dagingnya empuk dan berlemak. Ia melahap dengan rakus, sesekali mengeluarkan dengkuran puas, lalu berguling kekenyangan di lantai kayu, membuat semua orang tertawa kecil.

Dyah Ratnasari, wajahnya berseri-seri, baru saja kembali dari pemandian air panas. Rambutnya yang panjang terurai basah, pipinya bersemu merah, dan matanya berbinar bagai bunga yang baru merekah.
“Ah, Pandika,” katanya sambil duduk di dekat perapian, “air panas di penginapan ini bagaikan anugerah dewa. Semua lelah perjalanan seakan sirna. Betapa beruntungnya kita disambut dengan kemurahan hati seperti ini.”

Pandika tersenyum tipis, namun tangannya sibuk menyimpan hadiah emas dan perak dari Maharaja. Ia membuka sebuah tas yang tampak sederhana, terbuat dari kain biru tua bersulam bintang keperakan—tas itu pemberian Ratu Peri di hutan purba. Anehnya, berapa pun banyak benda dimasukkan ke dalamnya, tas itu tetap ringan, seolah tak berbeban. Cahaya samar memancar setiap kali mulut tas terbuka, seolah menyimpan kedalaman yang tak terhingga.

“Emas ini berat nilainya,” ucap Pandika lirih, “namun tidak boleh menjerat jiwa. Kita masih punya perjalanan panjang ke Trowulan, dan banyak bahaya yang menanti.”

Dyah menatapnya lama, lalu berkata dengan lembut, “Namun aku melihat engkau tetap sama, Pandika. Bahkan ketika emas dan tanah ditawarkan, hatimu tidak berubah. Itu membuatku yakin, aku berjalan bersama seorang ksatria sejati.”

Pandika menunduk, tak ingin menanggapi dengan kata-kata, namun dalam hatinya ada getaran yang tak bisa ia sembunyikan.

Tiba-tiba, si Maung yang kekenyangan mendongak, menjilat kumisnya yang basah minyak ikan, lalu bergumam dengan suara berat namun santai,
“Kalau perjalanan selalu begini—ikan bakar, tempat tidur hangat, dan emas berlimpah—aku rela jadi pengawalmu seumur hidup, Pandika.”

Gelak tawa pecah di ruangan itu, mencairkan segala beban hati. Malam di penginapan pun berlalu dengan damai—sebuah jeda singkat sebelum langkah mereka kembali menempuh jalan panjang yang penuh misteri.

---

Fajar baru saja merekah ketika rombongan itu bersiap meninggalkan penginapan kerajaan. Embun masih melekat di dedaunan, dan udara pagi membawa kesejukan yang menenangkan. Pedati besar berisi rempah-rempah kembali ditarik kerbau, sementara para pedagang menata barang dagangan mereka dengan hati-hati.

“Perjalanan menuju Trowulan akan panjang,” ujar salah seorang pedagang yang dituakan. “Kita mesti melintasi tanah Priangan dan Galuh, wilayah yang masih berada di bawah panji Kerajaan Sunda. Setelah itu, jalan membawa kita ke Brebes dan Tegal—daerah yang selalu diperebutkan antara Majapahit dan Sunda. Dari sana kita akan menempuh jalur pesisir utara, melewati kota-kota pelabuhan Majapahit: Tegal, Pekalongan, dan Jepara. Jalan itu lebih lapang, datar, dan ramai oleh arus niaga. Sedangkan jalur pedalaman, meski lebih singkat, adalah medan berat yang menembus Mataram dan lembah Kedu, melintasi pula sungai besar Bengawan Solo.”

Pandika, yang kini tampak lebih tegap setelah istirahat semalam, mengangguk perlahan. “Kalau begitu jalur pesisir sajalah yang kita tempuh. Biar panjang, asal pasti. Aku tak ingin membebani kalian dengan bahaya yang tak perlu.”

Pedagang itu tersenyum lega. “Tepat kata tuan. Pesisir lebih bersahabat bagi pedati kami, dan barang dagangan tak akan cepat rusak oleh kelembaban lembah.”

“Baiklah,” seru Pandika sambil meraih tas zirahnya, “maka marilah kita berangkat. Tubuh ini telah pulih, dan semangatku menyala kembali. Jangan kita sia-siakan pagi yang cerah ini.”

Dengan demikian, rombongan itu pun bergerak meninggalkan istana Sunda, menyusuri jalanan berliku yang perlahan terbuka menuju timur, di bawah sinar matahari yang mulai menanjak.
---

Tanah Priangan terbentang bagai hamparan hijau yang tak berujung. Gunung-gunung menjulang di kejauhan, puncaknya diselubungi kabut putih yang berarak bagaikan layar kapal di samudra langit. Hutan bambu tumbuh rapat di sepanjang jalan, batangnya berdesir ditiup angin, menghasilkan suara lirih menyerupai bisikan rahasia dari zaman purba.

Rombongan Pandika menapaki jalan setapak yang membelah persawahan berundak. Air jernih mengalir dari mata-mata air gunung, dituntun petani dengan parit kecil menuju petak-petak sawah. Ratusan burung bangau berdiri di pematang, seakan menjadi penjaga sunyi tanah yang subur itu.

Di setiap desa yang mereka lalui, rakyat Sunda menyambut dengan ramah. Rumah-rumah panggung dari kayu berdiri rapi, atap nipahnya berkilau ditimpa cahaya matahari pagi. Anak-anak berlari di jalan, tertawa riang sambil membawa layang-layang dari daun lontar. Perempuan desa menumbuk padi di lesung, irama ketukan kayu bergema bersahut-sahutan bagai nyanyian sederhana yang mengiringi kerja.

Ketika malam tiba, mereka beristirahat di kaki bukit yang diselimuti kabut tipis. Dari kejauhan, terdengar gamelan bambu dipetik di rumah-rumah desa, nada-nadanya mengalun sendu, bercampur dengan suara serangga malam. Si Maung duduk tenang di sisi Pandika, matanya berkilat mengamati gelap hutan yang mengintai.

Priangan bukan sekadar tanah perlintasan, melainkan negeri yang hidup, berdenyut dengan nyanyian alam dan keramahan manusia. Dan meskipun perjalanan masih panjang, hati rombongan menjadi ringan, seolah kekuatan gunung-gunung itu sendiri menuntun langkah mereka menuju timur.
---

Tanah Galuh terbentang lebih liar dan lebih sunyi dibanding Priangan. Hutan jati tua menjulang di kiri-kanan jalan, batangnya kokoh bagaikan tiang-tiang kuil purba yang tak tersentuh waktu. Jalanan tanah merah membentang berliku, kadang mendaki perbukitan, kadang turun menyeberangi sungai dangkal yang berarus deras.

Di tengah perjalanan, gerobak para pedagang berguncang keras saat roda kayu menghantam bebatuan besar. Suara kayu pecah terdengar, dan gerobak pun berhenti, miring tak berdaya di jalan sempit. Para pedagang bergotong royong memperbaikinya. Mereka menebang pohon muda, memahat kayunya dengan parang, lalu menggantikan bagian roda yang patah. Keringat menetes deras di bawah terik matahari, namun semangat kerja bersama membuat beban terasa lebih ringan.

Belum sempat lega, malapetaka lain datang. Seekor kerbau penarik gerobak jatuh terhuyung, tubuhnya gemetar, napasnya berat, dan matanya sayu. Penyakit telah merenggut tenaganya. Para pedagang mengelilinginya dengan wajah muram; kerbau itu telah setia menemani perjalanan jauh. Akhirnya diputuskan ia disembelih, dagingnya dibagikan untuk bekal, sementara kulitnya digantung di gerobak untuk dijual di pelabuhan kelak.

Sebagai pengganti, seekor kuda dibeli dari seorang petani Galuh yang kebetulan lewat. Hewan itu gagah, bulunya coklat kemerahan, matanya tajam dan penuh tenaga. Dengan kuda sebagai penarik baru, gerobak kembali bergerak, kali ini lebih cepat, meski jejak kehilangan masih terbayang di hati rombongan.

Di malam hari, mereka beristirahat di pinggir sungai Citanduy. Api unggun menyala, memantulkan cahaya ke wajah Pandika dan Dyah Ratnaswari yang termenung, mendengar suara si Maung menderam pelan, seakan turut merasakan duka atas kerbau yang gugur. Namun bintang-bintang bertebaran di atas langit Galuh, meneguhkan tekad mereka bahwa setiap kehilangan hanyalah bagian dari jalan panjang menuju tujuan.

---

Langkah rombongan akhirnya membawa mereka ke tanah perbatasan, di mana angin dari laut utara bertiup kencang, membawa serta bau asin samudra bercampur debu kering dari ladang-ladang yang jarang disentuh bajak. Wilayah Brebes dan Tegal kini bukan sekadar tanah, melainkan luka yang tak kunjung sembuh, karena dua kerajaan besar, Sunda dan Majapahit, sama-sama menancapkan klaim kuasanya di sini.

Di jalan berlapis debu itu, rombongan dihentikan oleh sekelompok prajurit bersenjata tombak panjang dan panji-panji Majapahit yang berkibar keras diterpa angin. Wajah mereka keras, tatapan penuh curiga. Pemimpin pasukan itu maju selangkah, suaranya bergema lantang:

“Berhenti! Katakan siapa kalian, dan atas izin siapa hendak melintasi tanah Majapahit?”

Ketegangan seketika menyelimuti udara. Para pedagang saling berpandangan, sementara kereta berhenti berderit, dan hewan penariknya mengentak gelisah. Pandika menggenggam erat gagang pedangnya, siap berjaga bila keadaan memburuk. Namun sebelum pertikaian pecah, Dyah Ratnaswari melangkah maju dengan penuh wibawa. Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah plakat berukir emas dengan lambang Garuda Majapahit, tanda sah kewenangan bangsawan.

Dengan tenang ia mengangkat plakat itu tinggi agar terlihat jelas oleh para prajurit.
“Aku Dyah Ratnaswari, putri dari seorang ksatria Majapahit. Atas hak dan titah yang diwariskan padaku, aku menuntut jalan terbuka bagi rombongan ini.”

Sejenak hening. Angin berdesir, panji-panji Majapahit berderak, dan wajah para prajurit tampak terbelah antara kecurigaan dan kewajiban untuk tunduk pada tanda kerajaan. Akhirnya, pemimpin prajurit itu menundukkan kepala dengan hormat.

“Jika benar engkau pewaris darah Majapahit, maka jalan ini terbuka bagi kalian. Namun ingatlah, tanah ini selalu diawasi. Jangan sekali-kali kalian menyimpang.”

Rombongan pun diizinkan masuk. Para pedagang menarik napas lega, sementara Pandika melirik Dyah Ratnaswari dengan kagum. Dalam dirinya, ia mulai memahami bahwa gadis bangsawan itu bukan sekadar pengikut dalam perjalanan, melainkan kunci yang menjaga mereka dari bahaya politik yang tak kasat mata.

Di balik semua itu, si Maung berdiri tegak di sisi Pandika, bulu punggungnya berdiri, seolah memahami bahwa ancaman di tanah perebutan ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar perampok di jalanan.
---

Rombongan itu pun bergerak menyusuri jalur pesisir utara, tanah yang kaya akan denyut perdagangan dan aroma samudra. Jalanan di sini lebih datar dibanding pedalaman, namun riuhnya kehidupan menjadikannya sebuah dunia yang berbeda.

Seiring roda gerobak berderit di atas tanah berpasir, dari kejauhan mulai tampak atap-atap pelabuhan Tegal yang menjulang dengan bendera-bendera warna-warni. Bau rempah tercium kuat di udara — kayu manis, pala, cengkih, dan lada bercampur dengan aroma ikan asin yang dijemur di tepi dermaga.

Di pelabuhan, kapal-kapal asing berlabuh dengan gagah: perahu jung dari Tiongkok dengan layar lebar berwarna merah, kapal-kapal Gujarat dengan ukiran kayu indah di haluannya, dan perahu-perahu Arab yang lambungnya hitam legam mengkilap. Para saudagar berteriak menawarkan dagangan mereka dalam berbagai bahasa, bercampur dalam satu simfoni kacau yang justru menjadi bukti kejayaan perdagangan Majapahit.

Pandika menatap takjub pada keramaian itu. Baginya, dunia seakan terbuka lebih luas dari yang pernah ia bayangkan di desa kecil tempat ia dilahirkan. Dyah Ratnaswari tampak anggun di antara kerumunan, seolah keberadaannya menarik perhatian para pedagang asing yang jarang melihat darah bangsawan berjalan di tengah pasar.

Si Maung, meski perutnya sudah kenyang sejak jamuan di Sunda, tetap mengendus-endus ke arah pasar ikan, matanya tajam menyorot ke sebuah tong berisi ikan segar yang dipikul seorang nelayan. Beberapa anak kecil menunjuk ke arahnya dengan wajah terpesona, belum pernah mereka lihat seekor harimau berjalan jinak di sisi manusia.

Ketika rombongan melanjutkan perjalanan menuju Pekalongan dan kemudian Jepara, mereka melewati jalan yang kian ramai oleh pedati rempah dan gerobak penuh kain sutra. Di tepian jalan, berdiri rumah-rumah panggung para saudagar, tinggi dan megah, dihiasi ukiran khas Jawa yang menggambarkan naga dan burung garuda.

Namun di balik segala kemewahan perdagangan itu, Pandika merasakan sesuatu: semakin ramai jalan, semakin besar pula bahaya dari para bajingan dan perampok yang mengincar kafilah dagang. Pandika menggenggam erat pedangnya, sedangkan Dyah Ratnaswari menatap lurus ke depan, seolah tahu bahwa jalan menuju Trowulan bukan hanya jalan dagang, melainkan jalan ujian.


---