01/03/25

Season 4 kerajaan Mythopia


Chapter 24 Bala bantuan suku pinrang

Di balik kabut kelam yang menyelimuti lereng Gunung Kelud, di mana bayang-bayang kegelapan bersemayam di celah-celah batu, Sangar Mahadipa sang Terkutuk berdiri di puncak menara runtuhnya, matanya yang seperti bara menyala-nyala memandang ke arah cakrawala. Ia menolak untuk percaya—para jawara yang telah ditempa dalam kawah ilmu hitam, dibalut kekuatan gelap yang tak terperi, ternyata tumbang oleh tangan Isidore, sang pemuda yang dianggapnya tak lebih dari anak angin. Namun, dendamnya takkan padam. Di bawah sinar bulan yang pucat, ia tahu waktu semakin sempit: Bulan Purnama akan segera tiba, saat di mana Suku Pinrang, penguasa binatang suci dari dataran selatan, akan bangkit dari tidur panjang mereka. Mereka, yang dendamnya membara terhadap Kerajaan Mythopia sejak zaman nenek moyang, hanya akan tunduk pada pemegang Keris Suci Caladthil—senjata yang kini berada di genggaman Isidore.

Ki Surya Dahana, sang Peramal Mata Gelap, berdiri di sampingnya, jari-jarinya yang keriput menyentuh permukaan Bola Kristal Azali, cermin jiwa yang memantulkan nasib. Di dalamnya, ia menyaksikan Isidore melangkah di jalan yang semakin terang, dikelilingi para ksatria sepuh yang kini berubah wujud—tubuh mereka kembali muda, kekuatan mereka bersinar bagai bintang fana. "Lihatlah, Penguasa," bisik Ki Surya Dahana, suaranya seperti desis ular berbisa. "Anak manusia itu telah menyentuh inti Mana Mythopia. Para ksatria yang pernah redup kini bangkit sebagai pilar cahaya. Jika Keris Suci tidak kita rebut sebelum Bulan Purnama, Suku Pinrang akan berpaling... dan rencana kita musnah."

Sangar Mahadipa menggeram, tangannya mencengkeram batu altar hingga retak. "Maka kita harus mengikat mereka dengan ikatan yang lebih kuno," ujarnya, suaranya menggelegar seperti guntur di langit kelam. "Kirim pesan kepada Suku Pinrang. Katakan bahwa Caladthil akan menjadi milik mereka—jika mereka bersekutu dengan kita untuk meruntuhkan Mythopia."

Dengan gerakan cepat, ia mengukir huruf-huruf kuno di atas daun pisang emas menggunakan darah gagak hitam—cairan gelap yang berkilau seperti malam tak berbintang. Surat itu diikatkan pada leher Gagak Api, makhluk angkasa yang bulunya menyala-nyala bagai bara neraka. "Terbanglah, wahai pembawa pesan maut," kata Sangar Mahadipa, matanya menyala-nyala. "Sampaikan pada Suku Pinrang bahwa dendam mereka akan terpuaskan... dan Mythopia akan jatuh sebagai debu di bawah kaki kita."

Burung itu mengepakkan sayapnya, meninggalkan jejak api yang menghanguskan udara, melesat menuju selatan—tempat Suku Pinrang menanti di balik kabut zaman.

Di atas langit yang kelam, di mana awan-awan hitam bergulung seperti nafas kegelapan, Gagak Api melesat dengan sayap-sayapnya yang berkilauan seperti bara neraka. Di cakarnya yang berasap, ia membawa pesan yang terukir pada daun pisang emas, bertuliskan huruf-huruf kuno yang berkilau dengan darah gagak hitam—tanda dari Sangar Mahadipa, sang Penguasa Kegelapan. Burung itu terbang menuju selatan, melintasi lembah-lembah sunyi dan gunung-gunung purba, hingga tiba di tanah Suku Pinrang, tempat di mana roh binatang suci bersemayam.

Di tengah hutan yang dipenuhi pohon-pohon raksasa, Maharani Kukuwaran, sang Ahli Roh Binatang, berdiri dengan mata yang tajam bagai elang. Ia merasakan getaran di udara, getaran yang membawa pesan dari dunia yang jauh. Matanya menatap ke langit, dan di sana, ia melihat Gagak Api mendekat, sayapnya menyala-nyala seperti obor di malam kelam. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan jala perangkap burung, jalinan serat magis yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, ketika jala itu dilemparkan, api dari burung itu melahapnya dalam sekejap, menyisakan abu yang berterbangan di angin.

Gagak itu mendarat di cabang pohon raksasa, dan seketika, api menjalar dari tubuhnya, membakar daun-daun dan ranting-ranting hingga pohon itu menjadi tiang api yang menjulang. Dari nyala api itu, terpancarlah pesan Sangar Mahadipa, terbaca dalam bahasa kuno yang hanya dimengerti oleh mereka yang terhubung dengan roh alam.

"Segera datang dengan pasukanmu ke Gunung Kelud," demikian bunyi pesan itu, suaranya bergema seperti bisikan dari dunia lain. "Isidore akan datang ke sini. Keris Suci Caladthil harus menjadi milik kita."

Maharani Kukuwaran berseru kegirangan, suaranya seperti nyanyian burung yang menandakan fajar. Ia segera memanggil Darmakala, ayahnya, sang Penguasa Ular, yang tubuhnya dipenuhi tato ular-ular purba yang seolah hidup. "Lihatlah, Ayah!" serunya, menunjuk ke arah pohon yang terbakar. "Pesan dari Sangar Mahadipa telah tiba. Saatnya telah datang untuk membalas dendam kita terhadap Mythopia!"

Darmakala, dengan tatapan dingin bagai es di puncak gunung, mengulurkan tangannya. Dengan gerakan yang penuh kuasa, ia menangkap Gagak Api itu, memegangnya erat meski api membakar kulitnya. Ia menuangkan air suci dari mata air abadi, air yang telah diberkati oleh roh leluhur, ke atas burung itu. Api pun padam, dan burung itu mengeluarkan suara serak, seolah mengucapkan terima kasih.

Darmakala kemudian memanggil Para Panatua, tetua suku yang bijaksana dan penuh rahasia. Mereka berkumpul di bawah pohon raksasa yang telah hangus, wajah-wajah mereka diterangi oleh cahaya bulan purnama yang mulai menampakkan dirinya. "Suku Pinrang telah lama menunggu saat ini," kata Darmakala, suaranya bergema seperti guntur di kejauhan. "Kita akan berangkat ke Gunung Kelud dengan pasukan binatang suci kita. Gajah Perang dan Badak Besi akan menjadi kaki kita, dan roh-roh alam akan menjadi sekutu kita. Keris Suci Caladthil harus menjadi milik kita, dan Mythopia akan jatuh di bawah kekuatan kita."

Para Panatua mengangguk, mata mereka bersinar dengan tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu, ini bukan sekadar pertempuran untuk kekuasaan, tetapi pertempuran untuk mengembalikan kehormatan yang telah direnggut dari mereka berabad-abad lalu.

Dan demikianlah, di bawah sinar bulan purnama yang mulai naik, Suku Pinrang bersiap. Binatang-binatang suci dikumpulkan, roh-roh alam dipanggil, dan pasukan yang tak terkalahkan mulai bergerak menuju Gunung Kelud—tempat di mana nasib Mythopia akan ditentukan.

chapter 25 Persiapan Menuju Gunung Kelud 

Di dalam gua api Gunung Lawu, di mana dinding batu berkilauan seperti permata hitam yang dipoles oleh nyala abadi, **Isidore** dan para ksatria Mythopia telah menyelesaikan ritual persiapan mereka. **Raja Alam Wardhana**, dengan aura kebiruannya yang memancar seperti cahaya rembulan, mendekati Isidore. **"Berhati-hatilah, Isidore,"** katanya, suaranya penuh kebijaksanaan. **"Sangar Mahadipa adalah musuh yang licik dan kejam. Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam tipu dayanya."**  


Isidore mengangguk, matanya penuh tekad. **"Aku akan waspada, Tuanku."**  


**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, melangkah maju. Tangannya yang berakar menempel pada dinding gua, dan seketika, sebuah pohon durian raksasa muncul dari batu. Kulit batangnya merekah, membuka jalan rahasia yang gelap dan penuh misteri. **"Ini adalah kekuatanku yang sebenarnya,"** kata Rakajati, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak. **"Akar-akar pohon ini saling terhubung ke seluruh penjuru Nusantara. Masuklah, dan kita akan sampai di Gunung Kelud dalam sekejap."**  


Tanpa ragu, Isidore dan para ksatria melangkah ke dalam pohon itu. Akar-akar purba melilit mereka, membawa mereka melesat melalui bumi seperti anak panah yang ditembakkan dari busur Valar. Saat mereka keluar, malam telah menyelimuti Gunung Kelud. Udara terasa berat, dipenuhi oleh bau belerang dan kegelapan yang mengancam.  


Isidore mengangkat keris suci **Caladthil**, dan aura putih bersinar memancar dari tubuhnya, menerangi kegelapan. **"Aku bisa merasakan kekuatan besar di sini,"** bisiknya, matanya menyipit. **"Terutama dari hutan di Utara."**  


**Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang ke udara. **"Angin kencang dari Utara membawa aura kegelapan,"** katanya, suaranya seperti desiran daun kering. **"Suku Pinrang datang dengan pasukan binatang—gajah, badak, babi, dan harimau. Mereka bersenjata pedang, tombak, dan panah."**  

**Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, mengerutkan kening. **"Suku barbar sudah mengetahui kedatangan kita,"** gumannya, api di tubuhnya menyala lebih terang. **"Ini akan menjadi pertarungan yang sebenarnya."**  

**Pangreksa**, sang Penguasa Es, mengangkat pedang esnya. **"Di usia mudaku ini, aku siap menghadapi apa pun,"** katanya, zirah esnya berkilauan di bawah sinar bulan.  

Sementara itu, di markas suku barbar, persiapan telah selesai. **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, berdiri di atas singgasananya yang terbuat dari tengkorak musuh. Di tangannya, ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang ditempa dalam lahar Gunung Kelud. **"Isidore akan masuk ke sarang harimau,"** katanya, tertawa dengan yakin. **"Dia takkan selamat dari jebakan kita."**  

Di sebuah pemakaman kuno, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, sedang melakukan ritual kegelapan. **"Bangkitlah, ksatria Mythopia yang telah lama mati!"** pekiknya, bola api hitam di tangannya berputar-putar. **"Meski hanya separuh kekuatanmu yang bisa kukembalikan, itu cukup untuk menghancurkan musuh kita!"**  

Dari kuburan-kuburan yang retak, bangkitlah ksatria-ksatria Mythopia yang telah lama mati. Mata mereka kosong, tubuh mereka dipenuhi oleh aura kegelapan. **"Ini adalah kartu as kita,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat.  

**"Kita telah sampai di sarang harimau,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Tapi ingat, Isidore, kita adalah ksatria Mythopia. Kegelapan takkan pernah mengalahkan cahaya."**  


Isidore mengangguk, keris sucinya berkilauan di tangannya. **"Untuk Mythopia,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Dan untuk semua yang kucintai."**  


Dan di puncak Gunung Kelud, api abadi menyala lebih terang dari sebelumnya, menandakan dimulainya babak baru dalam sejarah Mythopia.  


Chapter 26 Kebangkitan Ksatria Wayang

Di pemakaman kuno yang dikelilingi kabut hitam, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri di tengah lingkaran rune kematian. Tangannya yang kurus dan pucat menari di udara, menggambar segel rahasia dengan darah manusia hidup—korban yang dikorbankan untuk ritual kegelapan ini. **"Bangkitlah, wahai ksatria Mythopia yang telah lama tidur!"** pekiknya, suaranya seperti desisan ular berbisa. **"Kalian akan menjadi senjata terkuatku!"**  

Dari kuburan-kuburan yang retak, tiga ksatria bangkit. Tubuh mereka dipenuhi oleh aura kegelapan, mata mereka kosong, dan jiwa mereka terkunci dalam segel hitam yang digambar Ki Surya Dahana.  

1. **Ksatria Arka**, sang Cahaya Penghancur, bangkit dengan pedangnya yang berkilauan seperti bulan purnama. Namun, cahaya itu kini tertutup oleh kegelapan, menjadikannya bayangan dari dirinya yang dulu.  

2. **Ksatria Jayanegara**, sang Ikatan Jagat, muncul dengan rantai besi yang melilit tubuhnya. Rantai itu kini berwarna hitam pekat, seolah menyerap kekuatan alam sekitarnya.  

3. **Ksatria Senipati**, sang Penguasa Bayangan Waktu, bangkit dengan bayangan yang melingkupi tubuhnya. Waktu seolah melambat di sekitarnya, membuatnya terlihat seperti hantu yang bergerak dalam gerak lambat.  

**"Mereka adalah wayangku sekarang,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat. **"Separuh kekuatan mereka telah kukembalikan, dan itu cukup untuk menghancurkan Isidore."**  

Dengan gerakan tangannya, Ki Surya Dahana mengirim burung gagak hitam—makhluk pengintai yang matanya memancarkan cahaya merah. **"Pandulah mereka,"** perintahnya. **"Temukan Isidore dan hancurkan dia!"**  

Para ksatria wayang itu berubah menjadi bayangan hitam, mengikuti burung gagak yang melesat ke arah hutan di mana Isidore dan para ksatria Mythopia sedang bersiap.  

**Di hutan Gunung Kelud**, **Isidore** duduk bersila, keris suci **Caladthil** di pangkuannya. Matanya terpejam, fokus pada alam batinnya. Tiba-tiba, ia merasakan getaran jahat yang mendekat—sebuah kekuatan besar yang penuh dengan kegelapan.  

**Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, segera mendekati Isidore. **"Bentuk perisai, Isidore!"** perintahnya, suaranya tegas. **"Kekuatan gelap sedang mendekat!"**  

Sementara itu, **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, telah menghancurkan jebakan-jebakan yang dipasang oleh suku barbar. Akar-akarnya yang hidup melesat dari tanah, memutus tali beracun dan menghancurkan tombak-tombak yang tersembunyi. **"Pohon-pohon memberitahuku di mana jebakan itu berada,"** katanya, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak. **"Mereka adalah sekutu kita."**  

**Di langit**, burung gagak hitam melesat seperti anak panah kegelapan, diikuti oleh tiga bayangan hitam yang bergerak cepat. **Ksatria Arka**, **Ksatria Jayanegara**, dan **Ksatria Senipati** telah tiba.  

**"Isidore!"** teriak Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang. **"Bersiaplah! Mereka datang!"**  

Isidore membuka matanya, keris sucinya berkilauan. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai.

---  

**"Kita adalah ksatria Mythopia,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Kegelapan takkan pernah mengalahkan cahaya."**  


Dan di hutan Gunung Kelud, pertempuran besar pun dimulai.


Chapter 27 Pertempuran Melawan Ksatria Wayang 

Di tengah hutan Gunung Kelud, di mana kabut hitam menyelimuti pepohonan seperti selubung maut, tiga bayangan gelap muncul dari kegelapan. **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, tercengang melihat mereka. **"Arka... Jayanegara... Senipati..."** gumannya, suaranya penuh kepedihan. **"Kalian adalah kawan perjuanganku yang telah lama wafat. Kenapa kalian ada di sini?"**  


**Pangreksa**, sang Penguasa Es, bahkan menitikkan air mata yang seketika membeku menjadi kristal kecil. **"Tempat kalian bukan di sini,"** katanya, suaranya bergetar. **"Kalian seharusnya beristirahat dengan tenang di alam kubur."**  


**Ksatria Arka**, sang Cahaya Penghancur, mengangkat pedangnya yang kini tertutup kegelapan. **"Kami senang melihat kalian semua baik-baik saja,"** katanya, suaranya seperti gema dari dunia lain. **"Tapi maafkan kami... tubuh ini bergerak sendiri."**  


**Ki Surya Dahana**, yang berdiri di kejauhan, terkejut mendengar Ksatria Arka masih bisa berbicara. **"Tidak mungkin!"** geramnya, tangannya segera menggambar segel tambahan di udara. **"Diamlah, wayangku!"**  


Namun, sebelum segel itu sempat menyentuh Ksatria Arka, **Pangreksa** telah bertindak. Tangannya mengangkat, dan bunga-bunga es bermekaran di udara, membekukan tubuh para ksatria wayang. **"Semoga kalian kembali beristirahat dengan tenang,"** bisiknya, suaranya penuh duka.  


Tiba-tiba, **Ksatria Jayanegara**, sang Ikatan Jagat, menggerakkan tangannya. Rantai besi hitam melesat dari tubuhnya, mengikat Pangreksa dan menghancurkan es yang membekukan mereka. **"Kita tak punya pilihan,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang. **"Mereka bukan lagi kawan kita. Mereka adalah arwah yang telah dirasuki kegelapan."**  


Dengan gerakan cepat, Bhra Anuraga mengangkat tangannya. Hujan api turun dari langit, membakar tubuh para ksatria wayang. Namun, **Ksatria Arka** mengangkat pedangnya, menyerap api itu dan mengembuskannya kembali ke arah Bhra Anuraga.  


**Isidore** melesat maju, keris suci **Caladthil** di tangannya memotong api itu dengan kilatan cahaya keemasan. **"Aku akan melawanmu, Arka!"** teriaknya, pedangnya beradu dengan pedang Ksatria Arka.  


**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, mengerahkan akar-akar purba dari tanah, mencoba menarik para ksatria wayang ke dalam bumi. Namun, tubuh mereka berubah menjadi bayangan hitam, menghindari cengkeraman akar itu.  


**Ksatria Senipati**, sang Penguasa Bayangan Waktu, tiba-tiba berhenti. Matanya yang kosong seolah mendapatkan secercah kesadaran. **"Maafkan kami,"** bisiknya, suaranya seperti angin yang berhembus pelan. **"Kami tak ingin menyusahkan kalian... setelah hidup kembali.

**"Kita harus mengakhiri ini,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Mereka bukan lagi kawan kita. Mereka adalah korban kegelapan."** 

Isidore mengangguk, keris sucinya berkilauan. **"Untuk Mythopia,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Dan untuk semua yang kucintai."** 

Dan di hutan Gunung Kelud, pertempuran besar pun dimulai.  


Chapter 28 Kemenangan dan Istirahat di Tengah Kabut 

Di tengah hutan Gunung Kelud, di mana kabut hitam menyelimuti pepohonan seperti selubung maut, pertempuran sengit antara para ksatria Mythopia dan ksatria wayang yang telah dikendalikan kegelapan mencapai puncaknya. **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, mengerahkan hujan api dari langit, sementara **Pangreksa**, sang Penguasa Es, melepaskan serangan es yang membeku. **Isidore**, dengan keris suci **Caladthil** di tangannya, menebas dengan cepat dan penuh keyakinan. Namun, serangan mereka seolah sia-sia. Para ksatria wayang menghindar dengan mudah, tubuh mereka berubah menjadi bayangan hitam yang tak tersentuh.  


**Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, mendekati Isidore dengan langkah tegas. **"Fokuslah pada pedangmu, Isidore,"** katanya, suaranya seperti gemuruh guntur di kejauhan. **"Pedang itu bisa memotong apa pun, asalkan kau benar-benar menginginkannya."**  

Isidore menutup matanya, mencoba memusatkan pikirannya. **Raja Alam Wardhana**, yang melayang di udara dengan aura kebiruannya, masuk ke dalam alam pikiran Isidore. **"Segala sesuatu bisa dipotong, Isidore,"** bisiknya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Asalkan kau percaya pada kekuatanmu sendiri."**  

Ketika Isidore membuka matanya, aura pedangnya membesar, memancarkan cahaya keemasan yang menerangi kegelapan. Para ksatria wayang tersenyum puas, mata mereka yang kosong seolah mendapatkan secercah kedamaian. **"Kami kini bisa kembali ke asal kami,"** kata Ksatria Arka, suaranya seperti gema dari dunia lain. **"Terima kasih telah membantu kami."**  

Dengan satu tebasan yang penuh keyakinan, Isidore memotong bayangan para ksatria wayang. Tubuh mereka terbelah dua, dan seketika, bayangan itu berubah menjadi jenazah prajurit suku barbar yang telah dikorbankan untuk ritual kegelapan.  

**Pangreksa** mengangkat tangannya, dan bunga-bunga es bermekaran di udara. **"Semoga kalian beristirahat dengan tenang,"** bisiknya, sambil mengubur jenazah mereka dengan penuh hormat.  

Isidore merasa kelelahan, tubuhnya gemetar setelah memusatkan kekuatan pada pedangnya. **"Kita perlu beristirahat,"** katanya, suaranya lemah namun penuh tekad.  

---  

**Di dalam hutan yang dipenuhi kabut malam**, para ksatria Mythopia menemukan tempat yang aman untuk beristirahat. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, mengangkat tangannya, dan angin berputar-putar membentuk perisai yang melindungi mereka dari bahaya. **"Kita aman di sini,"** katanya, suaranya seperti desiran daun kering.  

**Bhra Anuraga** menyiapkan hidangan: daging rusa muda yang dibakar dengan api sedang, mengeluarkan aroma yang menggugah selera. **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, memberikan buah nanas segar yang dipetik dari pohon ajaibnya. **"Makanlah,"** kata Rakajati, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak. **"Ini akan memulihkan tenagamu."**  

**Raja Alam Wardhana** duduk di samping Isidore, matanya memancarkan kebijaksanaan yang dalam. **"Ki Surya Dahana dulunya adalah kepala biksu di Mythopia,"** katanya, suaranya penuh duka. **"Tapi dia tercemar oleh kerakusan akan pengetahuan yang sesat. Dia tidak pernah menguasai pengetahuan Mythopia yang sebenarnya."**  

Isidore mengangguk, sambil menyantap hidangan itu. **"Kita harus menghentikannya,"** katanya, suaranya penuh tekad. **"Tapi untuk sekarang, mari kita menenangkan diri dan beristirahat.

**"Kita telah memenangkan pertempuran ini,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Tapi perang belum berakhir. Kita harus bersiap untuk menghadapi Ki Surya Dahana dan Sangar Mahadipa."**  

Isidore mengangguk, keris sucinya berkilauan. **"Untuk Mythopia,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Dan untuk semua yang kucintai."**  

Dan di hutan Gunung Kelud, di bawah kabut malam yang pekat, para ksatria Mythopia beristirahat, siap menghadapi tantangan yang lebih besar.  


Chapter 29 Perjalanan Darmakála dan Tantangan Hutan Hidup 


Selama dua malam penuh, **Darmakála**, sang Penguasa Suku Pinrang, mengendarai gajah raksasanya yang bernama **Móruvar**, melintasi hutan gelap yang bernyawa. Di belakangnya, pasukan Pinrang bergerak dengan susah payah. Akar-akar pohon purba melilit kaki gajah-gajah mereka seperti ular naga yang lapar, sementara badak-badak baja mereka terpaksa menanduk pohon-pohon raksasa yang menjulang, membuka jalan di tengah labirin kayu yang bergerak sendiri. **"Hutan ini hidup!"** geram Darmakála, suaranya menggelegar seperti gemuruh bumi. **"Ia bernafas, ia memangsa!"**  


Dengan kekuatan yang dititipkan leluhurnya, Darmakála mengangkat tongkat komandonya. **Móruvar**, sang gajah perang, menginjak-injak akar-akar itu hingga tanah bergetar sejauh berpuluh liga. Gunung-gunung kecil longsor, dan pohon-pohon berusia ribuan tahun rubuh oleh hantaman gading **Móruvar** yang berkilau seperti bulan sabit. **"Majulah!"** pekik Darmakála. **"Gunung Kelud sudah di depan mata!"**  


Di barisan depan, **Maharani Kûkuwaran**, sang Kesatria Harimau, mengendarai **Raudhax**, harimau putih bermata api. Pedangnya, **Nimrost**, berkilauan di kegelapan, memancarkan cahaya keemasan yang mengusir bayangan. **"Dengarkan auman Raudhax!"** serunya. Suara harimau itu menggema, memanggil binatang-binatang hutan—serigala, beruang, dan burung hantu—untuk bergabung dalam barisan. **"Satu langkah lagi! Kita akan mengepung Gunung Kelud!"**  


---  

**Di sisi lain hutan**, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Kegelapan, berjalan di tengah kabut pekat yang menyelimuti Gunung Kelud. Akar-akar hidup mencengkeram kakinya, tetapi pedang terkutuknya, **Gurthang**, menghujam ke bumi, memotong akar-akar itu dengan gemuruh yang menggetarkan tulang. **"Di mana kau, Isidore?!"** raungnya, suaranya seperti teriakan Balrog yang keluar dari jurang Khazad-dûm. **"Muncul dan hadapilah aku!"**  


Pekikannya bergema melintasi lembah dan ngarai, mencapai telinga Isidore yang sedang duduk di bawah pohon **Telperion**—pohon cahaya yang tumbuh dari benih peninggalan Mythopia. Tubuh Isidore telah pulih berkat buah **Yavannalë** pemberian Rakajati dan daging rusa yang dibumbui rempah kuno. Cahaya keris suci **Caladthil** di pinggangnya kini berkilau lebih terang dari sebelumnya, seolah menyimpan kekuatan fajar pertama.  


**"Dia memanggilmu,"** bisik **Raja Alam Wardhana**, yang muncul dari bayangan pohon. **"Tapi kau siap, Isidore. Kabut ini adalah sekutumu. Alam sendiri yang akan membimbingmu."**  


Isidore bangkit, matanya memancarkan keteguhan yang tak tergoyahkan. **"Aku siap,"** katanya, suaranya tenang namun penuh kuasa. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**  


**"Kau mendengarnya?"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala seperti bintang jatuh. **"Sangar Mahadipa sedang memanggil takdirnya sendiri. Dan takdir itu adalah kekalahan."**  


Isidore mengangguk, keris **Caladthil** berkilauan di tangannya. **"Biarkan dia memanggil. Aku akan menjawab."**  


Dan di bawah kabut Gunung Kelud yang tak pernah reda, pertempuran terbesar di era Mythopia pun dimulai.  


Chapter 30 Pertempuran Terakhir Sangar Mahadipa 

Angin berhembus pelan, membawa hawa dingin yang menusuk tulang, ketika **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melepas perisai yang melindungi tempat peristirahatan mereka. Udara tiba-tiba berubah: salju turun dari langit kelabu, namun di antara butir-butir putih itu, api-abadi **Bhra Anuraga** berjatuhan seperti bintang yang marah. **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Kegelapan, berdiri di tengah medan perang, matanya melotot menyaksikan fenomena alam yang tak wajar ini.  


**"Kalian pikir ini akan menghentikanku?"** raungnya, suaranya seperti gemuruh gunung berapi yang hendak meletus. **"Tubuhku dibalut jimat-jimat leluhur, dan senjataku ditempa dalam lahar Neraka Udûn! Tak ada yang bisa mengalahkanku!"**  


Dengan gerakan brutal, ia memutar **Gurthang**, senjata legendarisnya yang berkilau hitam pekat, lalu menghunjamkannya ke tanah. Bumi bergetar, retakan panjang menganga seperti mulut jurang, memecah tanah hingga ke akar-akar purba. **"Serbu mereka!"** pekiknya pada pasukan pemuda desa yang telah dikendalikan paksaan. Para pemuda itu—wajah mereka kosong, jiwa mereka terbelenggu—berlari ke depan, senjata beracun di tangan, tetapi kabut tebal dan akar-akar hidup menjerat mereka.  


**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, menggerakkan jarinya halus. Akar-akar pohon melilit kaki para pemuda, menarik mereka ke dalam tanah. **"Tidurlah,"** bisiknya, suaranya seperti gemuruh bumi. **"Kalian bukan musuh kami."**  


**Pangreksa**, sang Penguasa Es, melesat maju. Pedang esnya, **Nenheled**, berkilauan seperti kristal Valinor. Setiap tebasan menciptakan bunga-bunga es yang mekar di udara, memancarkan asap racun mematikan. Sangar Mahadipa tertawa, menutup hidung dengan jimatnya, lalu membekukan tubuh Pangreksa dengan pukulan **Gurthang**. Tapi es itu segera retak, dan Bhra Anuraga turun dari langit, menghujani sang tiran dengan hujan api.  


**"Api takkan membunuhku!"** teriak Sangar Mahadipa, tubuhnya lenyap menjadi bayangan hitam yang merayap cepat ke arah Isidore. **"Kau hanyalah anak kecil yang—"**  


Kalimatnya terpotong. **Isidore**, dengan keris suci **Caladthil** yang memancarkan cahaya fajar pertama, melesat seperti kilat. Tebasannya memotong bayangan itu menjadi dua, mengubah asap hitam menjadi darah kental yang mengalir di tanah. Tubuh Sangar Mahadipa terbelah, tapi lukanya mulai menyatu—regenerasi terkutuk dari ilmunya yang sesat.  


**"Tidak lagi!"** seru Pangreksa. Bunga-bunga es bermekaran, membekukan setiap bagian tubuh sang tiran. **Rakajati** menggerakkan tangannya, dan akar-akar purba melesat dari bumi, mencabik tubuh itu menjadi berkeping-keping, menjauhkannya agar tak bisa bersatu kembali.  


Isidore memungut **Gurthang** yang terjatuh. Di tangannya, senjata terkutuk itu bergetar, lalu menyusut menjadi pisau kecil berkilauan—**Anglachel**, pisau pusaka Mythopia yang hilang ribuan tahun silam. **"Ini adalah peninggalan leluhur kita,"** bisik Raja Alam Wardhana, muncul dari kabut. **"Kekuatan kegelapan takkan lagi mengotorinya.

---  

**"Ini akhir bagimu, Sangar Mahadipa,"** kata Isidore, memandang kepingan tubuh beku yang tercabik akar. **"Tapi bukan akhir bagi Mythopia."**  


Di kejauhan, Ki Surya Dahana, sang Peramal Ilmu Hitam, menggeram melihat ritualnya gagal. Bola api hitam di tangannya pecah, dan kabut di Gunung Kelud mulai menipis.  


**"Perang belum berakhir,"** bisik Bhra Anuraga, api di tubuhnya meredup. **"Tapi hari ini, kita telah membawa harapan."**  


Dan di bawah langit kelabu yang mulai cerah, para ksatria Mythopia berdiri bersama—cahaya mereka bersinar bagai bintang di malam yang panjang.  

24/02/25

Tarian surga

Penulis tyas---

Semuanya masuk, meresap perlahan, seperti embun pagi yang menyentuh setiap sudut hati. Ia merasuk ke dalam sanubari, bercengkrama dengan alam ruh dan jiwa yang terbakar dalam buaian asmara. Seperti tarian darwish, gerakannya mengalir bebas, menyatu dengan keheningan alam yang seakan berbicara. Langit jingga memanggil, mengajaknya terbang tinggi, melintasi batas-batas dunia yang fana.

Suara gendang dan seruling dari lautan luas bergema, membawanya melintasi samudra kehidupan yang tak berujung. Seperti pengembara yang tak kenal lelah, ia terus berjalan, mencari makna hidup, mencari surga cinta yang abadi. Cahaya merasuk ke dalam tubuhnya, membawanya melintasi jagat raya, berputar bagai Ka’bah, menyatu dengan irama alam semesta.

Kilauan cahaya memancar, memenuhi ruang dan waktu, sementara zikir dan tasbih mengalun berirama, mengagungkan Sang Pencipta. Mawar merah alam semesta pun ikut berzikir, menyebut nama-Nya dengan penuh kekaguman. Damai menyelimuti ruh dan jiwa yang suci, bertasbih dalam keheningan cahaya agung Sang Pencipta. Kata-kata kerinduan terangkai, mengungkapkan rindu yang mendalam bagi jiwa yang kesepian.

Ia menari bersama alam, bernyanyi bersama langit, mengagungkan Sang Kekasih dengan segenap jiwa. Dengan kerinduan yang membara, ia berharap kecintaan-Nya merajut kasih, menyebut nama-Nya dengan rindu yang tak terhingga. Setiap detak jantungnya adalah doa, setiap nafasnya adalah pujian bagi Sang Pencipta.

---
Chapter 1 Perjuangan dalam kampus

Aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di Universitas Harapan Indonesia. Ya, salah satu universitas terbaik di negeri ini. Saat kakiku melangkah melewati gerbang kampus, mataku tertarik pada tulisan besar yang terpampang di atas: *“Selamat Datang Calon Pemimpin Bangsa”*. Kalimat itu seolah menyiratkan janji, bahwa kampus ini akan membentuk para mahasiswanya menjadi pemimpin masa depan. Dan memang, kampus ini telah melahirkan banyak tokoh sukses, mulai dari pengusaha hingga politisi ternama. Mereka adalah bukti nyata bahwa Universitas Harapan Indonesia bukan sekadar nama.

Kampus ini adalah impian. Banyak orang bermimpi untuk bisa masuk, tetapi hanya sedikit yang berhasil. Seleksinya ketat, dengan persaingan yang sengit—hanya satu dari dua puluh calon mahasiswa yang diterima. Dan aku, dengan segala keberuntungan dan kerja keras, termasuk di antara mereka yang berhasil melangkahkan kaki ke dalam gerbang ini.

Kampus ini luas, sekitar empat hektar, dengan gedung-gedung megah yang berdiri kokoh di antara pepohonan rindang. Setiap fakultas memiliki gedung sendiri, dilengkapi fasilitas akademik yang canggih. Lingkungannya asri, dengan tempat-tempat duduk yang tersebar di bawah pohon-pohon besar. Tempat itu, yang oleh mahasiswa dijuluki “DPR” (*Dibawah Pohon Rindang*), sering menjadi lokasi diskusi serius atau sekadar bersantai setelah kelas.

Saat aku melintas, mataku tertarik pada sekelompok mahasiswa yang sedang berdebat panas di bawah salah satu pohon. Suara mereka terdengar meski jarakku cukup jauh. Seorang mahasiswa dengan buku tebal di tangan kiri berbicara dengan penuh semangat, sementara yang lain tak kalah bersemangat menyampaikan argumennya. Aku tersenyum. Inilah dunia kampus, pikirku. Tempat di mana ide-ide bertabrakan, dan setiap orang berusaha membuktikan kebenarannya.

Namun, tak jauh dari mereka, ada sepasang mahasiswa yang duduk mesra, tak peduli dengan sekelilingnya. Mereka berciuman dengan bebas, seolah tak ada yang melihat. Aku merasa tidak nyaman. Sebagai seorang muslim, aku tahu ini bukanlah hal yang dibenarkan. Perang batin pun terjadi dalam diriku. Haruskah aku menegur mereka? Atau membiarkan saja, karena ini bukan urusanku?

Hatiku berdebat. *“Engkau adalah umat muslim. Bukankah kewajibanmu untuk mengingatkan mereka?”* Tapi di sisi lain, suara lain berbisik, *“Jangan mencampuri urusan orang lain. Ini bukan urusanmu.”* Aku terdiam sejenak, mencerna pertarungan dalam diriku. Akhirnya, keyakinanku menang. Aku harus mengingatkan mereka. Ini bukan tentang agama, tapi tentang perilaku yang tidak terpuji.

Dengan langkah mantap, aku mendekati mereka. *“Assalamualaikum, Kak,”* sapaku lembut.

Mereka terkejut, memisahkan diri secepat kilat. *“Iya, loe siapa ya?”* tanya si lelaki, suaranya setengah kesal.

*“Maaf sebelumnya, Kak. Apakah kakak muslim?”* tanyaku, mencoba menjaga sopan santun.

*“Iya, gue muslim. Kenapa?”*

*“Bukankah dalam ajaran Islam, kita dilarang berdua-duaan seperti ini? Ketiganya adalah setan,”* kataku, mencoba menjelaskan dengan tenang.

Namun, alih-alih menerima, si lelaki malah melotot. *“Udah loe jangan banyak bacot! Pergi lu dari sini, sebelum gue hajar!”* teriaknya, sambil memegang kerah bajuku dengan kasar. Aku terdorong ke belakang, jatuh ke tanah.

Mereka berdua pergi, masih bergandengan tangan, seolah tak peduli dengan teguranku. Aku bangkit, membersihkan debu dari bajuku. Hatiku bergejolak, tapi aku tak menyerah. Ini hanya awal. Aku berjanji pada diriku sendiri: aku akan terus menyerukan kebenaran di kampus ini. Aku tak ingin di akhirat nanti, aku termasuk orang yang merugi karena diam saat melihat kesalahan.

Ini adalah permulaan. Dan aku tak akan menyerah. Karena menyerah berarti kalah, dan kekalahan bukanlah pilihan.

---

Sudah hampir sebulan aku belajar di kampus pilihanku, Universitas Harapan Indonesia. Namun, semakin hari, aku semakin merasa bahwa kampus ini seperti gurun yang gersang dari nilai-nilai agama. Kampus ini mengajarkan ilmu dunia dengan begitu megah, tetapi ilmu akhirat seolah terlupakan. Tidak ada hijab yang membatasi laki-laki dan perempuan, tidak ada suara azan yang menggema saat waktu sholat tiba. Yang ada hanyalah paham hedonisme, di mana kebahagiaan duniawi menjadi tujuan utama. Hatiku hancur, menyesali pilihanku.

Ketika waktu Zhuhur tiba, aku menunggu suara azan yang tak kunjung datang. Hati ini seperti tersayat pisau tajam. Universitas yang mayoritas muslim ini, seolah hanya muslim di kartu pengenal saja. Mereka sibuk mengejar ilmu dunia, melupakan bahwa ada ilmu akhirat yang lebih penting. *“Ya Allah, apa yang terjadi dengan umat muslim di sini? Mengapa mereka melupakan perintah-Mu?”* bisikku dalam hati.

Aku bergegas menuju mushola kampus, berharap menemukan sedikit ketenangan. Namun, mushola itu kecil, tak sebanding dengan luasnya area kampus. Ukurannya hanya sepuluh kali lima belas meter, dan terlihat tak terurus. Sarang laba-laba menghiasi sudut-sudutnya, seolah menandakan bahwa tempat suci ini jarang dikunjungi. Aku menghela napas, lalu mengumandangkan azan meski tanpa speaker. Suaraku mungkin tak terdengar jauh, tapi setidaknya aku mencoba.

Setelah menunggu beberapa saat, tak ada seorang pun yang datang. Aku sholat sendirian, merasakan kesepian yang mendalam. Namun, di rakaat ketiga, tiba-tiba ada yang mencolekku dari belakang. Seorang mahasiswa bergabung, menjadi makmumku. Tak lama, dua orang lagi datang, menyusul sebagai masbuk. Setelah sholat, kami pun berkenalan. Meski baru beberapa menit mengenal, rasanya kami sudah seperti saudara. Kami berbincang tentang keadaan kampus yang memprihatinkan. Suara Allah hampir tak terdengar di sini. Bukan hanya aku, mereka pun merasa sedih.

Sejak saat itu, kami menjadi empat serangkai yang tak terpisahkan. Setiap hari, kami berkumpul di mushola setelah sholat berjamaah. Musholla yang terletak di dekat gerbang kampus ini menjadi tempat strategis bagi kami untuk bertemu, meski kami berasal dari fakultas yang berbeda.

Andi, sahabatku yang pertama, adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Politik. Posturnya tinggi dan agak gemuk, dengan kulit kecoklatan yang selalu terlihat cerah karena kebiasaannya menjaga wudhu. Dibesarkan di lingkungan pesantren, Andi memiliki wawasan keislaman yang luas, mulai dari fiqih hingga perkembangan dunia Islam kontemporer. Jiwa kepemimpinannya pun menonjol, tak heran dia pernah menjadi lurah pondok di pesantrennya.

Bintang, temanku yang kedua, adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi. Dijuluki ensiklopedi berjalan, dia memiliki kecepatan membaca yang luar biasa—500 kata per menit. Buku setebal 1000 halaman bisa dilahapnya dalam tiga jam, dan dia bisa menceritakan kembali ide-ide pokoknya dengan ringkas. Kurasa, dia bisa memenangkan acara kuis pengetahuan umum seperti *“Kuis Siapa Berani”* jika dia mau.

Ahmad, sahabat karibku yang ketiga, adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi. Kemampuannya dalam menganalisis masalah sangat akurat. Dia bisa memecahkan misteri dengan data yang minim, meski seringkali jalan pikirannya sulit dipahami. Ahmad adalah orang yang keras kepala, tak mudah menerima pendapat orang lain tanpa penjelasan yang logis.

Dan aku, Arya, mahasiswa Fakultas Kedokteran. Ketertarikanku pada dunia kedokteran bermula dari kematian ibuku karena kanker serviks lima belas tahun lalu. Ayahku, meski awalnya berharap aku mengambil ekonomi, akhirnya mengerti dan mendukung pilihanku.

Suatu hari, setelah sholat Dzuhur, kami duduk bersama di mushola. *“Aku merasa miris dengan keadaan di kampus kita ini,”* kata Andi, memecah keheningan. *“Saudara-saudara kita sepertinya tidak mengenal siapa Tuhan mereka. Apakah mereka tak takut azab Allah?”*

*“Menurutku, mereka bukannya tidak takut, mereka hanya tidak tahu,”* jawab Ahmad. *“Aku yakin jika ditanya tentang Islam, mereka akan bingung menjawabnya. Islam adalah kata yang asing bagi mereka.”*

*“Jika mereka asing, bagaimana jika kita memperkenalkan ajaran itu kepada mereka?”* usul Andi. *“Kita buat organisasi yang berorientasi pada dakwah.”*

*“Tak usah repot-repot membuat organisasi,”* sanggah Bintang. *“Itu hanya akan menimbulkan pertengkaran. Cukup kita berdakwah secara personal.”*

*“Bintang, ingat pesan Ali bin Abi Thalib,”* kataku, mencoba menengahi. *“Kebaikan yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi. Lihatlah keadaan umat Islam sekarang. Sudah saatnya kita membuat organisasi dakwah, mengubah kampus ini menjadi tempat yang Islami.”*

*“Aku setuju dengan Arya,”* sambut Andi. *“Kita buat organisasi yang akan menyuburkan kampus ini dari peradaban yang kering dan layu.”*

*“Baiklah, jika itu tujuannya, aku sepakat,”* akhirnya Bintang mengamini.

*“Allahu Akbar!”* seruku spontan, diikuti oleh ketiga sahabatku. Suara takbir kami menggema, seolah menjadi penyemangat bagi rencana kami.

*“Lalu, apa nama organisasinya?”* tanya Bintang.

*“Bagaimana kalau Majelis Jihad?”* usul Andi. *“Kita berjihad melawan kekufuran dan kezhaliman di lingkungan kita.”*

*“Tapi, nama itu mungkin terlalu kuat,”* sanggah Bintang. *“Banyak yang masih berpikir negatif tentang kata jihad. Mereka menganggapnya identik dengan terorisme.”*

*“Itulah yang diciptakan oleh mereka yang membenci Islam,”* jawab Andi dengan tegas. *“Mereka membuat jihad seolah sesuatu yang menakutkan. Padahal, jihad adalah perjuangan untuk kebenaran.”*

---

*“Apakah ada yang lain?”* Aku merasa tidak cocok dengan nama *“Majelis Jihad”*. Meski maknanya dalam, aku khawatir nama itu akan menimbulkan kesalahpahaman. *“Bagaimana kalau kita memilih nama yang lebih lembut, tapi tetap memiliki makna mendalam?”*

Andi mengangguk, mempertimbangkan usulanku. *“Ehm, bagaimana kalau namanya Himpunan Mahasiswa Tarbiyah?”* usulnya. *“Sebagai mahasiswa Islam, kita punya kewajiban untuk mendidik sesama muslim, terutama di lingkungan kampus. Kita bisa mengajarkan nilai-nilai keislaman, sehingga mereka bisa menjadi muslim sejati.”*

Ahmad menambahkan, *“Ketika mereka menjadi muslim yang bertarbiyah, mereka akan mengajarkan ilmu itu kepada orang lain. Dan begitu seterusnya. Ini seperti jihad, tapi dalam bentuk yang lebih halus—berperang melawan kebodohan tentang agama.”*

*“Aku setuju dengan nama itu,”* kataku. *“Tapi apakah ada usulan lain?”*

Tak ada yang menjawab, jadi aku pun mengajukan ide. *“Bagaimana kalau Pusat Studi Mahasiswa Islam? Kita jadikan kampus ini sebagai pusat peradaban Islam. Kumpulan mahasiswa yang memiliki pemahaman yang sama, yang bertujuan untuk mengenalkan, mempelajari, dan mengembangkan keislaman di lingkungan kampus.”*

Aku melanjutkan, *“Dalam surat Al-Alaq ayat 1, Allah memerintahkan kita untuk membaca—‘Iqra’. Kita diminta untuk membaca ayat-ayat Allah, baik yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun yang terhampar di alam semesta. Rasulullah juga bersabda bahwa kita harus belajar dari buaian hingga liang lahat. Organisasi ini bisa menjadi wadah untuk belajar tentang Islam secara kaffah.”*

*“Kita jadikan organisasi ini sebagai pusat belajar keislaman. Namanya Pusat Studi Mahasiswa Islam, atau disingkat PSMI. Bagaimana menurut kalian?”*

Ketiga sahabatku terdiam sejenak, mempertimbangkan usulanku. Kemudian, Bintang mengangguk. *“Aku setuju dengan nama itu,”* katanya.

*“Begitu juga denganku,”* timpal Ahmad.

*“Baiklah, jika semua setuju, mulai saat ini kita namakan organisasi ini Pusat Studi Mahasiswa Islam,”* Andi menegaskan.

*“Allahu Akbar!”* serempak kami bertakbir, suara kami menggema di mushola kecil itu. Takbir itu seperti penyemangat, menguatkan tekad kami untuk mengubah kampus yang gersang ini menjadi tempat yang kaya akan nilai-nilai keislaman.

*“Teman-teman, besok malam jika kalian tidak keberatan, kita buat rancangan organisasi ini di rumahku. Kita bisa mabit sekalian. Gimana?”* tanyaku.

*“Aku setuju,”* jawab Andi.

*“Bagaimana denganmu, Ahmad?”*

*“Yup, aku juga setuju,”* sahutnya.

*“Begitu juga denganku,”* Bintang menimpali.

*“Jangan lupa ya, besok malam setelah sholat Isya berjamaah di masjid samping rumahku, kita bertemu lagi. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,”* aku menutup pembicaraan hari ini.

*“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,”* mereka menjawab serempak sebelum kami membubarkan diri.

---

Malam itu, rumahku dipenuhi oleh ketiga sahabatku. Menurut mereka, rumahku lebih mirip istana daripada rumah biasa. Luas, dengan halaman parkir yang bisa menampung sepuluh mobil, kolam renang, dan taman yang asri. Di samping ruang tamu, ada kolam ikan dengan pancuran air yang mengalir lembut, menciptakan suasana tenang. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran kayu jati dan lukisan-lukisan indah. Pembantu rumah tangga pun ada beberapa, masing-masing dengan tugasnya sendiri.

Tapi, ketiga sahabatku tidak terkesan berlebihan. Mereka tahu bahwa semua ini hanyalah titipan dari Sang Maha Pemilik. *“Semua yang ada di sini akan dimintai pertanggungjawaban,”* bisikku dalam hati.

Kami langsung menuju kamar, memulai diskusi serius tentang visi dan misi PSMI. Kami bekerja keras, tak ada waktu untuk beristirahat. Tubuh kami lelah, tapi semangat kami tak pernah padam. *“Apa artinya lelah ini dibandingkan dengan ridho Allah?”* pikirku.

Setelah semalaman bergulat dengan ide-ide, akhirnya visi dan misi PSMI selesai kami susun. Keesokan harinya, kami membawa proposal itu ke rektor.

Rektor duduk di kursi lebar yang empuk, kakinya menempel di meja sambil membaca dokumen. Wajahnya terlihat menyeramkan—kumis tebal, bibir hitam karena sering merokok, dan tubuhnya tinggi besar. *“Selamat siang, Pak,”* sapa Andi dengan tenang, meski sedikit gugup.

*“Selamat siang. Ada perlu apa kalian berempat datang ke ruangan saya?”* suaranya keras, menggelegar.

*“Begini, Pak. Kami ingin mengajukan organisasi rohani Islam. Ini proposalnya,”* Andi menjelaskan sambil menyerahkan dokumen yang telah kami jilid rapi.

Rektor terkejut. *“Sudah cukup kegiatan senat dan BPM di kampus ini. Tidak perlu lagi organisasi macam ini.”*

*“Tapi, Pak, organisasi PMK (Persatuan Mahasiswa Kristen) sudah ada di kampus kita. Kenapa kami tidak boleh?”* protesku.

*“Itu lain cerita. Mereka sudah lama ada, dan anggotanya banyak. Kalian cuma berempat. Apa kalian mau cari uang dari sini?”* matanya melotot, menatap kami dengan curiga.

*“Astaghfirullah, Pak. Kami tidak bermaksud seperti itu. Kami hanya ingin mengajak mahasiswa kembali ke jalan yang benar,”* jawabku tegas.

*“Kalian pikir diri kalian seperti Nabi, ya?”* ejeknya.

*“Kami hanya mengikuti ajaran Nabi untuk berdakwah,”* balasku.

*“Sudah cukup kegiatan di kampus ini. Tidak ada lagi organisasi baru!”* suaranya semakin keras.

*“Jika Bapak menolak, kami akan demo,”* Ahmad memotong, suaranya tegas.

*“Baik, bapak tidak takut. Paling cuma kalian berempat yang demo,”* jawab rektor dengan sinis.

Kami pun keluar dengan perasaan kecewa. Tapi, ini bukan akhir. Ini hanya awal dari perjuangan kami. *“Ya Allah, berilah kami kemudahan dalam jihad ini. Berilah kami pertolongan-Mu,”* bisikku dalam hati.

Hidup kami hanya untuk berdakwah. Raga kami untuk berjihad, dan jiwa kami untuk menggapai ridho Allah. Kami tidak takut, karena kami yakin pertolongan Allah selalu ada.

--

BAB 2 (Lanjutan): Strategi dan Perlawanan

Kami keluar dari ruangan rektor dengan langkah yang lebih mantap dari saat kami masuk. Penolakan itu tidak mengejutkan, tapi tetap meninggalkan rasa getir di hati.

Di luar, angin sore bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun di sekitar halaman kampus. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiranku.

"Kita tidak bisa berhenti di sini," Ahmad akhirnya bersuara, suaranya penuh tekad.

Andi mengangguk. "Kita butuh strategi lain. Jika mereka tidak mengizinkan organisasi kita secara formal, kita tetap bisa bergerak dengan cara lain."

Bintang menyandarkan tubuhnya ke pagar besi, ekspresi berpikirnya kembali muncul. "Apa yang kita butuhkan sekarang adalah dukungan. Jika cukup banyak mahasiswa yang ingin organisasi ini ada, mereka tidak bisa mengabaikan kita begitu saja."

Aku menatap mereka satu per satu. "Kita mulai dari mana?"

Ahmad tersenyum miring. "Dari tempat yang paling berpengaruh—senat mahasiswa."


Bab 2 (Lanjutan): Membangun Aliansi

Hari berikutnya, kami membagi tugas. Andi menemui ketua senat Fakultas Ilmu Politik, Bintang bertemu dengan Fakultas Ilmu Komunikasi, Ahmad ke Fakultas Ekonomi, dan aku sendiri menghadapi ketua senat Fakultas Kedokteran.

Aku melangkah ke ruangan sekretariat senat Fakultas Kedokteran dengan hati-hati. Ini bukan sekadar pertemuan biasa, ini adalah kesempatan untuk membuat perubahan.

"Assalamualaikum," sapaku ketika memasuki ruangan.

Ketua senat, seorang perempuan bernama Rini, menoleh dari meja kerjanya. Dengan blazer putih dan rambut yang ditata rapi, dia tampak seperti seseorang yang tahu betul cara mengatur sesuatu.

"Waalaikumsalam," jawabnya singkat. "Ada yang bisa saya bantu?"

Aku menatapnya langsung. "Saya ingin membicarakan sesuatu yang penting. Tentang organisasi mahasiswa Islam yang ingin kami bentuk."

Rini mengangkat satu alis, lalu menyilangkan tangan di dadanya. "Kudengar proposal kalian ditolak."

Aku tersenyum tipis. "Benar. Tapi kami belum menyerah."

Dia tertawa kecil. "Aku suka semangatmu. Tapi bagaimana aku tahu organisasi ini tidak akan menjadi kelompok eksklusif yang menghakimi orang lain?"

Aku menahan napas sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati. "Kami tidak ingin memaksakan apa pun. Kami hanya ingin menciptakan ruang bagi mereka yang ingin belajar dan memahami Islam lebih dalam."

Dia menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas. "Baiklah. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, tapi aku akan membicarakannya dengan anggota senat lain."

Aku mengangguk. Itu sudah lebih dari cukup untuk langkah pertama.


Bab 3: Gerakan Bawah Tanah

Dukungan dari senat mulai mengalir secara perlahan. Tidak semua terbuka mendukung kami, tapi semakin banyak yang tertarik dengan gagasan kami.

Namun, masih ada satu kendala besar—rektor.

"Kita tidak bisa terus bermain aman," Ahmad berkata suatu malam ketika kami berkumpul di mushola. "Kita butuh sesuatu yang lebih… dramatis."

Aku menatapnya curiga. "Dramatis seperti apa?"

Dia menyeringai. "Pamflet."

Andi mengangkat alis. "Kau serius?"

"Kita cetak seribu, dan kita sebarkan di seluruh kampus," lanjut Ahmad. "Kita buat pesan yang tak bisa diabaikan."

Bintang menyeringai. "Aku suka idemu."

Aku menghela napas. "Baiklah. Tapi kita lakukan dengan hati-hati."

Malam itu, kami bekerja tanpa henti. Bintang mendesain pamflet dengan slogannya:

"Selamatkan Islam dari Jiwa-Jiwa yang Tersesat"

Di bawahnya, ada gambar masjid yang sepi, simbol dari bagaimana nilai-nilai agama perlahan-lahan menghilang dari kampus ini.

Ketika malam semakin larut, kami menyelinap ke seluruh area kampus. Kami menempelkan pamflet di papan pengumuman, di dinding-dinding fakultas, bahkan di pintu kamar mandi.

Jantungku berdetak kencang setiap kali aku menempelkan satu lembar pamflet. Ada ketakutan, ada kegelisahan. Tapi ada juga adrenalin yang mengalir deras.

"Ini gila," bisik Andi di sampingku. "Aku suka."

Ketika kami selesai, kampus ini bukan lagi tempat yang sama.


Bab 3 (Lanjutan): Bentrokan dengan Rektor

Keesokan paginya, kampus gempar.

Mahasiswa berkerumun di depan papan pengumuman, membaca isi pamflet dengan ekspresi beragam—terkejut, penasaran, bahkan marah.

Di dalam ruangannya, rektor menatap pamflet yang dipegangnya dengan ekspresi tak terbaca. Kami berdiri di depannya, menunggu reaksinya.

"Apa kalian yang melakukan ini?" suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya.

Aku menegakkan punggung. "Ya, Pak."

Dia meletakkan pamflet itu di atas meja dengan perlahan. "Kalian tahu ini bisa dianggap sebagai tindakan provokatif?"

Ahmad maju selangkah. "Kami hanya ingin didengar, Pak."

Rektor menatapnya tajam. "Dan menurut kalian, cara ini yang terbaik?"

Andi bersuara tenang. "Jika kami datang dengan proposal dan ditolak tanpa alasan yang jelas, maka ya, ini cara terbaik yang kami miliki."

Hening.

Rektor menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menautkan jemarinya. "Saya bisa mengeluarkan kalian dari kampus ini."

Jantungku berdetak lebih kencang. Tapi aku menahan diri, menatapnya langsung.

"Kami tidak takut, Pak," kataku akhirnya. "Kami hanya ingin keadilan."

Dia menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Saya ingin bicara dengan seluruh senat mahasiswa sebelum mengambil keputusan."

Aku bisa melihat Andi, Bintang, dan Ahmad saling bertukar pandang. Ini belum kemenangan, tapi ini juga bukan kekalahan.

Kami baru saja membuka pintu yang selama ini tertutup.

Dan kami tidak akan mundur.

BAB 4: LOBI DAN PERLAWANAN

Minggu itu, kampus masih bergemuruh karena pamflet-pamflet yang kami sebar. Mahasiswa membicarakan kami, beberapa setuju, beberapa menganggap kami berlebihan. Tapi satu hal yang pasti—kami telah membuat mereka memperhatikan.

Namun, perhatian saja tidak cukup. Kami membutuhkan tindakan.

"Aku sudah berbicara dengan beberapa orang dari senat," kata Andi saat kami duduk di sebuah kedai kopi dekat kampus. "Sebagian besar bersimpati pada kita, tapi mereka takut kehilangan dukungan rektor."

Bintang mengaduk kopinya pelan, matanya menyipit penuh perhitungan. "Jadi kita harus meyakinkan mereka bahwa mendukung kita tidak akan merugikan mereka."

Ahmad menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya tajam. "Atau lebih baik lagi—meyakinkan mereka bahwa menentang kita justru akan merugikan mereka."

Aku tersenyum kecil. "Kita main politik sekarang?"

Ahmad balas tersenyum. "Kalau ingin menang, kita harus tahu cara bermain."


Langkah Pertama: Mendekati Senat Mahasiswa

Kami membagi tugas.

  • Andi bertanggung jawab melobi Fakultas Ilmu Politik, menggunakan pemikirannya yang tajam untuk bernegosiasi dengan mahasiswa yang terbiasa dengan strategi kekuasaan.
  • Bintang, dengan kemampuan komunikasinya, menangani Fakultas Ilmu Komunikasi dan organisasi pers mahasiswa, memastikan suara kami tersebar di mana-mana.
  • Ahmad, dengan analisanya yang tajam, mendekati Fakultas Ekonomi, mencari celah di antara mereka yang lebih peduli pada keuntungan dan stabilitas.
  • Aku kembali menemui Fakultas Kedokteran, berusaha memperkuat dukungan yang sudah mulai terbentuk.

Pertemuan dengan Senat Fakultas Kedokteran

Aku berjalan ke sekretariat Senat Fakultas Kedokteran, merasa lebih percaya diri daripada sebelumnya.

Rini, ketua senat, sedang duduk dengan beberapa anggota lainnya. Dia menatapku ketika aku masuk, bibirnya melengkung dalam senyum kecil.

"Aku tahu kau akan kembali," katanya.

Aku tersenyum. "Aku harap ini pertanda baik."

Dia menyilangkan tangan di dadanya. "Aku sudah bicara dengan anggota senat lain. Beberapa mendukungmu, beberapa masih ragu. Mereka khawatir dengan citra fakultas jika terlalu dekat dengan gerakan yang… kontroversial."

Aku menatapnya langsung. "Rini, kita sama-sama tahu bahwa fakultas ini seharusnya mendukung gerakan yang membawa perubahan positif. Jika kampus kita semakin jauh dari nilai-nilai moral, apakah itu bukan tanggung jawab kita juga?"

Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Kau tahu? Aku sebenarnya mengagumi keberanianmu. Tapi pertanyaannya, apa jaminan bahwa organisasi ini tidak akan menjadi kelompok yang fanatik?"

Aku tersenyum. "Kami tidak ingin memaksa siapa pun. Kami hanya ingin memberikan pilihan bagi mereka yang ingin memperdalam pemahaman agama. Ini bukan tentang memisahkan, tapi tentang menyatukan."

Rini menatapku lama, lalu akhirnya mengangguk. "Baik. Aku akan memberikan dukunganku. Tapi dengan satu syarat—jika organisasi ini mulai menunjukkan tanda-tanda ekstremisme, aku akan menjadi orang pertama yang menentangnya."

Aku mengulurkan tangan. "Setuju."

Dia tersenyum dan menjabat tanganku. "Kita lihat sejauh mana kau bisa membawa ini, Arya."


Langkah Kedua: Menyatukan Dukungan

Minggu berikutnya, hasil kerja keras kami mulai terlihat.

  • Andi berhasil mendapatkan persetujuan dari Fakultas Ilmu Politik dengan meyakinkan mereka bahwa keberadaan organisasi ini akan memperkuat diskusi intelektual di kampus.
  • Bintang memastikan bahwa suara kami terdengar di media kampus, dengan artikel-artikel yang menyoroti perlunya wadah keislaman bagi mahasiswa.
  • Ahmad, dengan caranya sendiri, membuat Fakultas Ekonomi menyadari bahwa stabilitas sosial di kampus bisa terancam jika isu ini tidak ditangani dengan baik.
  • Dan aku, dengan dukungan Rini, berhasil mendapatkan restu dari Fakultas Kedokteran.

Kami tidak lagi hanya empat orang yang berjuang sendirian. Kami sekarang memiliki jaringan pendukung yang kuat.

Namun, kami tahu bahwa pertarungan sesungguhnya belum dimulai.

Rektor belum memberikan keputusan final. Dan jika kami ingin menang, kami harus menyiapkan langkah terakhir yang lebih besar.


BAB 5: KONFRONTASI TERAKHIR

Hari itu tiba lebih cepat dari yang kami duga.

Kami menerima undangan dari rektorat untuk menghadiri rapat terbuka bersama seluruh perwakilan senat dan organisasi mahasiswa.

Aku bisa merasakan ketegangan di udara saat kami berjalan menuju aula besar kampus. Di sepanjang koridor, mahasiswa berhenti sejenak untuk melihat kami. Beberapa tersenyum mendukung, beberapa hanya mengamati dengan penuh rasa ingin tahu.

Di dalam aula, rektor sudah menunggu, duduk di kursinya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Saat semua orang telah duduk, dia berbicara.

"Kampus ini telah menjadi saksi banyak perubahan selama bertahun-tahun," katanya, suaranya dalam dan berwibawa. "Dan hari ini, kita dihadapkan pada keputusan besar—apakah kita akan mengizinkan organisasi baru ini atau tidak?"

Dia menatap kami dengan pandangan tajam. "Saya ingin mendengar alasan terakhir kalian. Mengapa organisasi ini harus ada?"

Aku berdiri, menatapnya langsung.

"Karena kampus ini bukan hanya tempat belajar akademik. Ini adalah tempat di mana mahasiswa membentuk karakter, menemukan jati diri mereka, dan memahami nilai-nilai yang akan mereka bawa ke dunia luar. Jika kita bisa memiliki organisasi untuk seni, olahraga, dan politik, mengapa kita tidak bisa memiliki organisasi yang membantu mahasiswa memahami agamanya lebih dalam?"

Aku membiarkan kata-kataku menggantung di udara.

Rektor terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke perwakilan senat. "Pendapat kalian?"

Rini dari Fakultas Kedokteran berdiri lebih dulu. "Saya mendukung ini."

Diikuti oleh Andi, lalu Bintang, lalu Ahmad. Satu per satu, perwakilan dari berbagai fakultas berdiri, menyuarakan dukungan mereka.

Untuk pertama kalinya, rektor tampak benar-benar mempertimbangkan sesuatu.

Akhirnya, dia menghela napas dan menatap kami kembali.

"Baik," katanya. "Organisasi kalian disetujui, dengan satu syarat—kalian harus memastikan bahwa ini tetap menjadi wadah yang inklusif dan tidak menciptakan perpecahan."

Aku menahan napas, lalu mengangguk. "Kami berjanji."

Dan dengan itu, segalanya berubah.

Kami telah menang.

EPILOG: AWAL DARI SEBUAH PERJALANAN

Hari itu, langit sore di kampus terasa berbeda. Udara lebih sejuk, matahari tenggelam perlahan di balik gedung-gedung fakultas, meninggalkan semburat jingga yang memantulkan cahaya ke jendela-jendela.

Aku berdiri di depan mushola, tempat di mana semuanya dimulai. Tempat di mana aku bertemu dengan Andi, Bintang, dan Ahmad. Tempat di mana kami pertama kali memimpikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar diskusi di bawah pohon rindang.

Kini, mushola itu hidup.

Pintu yang dulunya jarang terbuka kini sering dilalui mahasiswa yang datang untuk sholat atau sekadar mencari ketenangan. Poster-poster kegiatan PSMI terpampang di papan pengumuman, mengumumkan kajian pekanan, diskusi keislaman, dan berbagai program yang kami rancang dengan hati-hati.

Aku melihat Andi berdiri di dekat pintu, berbicara dengan beberapa mahasiswa baru. Ada ketegasan dalam suaranya, tapi juga kehangatan. Dia tidak hanya seorang pemimpin, tapi juga seorang mentor.

Bintang duduk di bangku taman, dikelilingi beberapa mahasiswa yang tampak asyik mendengarkan ceritanya. Aku tersenyum—dia selalu tahu cara membuat orang tertarik.

Sementara itu, Ahmad bersandar di tembok, memperhatikan segalanya dengan tatapan penuh kepuasan. Dia mungkin tidak banyak bicara, tapi aku tahu dia bangga dengan apa yang telah kami capai.

Aku menarik napas panjang, membiarkan udara sore memenuhi dadaku.

Siapa sangka?

Beberapa bulan yang lalu, kami hanyalah empat mahasiswa yang resah dengan keadaan. Kami menghadapi penolakan, perlawanan, bahkan ancaman. Tapi kami bertahan. Dan hari ini, kami berdiri di sini, membuktikan bahwa perubahan itu mungkin.

Aku merasakan seseorang berdiri di sampingku. Rini.

"Tak kusangka, kalian benar-benar berhasil," katanya, matanya menatap ke arah mahasiswa yang berlalu-lalang di sekitar mushola.

Aku tersenyum. "Aku juga tidak."

Dia menoleh, menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Jangan berhenti di sini, Arya. Ini baru permulaan."

Aku mengangguk. Aku tahu dia benar.

Perjuangan kami belum berakhir. Dunia di luar sana lebih luas, lebih keras, dan penuh tantangan yang lebih besar.

Tapi untuk saat ini, aku menikmati momen ini.

Karena aku tahu, apapun yang akan terjadi di masa depan, aku tidak akan pernah sendirian.

Aku memiliki sahabat-sahabat yang akan selalu berjuang bersamaku.

Dan aku memiliki keyakinan yang tidak akan pernah goyah.

Langit semakin gelap, tapi di dalam hatiku, cahaya itu tetap menyala.

Karena ini bukan akhir.

Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Sebuah perjalanan yang baru saja dimulai.

17/02/25

Season 3 Kerajaan Mythopia



Chapter 15 Kebangkitan Bangsa Barbar di Bawah Kabut Kelud 

Di lereng Gunung Kelud yang terkutuk, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, berdiri sebuah desa yang telah jatuh ke dalam cengkeraman kegelapan. Desa itu bernama **Gundhuk Mör**, "Tanah Bernafas Hitam" dalam bahasa kuno. Udara di sana berbau belerang dan abu, dan langit senantiasa kelam, seolah matahari tak berani menatapnya langsung. Di tengah desa, para prajurit barbar—bertubuh kekar, bermata merah seperti bara—berbaris dalam formasi kacau, pedang-pedang bergerigi mereka menghunjam tanah, sementara sorak-sorai mereka menggema bagaikan teriakan makhluk neraka.  

**Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasana yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Tubuhnya dibalut zirah hitam berukir rune kematian, dan di tangannya ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang konfor ditempa dalam lahar Gunung Kelud. Matanya—sepasang lubang gelap yang menyala merah—memantulkan kebencian yang tak terpadamkan. **"Pulau Jawa akan jatuh!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. **"Kali ini, keris sakti Mythopia akan menjadi milik kita. Dan dengan itu, Nusantara akan gemetar!"**  

Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitam yang berdesis seperti ular. Tangannya memegang tongkat dari tulang naga yang telah punah, dan di ujungnya berputar bola api hitam—**Nyala Udûn**, api yang mencuri nyawa dan mengubah jiwa menjadi abu. **"Mereka yang menolak bergabung,"** bisiknya dengan suara mendesis, **"akan kujadikan tumbal untuk api abadi ini."**  

Para jawara desa—pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman—kini dirantai oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, jiwa mereka dikendalikan oleh bisikan Ki Surya Dahana. Mereka dilatih dengan kejam: pedang mereka dicelupkan ke dalam racun *Morgul*, dan mantra-mantra gelap diajarkan untuk menghancurkan pertahanan magis kerajaan-kerajaan.  

**Seratus musim yang lalu**, bangsa barbar ini hampir musnah dalam **Pertempuran Lembah Api**, di mana Raja Mythopia kala itu, **Almarhum Aldaron**, mengerahkan ksatria-ksatria cahaya dengan keris suci **Caladthil**, "Bintang yang Menembus Kegelapan". Kekalahan itu membakar dendam turun-temurun. **"Kali ini,"** pekik Sangar Mahadipa kepada pasukannya, **"kita tak akan salah memilih lawan. Mythopia akan kita hancurkan dari dalam!"**  

Di balik kabut hitam, para pengintai barbar mengamati gerak-gerik Mythopia. Mereka tahu: keris suci itu kini dipegang oleh Isidore, sang penerus muda yang belum menguasai kekuatannya. **"Kelemahannya adalah ketakutannya,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya memperlihatkan bayangan Isidore yang sedang berlatih di Gunung Pamaton. **"Dan ketakutan adalah pintu menuju kekalahan."**  
**"Persiapan kita hampir selesai,"** geram Sangar Mahadipa, meremas tengkorak musuh terakhirnya hingga hancur. **"Bersiaplah, Mythopia. Kegelapan yang kalian kira telah mati... baru saja bangkit."**  

Chapter 16 Latihan Pewaris Tahta Mythopia 

Di bawah langit yang dipenuhi awan kelabu, Isidore, sang pewaris tahta Mythopia, berdiri di tengah padang luas yang diterpa angin kencang. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang di udara dengan selendang keperakannya yang berkibar-kibar. **"Lari, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gemuruh badai. **"Rasakan kekuatan angin, dan jangan biarkan ia menyeretmu!"**  

Isidore melesat, kakinya menapak tanah dengan susah payah. Angin berhembus kencang, mencoba menjatuhkannya, tetapi ia terus berlari, berjuang melawan kekuatan alam yang tak kenal ampun. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Bayu Anggana, matanya menyala biru. **"Ini adalah ujian untuk jiwamu. Jika kau bisa melawan angin, kau bisa melawan apa pun."**  

---  
**Di lereng Gunung Pamaton**, **Pangreksa**, sang Penguasa Es, telah menciptakan sebuah danau beku yang memancarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Permukaannya berkilau seperti kaca, dan di tengahnya, Isidore berdiri, tubuhnya menggigil. **"Masuklah,"** perintah Pangreksa, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Danau ini akan menguji ketahananmu. Jika kau bisa bertahan di sini, kau bisa bertahan di mana pun."**  

Isidore melangkah ke dalam air yang membeku, napasnya membentuk kabut putih. Dinginnya menusuk seperti ribuan jarum, tetapi ia bertahan, memusatkan pikirannya pada keris suci yang ia genggam erat. **"Ingat, Isidore,"** bisik Pangreksa, **"dingin hanyalah ilusi. Yang sebenarnya kau lawan adalah ketakutanmu sendiri."**  

---  
**Di hutan purba**, **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, telah membangkitkan akar-akar pohon raksasa yang bergerak seperti ular naga. **"Hindari mereka, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Jika kau tertangkap, kau akan tertarik ke dalam tanah, dan tak ada yang bisa menyelamatkanmu!"**  

Isidore melompat dan berputar, menghindari akar-akar yang mencengkeram. Tubuhnya berkeringat, napasnya tersengal-sengal, tetapi ia terus bergerak. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Rakajati, matanya yang seperti lubang gelap memancarkan cahaya kehijauan. **"Ini adalah ujian untuk kecerdasanmu. Jika kau bisa membaca gerakan alam, kau bisa membaca gerakan musuh."**  

---  
**Di puncak bukit yang sunyi**, **Raja Alam Wardhana** duduk bersila, cahaya kebiruannya memancar seperti rembulan. **"Meditasi, Isidore,"** katanya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Temukan kekuatan inti dalam dirimu. Itulah sumber kekuatan sejati."**  

Isidore menutup matanya, mencoba memusatkan pikirannya. Namun, bayangan kegelapan terus mengganggu—mimpi buruk tentang bangsa barbar, tentang kehancuran Mythopia. **"Jangan melawan ketakutanmu,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Terimalah, dan kau akan menemukan kekuatan untuk mengatasinya."**  

---  
**Di padang rumput yang luas**, **Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, mengajari Isidore bela diri tingkat tinggi. Pedangnya berkilauan seperti kilat, dan gerakannya seperti tarian angin. **"Pertahananmu harus sekuat seranganmu,"** katanya, menangkis serangan Isidore dengan mudah. **"Dan seranganmu harus secepat pikiranmu."**  

Isidore mengangguk, tubuhnya lelah tetapi tekadnya tak pernah padam. **"Aku akan belajar, Guru,"** katanya, suaranya penuh hormat. **"Aku akan menjadi kuat, untuk Mythopia."**  

---  
**Di tengah latihan yang melelahkan itu**, Bayu Anggana tiba-tiba menghentikan angin. Matanya yang biru pucat menyipit, seolah mendengar sesuatu. **"Ada mata-mata,"** bisiknya, suaranya seperti desiran dedaunan. **"Suku barbar mengintai kita."**  

Dengan gerakan cepat, Bayu Anggana mengangkat tangannya. Angin berubah menjadi pisau tajam yang melesat ke arah semak-semak. Terdengar jeritan, dan kemudian—keheningan. **"Mereka tak akan mengganggu kita lagi,"** katanya, wajahnya tegas. **"Tapi ini hanya awal, Isidore. Mereka akan kembali, dan kau harus siap."**  
*"Kau telah melangkah jauh, Isidore,"** kata Bayu Anggana, memandangnya dengan bangga. **"Tapi perjalananmu baru saja dimulai. Mythopia membutuhkanmu—bukan hanya sebagai pewaris, tetapi sebagai pelindung."**  

Isidore mengangguk, matanya berkilau dengan tekad yang baru. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**  
---  
Chapter 17 Pencapaian dan Persiapan Menuju Gunung Lawu

Setelah satu bulan penuh pelatihan keras di bawah bimbingan para ksatria legendaris Mythopia, tubuh Isidore telah berubah. Luka dan lebam menghiasi kulitnya seperti medali perang, sementara otot-ototnya yang kini kekar menegaskan kekuatan yang telah ia peroleh. Setiap langkahnya penuh keyakinan, setiap gerakannya penuh presisi. Namun, di balik fisik yang kuat, jiwanya juga telah ditempa menjadi baja—siap menghadapi tantangan yang lebih besar.  

Di penghujung pelatihan, para ksatria memberikan hadiah sebagai tanda pengakuan atas usahanya.  

**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, mengulurkan tangannya yang berakar ke arah Isidore. Di telapaknya, terbaring sebuah buah durian ajaib—kulitnya berwarna merah tua seperti darah naga, dan aromanya memancarkan keharuman yang menenangkan jiwa. **"Ini adalah *Durian Mór*, buah yang hanya tumbuh sekali dalam seratus musim,"** kata Rakajati, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Makanlah, dan kau akan merasakan kekuatan bumi menyatu dengan darahmu. Luka-lukamu akan sembuh, dan stamina tubuhmu akan menjadi perkasa."**  

Isidore menggigit buah itu, dan seketika rasa manis-segar mengalir di lidahnya, diikuti oleh panas yang merambat ke seluruh tubuh. Luka-lukanya mengering, lebam-lebamnya menghilang, dan tenaganya pulih sepenuhnya. **"Terima kasih, Rakajati,"** katanya, matanya berkilau penuh syukur.  

**Pangreksa**, sang Penguasa Es, melangkah maju. Di tangannya, tergantung sebuah kalung kristal es yang berkilauan seperti bintang jatuh. **"Ini adalah *Kalung Nenya*, penjaga fokus dan ketenangan,"** katanya, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Kenakanlah, dan kau tak akan pernah kehilangan arah, bahkan di tengah badai sekalipun."**  

Isidore mengenakan kalung itu, dan seketika, pikirannya menjadi jernih seperti air danau di pagi hari. **"Aku bisa merasakan kekuatannya,"** bisiknya, memegang kristal itu dengan penuh hormat.  

**Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, menghidangkan makanan yang telah ia siapkan dengan penuh cinta: daging sapi bakar yang empuk, dibumbui rempah-rempah kuno, dan nasi singkong yang harumnya memenuhi udara. **"Makanlah, Isidore,"** katanya, suaranya seperti desiran angin musim semi. **"Makanan ini akan memberimu mimpi indah, dan esok hari, kau akan bangun dengan semangat baru."**  

Isidore menyantap hidangan itu dengan lahap, dan ketika malam tiba, ia tertidur dengan nyenyak—tanpa mimpi buruk, tanpa bayangan kegelapan.  

---  
**Keesokan harinya**, Isidore bangun dengan tubuh yang segar dan jiwa yang siap. **"Kau telah mencapai level tertinggi dalam pelatihanmu,"** kata Raja Alam Wardhana, cahaya kebiruannya memancar seperti fajar pertama. **"Tapi perjalanan kita belum selesai. Kini, kita harus menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**  

**Gunung Lawu**, gunung berapi yang legendaris, dikenal sebagai tempat di mana api abadi menyala. Di sanalah Bhra Anuraga, ksatria yang tubuhnya menyala seperti bara, menjaga rahasia kekuatan api Mythopia. **"Dia adalah ksatria terkuat di antara kita,"** kata Pangreksa, suaranya penuh hormat. **"Dan dia tak akan mudah menerimamu, Isidore. Kau harus membuktikan dirimu."**  

Dengan keris suci di pinggang, kalung es di leher, dan tekad yang membara, Isidore mengangguk. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**  

---  
**"Mari kita berangkat,"** kata Bayu Anggana, angin berhembus membawa kabar bahwa perjalanan mereka telah dipersiapkan oleh alam sendiri. **"Gunung Lawu menunggu, dan Bhra Anuraga tak akan membiarkan kita menunggu terlalu lama."**  

Dengan langkah pasti, Isidore dan para ksatria melangkah menuju Gunung Lawu, siap menghadapi api abadi dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya.  


Chapter 18 Kemarahan di Gunung Kelud 

Di puncak Gunung Kelud, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasananya yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Wajahnya yang kasar dan penuh bekas luka berkerut dalam kemarahan yang membara. Di tangannya, ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang ditempa dalam lahar gunung. Tiba-tiba, dengan gerakan kasar, ia membanting gada itu ke tanah.  

**"Mereka telah membunuh mata-mataku!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. Tanah di bawahnya retak, mengeluarkan asap hitam yang berbau belerang. **"Dan kini, Isidore—anak itu—telah menjadi ksatria aura? Tidak! Aku tak akan membiarkan Mythopia bangkit kembali!"**  

Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitamnya yang berdesis seperti ular. Di tangannya, bola api hitam **Nyala Udûn** berputar-putar, memancarkan cahaya kehijauan yang menyeramkan. **"Tenang, Sangar,"** bisiknya, suaranya seperti desisan angin malam. **"Aku masih bisa melihatnya. Isidore sedang menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**  

Matanya yang merah menyala memandang ke dalam bola api, dan di dalamnya terlihat bayangan Isidore—tubuhnya kini kekar, langkahnya penuh keyakinan, dan keris suci di pinggangnya memancarkan cahaya keemasan. **"Dia telah menjadi kuat,"** lanjut Ki Surya Dahana, **"tapi kekuatannya belum sebanding dengan jawara-jawara kita."**  

Sangar Mahadipa menggeram, matanya menyala seperti bara. **"Kirim mereka! Kirim semua jawara desa yang telah kau kendalikan dengan ilmu hitammu! Aku ingin tahu seberapa kuat mereka—dan seberapa lemah Isidore!"**  

Ki Surya Dahana mengangguk, dan dengan gerakan tangannya, bola api hitam itu melesat ke langit, membawa pesan kepada para jawara desa yang telah menjadi kaki tangannya. Mereka adalah pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman, tetapi kini jiwa mereka telah dikendalikan oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, tubuh mereka kebal terhadap senjata biasa, dan kematian tak lagi memiliki arti bagi mereka.  

**"Mereka akan menghadang Isidore di Gunung Lawu,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat. **"Dan ketika keris suci itu jatuh ke tangan kita, Mythopia akan hancur, dan Nusantara akan menjadi milik kita."**  

Sangar Mahadipa tertawa, suaranya seperti gemuruh gunung yang siap meletus. **"Keris sakti Mythopia akan menjadi milikku! Dan dengan itu, tak ada yang bisa menghentikan kita!"**  

---  
**"Mythopia akan jatuh,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya berputar semakin cepat. **"Dan kegelapan akan menyelimuti Nusantara selamanya."**  

Di kejauhan, di lereng Gunung Lawu, Isidore dan para ksatria Mythopia terus melangkah, tak menyadari bahwa bahaya telah mengintai di balik kabut hitam.  

Chapter 19 Panggilan Kegelapan di Bawah Langit Kelam 

Di puncak Gunung Kelud, di mana kabut hitam abadi menyelimuti bumi bagai selubung maut, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran yang Hitam Hati, berdiri di atas singgasananya yang terbuat dari tulang dan abu. Tangannya yang bersisik mengangkat **Gada Nalarka**, senjata yang memancarkan asap belerang, lalu ia memberi isyarat. Seorang pengawal setia—wajahnya tertutup topeng besi berkarat—meniup **Terompet Morn**, alat perang kuno yang suaranya mengoyak langit.  

Suara terompet itu bergema, dalam dan mengerikan, seperti ratapan makhluk yang terkutuk. Burung-burung gagak hitam berhamburan dari pepohonan mati, membentuk awan gelap yang mengitari markas. Sayap mereka mengepakkan ketakutan, dan kukur mereka terdengar seperti kutukan.  

**Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, melangkah maju dengan jubahnya yang berdesis. Di tangannya, ia memegang **Cawan Udûn**, wadah berisi racun kuno yang menggelegak seperti lahar. **"Ikuti burung gagak!"** pekiknya, suaranya menusuk jiwa. **"Mereka akan memandu kalian ke Isidore! Serang dia dan yang menyertainya! Senjata kalian telah kusirami racun *Morgul*—tak ada yang selamat dari lukanya! Dan ingat, kalian kebal! Kematian tak lagi berkuasa atas kalian!"**  

Para jawara desa—tubuh mereka kini dikendalikan oleh mantra hitam, mata mereka kosong bagai cermin gelap—berkumpul. Pedang, kapak, dan panah mereka berkilauan cairan kehijauan yang mematikan. Kulit mereka dipenuhi tato rune kematian, dan napas mereka berbau busuk seperti bangkai.  

**"Cepat!"** geram Sangar Mahadipa, membanting gadanya hingga tanah bergetar. **"Jangan biarkan Isidore mencapai Gunung Lawu! Hancurkan dia, dan bawa keris saktinya kepadaku!"**  

Para jawara itu melesat, bergerak seperti arwah yang dikuasai kegelapan. Mereka melompati dahan-dahan pohon yang patah, melintasi ngarai dalam yang dipenuhi kabut jahat, dan mendaki bukit terjal tanpa jeda. Kaki mereka tak menyentuh tanah sepenuhnya—seolah angin hitam mengangkat mereka. Tak ada letih, tak ada ragu, hanya ketaatan buta pada perintah sang Tiran.  

Di kejauhan, burung-burung gagak berputar membentuk lingkaran setan, menunjukkan arah. Langit di atas Gunung Lawu mulai mendung, seolah alam sendiri merasakan kedatangan malapetaka.  

---  
**"Mereka takkan selamat,"** bisik Ki Surya Dahana, matanya menyipit menatap bayangan Isidore di bola api hitamnya. **"Kegelapan akan menelan mereka, dan keris itu... akhirnya akan menjadi milik kita."**  

Sangar Mahadipa tertawa, suaranya menggemuruh memenuhi lembah. **"Mythopia akan menjadi abu, dan aku akan menjadi Raja Kegelapan yang sejati!"**  

Sementara itu, di lereng Gunung Lawu, Isidore tiba-tiba berhenti. Kalung es di lehernya berdenyut dingin—peringatan pertama dari bahaya yang mendekat.

Chapter 20 Pertempuran di Lereng Gunung Lawu  

Angin panas berhembus dari kawah Gunung Lawu, membawa napas api purba yang seolah dihembuskan oleh naga yang terlelap di dalam perut bumi. Isidore dan para ksatria Mythopia berhenti, merasakan getaran jahat yang menggeliat di udara. **"Ada yang mendekat,"** bisik **Bayu Anggana**, selendang keperakannya berkibar liar. **"Angin membawa bisikan darah dan racun."**  

Dengan gerakan cepat, Bayu Anggana mengangkat tangannya. Angin berputar-putar membentuk perisai transparan yang mengelilingi mereka, sebuah *tempest-born barrier* yang sanggup menahan serangan paling ganas. **"Aku akan mengintai dari atas,"** katanya, lalu melesat ke langit seperti anak panah yang ditembakkan dari busur Valar.  

**Pangreksa**, sang Penguasa Es, menghentakkan kakinya ke tanah. Lapisan es segera menyelimuti tubuhnya, membentuk zirah kristal yang berkilauan di bawah sinar matahari. Di tangannya, muncul **Pedang Nenheled**, bilah es murni yang memancarkan hawa dingin maut. **"Bersiaplah,"** gumannya, sambil menyentuh tanah dengan ujung pedangnya. Retakan es segera menjalar, menciptakan perangkap tersembunyi yang siap menghancurkan siapa pun yang menginjaknya.  

**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, menempelkan telinganya ke bumi. Suara akar-akar purba berbisik kepadanya dalam bahasa yang hanya dipahami oleh penjaga hutan. **"Mereka datang,"** katanya, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Segerombolan manusia yang kakinya tak menyentuh tanah. Tapi pohon-pohon... pohon-pohon mulai menghalangi jalan mereka."**  

**Ksatria Cheon Myeong** menoleh ke Isidore, matanya tajam bagai kilat. **"Meditasi, Isidore!"** perintahnya. **"Temukan kekuatan inti dalam dirimu. Auraramu harus bersinar seperti bintang di tengah kegelapan!"**  

Isidore menutup mata, menggenggam keris suci **Caladthil** erat-erat. Pikirannya menyelam ke dalam lautan tenaga dalam, di mana cahaya kebiruan Raja Alam Wardhana dan nyala merah Bhra Anuraga bertaut. Tiba-tiba, aura keemasannya meledak, menyinari lereng gunung bagai fajar kedua. Keris pendek di tangannya memanjang, berubah menjadi **pedang cahaya** yang berpendar seperti bulan purnama.  

**"Laa... ini kekuatan darah Mythopia,"** gumannya, tubuhnya melayang di udara, dikelilingi oleh lingkaran cahaya suci. Gerakannya kini secepat angin timur, gesit dan tak terbendung.  

---  
**Di kejauhan**, para jawara desa yang dikendalikan mantra hitam terhambat oleh hutan yang hidup. Dahan-dahan pohon menjulur seperti tangan raksasa, mencoba mencengkeram mereka. **"Lawanlah, kalian bodoh!"** teriak Ki Surya Dahana dari balik bola api hitamnya. **"Mereka hanya pohon!"**  

Tapi pohon-pohon itu bukan sembarang pohon. Mereka adalah **pohon Huorn**, makhluk purba yang bangkit oleh kemarahan Rakajati. Akar-akar mereka melesat dari tanah, menjerat kaki para jawara dan menarik mereka ke dalam kegelapan bumi.  

**"Tak ada waktu!"** pekik Sangar Mahadipa dari markasnya. **"Loloskan diri kalian!"**  

Para jawara yang tersisa melompati jebakan es Pangreksa, tubuh mereka berdarah tapi tak merasa sakit. Senjata mereka, berlumur racun *Morgul*, berkilau kehijauan. **"Serang!"** teriak pemimpin mereka, seorang jawara bertubuh raksasa dengan mata merah menyala.  

---  
**Isidore membuka mata.**  
**"Siap,"** katanya, suaranya menggema seperti gong perang kuno.  
Pedang cahayanya menyala terang, memotong kegelapan.  
Pertempuran pun dimulai.  

---  
**"Untuk Mythopia!"** teriak Isidore, pedang cahayanya menari di udara, memotong senjata racun para jawara.  
Di langit, Bayu Anggana mengerahkan angin tornado.  
Di tanah, Pangreksa membekukan musuh yang tersisa.  
Dan di hutan, Rakajati memimpin pohon-pohon Huorn untuk mengubur kegelapan.  

Sementara itu, di puncak Gunung Lawu, asap tebal mulai mengepul.  
**Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, membuka matanya—dua bara merah yang menyala-nyala.  
**"Sudah waktunya,"** gumannya, suaranya seperti letusan gunung.  
**"Sang Pewaris telah tiba."**

Chapter 21 Pertempuran di Lereng Gunung Lawu   

Akar-akar purba yang menjulur dari perut bumi, dihidupkan oleh kemarahan Rakajati, mendadak layu dan mengering seperti musim kemarau abadi. **Pedang-pedang terkutuk** para jawara desa, berlumur racun *Morgul*, merobek-robek akar itu seolah memotong nyawa hutan itu sendiri. Para jawara keluar dari tanah dengan gerakan kaku, mata mereka kosong dan tubuh mereka tertutup luka-luka yang tak berdarah—buah dari mantra hitam Ki Surya Dahana.  

**"Mereka bukan lagi manusia,"** geram Rakajati, suaranya seperti gemuruh akar yang terluka. **"Mereka boneka kegelapan!"**  

Para jawara yang terjebak dalam jebakan es Pangreksa pun membebaskan diri. **Pedang racun** mereka menghujam balok-balok es, memecahkannya dengan dentuman keras. Es suci itu meleleh menjadi air keruh, seolah menangis atas kekalahan sementara.  

Isidore, dengan keris **Caladthil** yang kini menjelma pedang cahaya keemasan, melesat bagai anak panah Valar. Tusukannya tepat menembus perut seorang jawara, lalu tebasan kilatnya memotong lengan dan kaki yang lain. Darah hitam mengalir, tapi para jawara hanya tertawa—suara hampa yang menggetarkan jiwa. **"Mereka tak merasa sakit!"** seru Ksatria Cheon Myeong, pedangnya beradu dengan senjata racun hingga patah.  

**"Pedang mereka takkan sanggup melukaimu, Isidore!"** teriak Raja Alam Wardhana dari alam pikiran. **"Auraramu adalah perisai terkuat!"**  

Benar saja, ketika seorang jawara menusukkan pedang ke dada Isidore, bilah itu hancur berantakan menyentuh aura keemasan yang menyelimuti tubuhnya. Namun, luka-luka para jawara seketika pulih—daging tumbuh kembali, tulang menyambung—seolah kematian tak berkuasa di sini.  

Pertempuran dahsyat itu menggetarkan lereng Gunung Lawu hingga ke puncaknya. **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api yang selama berabad-abad bertapa dalam lahar, membuka matanya. Dua bola merah menyala seperti bintang neraka. **"Siapa yang berani mengganggu ketenanganku?!"** suaranya menggelegar, menggetarkan langit.  

Dia melesat turun seperti meteor, tubuhnya terbungkus api abadi yang menyala-nyala. **"Kalian tamu tak diundang!"** pekiknya, mengangkat tangan. Hujan api seketika turun dari langit, menghujani para jawara desa. Api itu bukan sembarang api—ia adalah **Nyala Ancalagon**, api yang pernah membakar sayap naga hitam di Zaman Kegelapan.  

Para jawara menjerit, tubuh mereka terbakar dalam sekejap. Racun *Morgul* menguap menjadi asap hijau, dan daging mereka hangus menjadi abu. Pangreksa tak menyia-nyiakan kesempatan. **Pedang Nenheled**-nya menghujam tanah, membekukan sisa-sisa tubuh para jawara yang mencoba kabur. Es dan api bertemu—tubuh mereka pecah berkeping-keping seperti kaca yang dihantam batu.  

Isidore, dengan ketenangan seorang raja sejati, mengangkat keris **Caladthil**. Aura keemasannya membentuk pedang cahaya raksasa yang melesat seperti panah cahaya. **"Untuk Mythopia!"** teriaknya. Pedang itu memotong sisa para jawara, membelah mereka menjadi dua—abu dan debu beterbangan, tertiup angin Bayu Anggana yang membawa mereka ke jurang kelupaan.   

---  
**"Kau,"** kata Bhra Anuraga tiba-tiba, memandang Isidore dengan mata merah yang meredup. **"Darah Aldaron mengalir dalam dirimu. Aku mengenali cahaya itu."**  

Isidore menganggap hormat. **"Aku datang untuk meminta bantuanmu, Ksatria Api. Mythopia membutuhkan kekuatanmu."**  

Bhra Anuraga mengerang, api di tubuhnya meredup menjadi bara. **"Kau telah membuktikan diri di medan perang. Tapi Gunung Lawu hanya permulaan. Masih ada kegelapan lebih besar yang menanti..."**  

Di kejauhan, di puncak Gunung Kelud, Sangar Mahadipa menggeram melihat bola api hitamnya pecah berantakan. **"Ini belum berakhir,"** desisnya. **"Kau mungkin memenangkan pertempuran, Isidore... tapi perang baru saja dimulai."**  

Dan angin berbisik, membawa janji pertumpahan darah ke seluruh Nusantara.

Chapter 22 Pertemuan dengan Bhra Anuraga, Sang Penguasa Api  

Di puncak Gunung Lawu, di mana asap belerang menari-nari di udara dan batu-batu vulkanik berkilau seperti permata hitam, **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, berdiri tegak. Tubuhnya yang tinggi dan kekar dipenuhi oleh bekas luka pertempuran, sementara rambut peraknya yang panjang terbakar oleh api abadi yang menyala-nyala di sekelilingnya. Usianya telah mencapai seratus musim, namun matanya—dua bara merah yang menyala—masih memancarkan kekuatan yang tak tertandingi.  

**"Aku telah lama menunggu kedatanganmu, Isidore,"** katanya, suaranya dalam dan berwibawa, seperti gemuruh gunung berapi yang tertidur. **"Darah Aldaron, raja terdahulu Mythopia, mengalir dalam dirimu. Kau memiliki kekuatan untuk membangkitkan potensi ksatria hingga batas tertinggi—namun kau belum menyadarinya."**  

Isidore memandang Bhra Anuraga dengan penuh hormat. **"Aku datang untuk meminta bantuanmu, Ksatria Api. Mythopia membutuhkan kekuatanmu."**  

Bhra Anuraga mengangguk perlahan, api di tubuhnya meredup menjadi bara yang hangat. **"Ikutlah aku ke puncak,"** ajaknya, sambil melangkah menuju gua tempat tinggalnya.  

Gua itu bukanlah gua biasa. Dinding-dindingnya halus dan berkilau, diukir oleh tangan api yang telah membentuknya selama berabad-abad. Batu-batu vulkanik yang menghiasi ruangan dipahat dengan gambar-gambar kuno—pertempuran epik, raja-raja legendaris, dan ksatria-ksatria yang gagah berani. Di tengah ruangan, sebuah meja batu dipenuhi hidangan: **daging domba empuk yang dibalut rempah wangi**, dan **nasi putih yang dimasak dalam tembikar kuno**, mengeluarkan aroma yang menggugah selera.  

**"Makanlah,"** kata Bhra Anuraga, suaranya lembut namun tegas. **"Kekuatanmu akan kau butuhkan untuk perjalanan yang lebih berat."**  

Saat Isidore menyantap hidangan itu, Bhra Anuraga mulai bercerita. **"Pada masa lalu, Mythopia memiliki seratus ksatria dan satu juta prajurit. Mereka adalah pasukan terhebat yang pernah ada, tak terkalahkan dalam setiap pertempuran. Bahkan ketika melawan Kerajaan Pirang—yang ahli dalam menggunakan binatang sebagai senjata—Mythopia tetap menang. Ksatria-ksatria kita terkenal bukan hanya karena kekuatan tempur mereka, tetapi juga karena kekuatan magis yang tak tertandingi."**  

Isidore mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil merasakan energi dari makanan itu mengalir ke seluruh tubuhnya.  

**"Namun, masa damai tiba,"** lanjut Bhra Anuraga. **"Kekaisaran Majapahit menginginkan aliansi, dan Mythopia setia melayani mereka. Kami mundur ke dalam kabut mistis, meninggalkan dunia manusia. Tapi kini, kegelapan kembali mengancam. Suku barbar telah bangkit, dan mereka mengusik ketenangan Nusantara. Saatnya Mythopia muncul kembali."**  

Bhra Anuraga memandang Isidore dengan mata yang penuh keyakinan. **"Kau adalah harapan terakhir kita, Isidore. Darah Aldaron mengalir dalam dirimu, dan kau memiliki kekuatan untuk membangkitkan Mythopia dari tidur panjangnya."**  

---  
**"Aku akan mengajarimu, Isidore,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala kembali. **"Tapi ingat, kekuatan sejati bukan hanya tentang fisik atau magis. Ini tentang jiwa yang tak tergoyahkan, tentang tekad yang membara seperti api abadi ini."**  

Isidore mengangguk, matanya berkilau dengan tekad yang baru. **"Aku siap, Bhra Anuraga. Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**  

Dan di puncak Gunung Lawu, api abadi menyala lebih terang dari sebelumnya, menandakan dimulainya babak baru dalam sejarah Mythopia.

Chapter 23 Kebangkitan Kekuatan Ksatria Sepuh 

Di dalam gua api Gunung Lawu, di mana dinding batu berkilauan seperti permata hitam yang dipoles oleh nyala abadi, **Bhra Anuraga** duduk di hadapan Isidore. Api di tubuhnya meredup menjadi bara yang hangat, dan matanya yang merah menyala memancarkan kebijaksanaan yang dalam. **"Sangar Mahadipa,"** katanya, suaranya seperti gemuruh gunung berapi yang tertidur, **"telah menculik banyak warga desa—terutama pemuda dan anak laki-laki—untuk dijadikan pengikutnya. Mereka berpusat di Gunung Kelud, di mana Ki Surya Dahana, sang Peramal Ilmu Hitam, menjalankan ritual sesat untuk menjadikan Sangar Mahadipa sebagai dewa mereka."**  

Isidore mendengarkan dengan serius, hatinya dipenuhi kemarahan yang membara. **"Desa-desa yang menolak bekerja sama dengan mereka akan diracuni,"** lanjut Bhra Anuraga, suaranya penuh kepedihan. **"Aku sangat geram dengan kejahatan mereka, tapi kekuatanku belum pulih sepenuhnya. Namun, ada harapan. Kau, Isidore, memiliki kekuatan untuk membangkitkan potensi ksatria-ksatria sepuh ini."**  

**Raja Alam Wardhana**, yang melayang di udara dengan aura kebiruannya yang memancar, mengangguk perlahan. **"Memang terlalu dini untuk menguasai aura pembangkit tenaga,"** katanya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Tapi aku telah melihatmu, Isidore. Kau telah menguasai teknik aura dengan baik. Mungkin ini saatnya untuk mencoba."**  

Para ksatria pun membentuk lingkaran di sekitar Isidore. **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, menancapkan tongkat kayunya ke lantai gua. **Pangreksa**, sang Penguasa Es, mengeluarkan pedang esnya yang berkilauan. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang di udara dengan selendang keperakannya yang berkibar-kibar. Dan **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, duduk bersila, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya.  

Isidore duduk di tengah lingkaran, keris suci **Caladthil** di pangkuannya. Ia menutup mata, memasuki meditasi yang dalam. **"Fokus,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Temukan titik sempurna dalam dirimu."**  

Seketika, sinar terang memancar dari keris suci itu, berwarna putih murni seperti cahaya bintang pertama. Sinar itu melebar, menyentuh setiap ksatria dalam lingkaran.  

**Rakajati** merasakan perubahan dalam dirinya. Akar-akar purba melesat dari lantai gua, menutup pintu masuk dan membentuk lingkaran pelindung. **"Aku merasakan kekuatan bumi mengalir dalam diriku,"** gumannya, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak.  

**Pangreksa** mengalami fluktuasi energi yang hebat. Es di sekelilingnya mencair dan membeku kembali, sementara pedang esnya berkilauan lebih terang dari sebelumnya. **"Mana-ku tidak stabil,"** katanya, wajahnya tegang.  

Rakajati mengulurkan akar-akarnya, menyalurkan kekuatan bumi kepada **Bayu Anggana**. Angin berhembus kencang, membawa energi itu ke **Bhra Anuraga**, yang tubuhnya mulai berubah. Api di sekelilingnya menyala lebih terang, dan wajahnya yang tua kembali muda, dipenuhi kekuatan yang tak tertandingi.  

Terakhir, energi itu mengalir ke **Isidore**. Ia merasakan kekuatan yang luar biasa—seperti gabungan dari bumi, es, angin, dan api—menyatu dalam dirinya. **"Ini... ini luar biasa,"** bisiknya, matanya berkilau.  

Namun, fluktuasi energi Pangreksa semakin tak terkendali. Es mulai menyebar, hampir membekukan seluruh gua. **"Tolong!"** seru Pangreksa, suaranya penuh kepanikan.  

**Raja Alam Wardhana** segera turun tangan. Dengan sisa kekuatannya, ia menyalurkan esensi kebiruan ke Pangreksa, menstabilkan energinya. **"Tenang, Pangreksa,"** bisiknya. **"Kau aman sekarang."**  

Ketika energi akhirnya stabil, semua ksatria merasakan perubahan yang luar biasa. **Bhra Anuraga** kini tampak seperti pemuda berusia dua puluh musim, tubuhnya dipenuhi kekuatan api abadi. **Rakajati** berdiri tegak, akar-akarnya mengendur dan mengeluarkan bunga mawar yang harum semerbak. **Pangreksa** dan **Bayu Anggana** juga kembali muda, kekuatan mereka mencapai puncaknya.  

Di tengah lingkaran, **Isidore** membuka matanya. **"Aku... aku merasa berbeda,"** katanya, suaranya penuh kekaguman. **"Ini adalah kekuatan warisan Mythopia."**  

Rakajati mengulurkan tangannya, dan sebuah buah durian masak muncul di tangannya. **"Makanlah,"** katanya, suaranya lembut. **"Ini adalah hadiah dari bumi, tanda bahwa kita telah berhasil."**  

---  
**"Kita telah bangkit,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Dan kini, saatnya kita menghadapi kegelapan yang mengancam Nusantara."**  

Isidore mengangguk, keris sucinya berkilauan di tangannya. **"Untuk Mythopia,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Dan untuk semua yang kucintai."**  

Dan di puncak Gunung Lawu, api abadi menyala lebih terang dari sebelumnya, menandakan dimulainya babak baru dalam sejarah Mythopia.