03/11/25

Season 4 kisah pandika dari kerajaan cakram

---

Fajar menyingsing di atas tembok tinggi kota Trowulan ketika Pandika menuntun para tawanan menuju alun-alun kerajaan. Penduduk yang telah mendengar kabar penangkapan para penculik itu berkerumun di sepanjang jalan, wajah mereka penuh amarah dan dendam lama yang belum terbayar.

Ketika para penjahat itu lewat, tangan-tangan rakyat mengayunkan batu dan tanah. Batu-batu menghantam tubuh para pelaku; teriakan mereka bercampur dengan seruan murka rakyat yang anak-anaknya telah direnggut. Namun Pandika tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya berjalan tegak, wajahnya tenang seperti batu di tepi sungai. Ia tahu, keadilan harus dijalankan bukan oleh amarah, tetapi oleh hukum.

Di depan balairung pengadilan Majapahit, para penjaga membuka pintu besar yang diukir dengan lambang naga emas. Para pejabat kerajaan telah menanti, dan hakim tertinggi duduk di kursi batu, di bawah bendera merah Majapahit yang berkibar megah.

Satu per satu para penculik diseret ke hadapan pengadilan. Bukti kejahatan mereka dibacakan, dan kesaksian anak-anak yang selamat membuat seisi ruangan terdiam pilu. Tidak ada pembelaan, tidak ada belas kasihan.

“Karena telah berulang kali menebar kegelapan di tanah kerajaan, dan mencemarkan darah anak-anak Majapahit,” ucap sang hakim dengan suara berat, “maka hukum menjatuhkan vonis mati. Hukuman ini akan dilaksanakan saat matahari tenggelam.”

Sorak kemenangan rakyat menggema di luar balairung. Keadilan telah ditegakkan.

Ketika semuanya usai, Pandika meninggalkan tempat itu tanpa mencari pujian. Di luar gerbang kota, para keluarga anak-anak yang diselamatkan telah menunggu, mata mereka basah oleh air mata syukur. Seorang petani tua menghampirinya sambil membawa sekarung beras.

“Ini janji kami,” katanya dengan suara bergetar. “Engkau telah menyelamatkan anakku dan anak-anak kami semua. Terimalah, wahai penolong dari langit.”

Pandika menunduk rendah, lalu tersenyum.
“Hadiah kalian terlalu besar untuk seorang pengembara seperti aku. Tapi akan aku terima, agar bisa memberi manfaat bagi yang lain.”

Ia memanggul karung beras itu di bahunya dan berjalan menyusuri pasar. Di jalanan Trowulan yang ramai, ia melihat para pengemis duduk di bawah jembatan, kulit mereka kurus, mata mereka kosong oleh lapar. Tanpa ragu, Pandika membuka karungnya dan membagikan beras itu segenggam demi segenggam.

“Ambillah, kawan-kawan,” katanya lembut. “Rezeki ini bukan milikku, melainkan milik mereka yang lebih membutuhkan.”

Para pengemis itu tertegun, lalu bersujud penuh hormat. Seorang di antara mereka—tua, berjanggut panjang, dengan mata jernih bagaikan air sungai dalam—menatap Pandika dengan kagum.

“Engkau bukan ksatria biasa,” katanya lirih. “Karena dari tanganmu mengalir cahaya kebaikan.”

Ia menunduk lebih dekat. “Sebagai balasan, izinkan aku memberi kabar yang mungkin engkau cari. Di antara para pengembara dan peminta-minta, beredar kisah lama tentang seorang ksatria suci. Mereka menyebutnya Prabu Galang Siwah, seorang pendekar yang lenyap dari dunia fana. Ada yang bersumpah melihat sosok berjubah putih bertapa di gunung berapi di tanah Merapi, di mana api bumi bertemu langit.”

Pandika menatapnya penuh perhatian. “Gunung Merapi, katamu?”

Sang pengemis mengangguk. “Ya, di sanalah para roh lama berkumpul dan bumi sendiri bernafas dalam bara. Jika benar dialah yang kau cari, maka langkahmu berikutnya adalah menuju api abadi itu.”

Pandika menunduk dalam-dalam.
“Terima kasih, sahabat. Semoga dewata memberkati langkahmu.”

Ia berjalan pergi meninggalkan pasar yang perlahan hidup kembali, karung berasnya kini kosong, namun dadanya terasa penuh oleh rasa damai. Di atas tembok kota, matahari mulai memanjat tinggi, dan dari kejauhan Gunung Merapi tampak samar di balik kabut, seperti janji baru yang menanti untuk ditepati.


---

Kabut turun tipis menyelimuti tanah saat Pandika dan Si Maung meninggalkan gerbang timur Majapahit. Jalan menuju utara membentang di antara ladang-ladang padi yang mulai menguning, hingga perlahan berganti menjadi hutan rimba yang lebat. Di kejauhan, puncak Gunung Merapi menjulang hitam dan berasap, seolah langit sendiri sedang menyimpan rahasia.

Suara gemuruh dari perut bumi terdengar lirih, seperti napas panjang raksasa yang sedang tidur. Setiap langkah Pandika seakan membawa hawa panas yang makin terasa. Burung-burung hutan tak lagi bernyanyi, dan hanya desir angin yang terdengar, berputar aneh di antara pepohonan.

Si Maung berhenti di tengah jalan setapak, telinganya tegak, matanya menyipit.
“Aku merasakan sesuatu yang tidak biasa,” gumamnya dengan nada rendah. “Udara di sini berputar. Ada benteng gaib yang menjaga wilayah gunung ini.”

Pandika menatap ke sekeliling. Tak ada apa pun selain hutan hijau dan kabut yang menebal, namun langkah kakinya mulai terasa berat, seolah bumi menahannya.
“Benteng gaib?” tanyanya.

Si Maung mengangguk. “Ya. Ini bukan buatan manusia. Aku mengenal aroma sihir tua — kuno, bahkan lebih tua dari Majapahit sendiri. Formasi pelindung ini diciptakan untuk menyesatkan para pendaki yang berniat jahat. Bila kita melangkah tanpa arah, kita akan berputar dan kembali ke tempat yang sama.”

Mereka berhenti sejenak. Pandika menutup mata, merasakan desir udara di wajahnya. Dalam keheningan itu, samar terdengar bisikan — bukan dari manusia, tapi dari alam: suara dedaunan, desau angin, bahkan batu yang bergetar.

“Langit dan bumi tidak menolak yang datang dengan hati bersih,” ucap Pandika lirih. Ia lalu menggenggam pedang pemberian Ratu Peri, mengangkatnya ke langit. Cahaya lembut memancar dari bilahnya, menembus kabut yang menggantung.

Sekejap, kabut di depan mereka berputar, membentuk pusaran cahaya. Si Maung mendengkur pelan — bukan karena takut, melainkan kagum.
“Kau membuka jalur,” katanya pelan.

Dari pusaran kabut itu, muncul jalan batu berlumut, mengarah ke lereng gunung. Di tepi jalan, obor-obor kecil menyala tanpa api, hanya cahaya biru yang bergetar lembut. Suara gamelan jauh terdengar samar di udara — bukan dari manusia, tapi dari alam gaib yang menjaga gunung suci.

“Gunung Merapi,” bisik Pandika, menatap puncak yang kini tampak jelas di balik kabut. “Inilah tempat di mana bumi berbicara dan para roh menjaga keseimbangan dunia.”

Si Maung menatap ke langit. “Aku dapat merasakan banyak mata memandang kita — bukan musuh, tapi penjaga. Bersiaplah, Pandika. Setiap langkah di sini akan diuji bukan oleh pedang, tapi oleh kemurnian hatimu.”

Mereka melangkah bersama ke jalur batu yang berliku. Di kiri kanan, akar-akar besar menjuntai seperti ular tidur, dan batu-batu tua berukir huruf kuno menyala samar ketika dilewati. Angin membawa bisikan nama-nama lama yang terlupakan: nama ksatria, pertapa, dan roh yang telah lama menyatu dengan gunung.

Semakin tinggi mereka mendaki, semakin nyata kehadiran kekuatan gaib di sekeliling mereka.

Dan ketika malam turun, puncak Merapi bersinar dengan cahaya merah lembut — bukan dari api, tapi dari sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam: jiwa gunung itu sendiri.


---

Jalan batu itu akhirnya berakhir di sebuah lembah tersembunyi di lereng Gunung Merapi. Di sana, di antara kabut yang menari dan udara panas yang menggigit, berdiri sebuah batu besar, seolah menjadi bagian dari gunung itu sendiri. Namun ada sesuatu yang berbeda — udara di sekitarnya bergetar lembut, seperti sedang menjaga sesuatu yang suci.

Si Maung berhenti di depan batu itu, matanya menyipit, hidungnya bergerak cepat mengendus udara.
“Pandika,” ujarnya perlahan, suaranya seperti bisikan di tengah kabut, “tempat ini… ada aroma lama, aroma darah ksatria dan dupa suci. Aku mengenal bau ini. Ia pernah berkelana bersama para leluhur—Prabu Galang Siwah.”

Pandika menatap batu besar itu. Ia meraba permukaannya yang lembap, tertutup lumut hijau tebal. Namun di balik lapisan itu, ia merasakan sesuatu yang bukan sekadar batu — permukaan yang lebih halus, hampir seperti kulit.

Perlahan, dengan tangan gemetar, Pandika mulai membersihkan lumut itu. Sedikit demi sedikit, bentuk wajah manusia muncul — mata tertutup rapat, hidung kokoh, bibir membeku dalam ketenangan abadi. Rambut panjangnya terurai hingga menyentuh tanah, telah menyatu dengan akar-akar pepohonan. Pakaian putih yang dulu mungkin suci, kini memudar dan berdebu, tapi tetap utuh.

Si Maung mendekat, menatap sosok itu dengan penuh hormat. “Tak salah lagi,” katanya. “Dialah Prabu Galang Siwah, sang ksatria agung Majapahit. Namun... tubuhnya dingin, tak ada denyut kehidupan, dan napasnya telah lama tiada.”

Pandika berlutut di hadapan sosok itu, hatinya bergetar antara kagum dan sedih.
“Bila ini benar dia,” katanya lirih, “maka misi bangsa peri belum selesai. Mereka menantikan sang ksatria untuk kembali, bukan untuk berperang, tapi untuk memberi jawaban.”

Angin berhembus pelan, membawa aroma belerang dan bunga hutan yang aneh. Dari kejauhan, suara gunung bergemuruh pelan, seperti sedang menyetujui kata-kata Pandika.

“Tubuhnya tidak membusuk,” kata Si Maung. “Lihatlah kulitnya — masih segar, seolah ia hanya tidur. Mungkin jiwanya belum pergi, hanya tersesat di alam lain.”

Pandika menunduk, lalu mengangguk mantap. “Kalau begitu, kita bawa dia. Mungkin bangsa peri tahu cara membangunkannya.”

Si Maung mendesis pendek, lalu mengubah wujudnya. Tubuhnya perlahan membesar — dari seekor kucing, menjadi serigala perak sebesar kuda, matanya berkilat bagai bintang tua. Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh Prabu Galang Siwah ke punggungnya.

“Beratnya bukan karena daging dan tulang,” gumam Si Maung, “tapi karena kekuatan yang tertidur di dalamnya.”

Pandika menatap lembah itu sekali lagi sebelum mereka berangkat. Kabut berputar di sekeliling mereka, seolah gunung itu sendiri enggan melepas sang ksatria tua dari pelukannya.

“Aku berjanji,” bisik Pandika kepada gunung, “akan membawanya pulang — ke tempat ia semestinya berada.”

Lalu mereka berdua, Pandika dan Si Maung, perlahan menuruni gunung dalam kesunyian. Di belakang mereka, lembah kembali tertutup kabut, dan hanya angin yang tahu bahwa sang legenda lama kini dibawa turun kembali menuju dunia manusia.


---

Di bawah sinar bulan yang pucat, Si Maung berlari menembus gelap malam, membawa Pandika dan tubuh Prabu Galang Siwah di punggungnya. Angin berdesir di telinga mereka, menciptakan nyanyian panjang yang terdengar seperti doa para leluhur yang terhembus dari alam lain.

Langkah-langkah Si Maung memantul di atas tanah, lalu melesat menembus hutan yang lebat — pepohonan menyingkir seolah tunduk kepada makhluk agung yang melintas. Daun-daun beterbangan, ranting berderak, dan di antara bayangan, mata-mata binatang hutan berkilat heran, menyaksikan sosok besar berwarna perak yang membawa cahaya samar dalam punggungnya.

“Pegangan yang erat, Pandika,” kata Si Maung dengan suara berat namun tenang. “Perjalanan ini akan panjang. Kita harus menyeberangi lautan, melewati tanah tandus dan gurun abu.”

Pandika menunduk sedikit, memeluk tubuh Prabu Galang Siwah agar tidak terjatuh. “Aku siap. Demi tugas ini, bahkan gunung dan lautan akan kulewati.”

Mereka menembus batas hutan, menuju daratan luas yang gersang — bekas tanah yang pernah dilalap api gunung berapi. Di sana, bintang-bintang tampak lebih dekat, seolah ingin menyaksikan perjalanan mereka. Pasir hitam berputar di belakang langkah Si Maung, membentuk pusaran panjang bagai ekor naga.

Ketika fajar hampir tiba, mereka mencapai tepian laut. Ombak menggulung tinggi, namun Si Maung tidak berhenti. Ia menatap lautan lebar itu, lalu menurunkan tubuhnya sedikit. “Pegang erat. Kita menyeberang.”

Dengan satu lompatan besar, Si Maung meluncur ke atas permukaan air. Tapak kakinya memantul di atas gelombang, menciptakan riak bercahaya keperakan. Laut itu seolah tunduk pada kekuatan gaib yang menyelimutinya. Pandika hanya bisa tertegun, melihat cakrawala terbentang luas dan bulan terpantul di permukaan laut yang bergetar.

Beberapa makhluk laut besar muncul dari kedalaman — ikan-ikan bercahaya, naga air, bahkan paus raksasa yang mengeluarkan bunyi lembut, seperti menyambut perjalanan mereka.

Berhari-hari mereka menempuh perjalanan tanpa henti. Kadang melewati lembah berkabut, kadang menapaki padang bunga liar yang hanya mekar di bawah cahaya bulan. Di setiap tempat, udara terasa berbeda — seolah mereka telah menembus batas dunia manusia.

Hingga akhirnya, di kejauhan tampak bayangan besar menjulang tinggi ke langit: Gunung Rinjani. Puncaknya diselimuti awan tipis yang berkilau seperti kristal, dan dari lerengnya mengalir sungai berwarna biru muda.

Si Maung berhenti di tepi hutan kaki gunung. Ia mengangkat kepalanya tinggi, menatap puncak suci itu dengan hormat. “Kita sudah dekat,” katanya perlahan. “Di puncak itulah tempat bangsa peri bersemayam. Di sanalah, mungkin, sang ksatria ini akan bangun dari tidurnya.”

Pandika turun dari punggung Si Maung, menatap tubuh Prabu Galang Siwah yang tampak lebih tenang — kulitnya kini seolah memancarkan cahaya lembut.

“Lihat,” kata Pandika lirih. “Ia… mulai berubah. Seolah tubuhnya merespons panggilan dari gunung ini.”

Si Maung mengangguk, matanya berkilau lembut. “Gunung suci memanggil jiwanya pulang.”

Kabut putih perlahan turun dari puncak Rinjani, melingkupi mereka bertiga, membawa aroma bunga hutan dan suara samar yang terdengar seperti nyanyian kuno bangsa peri.


---

---

Kabut lembut menyelimuti kaki Gunung Rinjani ketika Si Maung menapakkan kakinya di tanah kerajaan bangsa peri. Udara di sana harum oleh wangi bunga liar dan aroma kemenyan suci yang dibawa angin gunung. Cahaya keperakan turun dari langit, memantul di atas dedaunan, membuat seluruh lembah seolah diselimuti permata halus.

Di antara kabut yang berpendar itu, muncullah para peri — jelita dan anggun, mengenakan kebaya tipis berwarna lembut dan kain batik halus yang mengalun di udara. Di pinggang mereka, tersampir kain tipis bercahaya menyerupai sayap, berkibar pelan setiap kali mereka melangkah. Suara gelang perak di pergelangan kaki mereka berdenting lembut seperti nyanyian embun.

Peri pertama yang melangkah maju menundukkan kepala dengan hormat.
“Selamat datang, Pandika dari dunia manusia,” ujarnya lembut. “Aku Wulanratih Sekarwangi, penjaga gerbang timur kerajaan Rinjani.”
Suara lembutnya seperti desir angin di antara serumpun bambu, menenangkan hati siapa pun yang mendengarnya.

Dari belakangnya, seorang peri lain berjalan mendekat, mengenakan kebaya berwarna hijau daun muda, dengan mata seindah embun pagi.
“Aku Cempakalirna Dwimaya,” katanya seraya tersenyum. “Kami telah mendengar kisahmu dari angin. Kau datang membawa sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa kami.”

Pandika menunduk sopan. Ia masih menahan tubuh Prabu Galang Siwah yang terkulai di pelukannya, sementara Si Maung berdiri tegak di belakang mereka, bulunya berkilau di bawah cahaya rembulan.
“Benar,” ujar Pandika dengan suara pelan namun mantap. “Inilah Prabu Galang Siwah, ksatria suci yang telah lama dicari oleh Ratu kalian. Ia ditemukan di Gunung Merapi dalam keadaan terlelap dalam tidur panjang.”

Para peri saling berpandangan, wajah mereka berubah antara takjub dan haru. Cempakalirna Dwimaya menangkupkan tangan di depan dada.
“Syukur kepada Sang Cahaya,” bisiknya. “Ratu Safiranindya Prameswara telah menantikan kabar ini selama berabad-abad. Mari, kami akan menunjukkan jalan menuju kediaman sang Ratu.”

Dengan gerakan anggun, para peri mengangkat tangan mereka. Jalan di depan yang semula tertutup kabut perlahan terbuka — terbentuk dari kelopak bunga berwarna ungu dan biru yang menyala lembut di bawah pijar bulan. Di kejauhan tampak istana kristal Rinjani: berdiri di atas puncak awan, dikelilingi air terjun yang berjatuhan dari udara, mengalir tanpa henti seperti tabir mutiara.

Pandika menatap kagum. “Indah sekali… seperti negeri dalam mimpi.”

Wulanratih Sekarwangi tersenyum. “Karena ini memang negeri di antara mimpi dan kenyataan, Pandika. Hanya mereka yang datang dengan hati suci yang dapat melihat wujud sejatinya.”

Si Maung melangkah perlahan mengikuti para peri yang menuntun jalan, sementara Pandika memeluk tubuh Prabu Galang Siwah dengan hati-hati. Cahaya dari istana semakin terang, menerangi wajah tua sang prabu yang kini tampak lebih damai, seolah cahaya itu memanggil jiwanya untuk kembali.

Malam itu, perjalanan menuju istana Ratu Safiranindya Prameswara dimulai — perjalanan menuju jawaban, takdir, dan rahasia yang telah lama tersembunyi di balik kabut abadi Gunung Rinjani.


---
---

Istana kristal Rinjani berdiri di tepian danau yang bening, permukaannya memantulkan cahaya bulan seperti cermin dari alam dewa. Di tengah kabut lembut yang bergulir di atas air, Ratu Safiranindya Prameswara duduk di singgasananya — terbuat dari bunga melati raksasa yang mekar sempurna. Cahaya lembut memancar dari wajahnya, matanya sejernih embun fajar, dan rambutnya berkilau seperti benang perak yang menyatu dengan cahaya bintang.

Ketika Pandika bersama Si Maung membawa tubuh Prabu Galang Siwah ke hadapannya, sang Ratu berdiri, mengenakan jubah sutra tembus pandang berwarna biru langit, berhiaskan taburan cahaya seperti debu bintang.
“Wahai Pandika,” ucapnya dengan suara yang bergema lembut di seluruh danau, “bangsa peri berhutang budi padamu. Kau telah menemukan sosok yang kami nanti selama berabad lamanya — sang Prabu Galang Siwah, penjaga harmoni antara dunia manusia dan dunia kami.”

Pandika menunduk dalam, penuh hormat.
“Saya hanya menjalankan tugas dan takdir yang dipilihkan oleh alam, Paduka Ratu,” ujarnya rendah hati.

Sang Ratu tersenyum, lalu memandang tubuh Prabu Galang Siwah yang kini dibaringkan di atas batu suci di tengah danau. “Ia belum mati,” katanya lirih, “melainkan tertidur dalam pertapaan panjang — jiwanya berkelana di antara alam semesta, menunggu saat panggilannya tiba.”

Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan suara lembut mulai terdengar dari segala penjuru. Para peri muncul satu per satu, mengenakan pakaian upacara berwarna perak dan hijau zamrud. Mereka membentuk lingkaran di sekeliling danau, sementara air mulai beriak seolah bernapas.

“Sekarang,” bisik Ratu Safiranindya Prameswara, “upacara pemanggilan akan dimulai.”

Sebuah cahaya biru muda muncul di telapak tangan sang Ratu, berputar perlahan seperti pusaran air, lalu melayang di atas tubuh sang Prabu. Para peri serentak melantunkan mantra kuno dengan bahasa yang nyaris tak bisa dimengerti — lembut, bergelombang, dan penuh harmoni seperti lagu angin yang menembus dedaunan.

Air danau terangkat sedikit demi sedikit, mengelilingi tubuh Prabu Galang Siwah, membentuk selubung cahaya biru kehijauan. Si Maung menggeram pelan, merasakan kekuatan magis yang begitu besar, sedangkan Pandika menatap tak berkedip, matanya memantulkan cahaya upacara yang mempesona.

Ratu Safiranindya mengatupkan kedua tangannya, lalu berkata dengan suara nyaring bagaikan lonceng suci:
“Wahai Prabu Galang Siwah, penjaga keseimbangan bumi dan langit, dengarlah panggilan kami. Kembalilah dari alam sunyi. Bangkitlah, sebab dunia telah berubah dan membutuhkan cahayamu sekali lagi.”

Seketika, kilatan cahaya menyambar dari langit. Air danau berputar hebat, membentuk pusaran cahaya yang naik ke udara. Para peri menunduk, rambut dan sayap mereka berkibar ditiup angin yang muncul dari tengah lingkaran.

Tubuh Prabu Galang Siwah bergetar perlahan. Lumut dan kerikil yang menempel di tubuhnya luruh ke air. Dari dadanya, muncul sinar lembut — berdenyut pelan, seperti nadi kehidupan yang baru saja kembali berdetak.

Ratu Safiranindya menatap lembut, meneteskan air mata kristal.
“Selamat datang kembali, wahai Prabu dari Cahaya Timur…”

Danau kini berpendar seperti lautan bintang, dan malam itu, Gunung Rinjani menjadi saksi kebangkitan seorang legenda yang telah lama tertidur dalam diam waktu.


---
---

Kabut tipis masih menari di atas permukaan danau ketika cahaya biru perlahan meredup. Para peri menunduk penuh hormat; udara dipenuhi wangi melati dan suara gemericik air yang tenang kembali. Tubuh Prabu Galang Siwah kini perlahan bergerak—matanya terbuka, menatap langit dengan sorot dalam yang memantulkan kebijaksanaan masa lampau.

Kulitnya berkilau samar, rambut dan janggut panjangnya bergoyang ditiup angin lembut. Pandika berlutut di hadapannya, menundukkan kepala dalam-dalam, sementara Si Maung duduk tegak di sisinya, menatap dengan tatapan waspada tapi penuh takzim.

Prabu Galang Siwah menatap sekeliling, matanya yang redup seolah mengenali setiap wajah peri yang berdiri di tepi danau. Dengan suara serak namun berwibawa, ia berkata pelan,
“Sudah berapa lama... dunia ini berputar tanpaku?”

Ratu Safiranindya mendekat dan membungkuk.
“Berabad lamanya, wahai Prabu. Dunia telah banyak berubah. Namun kini saatnya engkau kembali, sebab bayangan kejahatan yang dulu kau rasakan mulai bangkit kembali di timur.”

Prabu Galang Siwah mengangguk perlahan. “Aku telah merasakannya,” ujarnya lirih. “Bahkan dalam tidur panjangku, bayangan itu masih membisikkan kebusukan ke bumi. Ada sesuatu yang bergerak dari bawah kawah Merapi—sebuah kekuatan lama yang seharusnya tak pernah bangkit lagi.”

Ia menatap Pandika, yang masih berlutut di hadapannya. “Dan kau… anak muda. Akulah yang seharusnya berterima kasih. Kau membawaku kembali dari batas antara hidup dan mati. Katakan namamu.”

“Namaku Pandika, hamba hanyalah pengembara biasa,” jawabnya dengan rendah hati.

Prabu Galang Siwah tersenyum, meski sorot matanya tajam seperti pedang. “Tidak ada yang biasa dalam diri seseorang yang berani menapaki jalan sunyi kebenaran. Aku melihat jiwamu, wahai Pandika—jernih, tapi belum ditempa. Kau belum memiliki penguasaan ilmu tinggi, namun hatimu lurus dan tenagamu bersih.”

Pandika menunduk. “Saya hanya belajar bela diri sederhana, dari para petani dan pengawal desa. Tidak lebih.”

“Justru karena itulah,” ujar Prabu Galang Siwah sambil menepuk bahunya dengan lembut, “kau layak menerima warisan ilmu Majapahit yang sejati. Ilmu bukan untuk berkuasa, melainkan untuk menjaga keseimbangan dunia.”

Ia menatap ke arah Ratu Safiranindya, yang mengangguk setuju. “Jika engkau bersedia,” lanjut sang Prabu, “aku akan mewariskan seluruh ilmu bela diri dan kebijaksanaan yang telah kutimba dalam ratusan tahun pengembaraan dan pertapaan.”

Pandika menatap sang Prabu, ada campuran kagum dan kerendahan hati dalam pandangannya. Ia menunduk hormat.
“Bila itu kehendak Paduka, maka saya bersedia menjadi muridmu, dan menjalankan apa pun yang diperintahkan.”

Senyum lembut menghiasi wajah tua Prabu Galang Siwah. “Mulai hari ini, engkau bukan lagi pengembara tanpa nama. Engkau adalah murid dari Galang Siwah, penjaga keseimbangan Majapahit dan penjaga rahasia bangsa peri.”

Ratu Safiranindya mengangkat tangannya ke langit. Dari udara turun butiran cahaya lembut yang melingkupi keduanya. Cahaya itu berputar, membentuk lingkaran seperti pusaran waktu—menandai dimulainya babak baru dalam takdir Pandika.

Dan di tepi danau suci Rinjani, dengan saksi para peri dan gunung yang bergaung lembut, lahirlah ikatan guru dan murid antara dua zaman: sang legenda masa lampau dan sang pengembara yang ditakdirkan menjaga masa depan.


---
---

Hari-hari di negeri para peri terasa panjang namun damai. Di bawah langit biru Rinjani, Prabu Galang Siwah mulai melatih Pandika dalam seni tertua Majapahit—ilmu pedang yang memadukan jiwa dan napas alam.

Di halaman berlapis batu hijau di tepi danau, sang prabu berdiri tegak dengan rambut putihnya terurai bagai asap dupa. Ia menghunus pedangnya, bilahnya berkilau seolah memantulkan cahaya matahari sekaligus rembulan.

“Perhatikan,” ucapnya lirih namun tegas. “Pedang bukanlah alat membunuh, melainkan perpanjangan tangan dari kehendak dan nuranimu. Gerakannya adalah bahasa jiwa.”

Ia menapakkan kakinya perlahan, tubuhnya berputar lembut, dan bilah pedang menari di udara—menyapu angin, menciptakan pusaran lembut bagai tarian air. Pandika berdiri tak jauh, mengikuti setiap gerakan dengan saksama. Gerakan itu tampak sederhana, namun tiap ayunan mengandung keseimbangan antara napas, tenaga, dan keheningan.

Hari demi hari, Pandika menirukan gerakan itu. Awalnya kaku dan terbata, tapi setiap langkah membawanya lebih dekat pada keselarasan yang diajarkan gurunya.

“Rasakan angin di sekitarmu,” ujar Prabu Galang Siwah. “Biarkan pedangmu menuntunmu, bukan sebaliknya.”

Ketika dasar-dasar ilmu itu mulai tertanam, sang prabu melanjutkan ke tingkatan yang lebih tinggi. Ia mengangkat pedangnya, dan tiba-tiba udara di sekitar bergetar. Gerakan pedangnya kini nyaris mustahil diikuti oleh mata biasa—setiap ayunan melahirkan seribu bayangan pedang, berkilauan bagai serpihan bintang.

Walau gerakannya tampak lamban, cahaya dari bilahnya membentuk garis lurus di udara, dan apa pun yang disentuh cahaya itu—batu, ranting, bahkan udara—terbelah tanpa suara.

Pandika terdiam, kagum sekaligus gentar. “Guru, bagaimana saya bisa melakukan itu?”

Prabu Galang Siwah menatapnya dalam. “Ilmu ini bukan soal kecepatan tangan, melainkan kejernihan hati. Bila jiwamu belum diam, pedangmu akan selalu bergetar.”

Pandika berlatih tanpa henti, namun setiap kali mencoba, bayangan pedangnya tak pernah lebih dari sepuluh. Ia menghela napas, peluh membasahi tubuhnya.

“Jangan terburu,” ucap sang prabu lembut. “Ada waktunya kau akan menguasainya. Sekarang, saatnya kau belajar hal yang lebih dalam—kekuatan batin Majapahit.”

Mereka duduk bersila di tepi danau. Air beriak pelan, daun-daun beterbangan ditiup angin lembut.
“Ini adalah ilmu melepas dan menarik,” kata Prabu Galang Siwah. “Segala yang hidup terhubung oleh napas semesta. Bila kau mampu menyatu dengannya, maka batu, air, bahkan besi akan menuruti panggilanmu.”

Ia mengangkat telapak tangannya, dan sebongkah batu kecil di tanah terangkat perlahan, melayang di udara seolah tak berbobot. Lalu dengan gerakan ringan, batu itu melesat jauh sebelum kembali ke telapak tangannya, patuh seperti seekor burung jinak.

“Latih dirimu hingga kau mampu melakukan ini tanpa berpikir,” ucap sang prabu. “Karena kekuatan sejati bukan datang dari otot, melainkan dari keselarasan antara niat dan napas dunia.”

Pandika mencoba. Tangannya bergetar, napasnya terengah. Batu di hadapannya hanya bergetar sedikit sebelum jatuh lagi ke tanah. Namun Prabu Galang Siwah hanya tersenyum.
“Tak apa,” katanya lembut. “Setiap gunung dimulai dari segenggam tanah.”

Dan demikianlah hari-hari Pandika berlalu di bawah bimbingan sang legenda Majapahit. Ia belum menjadi seorang ahli, namun setiap fajar yang datang membuatnya semakin dekat dengan makna sejati kekuatan dan kedamaian.


---
---

Hari-hari berganti, dan cahaya mentari di negeri para peri seakan menjadi saksi bisu atas ketekunan seorang manusia muda bernama Pandika. Di bawah bimbingan Prabu Galang Siwah, ia menempuh latihan yang menguji bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwanya.

Setiap fajar, ia berdiri di tepi danau yang diselimuti kabut lembut. Udara berembus membawa aroma bunga dan tanah basah. Di sanalah ia mengulang pelajaran tentang ilmu melepas dan menarik, hingga jemarinya mengerti bagaimana memanggil kekuatan dari udara dan mengembalikannya pada keheningan.

Awalnya, batu-batu di hadapannya hanya bergetar tanpa arah. Namun kini, dengan napas yang teratur dan hati yang tenang, batu-batu itu melayang perlahan, berputar di sekeliling dirinya seolah menari.
“Bagus,” ujar Prabu Galang Siwah. “Kau mulai memahami bahasa dunia.”

Latihannya berlanjut ke tahap yang lebih tinggi—pertarungan tanding dengan bangsa peri. Di lapangan luas di bawah pohon-pohon bercahaya, para peri mengelilinginya dengan mata penuh penasaran. Mereka mengenakan pakaian berwarna hijau zamrud dan perak, pedang kayu mereka berkilau seolah bernafas.

“Jangan berharap belas kasihan,” ujar salah satu peri dengan senyum lembut, lalu menghilang dari pandangan mata.

Pandika menutup matanya, menenangkan diri. Ia mendengarkan bisikan angin, langkah ringan yang hampir tak terdengar, dan detak jantungnya sendiri. Ketika pedang kayu datang menyerang dari sisi kanan, tangannya bergerak tanpa ragu—ilmu menarik bekerja, membuat serangan itu tertahan di udara, lalu ia melepaskan tenaga kecil yang memantulkan lawannya ke belakang.

Pertarungan berlangsung lama. Sekali, dua kali, sepuluh kali—hingga seratus kali mereka beradu pedang kayu, suara benturannya menggema bagai musik perang yang suci. Pandika jatuh, bangkit, jatuh lagi, namun tak pernah menyerah.

Akhirnya, pada benturan keseratus, tubuhnya bergerak dengan keheningan yang sempurna. Pedangnya berayun, ringan namun pasti, menahan serangan dan sekaligus membalas dengan tenaga yang terukur. Peri lawannya terhenti, lalu tersenyum lebar, menundukkan kepala tanda hormat.

Suara tepuk tangan lembut bergema di antara pepohonan. Cahaya siang menembus kanopi dedaunan, menyinari Pandika yang berdiri dengan napas teratur dan mata bersinar tenang.

Prabu Galang Siwah mendekat, menepuk bahunya.
“Kau telah melampaui batas tubuhmu sendiri,” katanya dengan suara yang sarat makna. “Sekarang kau tak lagi hanya manusia biasa. Kau telah menjadi bagian dari keselarasan antara dunia nyata dan alam gaib.”

Pandika menunduk rendah. “Guru, aku masih jauh dari sempurna.”

Prabu tersenyum samar. “Kesempurnaan bukan tujuan, Pandika. Ia hanyalah bayangan dari keabadian. Yang penting adalah langkahmu yang terus maju.”

Dan di bawah langit senja yang berwarna keemasan, Pandika berdiri di antara bangsa peri, tubuhnya lelah namun hatinya dipenuhi cahaya baru—cahaya seorang murid yang mulai memahami arti sejati dari kekuatan dan kehormatan.


---


07/10/25

season 8 Kerajaan Mythopia


Chapter 56 Ritual Kegelapan di Gua Sinabung

Di kedalaman Gunung Sinabung yang diselimuti kabut abadi, terdapat sebuah gua yang hanya dikenal oleh mereka yang bersekutu dengan kegelapan. Di sanalah Ki Surya Dahana, sang ahli sihir tua dari masa lampau, menatap bola kaca di hadapannya dengan mata menyala bagaikan bara api. Di dalam bola itu, tampak bayangan Isidore dan para ksatria Mythopia bersatu dengan Sagara Putra.

Amarah membuncah di dada sang pertapa. Ia menggeram, lalu melemparkan cawan emasnya hingga pecah berhamburan. “Kutukan bagi mereka semua!” desisnya dengan suara yang menggetarkan udara gua. “Mereka tak seharusnya bersatu kembali. Dunia ini seharusnya milik mereka yang kuat, bukan mereka yang mengaku penjaga cahaya!”

Empat pemimpin suku yang menjadi pengikut setianya berdiri di sekeliling: Gurnaka dari suku batu, Rakayan dari suku bayangan, Jalarang dari penjaga rawa, dan Murkalana dari bangsa kegelapan hutan. Mereka menatap satu sama lain, ketakutan bercampur penasaran.

“Guru,” tanya Rakayan dengan suara berat, “sekuat apakah ksatria dari Mythopia itu? Bahkan raksasa api pun gentar mendengar nama mereka.”

Ki Surya Dahana menatap mereka tajam, lalu mengangkat tongkat hitamnya tinggi-tinggi. Dari ujung tongkat itu, keluar cahaya putih menyilaukan, meluncur ke udara, membentuk garis lurus di depan mereka. Cahaya itu berdenyut, bergetar, dan perlahan berubah warna—putih menjadi ungu, lalu hitam keunguan, seperti luka yang menganga di langit.

Ia mengucapkan mantra dalam bahasa kuno Mythopia, bahasa yang bahkan roh-roh bumi enggan mendengarnya. Dari garis itu, muncullah sesosok makhluk tak kasat mata, tinggi dan berkerudung kabut hitam. Dengan kedua tangannya yang panjang dan kurus, makhluk itu membuka celah di udara, membentuk pintu menuju ruang tersembunyi.

“Masuklah,” ujar Ki Surya Dahana dengan suara dalam. “Tempat ini bukan untuk manusia lemah. Ikutilah aku, dan kau akan tahu rahasia kekuasaan sejati.”

Para pemimpin suku saling berpandangan, lalu melangkah ke dalam bersama tuan mereka. Begitu mereka semua masuk, makhluk kasat mata itu menutup celah tersebut, menelan cahaya, hingga tidak tersisa sedikit pun bekas keberadaan mereka di dunia luar.

Di dalam ruangan itu, terbentang pemandangan yang membuat mereka ternganga: barisan rak penuh manuskrip tua berlumut, peti-peti emas yang bersinar redup di bawah cahaya batu sihir, dan artefak suci dari zaman yang terlupakan.

“Inilah yang kujanjikan kepada kalian,” ujar Ki Surya Dahana dengan nada kemenangan. “Untuk kesetiaan yang kalian berikan, kini kuhadiahkan warisan dari dunia lama. Di sinilah ilmu yang menumbangkan kerajaan dan mengguncang langit tersimpan.”

Ia menatap mereka satu per satu dengan senyum dingin.
“Pelajarilah semua naskah yang ada di sini. Ajarkan kepada anak buahmu, bila kalian cukup cerdas untuk memahaminya. Siapa yang berhasil menaklukkan isi tempat ini... akan menaklukkan dunia.”

Tawa mereka bergema di seluruh ruangan, tawa serakah yang menandakan awal dari kebangkitan kegelapan yang lama terpendam.


---
---

Chapter 57 Ritual Darah di Ruang Artefak

Di ruang yang sunyi, hanya cahaya batu sihir yang berkelip di antara bayang-bayang. Udara beraroma besi dan debu kuno, seakan napas waktu sendiri terhenti di tempat itu. Ki Surya Dahana berdiri di tengah ruangan, tongkat hitamnya menancap di lantai batu, menyalurkan denyut kekuatan yang membuat udara bergetar halus.

Empat kepala suku berdiri di sekelilingnya, mata mereka menyala dalam cahaya keunguan yang menakutkan.

Yang pertama melangkah maju adalah Orkaghor si Bercak Darah, kepala suku Gurnaka — makhluk raksasa dengan kulit sekeras batu dan bekas luka di seluruh tubuhnya. Tangannya yang besar gemetar menahan gairah ketika ia menatap sebuah telur emas di atas altar batu hitam. Telur itu berdenyut perlahan, seperti jantung yang menunggu kehidupan baru.

Ki Surya Dahana menatapnya tajam. “Telur itu tak akan membuka diri untuk siapa pun, kecuali bagi yang berani memberi bagian dari hidupnya.”

Tanpa ragu, Orkaghor menggigit bibir bawahnya hingga darah menetes ke tangannya. Ia meludah ke atas telur itu. Setetes, dua tetes, lalu cairan merah itu terserap perlahan oleh permukaan emas yang berkilau lembut.

Suara lirih seperti desis ular terdengar — dan telur itu berdenyut cepat, memancarkan cahaya merah kehijauan. Retakan halus muncul di permukaannya, semakin besar, hingga pecah dengan ledakan lembut.

Dari dalamnya keluar seekor burung merak bertubuh mungil namun matanya menyala seperti bara api. Bulu-bulunya memancarkan warna merah, hijau, dan emas yang berganti-ganti seperti nyala api yang menari.

“Burung Rathakana,” ujar Ki Surya Dahana pelan, hampir seperti berdoa. “Pemikat hewan buas, penakluk jiwa liar. Kini ia menjadi milikmu, Orkaghor. Tapi berhati-hatilah—ia setia hanya pada darah yang pertama kali menyentuhnya. Jika kau khianati dia, ia akan mematuk jantungmu tanpa ampun.”

Orkaghor tersenyum puas, menunduk hormat, lalu memeluk burung itu dengan tangan penuh darah.

Selanjutnya, Lorendis si Licik dari suku Rakayan melangkah maju, matanya memandang ke sekeliling seperti pencuri di antara harta raja. Ia berhenti di depan sebuah lonceng besar dari perunggu hitam.
“Yang ini,” katanya dengan suara pelan namun tajam, “aku bisa merasakan kekuatannya.”

Ki Surya Dahana menggeleng pelan. “Jangan. Suara lonceng itu tidak membeda-bedakan. Ia membunuh semua yang mendengarnya—termasuk tuannya sendiri.”

Ia mengangkat tangannya, dan dari udara muncul sebuah kipas logam berukir naga, berkilau kehijauan. “Ini lebih cocok untukmu, Lorendis. Sekali dikipaskan, ribuan jarum halus akan terbang, menembus kulit, meracuni darah musuhmu. Namun ingat, kipas ini tak mengenal arah angin. Jika kau ceroboh, kau akan mati oleh senjatamu sendiri.”

Lorendis mengambilnya, senyum licik di bibirnya melebar, “Senjata yang membunuh dengan indah,” bisiknya, sebelum menunduk hormat.

Kemudian datang Mhezzrak si Pisau Tak Terlihat dari suku Jalarang — tubuhnya kurus, matanya tajam seperti pisau. Ia tidak banyak bicara. Ia memilih sebuah kotak kecil dari perak yang tergeletak di rak paling bawah. Saat dibuka, tampak di dalamnya berbaring belasan belati dan jarum tipis, semuanya berkilau bagai es beku di bawah sinar bulan.

“Pilihan yang cerdas,” ujar Ki Surya Dahana dengan nada puas. “Itu adalah senjata dari masa perang kuno—belati yang bisa terbang sendiri menuju sasaran, dan akan kembali kepada pemiliknya setelah mencicip darah. Tapi jika kau tidak menguasai napas dan kemauanmu, ia akan berbalik, menembus jantungmu sendiri.”

Mhezzrak tersenyum tipis, menyentuh salah satu belati itu, dan benda itu bergetar, seolah mengenal pemilik barunya.

Dan yang terakhir, Vorthax si Gila Darah dari suku Murkalana, melangkah maju. Tubuhnya tinggi dan lebar, matanya memantulkan cahaya merah. Ia tidak menatap rak atau altar—melainkan sesuatu yang tergeletak di lantai batu, terbungkus lumut dan abu.

Itu adalah pedang besar, hitam seperti malam tanpa bintang. Ki Surya Dahana memandangnya dengan ekspresi antara kagum dan waspada.
“Itu adalah pedang Nagarastra,” katanya pelan. “Dulu, ia menebas kepala seekor naga di masa purba. Tapi pedang itu haus darah, Vorthax. Ia akan meminum darah setiap kali dihunus. Jika tidak, ia akan menuntut darah pemiliknya.”

Vorthax tertawa keras, menggenggam gagangnya yang berat, lalu mengangkat pedang itu dengan kedua tangan. “Kalau begitu, biarlah ia haus selamanya!”

Kilatan merah membuncah dari bilah pedang, memenuhi ruangan dengan cahaya seperti api neraka.

Ki Surya Dahana tersenyum puas, matanya berkilat dengan kegembiraan gelap.
“Latihlah diri kalian di sini,” katanya perlahan. “Kuasa Mythopia akan kembali menatap bumi, dan dunia akan tahu... bahwa kegelapan tak pernah mati.”

Suara tawa mereka bergema, bergulung di dalam gua seperti guntur, sementara cahaya merah, hijau, dan ungu berbaur di dinding batu, menandakan kebangkitan kekuatan lama yang telah lama tertidur.


---
---

Chapter 58 Ritual Darah dan Bayangan: Latihan Para Kepala Suku

Dengan gerakan perlahan namun sarat kuasa, Ki Surya Dahana mengangkat tongkat hitamnya ke udara. Ujungnya memancarkan cahaya putih menyilaukan, lalu ia mengguratkan garis di udara—garis itu bergetar, berdenyut seperti urat kehidupan, sebelum membuka diri menjadi pintu cahaya yang beriak bagai air dalam dimensi tak kasat mata.

Dari balik cahaya itu muncul makhluk-makhluk tak terlihat, penjaga dari dunia roh yang hanya tunduk pada mantra kuno Mythopia. Mereka melangkah senyap, menarik tirai realitas dan memperlihatkan ruang ilusi di baliknya—tempat yang luas tanpa batas, di mana gunung dan hutan tampak bersinar dalam cahaya merah keunguan.

“Silakan masuk,” ujar Ki Surya Dahana, suaranya bergema dalam ruangan itu seperti dentang logam purba. “Di sana telah kusiapkan makhluk-makhluk buas untuk kalian buru... atau mungkin, merekalah yang akan memburu kalian. Aku tidak tahu mana yang akan terjadi lebih dahulu.”

Empat kepala suku saling berpandangan; tawa keras bergema, dipenuhi semangat haus darah dan ambisi. Mereka memasuki ruang itu satu per satu, diiringi oleh bayangan sihir yang menutup pintu di belakang mereka.

Di dalam, dunia magis itu hidup. Pohon-pohon menjulang seperti menara batu, akar-akar raksasa menggeliat seperti ular, dan udara dipenuhi kabut merah keemasan. Dari kejauhan, terdengar raungan makhluk-makhluk liar yang belum pernah dikenal oleh manusia mana pun.

Awalnya, hanya binatang kecil yang muncul dari balik semak—monyet-monyet liar, kijang yang melompat panik, dan beberapa serigala dengan mata menyala biru. Mereka diburu dengan mudah oleh para kepala suku, senjata mereka menebas udara, darah menodai tanah ilusi.

Namun seiring waktu berjalan, hewan-hewan itu berubah. Dari balik kabut muncul harimau bertaring panjang, beruang raksasa dengan kulit baja, dan ular sebesar batang pohon. Raungan demi raungan mengguncang tanah, dan para kepala suku menjerit girang dalam kegilaan mereka.

Orkaghor memanggil burung Rathakana, dan dari kepakan sayapnya, muncul aura pemikat yang membuat hewan-hewan buas itu menunduk—sebelum ia menebas mereka tanpa ampun.
Lorendis menari dengan kipas racunnya, menciptakan badai jarum yang menembus kulit dan daging, membuat mangsanya tumbang dengan senyum licik di bibirnya.
Mhezzrak menebar belati tak terlihat, membiarkan mereka terbang menembus jantung setiap musuh, lalu kembali ke genggamannya dengan darah menetes.
Vorthax, dengan pedang Nagarastra, menebas segalanya di jalannya—tanah, batu, dan tubuh-tubuh yang tak lagi dikenali.

Namun semakin lama, ruang itu berubah menjadi neraka hidup. Dari langit ungu yang berputar, muncul raungan yang berbeda, lebih dalam, lebih purba. Tanah bergetar, pepohonan roboh, dan dari kabut hitam yang tebal muncullah raksasa Gendrawani bertangan delapan.

Tubuhnya menjulang seperti menara, matanya menyala seperti bara, rambutnya menjuntai bagai nyala api, dan tiap tangannya menggenggam senjata dari zaman yang terlupakan. Setiap langkahnya mengguncang bumi, setiap helaan napasnya menyalakan udara menjadi panas membakar.

Para kepala suku terdiam sesaat—lalu tertawa gila, menyambut tantangan itu dengan sorak liar. Mereka menyerbu bersama-sama, menghunus senjata dan mengeluarkan kekuatan magis mereka.

Pertempuran pun meledak. Tanah ilusi bergetar, udara pecah oleh benturan sihir dan baja. Suara logam beradu dengan raungan makhluk purba, cahaya merah, biru, dan hijau bersilangan dalam kekacauan yang agung.

Namun, tak satu pun dari mereka mati. Meski tubuh mereka robek, tulang hancur, dan darah berceceran di tanah, mantra Ki Surya Dahana menjaga mereka tetap hidup—sebuah kutukan abadi dalam ilusi.

Ruang itu adalah medan latihan tanpa kematian, di mana rasa sakit menjadi guru, dan kegilaan menjadi teman.

Dari luar, Ki Surya Dahana menyaksikan semuanya melalui bola kacanya, matanya berkilau dalam kepuasan gelap.
“Ya…” bisiknya pelan. “Biar mereka belajar apa artinya kekuatan sejati. Karena sebentar lagi… dunia akan menjadi medan latihan mereka yang sesungguhnya.”

Cahaya ungu dari tongkatnya berdenyut makin kuat, dan suara tawa Ki Surya Dahana menggema di seluruh gua, menggetarkan udara, seakan kegelapan itu sendiri tertawa bersamanya.


---

---

Chapter 59 Adegan Setelah Latihan Para Kepala Suku

Dari celah tirai cahaya yang perlahan menutup, empat sosok keluar satu per satu, tubuh mereka berbalut luka dan debu, namun mata mereka menyala dengan api kekuatan baru. Ruang ilusi ciptaan Ki Surya Dahana telah menelan waktu seolah seratus pertempuran berlangsung dalam sekejap mata fana.

Mereka—para kepala suku yang dulu hanyalah pembunuh, pemburu, dan penjarah—kini menjelma menjadi makhluk yang kekuatannya melampaui batas manusia.

Burung merak Rathakana milik Orkaghor kini telah tumbuh sempurna. Bulu-bulunya berpendar dalam cahaya merah kehijauan, dan tiap kepakkan sayapnya mampu menundukkan binatang buas serta menenangkan amarah makhluk liar. Ia menjadi lambang kejayaan suku Gurnaka—burung pemikat yang kini bersarang di pundak sang kepala suku, bagai api dan darah yang menyatu.

Lorendis, si licik dari Rakayan, telah mencapai puncak keahliannya. Kipas beracunnya kini menari di udara seperti angin maut, setiap kibasan menebarkan jarum kematian yang tak terlihat. Ia menatap tangannya sendiri dengan senyum tipis—antara kagum dan ngeri—menyadari bahwa setiap gerakannya dapat membunuh sahabat maupun musuh.

Mhezzrak, sang pemburu dari Jalarang, berdiri tegak dengan bayangan tajam di sekelilingnya. Seratus belati dan jarum beracunnya kini taat sepenuhnya pada pikirannya. Ia dapat menebas seratus musuh sebelum napas pertama mereka sempat bergetar di udara.

Namun yang paling menakutkan dari semuanya adalah Vorthax, dari suku Murkalana. Pedang besar Nagarastra yang dahulu tergeletak membisu kini berdenyut seperti makhluk hidup. Bilahnya berwarna hitam kebiruan, memancarkan aura prana naga yang dulu dibunuhnya. Dalam tangannya, pedang itu menjadi alat pembantaian sejati—api naga dan darah manusia berpadu menjadi satu kehendak.

Ki Surya Dahana menatap mereka dengan mata yang suram namun berkilat penuh kebanggaan dan kecemasan.
“Lihatlah,” ujarnya perlahan, suaranya bergema di ruangan batu yang dingin, “kalian telah menaklukkan ratusan medan ilusi, bahkan mengakhiri riwayat Gendrawani bertangan delapan yang pernah mengguncang dunia manusia. Namun ingatlah—kekuatan tanpa kendali hanya akan menuntun pada kegilaan. Kalian mesti menyeimbangkannya dengan keteguhan batin, atau lambat laun kekuatan itu akan menelan kalian sendiri.”

Keempat kepala suku menundukkan kepala, tak sepenuhnya memahami beban kata-kata itu. Di mata mereka, hanya ada kemenangan—dan kehausan akan ujian yang lebih besar.

Ki Surya Dahana memalingkan wajahnya ke bola kaca yang menggantung di udara, di mana bayangan Isidore dan para ksatrianya tampak samar.
“Belum cukup,” gumamnya lirih, “belum cukup untuk menandingi mereka. Masih ada jalan panjang menuju keagungan, dan lebih banyak darah yang mesti tertumpah sebelum fajar kekuasaan bangkit kembali.”


---

---

Chapter 60 Bayang di Balik Gunung Asrama

Di bawah perut bumi, jauh di bawah reruntuhan kota kuno Mythopia, terbentang ruang raksasa tempat batu-batu bernafas dan udara bergetar oleh bisikan roh. Di sanalah, Rasvathar, sang Penjaga Bayang-Bayang, bersembunyi. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih; luka-luka dari perang melawan Ksatria Majapahit masih membara seperti bara di bawah kulitnya yang pucat.

Selama berabad-abad, ia bertahan dalam bayang waktu yang terbeku, menghisap sisa-sisa kekuatan dari reruntuhan kuil, meminum kabut yang menetes dari dinding batu. Ia menunggu saat di mana bintang Mythopia kembali terbit—bukan untuk menerangi dunia, melainkan untuk menelannya ke dalam kegelapan abadi.

Di hadapannya terbentang cermin Arkamaya, pusaka yang dahulu menjadi lambang kebijaksanaan kerajaan Mythopia. Kini, cermin itu retak dan memantulkan bayangan yang bukan bayangan dunia manusia. Dari sana, Rasvathar menyaksikan dunia berjalan di atas luka-lukanya sendiri.

> “Lihatlah…” suaranya berat bagai guruh dari dalam bumi. “Putra Itharius, darah cahaya, berani mengumpulkan kembali ksatria-ksatria Mythopia. Ia hendak menghidupkan kejayaan yang telah kulenyapkan. Dan lihat pula… muridku yang durhaka, Surya Dahana, kini bermain dengan ilusi kekuasaan.”



Matanya yang keunguan menyala perlahan, menyulut udara di sekitarnya menjadi asap pekat. Dari kegelapan, muncul bayangan-bayangan pengintai—makhluk tanpa wajah, mata-mata yang berkelana melalui kabut dan mimpi manusia.

> “Temukan Surya Dahana,” ujarnya dengan nada bagai mantra. “Bisikkan padanya… bahwa aku telah menemukan rahasia tertinggi Mythopia—Api Abadi dari Menara Luar. Katakan, kekuatan itu dapat menghancurkan Isidore, bila ia cukup bodoh untuk mempercayaimu.”



Bayangan itu menunduk tanpa suara, lalu lenyap dalam kabut yang mengalir seperti air hitam.

Rasvathar lalu menatap langit-langit batu yang berlumut, seakan berbicara kepada para dewa yang telah lama mati.

> “Biarlah Surya Dahana berperang dengan Isidore. Biarlah manusia saling membunuh di bawah bendera kejayaan dan kesetiaan. Dari abu mereka aku akan bangkit… dan dunia ini akan menjadi takhta bagi kegelapan yang kekal.”



Di luar gua, guntur bergemuruh tanpa hujan. Seekor burung malam terbang ketakutan, dan kabut ungu mulai turun dari lereng gunung, menandai bahwa bayang-bayang Rasvathar telah bergerak sekali lagi.


---


---

Chapter 61 Bisikan dari Bayang-Bayang

Di kedalaman gua Sinabung, api biru berkeredap dari mangkuk-mangkuk batu, menerangi dinding yang dipenuhi ukiran mantra kuno. Ki Surya Dahana duduk bersila di tengah lingkaran simbol sihir yang berpendar samar. Suara tanah berderak pelan, dan udara di sekelilingnya menjadi berat, seolah malam turun tanpa bintang.

Dari balik kabut hitam yang menetes dari langit-langit gua, muncul sesosok bayangan—tanpa bentuk, tanpa napas, tapi matanya menyala bagai bara yang bersembunyi di balik tirai malam.

Surya Dahana mendadak berdiri, tongkatnya terangkat tinggi, sinar hitam memancar dari ujungnya menghantam dinding batu hingga retak dan runtuh. Namun bayangan itu tidak bergeming—ia tetap di sana, tenang, melayang tanpa suara.

> “Siapa kau yang berani menodai wilayahku?” seru Surya Dahana, suaranya menggema ke seluruh penjuru gua.



Bayangan itu bergetar, lalu dari dalamnya terdengar suara dalam dan berat, seperti datang dari balik kabut ribuan tahun:

> “Wahai… muridku.”



Dahana menatap tajam.

> “Aku tak pernah punya guru. Katakan siapa kau sebenarnya, sebelum kutiadakan dari dunia ini.”



Bayangan itu berubah bentuk, perlahan membentuk siluet seorang tua berjubah panjang, dengan mahkota api yang berkelip di atas kepala bayangannya.

> “Apa kau sudah lupa padaku, Surya Dahana? Aku adalah Maharsi Angyantara, penasehat spiritual tertinggi Mythopia… yang dulu kau sebut Rasvathar.”



Dahana mengerutkan kening, wajahnya mengeras.

> “Aku ingat kau. Orang gila yang mencoba menggulingkan Dewan Mythopia dengan ilmunya yang terkutuk.”



> “Gila, katamu?” suara Rasvathar menggelegar pelan. “Aku hanya melihat kebenaran yang tak mampu diterima manusia lemah. Kebenaran bahwa cahaya dan kegelapan bukan musuh, melainkan dua sisi dari kekuasaan yang sama.”



> “Kau bicara seperti ular tua yang memakan ekornya sendiri,” balas Dahana dingin. “Aku tahu apa yang kau inginkan: kekuasaan atas semua makhluk, bahkan para dewa pun akan kau perbudak bila bisa.”



Bayangan Rasvathar bergoyang lembut, bagai asap yang tertawa.

> “Kau salah, Dahana. Aku tak menginginkan tahta. Aku menginginkan kesempurnaan—tatanan di mana yang kuat menuntun yang lemah. Dan kau… dengan pasukan suku-sukumu, dengan ilmu sihirmu yang tajam… kau bisa menjadi jembatan menuju tatanan itu.”



> “Aku tidak butuh tatananmu, Rasvathar. Aku membangun kekuatanku bukan untuk menaklukkan manusia, tapi untuk menegakkan kembali nama Mythopia yang telah dicemarkan.”



Rasvathar tertawa, suaranya seperti gemuruh batu runtuh.

> “Nama Mythopia? Hanya debu di bawah bintang! Lihatlah dirimu, murid yang dibuang, yang mencari kehormatan dari reruntuhan. Sementara itu, Isidore—darah Itharius—berjalan di bawah panji cahaya. Kau tahu dia akan menghancurkanmu bila tiba waktunya.”



Surya Dahana menatap tajam, tapi di dalam matanya ada seberkas keraguan.

> “Apa maumu, Rasvathar?”



> “Aku menawarkan persekutuan. Datanglah ke lembah bayangan di bawah Gunung Asrama. Di sana, aku akan menunjukkan kepadamu Rahasia Tertinggi Mythopia—ilmu yang bahkan para pendeta agung tak pernah berani menyentuhnya. Dengan itu, kau akan memiliki kekuatan untuk menundukkan Isidore… dan mungkin seluruh dunia manusia.”



Dahana diam lama, tongkatnya menurun perlahan. Api di sekitarnya berkedip redup.

> “Dan bila aku menolak?”



Rasvathar membisik, suaranya berubah lembut namun mengandung racun.

> “Maka dunia akan memilih untuk melupakanmu, Surya Dahana. Dan segala nama, segala kejayaanmu, akan hilang ditelan waktu. Bahkan rohmu tak akan diingat oleh bumi.”



Bayangan itu mulai memudar, lenyap dalam kabut hitam yang menyusup kembali ke dinding gua. Namun suaranya masih menggema di udara:

> “Pikirkanlah, muridku… kegelapan selalu menunggu mereka yang ditolak oleh cahaya.”



Surya Dahana berdiri diam, hanya suara api dan tetes air yang tersisa. Di wajahnya, tampak pergulatan batin antara kesetiaan pada cahaya dan godaan kekuatan tanpa batas.


---

Chapter 62 Bayang dan Cahaya dari Bengawan Solo

Para kepala suku segera mengerahkan prajurit-prajurit terbaik dari kabilah mereka — para pemburu, pendaki, dan pengintai yang telah ditempa oleh waktu dan darah. Dari gua Sinabung yang gelap hingga lembah-lembah berkabut di utara, mereka menyebar dalam kesunyian malam, mencari jalan menuju Gunung Asrama, tempat yang disebut-sebut sebagai gerbang menuju Lembah Bayangan.

Namun, tak seorang pun di antara mereka menyadari bahwa pada saat yang sama, Isidore dan para ksatria Mythopia sedang menempuh perjalanan menuju arah yang berlawanan — menuju Sinabung, tempat legenda tidur menunggu untuk dibangkitkan.

Perjalanan mereka dari tepi Bengawan Solo berlangsung damai dan sarat kenangan. Sungai itu mengalir tenang di bawah sinar matahari sore, memantulkan warna langit yang perlahan memerah. Setiap langkah Isidore membawa kembali ingatan tentang Putri Dyah Sekar Tanjung, tentang senyumnya yang lembut dan suara lembayung senja di matanya.

Di dadanya tergantung hiasan kupu-kupu berlapis emas, hadiah dari sang putri — sebuah karya seni yang tampak sederhana namun sesungguhnya hidup oleh sihir kuno Majapahit. Sayapnya kadang bergetar lembut, dan dari tubuh mungil itu memancar cahaya keemasan yang menari di udara.
Tak seorang pun dari rombongan ksatria tahu bahwa kupu-kupu itu bukan sekadar perhiasan. Ia adalah penjaga dan penuntun, makhluk langka yang menebarkan serbuk sari bercahaya untuk menandai keberadaan pemiliknya. Melalui kilau itu, di kejauhan, sang putri dapat mengikuti jejak perjalanan Isidore — bagai bintang yang selalu tahu di mana fajar akan terbit.

Sementara itu, di belantara yang jauh, para pengintai suku Gurnaka, Rakayan, Jalarang, dan Murkalana mulai kehilangan arah. Setiap petunjuk yang mereka kejar lenyap seperti kabut disapu angin.
Gunung Asrama berdiri diam di kejauhan, puncaknya diselubungi awan gelap yang tak tersentuh matahari. Namun ketika mereka mencoba mendekat, langit berubah — bintang-bintang lenyap, dan kabut hitam turun bagai tirai yang menelan pandangan.

> “Kami telah berjalan tujuh hari dan tujuh malam,” lapor salah seorang pengintai kepada Lorendis, “namun setiap jalur yang kami tempuh berakhir pada tempat yang sama. Seolah gunung itu menolak kami.”



Lorendis menatap ke langit, merasakan hawa aneh di udara.

> “Ini bukan medan biasa,” gumamnya. “Ini tempat di mana dunia manusia dan bayangan bersatu. Dan bayangan… tak pernah menunjukkan jalan kecuali kepada yang terpilih.”



Namun di sisi lain dunia, Isidore melangkah semakin dekat ke nasibnya, tak sadar bahwa dua kekuatan besar — bayangan dan cahaya — kini sedang berjalan di jalur yang sama, menuju takdir yang tak dapat dihindari.


---
Chapter 63 Perjalanan Menuju Sinabung

“Mari kita berpindah melalui Gunung Lawu,” ujar Surya Wikrama, matanya menatap ke arah barat, di mana puncak gunung menjulang bagai mahkota batu di bawah langit jingga. “Di sana terdapat batu loncatan — jalan rahasia menuju Sinabung.”

Perjalanan dari Bengawan Solo ke lereng Lawu tidaklah singkat, namun udara pegunungan menyelimuti mereka dengan kesejukan dan kesunyian purba. Di sepanjang jalan, akar-akar pohon raksasa menjulur dari tanah, membentuk jalinan seperti tangan para penjaga dunia bawah.
Dengan satu gerakan tangannya, Rakajati, sang pengendali rimba, memisahkan akar-akar itu, membuka jalan bagi rombongan.

Mereka tiba di hadapan sebuah gua tersembunyi di balik dinding batu yang dilapisi sarang laba-laba sewarna perak. Jaring-jaring itu bergetar halus, memantulkan cahaya samar dari batu-batu biru yang menempel di langit-langit gua.

Pandika, yang selalu mudah terpesona oleh keindahan alam, menatap kagum.

> “Lihatlah,” bisiknya, “seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi untuk menerangi tempat ini.”



Di tengah gua berdiri sebuah batu kristal putih sebesar tubuh manusia, berdenyut lembut seperti jantung bumi. Saat Surya Wikrama mengangkat tangannya dan menyentuhkan segel cahaya pada permukaannya, kristal itu memancarkan cahaya keemasan yang menelan seluruh ruangan.

Suara gemuruh memenuhi udara — bola-bola listrik bermunculan, berputar liar, menyambar dinding dan tanah, menciptakan kilatan biru dan ungu yang menari.

“Perlindungan!” seru Isidore, menarik kerisnya. Dengan cepat ia melantunkan mantra kuno, dan dari bilah keris itu terpancar perisai cahaya berbentuk pusaran angin. Dalam sekejap, seluruh rombongan diselimuti cahaya, dan ketika sambaran petir mencapai puncaknya, mereka lenyap dari pandangan.

Lalu datang keheningan.

Mereka muncul kembali di sebuah gua lain — gua Sinabung, jauh di utara.
Sisa kilau dari perjalanan magis itu masih berputar di udara, seperti debu bintang yang enggan padam. Batu kristal kini berwarna ungu tua, seolah telah menyimpan sebagian roh perjalanan mereka.

Pandika, masih gemetar, menjerit kecil sebelum menutup mulutnya.

> “Tenang,” suara lembut Pangreksa terdengar, “kau dalam perlindungan kami.”



Mereka berjalan keluar dari gua. Di depan mereka terbentang pemandangan yang menakjubkan — lembah Sinabung yang tertidur di bawah kabut pagi, diapit tebing batu yang menjulang.

Rakajati menunjuk ke arah timur, ke sebuah bukit kecil yang tampak seolah hidup oleh cahaya tanah.

> “Di sanalah,” katanya pelan, “gua Ksatria Jagat Dirgantara, penguasa tanah dan langit. Tapi lihatlah, pintunya tertutup oleh sarang semut penjaga bumi.”



Bhra Anuraga menatap dengan ngeri.

> “Astaga… bagaimana kita masuk? Apa kita harus menghancurkannya?”



Namun Surya Wikrama melangkah maju, menatap sarang itu dengan hormat.
Ia menghunus pedangnya, dan dari bilahnya terpancar cahaya emas yang hangat, bukan menyilaukan, melainkan menenangkan seperti mentari pagi.

> “Wahai penjaga tanah,” ucapnya lembut, “maafkan kami. Kami tak berniat mengganggu ketenangan kalian. Kami hanya datang untuk membangkitkan sang ksatria yang telah lama tertidur, agar keseimbangan dunia tetap terjaga.”



Cahaya itu menjalar di sepanjang dinding sarang, dan satu per satu semut raksasa keluar, melingkar di sekitar mereka — bukan sebagai musuh, melainkan sebagai penjaga yang tengah menimbang. Dari kegelapan terdengar dengung halus, seperti doa yang dilantunkan bumi sendiri.


---
Chapter 64 Pembangkitan Sang Ksatria Jagat Dirgantara

Udara di sekitar gua Sinabung menjadi pekat — seolah bumi sendiri menahan napas menunggu sesuatu yang agung akan terjadi. Dari bilah keris Surya Wikrama, cahaya emas menyala lembut, mula-mula seperti bara yang berdenyut, lalu perlahan membesar, memancar bagai mentari yang terbit dari dalam tanah.

“Waktunya telah tiba,” ucap Surya Wikrama dengan suara yang bergema menembus dinding batu. Ia menancapkan keris itu ke tanah, dan getaran halus segera menyebar, membuat pasir di kaki mereka bergetar lembut.

Dari kedalaman bumi terdengar bunyi berat — gruuum... gruuum..., suara batu yang bergeser, disusul ledakan kecil cahaya di tengah tanah. Lalu bumi terbelah, dan dari celahnya muncullah sosok raksasa batu — tubuhnya kokoh bagai gunung, berlapis bebatuan hitam dan lumut purba. Ia adalah Jagat Dirgantara, sang penguasa tanah, ksatria tua yang telah tertidur selama ribuan tahun.

Matanya masih tertutup, dan setiap gerakannya lamban, berat seperti dunia baru terbangun dari mimpi panjang. Debu beterbangan di udara, mengelilinginya bagaikan kabut dari zaman purba.

Pangreksa, penguasa es, melangkah maju, mengangkat tangannya.

> “Biarlah dinginku menenangkan tubuhmu, wahai penjaga tanah,” ujarnya.
Udara membeku, lapisan es membalut batu, menahan panas dan memberi bentuk pada tubuh raksasa itu.



Bhra Anuraga, sang penguasa api, mengikuti dengan nyala merah di matanya.

> “Api akan membakar sisa-sisa tidur panjangmu,” katanya.
Nyala api menjalar lembut di sela-sela batu, menghancurkan kerak dan debu masa lampau yang menutup kulit Jagat Dirgantara.



Lalu Sagara Putra, penguasa samudra, mengangkat tangan dan menyeru gelombang dari udara — air muncul, mengalir dari udara tipis, membasuh batu yang telah terpecah.

> “Biarlah airku menggerus kaku tubuhmu,” katanya dengan lembut.



Bayu Anggana, penguasa angin, menari di sekitarnya; setiap gerakannya memunculkan pusaran angin yang menghapus debu dan sisa kerak dari tubuh batu itu.

> “Angin akan membersihkanmu, wahai ksatria bumi,” serunya.



Lalu Guntur Wisesa, dengan sorot mata bagaikan kilat di langit badai, mengangkat tombaknya ke udara. Petir pun turun, menyambar tubuh batu yang membeku itu.

> “Terimalah kekuatan dari langit, wahai Jagat Dirgantara!”



Petir itu menyatu dengan tubuh golem batu; retakan-retakan muncul di seluruh permukaannya, berpendar cahaya dari dalam — putih, emas, dan hijau bercampur seperti sinar fajar menembus awan badai.

Rakajati, sang penguasa kayu, menancapkan tongkatnya ke tanah; akar-akar hijau bermunculan, melingkari tubuh raksasa batu itu, mengalirkan kehidupan baru ke dalamnya.

Dan ketika semua unsur bersatu — api, air, angin, tanah, petir, dan kehidupan — terdengar bunyi lembut seperti napas pertama dunia. Batu-batu pecah perlahan, gugur dari tubuh sang ksatria.

Dari dalam pecahan itu muncullah seorang lelaki berwajah tegas, bertubuh gagah, dengan kulit sewarna tanah lembah dan mata berkilau bagai batu giok. Ia menunduk perlahan, dan bumi di bawahnya bergetar ringan — bukan karena kekuatan, tapi karena rasa syukur.

> “Aku... telah terbangun,” suaranya dalam dan bergema, seperti suara bumi sendiri berbicara. “Beribu tahun aku tertidur, dan kini aku mendengar panggilan cahaya...”



Ia berlutut di hadapan Isidore, matanya bersinar lembut.

> “Wahai putra raja Itharius, penerus darah Mythopia, aku berhutang nyawa padamu dan para ksatriamu. Mulai hari ini, Jagat Dirgantara akan menjadi perisai kalian — penjaga tanah dan penopang dunia. Demi keseimbangan, dan demi Mythopia.”



Isidore menatapnya penuh hormat.

> “Bukan kami yang membangkitkanmu, wahai Jagat Dirgantara. Dunia sendirilah yang memanggilmu kembali. Dan kini... waktumu telah tiba untuk berdiri di sisi kebenaran.”



Cahaya keemasan dari keris Surya Wikrama perlahan meredup, namun di dalam gua itu, sinar baru muncul — bukan dari batu atau sihir, melainkan dari harapan yang kini hidup di hati mereka semua.


---
Chapter 65 Bayang-Bayang di Gua Sinabung

Dalam kedalaman gua Sinabung yang sunyi, Ki Surya Dahana duduk bersila di atas batu hitam, matanya menatap nyala api biru dari tungku kecil di hadapannya. Asap beraroma mur menyeruak, membentuk kabut tipis yang melayang di udara, menciptakan bayangan yang seolah hidup di dinding gua.

Angin dari celah batu berdesir pelan, namun dalam kesunyian itu, hati sang pertapa bergolak bagaikan samudra di bawah badai. Ia baru saja mendengar kabar dari mata-matanya — Jagat Dirgantara, sang penjaga tanah, telah terbangun dari tidur panjangnya dan kini bersumpah setia pada Isidore, putra raja Itharius.

Wajah Ki Surya Dahana menegang. Jemarinya yang kurus menggenggam tongkat hitam bertatah batu obsidian, mengetuk-ngetuk tanah tanpa sadar.

> “Jagat Dirgantara... bahkan bumi pun kini tunduk pada Isidore,” gumamnya lirih, antara kagum dan waspada.



Bayangan di dinding bergetar, lalu suara bergema dari kegelapan — bukan dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri.

> “Apakah kau takut, Surya Dahana? Atau iri?”



Ia terdiam. Hanya nyala biru yang menari di bola matanya.

> “Aku tidak takut,” katanya perlahan. “Tapi aku mengenal tanda-tanda zaman. Jika tanah telah bangkit, maka langit akan berguncang. Rasvatar tidak akan tinggal diam.”



Nama itu — Rasvatar — membuat api di tungku mendesis keras, seolah membenci kehadiran sang tokoh. Ki Surya Dahana menatapnya, teringat akan kunjungan bayangan sang penasehat hitam Mythopia, yang kini mengaku kembali dari kegelapan.

> “Ia datang membawa janji,” ujarnya pada dirinya sendiri, “janji tentang rahasia tertinggi alam, dan kekuatan untuk menundukkan manusia. Tapi aku tahu... dari lidah kegelapan hanya lahir racun.”



Ia menutup matanya, berusaha meredam bisikan-bisikan halus yang berdesir di telinganya, suara Rasvatar yang masih terngiang:

> ‘Manusia lemah harus tunduk pada yang kuat... begitulah hukum dunia, muridku.’



Ki Surya Dahana membuka mata, sorotnya kini tajam bagai bilah pedang.

> “Namun apakah aku benar-benar berbeda darinya?” gumamnya. “Aku pun membangun pasukan. Aku pun menginginkan kekuatan... demi apa? Demi Mythopia? Atau demi diriku sendiri?”



Bayangan para kepala suku terlintas dalam pikirannya — Orkaghor, Lorendis, Mhezzrak, Vorthax — semuanya kini mabuk kekuasaan, memeluk senjata yang diberkatinya sendiri. Ia tahu, bila Rasvatar menampakkan diri sepenuhnya, darah akan tumpah, dan Majapahit akan menjadi medan pertama yang dilahap api bencana.

Ia berdiri perlahan, menyandarkan tongkatnya pada batu. Api biru padam, meninggalkan hanya pijar ungu di ujung matanya.

> “Aku harus memilih,” ucapnya berat. “Apakah menjadi pelindung... atau penghancur.”



Langit di luar gua bergemuruh — kilat menyambar puncak Sinabung, menandai malam yang akan menjadi saksi pergulatan batin seorang yang berdiri di ambang dua dunia: antara terang dan kegelapan.

> “Rasvatar, kau boleh menebar bayang-bayangmu... tapi ketahuilah, bahkan kegelapan pun lahir dari cahaya yang dikhianati.”



Dengan langkah perlahan, ia berjalan ke mulut gua, menatap langit yang diliputi awan hitam. Dari sana, ia berbisik pada angin:

> “Awasi mereka, awasi Isidore. Bila Rasvatar turun ke dunia, aku... akan menemuinya sendiri.”
---
---

Chapter 66 Bayangan di Gunung Sinabung

Senja mulai turun di kaki gunung Sinabung. Langit barat berwarna merah darah, dan awan berarak bagai arus api yang terbelah oleh angin. Di hadapan gua batu yang menjadi tempat peristirahatan mereka, Isidore berdiri memandangi lembah yang diselimuti kabut tebal. Di sisi kanannya berdiri Pandika, wajahnya keras dan matanya menyala oleh semangat yang tak terbakar waktu.

> “Tuan Isidore,” ujarnya perlahan, “aku telah mendengar kabar buruk dari para penduduk yang selamat. Perkumpulan kegelapan di bawah naungan Ki Surya Dahana telah menculik banyak jiwa—orang tua, anak-anak, bahkan bayi. Mereka dijadikan bahan upacara untuk memperkuat ilmu hitam mereka. Kita tak boleh berdiam diri lagi.”



Isidore menatap Pandika dengan tatapan berat.

> “Aku tahu, Pandika. Bayang-bayang itu telah terlalu lama tumbuh di Sinabung. Bila kita biarkan, kegelapan itu akan menjalar sampai ke jantung Majapahit.”



Angin malam mulai turun, membawa suara burung malam dari kejauhan. Dari belakang mereka, Jagat Dirgantara melangkah maju. Tubuhnya yang tegap bagai tebing batu kini berkilau disinari cahaya bintang pertama yang muncul di langit.

> “Jagat Dirgantara,” kata Isidore, “kau pernah menjadi mata dan telinga bumi. Dapatkah engkau menunjukkan pada kami di mana para pengikut kegelapan itu bersembunyi?”



Ksatria tanah itu menunduk dengan hormat, suaranya dalam dan berat seperti gemuruh di bawah bumi.

> “Terima kasih atas kepercayaanmu, Tuan Isidore. Biarkan aku mencari mereka melalui gema bumi ini.”



Ia lalu melangkah ke sebuah batu besar di puncak dataran, menancapkan palu perangnya ke tanah. Cahaya emas membungkus tubuhnya, lalu ia melompat tinggi dan menghantam tanah dengan kekuatan yang membuat bumi bergetar.
Suara ledakan bergema menembus lembah—gelombang udara menyapu pepohonan, menumbangkan daun-daun, dan memaksa kabut mundur dari punggung gunung.

Dari kejauhan, terdengar jeritan—para mata-mata yang bersembunyi di bawah tanah terhempas dan pingsan, sementara yang bersembunyi di atas pohon berguguran seperti buah busuk tersambar badai.

Pandika menatap pemandangan itu dengan kagum.

> “Kekuatan yang menggetarkan bumi... sungguh layak bagi sang penjaga tanah.”



Isidore mengangguk.

> “Kini kita tahu di mana mereka bersembunyi. Akar kegelapan itu berdenyut di perut Sinabung. Di sanalah kita akan menyalakan api pembebasan.”



Namun jauh di tempat lain—di sebuah ruangan batu hitam yang diterangi oleh cahaya cermin berisi kabut—Rasvatar tersenyum tipis. Dari pantulan cermin itu, ia menyaksikan seluruh kejadian, dan di matanya berputar pusaran ungu yang menyala seperti bara.

> “Ah, Jagat Dirgantara... ksatria bumi yang legendaris,” gumamnya dengan nada kagum yang penuh racun. “Mythopia kembali mengumpulkan pasukannya. Ini akan menjadi panggung yang sempurna untuk kejatuhan mereka.”



Ia mengangkat tangannya, mengusap permukaan cermin. Bayangan baru muncul—pasukan berseragam Majapahit, berbaris di antara kabut, melindungi beberapa kereta kuda berhias lambang bunga teratai. Di dalamnya, wajah seorang putri bersinar lembut di antara cahaya obor.

Rasvatar tertawa kecil, suaranya serak namun bergema di seluruh ruangan.

> “Dyah Sekar Tanjung... rupanya takdir suka bermain dengan benang yang sama. Para ksatria Mythopia, pasukan Majapahit, dan sang pewaris darah raja—semuanya datang ke tempat yang sama.”



Ia menatap kabut ungu yang berputar di cermin, lalu berbisik pelan:

> “Biarlah Sinabung menjadi pusaran di mana terang dan gelap bertemu... dan hanya satu yang akan keluar hidup-hidup.”

---
---

Chapter 67 Bayangan dari Selatan

Malam turun di kaki Gunung Sinabung, dan udara menjadi berat dengan aroma tanah basah serta desiran angin dingin yang menyelusup di antara pepohonan raksasa. Kabut putih perlahan merayap dari lembah, menyelimuti akar dan semak bagai selimut kematian yang diam.

Di tengah hening itu, Jagat Dirgantara menunduk, telapak tangannya menempel pada tanah. Dari tubuhnya terpancar cahaya keemasan samar, berdenyut seperti nadi bumi. Ia menutup matanya, dan mendengar bisikan batu serta desir akar yang berbicara dalam bahasa kuno bumi.

> “Ada yang bersembunyi,” gumamnya pelan. “Di selatan, di balik pohon-pohon tinggi, kudengar langkah-langkah hati-hati manusia. Tapi di barat...” —ia membuka matanya perlahan, menatap ke arah pepohonan gelap— “...di barat hanya ada keheningan dan kematian. Para mata-mata yang bersembunyi di sana telah gugur, mungkin oleh tangan yang tak terlihat.”



Isidore segera menoleh, wajahnya menegang.

> “Apakah mereka dari pihak musuh?”



Jagat Dirgantara menggeleng perlahan.

> “Belum tentu. Namun aku merasakan aura jahat sedang mendekat. Jumlahnya besar—gelombang kegelapan yang bergerak seperti badai dari perut gunung. Kita harus mengungsikan penduduk dan mereka yang lemah, sebelum langit di atas Sinabung menjadi merah oleh darah.”



Rakajati yang berdiri di sisi kanan Isidore menatap lebatnya hutan dengan mata tajam. Akar-akar di bawah kakinya bergetar lembut, seolah menjawab panggilan batin sang penguasa kayu.

> “Tuan Isidore,” katanya cepat, “ada sekelompok prajurit Majapahit yang bersembunyi di balik pepohonan di sana. Aku dapat merasakan napas mereka dan bau baja dari perisai mereka. Kita harus memperingatkan mereka sebelum terlambat.”



Isidore tertegun sesaat.

> “Majapahit... di sini?”



Ia segera berlari menembus semak, diikuti Pandika dan Surya Wikrama yang menyalakan obor kecil berwarna keemasan. Di balik kabut, tampak barisan prajurit Majapahit berlutut di tanah, menatap mereka dengan waspada. Di antara mereka, berdiri Putri Dyah Sekar Tanjung, mengenakan jubah sutra berwarna ungu lembut, wajahnya pucat diterpa cahaya bulan.

> “Tuan Isidore...” bisiknya, matanya bergetar antara lega dan cemas. “Aku... tak menyangka akan bertemu denganmu di tempat ini.”



Isidore menunduk hormat, suaranya tenang namun penuh getaran hangat.

> “Putri Dyah Sekar Tanjung... seharusnya engkau tidak berada di sini. Sinabung bukan tempat bagi bunga istana. Angin malam membawa bau darah, dan bumi telah memperingatkan kita akan datangnya badai.”



Dyah Sekar tersenyum tipis.

> “Dan apakah bunga harus selalu berdiam di taman, Tuan Isidore? Kadang bunga pun harus melihat gelap untuk tahu cahaya mana yang sejati.”



Isidore sempat terdiam. Di balik suaranya yang lembut, ia mendengar keberanian yang sama dengan darah para leluhur Majapahit.

> “Engkau memiliki hati seorang ratu,” katanya pelan, “namun kali ini, izinkan aku yang menjaga keindahanmu dari gelap yang akan datang.”



Dyah Sekar menunduk, menatap gelang kayu di pergelangan tangannya—hadiah dari Isidore di tepian Bengawan Solo.

> “Kalau begitu, aku akan menunggu di bawah cahaya yang sama seperti dulu...”



Sebelum ia sempat melanjutkan, suara gemuruh terdengar dari kejauhan—sebuah raungan berat, seperti ribuan makhluk sedang merangkak keluar dari kedalaman bumi. Tanah bergetar, dan udara berubah dingin membeku. Dari kegelapan di antara pepohonan, muncul kabut hitam yang menggeliat hidup, menelan cahaya bulan sedikit demi sedikit.

Jagat Dirgantara menatap langit, suaranya bergema seperti petir di lembah.

> “Terlambat... mereka sudah datang.”



Kabut hitam kini menelan seluruh sisi hutan. Bayangan-bayangan bergerak cepat di antara pepohonan, mata mereka menyala merah bagai bara. Suara bisikan dan lolongan memenuhi udara.

Isidore mencabut kerisnya, bilahnya menyala kebiruan, dan berkata lantang:

> “Semua orang bersiap! Malam ini Sinabung akan menjadi medan ujian bagi keberanian kita!”

---
---

Chapter 68 Kabut Malapetaka

Langit di atas Gunung Sinabung perlahan kehilangan cahayanya. Matahari yang tadinya menembus kabut tipis kini tertelan oleh gelap yang berputar-putar di cakrawala. Angin berhenti berhembus, dan hutan yang tadinya bernyanyi dengan suara serangga kini terdiam bagai dunia yang menahan napas.

Lalu terdengar bunyi lirih—seperti suara genta purba dari balik lembah. Dari tanah yang gemetar, tiga sosok bercahaya muncul perlahan. Jubah mereka berkibar pelan, memantulkan sinar keemasan yang seolah melawan kabut hitam yang mendesak dari segala arah.

Isidore menatap mereka dengan takjub, lalu menunduk hormat.
Tiga biksu agung berdiri di hadapannya: Raja Alam Wardana, dengan tongkat berukir naga emas di tangan kanannya; Cheon Myeong, biksu dari timur jauh, bermata teduh namun tajam seperti baja; dan Sri Laksana, yang berselimut cahaya lembut, namun sorot matanya membawa kuasa dari dunia para arwah.

> “Isidore,” ujar Raja Alam Wardana dengan suara yang berat seperti guntur yang jauh. “Kabut yang datang ini bukan kabut biasa. Aku mengenali napasnya. Ini pertanda kebangkitan makhluk malapetaka tingkat IV—Bayang Agung, sang pemakan roh dan penghapus cahaya.”



Cheon Myeong menunduk dalam-dalam, suaranya tenang namun getir.

> “Makhluk itu tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan pedang atau sihir apa pun. Ia hanya dapat disegel, dan segel itu membutuhkan roh pendendam terkuat untuk menjadi kuncinya.”



Raja Alam Wardana menatap Isidore dengan mata yang bersinar bagai bara.

> “Carilah roh pendendam yang paling kuat di tempat ini. Biarkan Sri Laksana yang menyegelnya. Namun waspadalah—kabut ini akan menguji hatimu. Ia akan memanggil dengan suara yang engkau cintai... dan menyeretmu ke dalam kegelapan.”



Isidore menunduk, menggenggam kerisnya. Cahaya kebiruan di bilahnya mulai bergetar, seolah takut pada sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap dari dunia itu sendiri.

> “Aku mengerti, Paduka Wardana. Aku akan melakukannya.”



Namun sebelum ia sempat melangkah, kabut hitam menebal dengan cepat, menelan pepohonan, batu, dan bahkan cahaya dari ketiga biksu agung itu. Suara langkah para ksatria menghilang, dan Isidore tak lagi dapat merasakan napas satu pun dari mereka.

Lalu... terdengar jeritan.
Suara seorang perempuan, sayup tapi jelas menusuk hati.

> “Isidore! Tolong kami!”



Itu suara Putri Dyah Sekar Tanjung.

Isidore berbalik, napasnya tersengal. Namun tangan Raja Alam Wardana menahan bahunya, suaranya tajam seperti cambuk petir.

> “Jangan hiraukan suara itu! Itu bukan dia. Kabut sedang mencoba menyentuh hatimu. Cepat—cari sumber roh terkuat sebelum semuanya lenyap!”



Dan dari balik kabut, muncul ribuan arwah pendendam. Mata mereka merah menyala, tubuhnya diselimuti bayangan, membawa pedang dan tombak dari dunia kematian. Mereka meraung, memanggil nama-nama yang telah lama dilupakan, dan menyerbu dengan kegilaan abadi.

Isidore berlari di antara pohon-pohon tinggi, tubuhnya melesat di antara kilatan cahaya petir yang muncul dari kabut. Ia melompat ke atas cabang besar, menghindari tebasan tombak bayangan.

Di saat itulah Cheon Myeong muncul di sampingnya, tubuhnya berkilau bagai roh suci.

> “Isidore! Dengarkan baik-baik! Aku akan mengajarkanmu jurus yang dilarang di dunia manusia—Jurus Dewa Pedang. Kau hanya punya sekali kesempatan untuk menguasainya!”



Cheon Myeong mengayunkan tangannya, dan dalam sekejap Isidore merasakan ribuan kilatan pedang menari di pikirannya—seperti bintang yang jatuh ke bumi, mengukir langit dengan cahaya. Ia mengangkat kerisnya, meniru gerakan sang biksu, dan cahaya biru dari bilah itu berubah menjadi putih keperakan.

> “Sekarang!”



Dengan satu tebasan, Isidore memutar tubuhnya. Dari kerisnya memancar gelombang cahaya tajam bagai sayap dewa. Kabut terbelah, dan ratusan arwah pendendam lenyap dalam sorotan terang yang suci. Suara jerit mereka menggema di antara pepohonan, sebelum larut kembali ke dalam bumi.

Isidore terengah-engah, memegangi kerisnya yang kini bergetar hangat di tangannya. Cheon Myeong menatapnya dari jauh, tersenyum tipis.

> “Hebat, meski penguasaanmu belum sempurna... namun cahaya pedangmu telah menembus batas antara dunia hidup dan mati.”



Namun Wardana menatap ke arah barat dengan wajah muram.

> “Waktumu tidak banyak, Isidore. Bayang Agung akan segera bangkit sepenuhnya. Roh terkuat itu menunggu... di jantung kabut.”

---

---

Chapter 69 Bayangan Sang Raja Arwah

Kabut di lembah Sinabung makin menebal hingga tak seorang pun dapat membedakan tanah dari langit. Bau tanah basah bercampur dengan aroma besi dan darah yang lama. Isidore berjalan perlahan, langkahnya teredam oleh kabut yang seolah hidup dan berbisik di setiap sisi.

Di hadapannya, tampak bayangan seorang lelaki berdiri tegap di tengah pusaran gelap—berjubah kerajaan Majapahit, berwarna merah darah yang pudar oleh waktu. Di tangannya terhunus pedang besar berukir naga, Nagarastra, bilah legendaris yang kini tampak berkarat oleh dendam.

Cahaya keris di tangan Isidore bergetar; roh itu bukan arwah biasa.
Dari tubuhnya terpancar hawa kekuasaan dan kesedihan abadi.
Cheon Myeong muncul di sisi Isidore, suaranya lirih bagai angin malam.

> “Dialah yang kau cari, Isidore. Roh pendendam yang dulu raja dari raja—penguasa tanah dan darah. Pedangnya pernah menebas langit, dan kini ia terkutuk menebas bayangannya sendiri.”



Isidore menggenggam kerisnya erat, menatap sosok itu yang kini perlahan menoleh. Mata sang arwah memancarkan sinar merah temaram.

> “Siapa yang berani mengusik tidurku?” suara itu bergema seperti suara logam yang diseret di atas batu.
“Aku, Isidore, pewaris cahaya Mythopia,” jawab Isidore mantap. “Aku datang bukan untuk melawan, tetapi untuk mengakhiri dendammu.”



Arwah itu tertawa pelan, suaranya dingin dan bergetar.

> “Dendam tidak berakhir, anak muda. Ia hanya menunggu tubuh baru untuk menitis...”



Seketika tanah bergetar, dan arwah itu mengangkat pedang Nagarastra. Cahaya merah meledak, menembus kabut. Isidore melompat menghindar, tanah di bawahnya retak.

Cheon Myeong berseru:

> “Isidore! Gunakan tarian menebas bulan! Rasakan napas angin, bukan amarahmu!”



Dalam sekejap, Cheon Myeong memutar tubuhnya—gerakan halus seperti embusan angin lembut, namun setiap lenggokan membawa daya yang mematikan. Bilah bayangan menari di sekelilingnya, menciptakan lingkaran cahaya keperakan bagai bulan purnama di langit hitam.

> “Gerakan lembut bukan berarti lemah,” ujar Cheon Myeong. “Di balik keindahan tersimpan badai.”



Isidore menutup matanya sesaat, merasakan angin berputar di sekelilingnya. Ia menirukan setiap gerakan dengan hati-hati—tangan melengkung, langkah ringan bagai daun jatuh, dan tebasan terakhir seperti kilatan cahaya bulan menembus gelap.

Cahaya keperakan dari kerisnya membelah udara.
Sang arwah raja berusaha menangkis, namun gerakan itu terlalu halus dan cepat. Bilah keris Isidore menebas lengan sang arwah; darah hitam menetes dari luka yang tak seharusnya dimiliki roh.

Arwah itu menatap tangannya yang terputus, suaranya berubah lirih.

> “Gerakanmu... indah seperti tarian bulan di atas samudra. Tapi apakah kau siap menanggung akibatnya, pewaris Mythopia?”



Isidore tidak menjawab. Ia menunduk, mengangkat kerisnya tinggi-tinggi untuk memberi tusukan terakhir, bersiap menutup segel roh itu dengan mantra yang diajarkan oleh Sri Laksana.

Namun sebelum bilah itu menusuk dada sang arwah, udara bergetar.
Sebuah suara tawa menggema di seluruh lembah—dalam, berat, dan penuh kegilaan.

> “Hahaha... indah sekali! Begitu muda, begitu berani, dan begitu... menyerupai aku dulu.”



Dari balik kabut, muncul sosok tinggi berselimut bayangan merah tua—Rasvatar. Matanya menyala ungu seperti bara dari dunia lain, dan setiap langkahnya membuat tanah retak dan kabut menyingkir.

Arwah raja menghilang, terseret ke dalam pusaran gelap yang terbentuk di kaki Rasvatar.

> “Kau mencarinya, Isidore? Roh pendendam terkuat? Sayang sekali, kini ia telah menjadi milikku,” ujarnya dengan senyum bengis.



Isidore mundur setapak, merasakan hawa panas dari sosok itu. Kilatan petir menyambar langit, tapi cahaya pun tampak takut menyentuhnya.

Suara Raja Alam Wardana terdengar dari belakang, keras dan tegas:

> “Isidore! Mundurlah! Kau belum siap menghadapi dia. Rasvatar adalah penguasa seluruh elemen Mythopia—api, air, tanah, angin, dan bayangan!”



Rasvatar menatap sang biksu agung, matanya menyipit.

> “Penguasa? Tidak, Wardana. Aku penyeimbang. Ketika cahaya tumbuh terlalu sombong, maka kegelapan akan menuntut haknya kembali.”



Ia mengangkat tangannya, dan seluruh hutan berguncang. Pohon-pohon tua patah, tanah terbelah, dan bayangan menjalar seperti darah ke segala arah.

Isidore terlempar ke belakang, tubuhnya terbanting di tanah berbatu.
Namun ia tetap menggenggam kerisnya, menatap Rasvatar dengan tekad menyala.

> “Kalau kau penyeimbang, maka biarlah aku jadi cahaya terakhir yang berdiri melawanmu.”



Rasvatar tertawa perlahan, suaranya bergulung seperti badai malam.

> “Kau akan jadi lebih dari itu, anak muda... Kau akan jadi pembuka gerbang antara cahaya dan kegelapan.”



Dan sebelum siapa pun sempat bereaksi, tubuh Rasvatar lenyap menjadi kabut pekat, meninggalkan jejak bau belerang dan bisikan tak suci yang merayap di antara pepohonan.


---

Chapter 70 Reda di Bawah Cahaya Surya Wikrama

Bayang Agung telah lenyap. Bersama raungan terakhirnya, kegelapan yang menelan langit perlahan terurai, seperti tirai malam yang disibak tangan cahaya. Dari keris Surya Wikrama, berpendar sinar keemasan yang hangat, menembus kabut, menyingkirkan sisa-sisa kengerian yang menggantung di udara. Hutan kembali bernapas—daun bergetar lembut, suara serangga mulai terdengar lagi, dan aroma tanah basah menandakan hidup telah kembali.

Isidore berdiri di tengah lingkaran cahaya itu. Nafasnya tersengal, matanya sayu, dan tangan yang memegang keris bergetar. Pada bilah kerisnya, masih terpantul redup wajah-wajah arwah yang baru saja diselamatkan dari kutukan bayang. Ia berlutut perlahan, menundukkan kepala—antara letih dan tak percaya bahwa ia masih hidup setelah menyaksikan kekuatan Rasvatar dengan matanya sendiri.

Dari balik rerimbunan, para ksatria Mythopia satu per satu muncul.
Pangreksa, penguasa es, berjalan lebih dulu, tubuhnya memancarkan hawa dingin yang menenangkan. Di sisinya, Bhra Anuraga menunduk dalam, matanya masih menyala merah lembut sisa amarah yang belum padam.

> “Bayang itu… mengandung kekuatan dari zaman sebelum kita lahir,” ujar Pangreksa perlahan. “Namun cahaya Surya Wikrama telah menahannya untuk sementara.”



Sagara Putra melangkah mendekat, membawa kendi berisi air suci dari gua sungai. Ia meneteskan air itu ke tangan Isidore.

> “Minumlah, Tuan Isidore. Arus kehidupan ini akan menenangkan jiwamu.”



Air itu dingin dan murni, menghapus getir besi dan darah dari bibir Isidore. Ia menatap kawan-kawannya yang berdiri mengelilingi, merasakan hangatnya kebersamaan setelah kegelapan begitu lama mengancam.

Di kejauhan, Pandika muncul, tubuhnya terbalut zirah tempur berwarna perak kehijauan. Wajahnya tegas, namun sorot matanya menampakkan kekhawatiran yang tak disembunyikan.

> “Aku melihat segalanya,” katanya perlahan. “Pertarunganmu melawan Bayang Agung, dan... kedatangan makhluk itu.”



Isidore menatapnya, matanya buram oleh keletihan.

> “Rasvatar,” ujarnya pelan. “Ia masih hidup, Pandika. Lebih kuat dari yang pernah kuceritakan padamu. Ia bukan lagi manusia, melainkan... kehendak kegelapan itu sendiri.”



Pandika terdiam sesaat, lalu menunduk.

> “Kalau begitu, dunia ini akan segera bergetar lagi. Kita harus bersiap sebelum semuanya terlambat.”



Rakajati datang kemudian, dengan tubuh penuh debu tanah dan daun-daun hutan. Ia berlutut di hadapan Isidore.

> “Prajurit Majapahit telah selamat. Putri Dyah Sekar Tanjung sudah kami kirim ke Bukit Kemuning melalui akar-akar penjaga. Ia tak akan dijangkau oleh kegelapan—untuk sementara.”



Isidore menarik napas panjang, menatap ke arah langit yang mulai jernih.
Burung-burung kembali terbang, dan di antara awan, tampak sinar mentari yang lembut, seperti berkat dari dunia yang belum menyerah pada keputusasaan.

Namun dalam keheningan itu, Surya Wikrama tiba-tiba bergetar di tangannya.
Cahaya emasnya meredup, lalu muncul bayangan samar wajah Sri Laksana.

> “Isidore,” suara lembut itu bergema, “kegelapan telah mundur, tapi tak kalah. Bayang Agung hanya ditarik kembali ke asalnya—ke tangan Rasvatar. Kini ia memegang kunci antara dunia roh dan dunia manusia. Hati-hatilah, sebab setiap kemenangan membawa pintu yang baru untuk kejatuhan.”



Isidore menunduk, wajahnya diterpa cahaya sore.

> “Aku tahu, Guru. Tapi selama masih ada cahaya, aku akan berjalan ke arahnya—meski harus menempuh malam yang tak berujung.”



Cahaya Surya Wikrama kembali tenang, dan Sri Laksana menghilang.
Para ksatria saling berpandangan—tak ada yang berkata apa-apa, tapi masing-masing tahu: peperangan besar belum usai.

Di bawah langit jingga Gunung Sinabung, suara lembah bergema lirih. Angin membawa bisikan nama-nama lama—nama para ksatria, para arwah, dan satu nama yang kini menjadi ancaman bagi segala makhluk hidup: Rasvatar.

Dan di antara sisa kabut yang menipis, Isidore menatap ke arah timur, ke tempat mentari lahir.
Ia tahu, hari baru telah tiba. Tapi dalam bayangan hatinya, malam yang lain sudah mulai menyusun langkah.


---