12/08/25

season 2 kisah pandika dari kerajaan cakram

---

Misi Ketiga: Menuju Mata Air Terlarang

Di bawah rindang pohon raksasa yang akar-akarnya menjalar bagaikan urat bumi, Pandika berbaring bersandar, membiarkan lelah merayapi raganya. Embusan angin malam membawa aroma tanah lembap, sementara cahaya rembulan menyusup di antara celah dedaunan, menorehkan kilau pucat di wajahnya yang letih.

Namun ketenangan itu terputus ketika suara dalam, sedikit serak namun tegas, memanggil dari samping.
"Sudah cukup kau terlelap, Pandika. Waktumu di sini terlalu lama. Bangun, kita harus pergi," ujar Si Maung, matanya berkilat seperti bara di kegelapan.

Pandika mengerang pelan, lalu duduk dengan wajah menahan nyeri.
"Aduh… badanku sakit semua," keluhnya sambil menatap lengan yang tergores dalam. Dari luka itu, cairan keruh merembes perlahan.
"Luka ini… mengeluarkan nanah. Sepertinya cakarnya mengandung racun."

Si Maung mendengus pendek, lalu menatap jauh ke utara.
"Jika begitu, kita tak punya banyak waktu. Aku akan membawamu ke Gunung Rinjani. Di sana, di puncak yang diselimuti awan abadi, mengalir air suci bangsa peri. Hanya air itulah yang mampu menawar racun ini."

Pandika menatapnya, kebingungan bercampur keraguan.
"Aku bahkan tak tahu di mana letaknya. Aku belum pernah ke sana."

Sekilas senyum nakal terlukis di wajah Si Maung.
"Kau bisa naik ke pundakku."

Pandika terbahak, meski nyerinya membuat tawa itu terpotong.
"Kau bercanda? Tubuhmu sekecil itu mau kutunggangi? Nanti kau remuk."

"Pokoknya naik saja," balas Si Maung, matanya menyipit seolah tak mau dibantah. "Kau ini bawel sekali."

Menghela napas, Pandika pun mencoba menuruti kemauan sahabatnya itu. Ia berdiri dengan langkah berat, lalu dengan gaya jenaka seperti hendak menaiki seekor kuda, ia mengangkat kaki. Namun sebelum ia sempat menapak, tubuh Si Maung bergetar—bulunya berdiri, matanya menyala seperti purnama, dan cahaya perak menyelubungi seluruh sosoknya.

Dalam sekejap, sang kucing mungil itu menjelma menjadi seekor serigala raksasa—bahunya setinggi dada Pandika, taringnya bagaikan bilah gading, dan bulunya berkilau seakan ditempa dari cahaya fajar.

Si Maung menundukkan tubuhnya.
"Naiklah, Pandika. Malam ini, kita akan menembus hutan purba menuju tanah terlarang."


---


---

Perjalanan ke Segara Anak

Bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busur dewa, Si Maung melesat menembus hutan pinus dan jati. Nafasnya berembus seperti kabut tipis di pagi buta, sementara tapak kakinya nyaris tak meninggalkan jejak. Sesekali, tubuhnya lenyap ke dalam bayangan, seolah ia tak lebih dari hembusan angin yang berlari di antara batang-batang pohon. Ada kalanya ia melompat ke cabang-cabang raksasa, berlari di atasnya seperti seekor roh penjaga hutan.

Pandika, yang bertengger di punggung sang makhluk, berpegangan erat pada bulu lehernya yang tebal. Kecepatan lari Si Maung membuat dunia di sekeliling mereka menjadi garis-garis kabur — hutan, sungai, bahkan laut pun mereka seberangi, sebab kaki Si Maung mampu berlari di atas permukaan air seperti menjejak kaca yang tenang.

Saat mereka mencapai bukit berpasir, langkah Si Maung melambat. “Sebentar lagi,” ujarnya, suaranya berat namun lembut, “kita akan tiba di Danau Segara Anak.”

“Apakah itu tempat mata air suci yang dijaga bangsa peri?” tanya Pandika, matanya menatap puncak gunung yang diselimuti awan.

“Iya, bisa dibilang seperti itu,” jawab Si Maung singkat.

Namun, keheningan yang menyelimuti tempat itu membuat Pandika heran. “Di manakah para peri? Mengapa sepi sekali di sini?”

“Lebih baik kau istirahat. Tidurlah… perjalananmu panjang,” kata Si Maung.

Kelelahan menguasai Pandika. Ia merebahkan diri di tepi danau, di mana air memantulkan cahaya bulan laksana cermin perak. Mimpi pun datang — ia bermain lompat tali bersama bidadari yang tertawa lembut di bawah cahaya bintang.

Namun, kabut mulai turun dari hutan, menyelimuti tepian air. Dari dalam kabut itu, muncul rombongan peri. Mereka cantik dan anggun, tetapi di mata mereka berkilat sesuatu yang dingin. Laksmiranindya Kirana, sang peri berambut seputih embun, mendekat sambil membawa tali emas. Dengan gerakan halus namun tegas, ia mengikat tubuh Pandika yang tertidur lelap.

Peri Wulanratih Sekarwangi menatap Si Maung dengan senyum penuh rahasia. “Terima kasih, wahai pembawa persembahan. Usahamu tidak sia-sia.”

Cempakalirna Dewimaya menjilat bibirnya. “Aku sudah tak sabar mencicipi daging darah bangsawan ini.”

Namun Nirwasitasari Kalacandra mengangkat tangannya. “Tunggu. Ia terluka… cakar racun telah mengenainya. Biarkan kita mengobatinya. Setelah ia gemuk, barulah kita santap.”

Si Maung menunduk. “Dia bukan bangsawan, tapi calon ksatria dari Kerajaan Cakram.”

Kalyana Mahindrawari mengernyit, suaranya tajam seperti ujung tombak. “Calon ksatria? Dari kerajaan tak ternama? Aku mengira kau membawa anak raja, atau setidaknya bangsawan. Ini—hanya seorang petani!”

Pertengkaran mereka memecah keheningan hutan, hingga Pandika terbangun. Namun tubuhnya tak mampu bergerak; tali emas peri telah membelenggunya.


---

Di Antara Peri dan Bayangan Mimpi

Pandika terjaga, namun pikirannya terombang-ambing antara sadar dan mimpi. Dunia di sekelilingnya bagaikan lukisan hidup — kabut perak melayang di udara, aroma bunga liar memenuhi napas, dan di hadapannya berdiri para wanita jelita bermahkota cahaya. Namun, tubuhnya terikat tali emas yang dingin, memantulkan sinar bulan.

Dengan suara yang sedikit gemetar namun penuh hormat, ia berkata,
“Mohon maaf… apakah kalian bangsa peri? Aku Pandika, hanya rakyat jelata, mengembara demi menunaikan misi sebagai calon prajurit Kerajaan Cakram.”

Kalyana Mahindrawari, peri bermata laksana batu nilam, memandangnya dengan raut bingung. “Rakyat jelata? Calon prajurit yang bahkan belum diangkat? Oh, Maung… apakah kau sekali lagi menangkap orang yang keliru?”

Sebelum Si Maung sempat menjawab, dari balik kabut muncullah seorang perempuan dengan mahkota halus seperti anyaman bintang, memegang tongkat berujung kristal biru. Matanya memancarkan kebijaksanaan yang menembus jiwa. Dialah Safiranindya Parameswara, Ratu Peri dan penjaga rahasia gunung.

Dengan suara yang lembut namun berwibawa, ia berkata,
“Lepaskan ikatan itu. Ia bukan mangsa, melainkan seorang pengembara yang tersesat.”

Tali emas pun longgar, jatuh ke tanah seperti ular berkilau. Pandika segera bersujud, menundukkan kepala hingga menyentuh tanah berlumut.
“Hamba berterima kasih, Ratu yang mulia. Aku datang mencari air suci untuk mengobati tanganku… racun dari cakar monster telah meresap ke dalam darahku.”

Safiranindya menatapnya lama, seakan membaca riwayat hidupnya dari sorot mata. Kemudian ia memberi perintah pada para peri pengikutnya,
“Bawalah ia ke mata air yang tersembunyi di jantung hutan. Biarkan air mancur ajaib itu membersihkan lukanya, agar ia dapat melanjutkan perjalanannya.”

Namun bisik-bisik segera pecah di antara para peri. Beberapa memperdebatkan di mana Pandika akan beristirahat, sebab jarang sekali lelaki diizinkan tinggal di wilayah mereka.

Ratu Safiranindya mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan itu.
“Ia akan beristirahat di rumahku. Dan lebih dari itu…” ia menatap Pandika dengan tatapan yang dalam dan misterius, “…ia akan menjadi penabur benih masa depan bangsaku.”

Tak seorang pun berani membantah. Udara terasa lebih berat, dan Pandika menyadari bahwa tak semua keputusan para peri adalah anugerah — sebagian adalah takdir yang sulit dielakkan.

---

Malam di Istana Kabut

Sore merayap turun ke lembah, menumpahkan warna emas dan ungu di permukaan Danau Segara Anak. Kabut tipis mulai berkumpul di permukaan air, seperti roh-roh kuno yang bangkit dari tidur panjangnya. Dari kejauhan, Pandika melihat bayangan sebuah istana yang tak dibangun dari batu, melainkan dari cahaya dan kabut yang menari. Pilar-pilarnya terbuat dari pohon hidup berbalut lumut perak, sementara atapnya menjulang seperti sayap kupu-kupu raksasa yang membeku di udara.

Safiranindya Parameswara memimpin langkah, gaunnya menyapu tanah tanpa suara, meninggalkan jejak aroma melati liar. Si Maung berjalan di belakang Pandika, seolah memastikan ia tidak lari—atau mungkin memastikan ia tidak hilang.

Ketika Pandika melangkah ke dalam istana, udara berubah: hangat, harum, namun berat seperti di dalam mimpi. Lantai berkilau bagaikan air, dan di atasnya mengambang bunga-bunga bercahaya yang tak pernah layu.

Para peri berbaris di sisi lorong, memandangi Pandika dengan tatapan bercampur ingin tahu dan waspada. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, seakan kata-kata tak layak diucapkan di hadapan tamu yang akan menjadi bagian dari takdir bangsanya.

Ratu membawanya ke sebuah ruangan bundar di puncak menara. Dari jendela terbuka, bulan purnama tampak begitu dekat, seolah ia hanya perlu mengulurkan tangan untuk meraihnya. Di tengah ruangan berdiri sebuah ranjang yang terbuat dari anyaman daun berlapis sutra tipis, memantulkan cahaya perak bulan.

“Di sinilah engkau akan beristirahat malam ini,” ujar sang Ratu, suaranya lembut namun membawa sesuatu yang tidak dapat Pandika tolak.
Pandika mencoba berbicara, namun kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ada perasaan aneh—antara kehormatan, rasa takut, dan sebuah kesadaran bahwa ia kini berada di luar kendali nasibnya sendiri.

Safiranindya mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh perban di tangan Pandika.
“Air suci akan menyembuhkanmu… namun darahmu akan menyembuhkan sesuatu yang lebih besar di bangsaku.”
Mata Pandika menatap matanya, mencari jawaban, namun yang ia temukan hanyalah kedalaman tak terukur—seperti langit malam tanpa bintang.

Di luar, angin pegunungan membawa suara nyanyian lembut para peri, lagu kuno yang berbicara tentang pengorbanan dan kelahiran kembali. Pandika menyadari bahwa malam itu tidak hanya akan menguji tubuhnya… tetapi juga jiwanya.


---
---

Ritual di Mata Air Bintang

Fajar belum tiba ketika Pandika terbangun. Udara di kamarnya dipenuhi aroma segar dedaunan basah dan wangi bunga yang tidak pernah ia kenal. Safiranindya Parameswara berdiri di ambang pintu, jubahnya berkilau oleh cahaya bintang yang terakhir sebelum fajar.

“Sudah saatnya,” katanya singkat.

Pandika mengikuti sang Ratu menuruni lorong-lorong istana kabut. Tidak ada suara langkah, hanya gema napas mereka di udara dingin. Mereka keluar melalui gerbang belakang, menuju sebuah jalur batu yang diapit pepohonan tinggi. Di antara daun-daun gelap, kunang-kunang hijau berkumpul, membentuk lingkaran cahaya yang memandu jalan.

Akhirnya mereka tiba di sebuah gua terbuka. Di dalamnya, sebuah kolam kecil memantulkan cahaya langit yang penuh bintang—padahal mereka berada di bawah tanah. Airnya berkilau seperti cairan perak, dan di tengahnya mengalir sebuah mata air kecil, bening dan murni.

“Inilah Mata Air Bintang,” ujar sang Ratu, suaranya bergetar dengan hormat. “Satu tetesnya dapat menyembuhkan racun terburuk. Namun, agar air ini mau menerima perintah, ia harus mengenal jiwamu.”

Para peri muncul dari bayangan, masing-masing membawa kendi kristal. Mereka mulai melantunkan nyanyian kuno, suara mereka bergema lembut di langit-langit gua seperti doa yang telah diucapkan ribuan kali.

Safiranindya menatap Pandika, matanya setajam cahaya bulan. “Berdirilah di tengah kolam. Biarkan air menyentuh lukamu.”

Pandika melangkah masuk. Airnya sedingin es, namun entah mengapa terasa menenangkan. Saat air menyentuh tangannya yang bernanah, cahaya biru lembut mulai menyebar, menelan rasa sakit yang selama ini ia tahan.

Namun tiba-tiba, nyanyian para peri berubah nada—dari lembut menjadi berat, hampir menyerupai mantra pengikat. Air di sekeliling Pandika beriak tanpa angin. Dari dasar kolam, muncul pusaran cahaya, merayap ke atas tubuhnya.

Safiranindya mendekat ke tepi kolam. “Air ini tak hanya menyembuhkan, Pandika. Ia akan menandai dirimu—agar darahmu dan takdirmu menjadi bagian dari bangsa kami.”

Pandika mencoba bergerak, namun tubuhnya berat, seakan air itu sendiri menahannya. Dari pusaran, muncul bayangan wajah-wajah peri kuno, memandangnya dengan tatapan yang mengukur nilai jiwanya.

Dalam hati, Pandika bertanya-tanya… apakah ini benar-benar penyembuhan—atau awal dari ikatan yang tidak akan pernah bisa ia lepaskan?

---

Tanda dari Mata Air Bintang

Pusaran cahaya itu semakin kuat, membungkus Pandika seperti jubah hidup. Air yang semula dingin kini menghangat, seolah darah bumi sendiri mengalir di sekelilingnya. Dari kejauhan, dentang lonceng perak terdengar—padahal tak ada satu pun lonceng di gua itu.

Safiranindya mengangkat tongkatnya, ujungnya memancarkan cahaya putih keperakan. “Wahai Mata Air yang lahir sebelum cahaya pertama, kenalilah dia. Tautkan nadinya pada nadimu, agar langkahnya menyusuri jejak para penjelajah abadi.”

Air mendidih tanpa panas, lalu tiba-tiba merayap naik seperti tangan tak kasat mata, menempel di dada Pandika. Rasa hangat itu berubah menjadi nyeri yang menusuk. Pandika ingin berteriak, namun suaranya tenggelam di dalam gema mantra para peri.

Di balik kelopak matanya yang terpejam, gelap berubah menjadi hamparan cahaya. Pandika melihat dirinya berdiri di padang luas di bawah langit merah darah. Di kejauhan, sebuah kota berkubah emas terbakar, dan seekor naga raksasa berputar-putar di udara, sayapnya menutupi matahari.

Lalu, sosok-sosok muncul dari kabut—wajah-wajah yang belum pernah ia kenal namun terasa akrab: seorang perempuan berpedang dengan mata seperti malam tanpa bintang, seorang anak kecil memegang obor yang tak padam meski diterpa badai, dan di tengah mereka… dirinya sendiri, mengenakan zirah perak dengan lambang yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Namun bayangan itu retak seperti kaca, dan dari celahnya mengalir darah, bercampur dengan bisikan: “Takdirmu bukan milikmu seorang. Ia akan menuntut harga yang tak ingin kau bayar.”

Tiba-tiba cahaya sirna. Pandika terhuyung, namun Safiranindya menahannya dengan satu sentuhan di bahu. Di tempat nyerinya tadi, kini terukir sebuah tanda bercahaya: lingkaran dengan bintang bersudut tujuh di tengahnya.

“Itu adalah Tanda Perjanjian,” kata sang Ratu pelan. “Mulai hari ini, engkau bukan lagi hanya anak manusia. Air telah mengenalimu, dan kau tak akan pernah bisa mengingkarinya.”

Pandika menatap tanda itu, antara takjub dan takut. Ia merasakan kekuatan baru berdenyut di nadinya… namun di baliknya, ada sesuatu yang berat, seperti pintu besar yang baru saja terbuka—dan tidak akan pernah tertutup lagi.



Perpisahan dari Lembah Peri

Hari-hari di lembah bangsa peri mengalir bagaikan arus bening yang tak berbunyi. Pandika hampir lupa akan dentang waktu di luar sana; hutan yang melindungi negeri ini seperti menahan nafas dunia luar. Namun di lubuk hatinya, ia tahu—misinya belum usai.

Maka ia pun menghadap Sang Ratu Safiranindya untuk memohon izin berangkat. Namun sebelum ia sempat mengucapkan salam perpisahan, sang Ratu menatapnya dengan mata yang memantulkan cahaya bintang, lalu bersuara lembut namun sarat beban masa silam.

“Pandika,” ucapnya, “dahulu, sebelum kakimu menginjak tanah ini, pernah datang seorang ksatria agung. Namanya Prabu Galang Siwah, penguasa seni tempur yang tiada tanding, dan pengendali magis setara para bijak tertua. Di setiap pertempuran, ia selalu berada di garda terdepan; banyak musuhnya yang gugur di ujung pedang dan sorot matanya. Namun pada akhirnya, rasa lelah merayapi jiwanya, dan ia memilih menetap di sini, jauh dari bau darah dan pekik perang.”

Ratu menghela nafas panjang, seakan ingatan itu menorehkan luka yang belum sembuh.
“Namun tak lama, datanglah seorang bangsawan dari kerajaan yang tak dikenal. Entah apa yang dibisikkan padanya, Prabu Galang pergi tanpa sepatah kata, lenyap dari mata kami… dan hingga kini, ia tak pernah kembali. Jika engkau menemuinya di luar sana, sampaikanlah pesan ini—bahwa aku masih menunggu.”

Pandika menunduk, hormat pada kisah itu. “Ampun, Paduka Ratu, hamba tak dapat tinggal lebih lama. Misi hamba memanggil, dan jalan yang telah kupilih harus kutempuh hingga akhir.”

Sang Ratu bangkit dari singgasananya. Dari peti perak berukir daun telinga rusa, ia mengeluarkan sebilah pedang. Bilahnya berkilau bagai cahaya bulan di puncak salju, dan pada gagangnya terukir huruf-huruf kuno bangsa peri.

“Terimalah Linduparama,” kata Safiranindya, “pusaka dari leluhur kami, yang pernah menempa senjata para pahlawan di zaman purba. Semoga bilah ini menjadi perisai dan penuntunmu, hingga kau dapat kembali dengan selamat.”

Dengan penuh hormat, Pandika menerima pedang itu, merasakan getaran halus mengalir dari gagangnya ke nadinya.

Di bawah naungan pepohonan raksasa, Si Maung telah menanti. Ia akan menjadi penuntun Pandika keluar dari negeri yang tersembunyi ini, kembali ke jalan panjang yang penuh bayang-bayang dan misteri.

Maka, dengan satu salam terakhir, Pandika meninggalkan lembah peri—membawa pedang yang berkilau, pesan seorang ratu, dan takdir yang kini semakin berat di pundaknya.


Jalan Keluar dari Lembah yang Terlindung

Kabut pagi masih bergelayut di pucuk pohon ketika Pandika menoleh terakhir kalinya ke arah lembah bangsa peri. Dari kejauhan, ia melihat bayangan Sang Ratu Safiranindya berdiri di ambang gerbang kristal, jubahnya berkibar perlahan bagai sayap angin. Di sampingnya, peri-peri pengawal berdiri diam seperti patung giok, sementara sinar matahari pertama menyinari menara-menara berukir batu zamrud.

Si Maung—kini dalam wujud serigala besar dengan bulu hitam berkilat—menundukkan kepala, memberi isyarat agar Pandika naik ke punggungnya. Tanpa suara, mereka bergerak menembus jalan setapak yang membelah hutan purba.

Pohon-pohon di sini jauh lebih tua dari segala yang pernah Pandika lihat; batangnya lebar, kulitnya berlapis lumut keperakan, dan dari cabang-cabangnya menggantung akar-akar bercahaya bagai benang bintang. Udara terasa berat, seolah mengandung bisik-bisik dari zaman sebelum manusia pertama dilahirkan.

Namun perjalanan keluar tidaklah mudah. Jalan itu dijaga oleh Gerbang Cahaya, sebuah pusaran cahaya keemasan yang hanya akan terbuka bagi mereka yang diizinkan para penjaga hutan. Dari kegelapan pepohonan, muncullah sosok-sosok tinggi berjubah hijau tua, wajahnya tertutup topeng daun. Suara mereka terdengar seperti hembusan angin di dedaunan.

> “Kau membawa pedang leluhur kami,” kata salah satu penjaga, matanya memancarkan cahaya samar. “Maka kau akan diizinkan lewat… namun ingatlah, dunia di luar sini tidak mengenal belas kasihan seperti yang kau temui di lembah ini.”



Gerbang Cahaya bergetar, memekarkan lingkaran cahaya yang menelan kabut dan bayang-bayang. Begitu mereka melangkah masuk, Pandika merasakan hembusan udara dingin dan berat di dadanya—tanda bahwa mereka telah meninggalkan perlindungan magis bangsa peri.

Di luar, dunia tampak asing dan kelam. Lautan hutan berganti menjadi tebing curam, dan di bawah sana terbentang lembah berbatu yang dikuasai bayangan mendung. Dari kejauhan, Pandika dapat melihat kilatan petir yang membelah langit—sebuah pertanda bahwa badai besar sedang menunggu di arah perjalanan mereka.

Si Maung menoleh sekilas. “Kita sudah keluar… tapi ingat, ini baru permulaan.”

Maka mereka pun melanjutkan langkah, meninggalkan cahaya lembah peri, menuju dunia yang kini terasa jauh lebih sunyi—namun penuh dengan janji petualangan yang belum terungkap.


---
---

Di Kedai Pawon Adirenggo

Di jantung Kerajaan Apsari—sebuah negeri yang makmur oleh rempah-rempah dan hasil bumi—terdapat sebuah desa kecil bernama Salak. Di desa itu, para petani dan pedagang hidup dalam kesejahteraan, terutama setelah musim panen tiba. Udara sore hari dipenuhi aroma cengkeh, pala, dan kayu manis yang terbawa angin dari gudang-gudang penyimpanan.

Di tepi jalan desa berdirilah sebuah kedai makan sederhana namun masyhur: Pawon Adirenggo Nyi Saras. Atap ilalangnya menjulang, dan dari tungku tanah liat mengepul asap wangi yang menggoda siapa pun yang lewat. Kedai itu hari ini dipenuhi pengunjung; bangku-bangku kayu penuh oleh para petani yang baru saja menjual hasil panennya, kantung-kantung koin tembaga bergemerincing di pinggang mereka.

Nyi Saras sendiri, seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah, berkeliling sambil mengantar pesanan. Tangannya cekatan, membawakan piring-piring berisi lalapan hijau segar, urap berbumbu kelapa, jukut sayuran hangat, serta ikan dan ayam bakar yang masih berasap, dipadu dengan minuman tuak manis dan es dawet yang dingin menyegarkan.

Di salah satu meja, duduklah seorang tamu asing. Pakaian perjalanannya usang oleh debu jalan, namun di pinggangnya tergantung sebuah pedang indah yang berkilau redup, seolah menyimpan kisah lama dari jauh. Di samping kakinya meringkuk seekor kucing hitam gemuk dengan mata kuning menyala—terlihat jinak, namun penuh rahasia. Di hadapannya tersaji hidangan semeja penuh, dan ia makan dengan tenang, seakan perjalanan panjangnya belum cukup untuk meredakan lapar.

Tak jauh dari situ, pintu kedai berderit terbuka. Masuklah seorang wanita muda berparas ayu, wajahnya tersembunyi di balik cadar tipis dan topi lebar. Di sampingnya berjalan seorang pendekar tegap, sorot matanya tajam, geraknya ringan namun menyiratkan kekuatan seorang ahli kanuragan. Mereka mengambil tempat di kursi dekat pemuda asing dan kucingnya, seolah sengaja memilih posisi itu.

Sementara itu, di sudut lain kedai, sekelompok pedagang tengah berbincang hangat. Suara mereka berbaur dengan denting gelas dan riuh para pengunjung.

> “Musim ini rempah melimpah, harga naik di pelabuhan,” ujar seorang pedagang berjanggut. “Tapi jalanan tak lagi aman. Bandit-bandit dari utara makin sering menyerang pedagang yang berjalan tanpa pengawalan.”



Seorang pedagang lain menunduk, wajahnya cemas. “Aku butuh pengawal untuk kafilahku… mungkin pemuda asing itu,” katanya, menuding halus ke arah pria dengan kucing hitam. “Lihatlah pedangnya. Bukan pedang orang biasa. Barangkali dia seorang pendekar.”

Riuh kedai perlahan mereda, seakan udara ikut memperhatikan kehadiran sang tamu misterius. Pedang di pinggangnya, kucing hitam di sisinya, dan tatapannya yang dalam membuat para pengunjung bertanya-tanya: siapakah sebenarnya orang itu, dan apa maksud kedatangannya di negeri yang damai ini?


---

Pertemuan di Kedai Pawon Adirenggo

Suasana kedai semakin padat, suara obrolan dan dentingan mangkuk berpadu dengan aroma rempah yang memenuhi udara. Pandika duduk tenang, menepuk lembut kepala Si Maung yang asyik menjilati kakinya di bawah meja. Pandika makan dengan sederhana, meski hidangan di hadapannya melimpah; ia tampak lebih seperti seorang pengembara yang bersyukur atas sesuap nasi ketimbang bangsawan yang memamerkan kelimpahan.

Beberapa pedagang yang duduk di sudut akhirnya bangkit dan menghampiri mejanya. Mereka menunduk singkat sebagai tanda hormat—bukan hormat pada gelar, sebab mereka belum mengenalnya, melainkan pada aura wibawa yang terpancar dari dirinya.

“Maafkan keberanian kami, Tuan,” ujar seorang pedagang berjanggut tebal, suaranya bergetar namun penuh harap. “Kami dengar jalanan menuju pelabuhan kerap diganggu gerombolan perampok. Kafilah kami membawa rempah dari panen musim ini, dan kami membutuhkan seorang pelindung. Pedang di pinggang Tuan menandakan bukan sembarang pengelana… apakah Tuan sudi menjadi pengawal kami?”

Pandika meletakkan cangkir tuaknya, menatap mereka dengan mata yang jernih. “Aku hanyalah seorang pengembara dari Kerajaan Cakram,” ujarnya lirih namun tegas. “Bukan ksatria ternama, bukan pula pendekar yang diagungkan. Namun bila niat kalian tulus dan jalan kalian benar, aku akan mempertimbangkannya.”

Sebelum para pedagang sempat menjawab, wanita bercadar yang tadi duduk bersama seorang pendekar tegap bangkit dari tempatnya. Gerakannya anggun, dan suara lembut namun berwibawa terdengar di seluruh kedai.

“Bukan sembarang pengembara, kulihat,” katanya, menatap Pandika dengan mata bening yang menyembul dari balik cadarnya. “Di setiap helai langkahmu tampak jejak seorang yang pernah berlatih dalam seni perang dan ketabahan. Namaku Dyah Ratnaswari, putri dari seorang ksatria Majapahit. Aku dalam perjalanan menuju tanah leluhurku, ditemani pengawal setia, Ki Wijangga.”

Pendekar tegap di sampingnya menunduk hormat.

Dyah Ratnaswari menatap Pandika lebih dalam. “Jika engkau memang benar seorang dari Cakram, maka takdir mungkin telah menuntun langkah kita untuk bertemu di sini. Jalan menuju Majapahit pun tak bebas dari bahaya. Barangkali, bila engkau bersedia, kita dapat berjalan bersama.”

Kedai hening sejenak. Semua mata tertuju pada Pandika, pemuda asing dengan kucing hitam di sisinya. Si Maung mendongak, matanya berkilau bagai bara api, seolah memahami beban pilihan yang akan diambil tuannya.

Pandika tersenyum samar. “Barangkali takdir memang menghendaki demikian,” ujarnya, seraya menggenggam gagang pedangnya. “Bila jalan kita searah, maka kita akan berjalan bersama—menjaga kafilah para pedagang, dan barangkali… menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar tujuan perjalanan.”

Suasana kedai kembali riuh, namun kini berbalut rasa takjub. Pertemuan itu, meski sederhana, terasa seperti awal dari sebuah kisah besar yang akan tercatat dalam ingatan banyak orang.
---

Perjalanan Menuju Majapahit

Pandika menerima permintaan para pedagang tanpa meminta upah, sebab dalam hatinya ia tahu—ia belum layak menyandang nama ksatria di tanah kelahirannya. Maka ia menganggap perjalanan ini sebagai jalan pembuktian dirinya. Para pedagang pun bersorak lega, sebab mereka percaya kini kafilah rempah mereka akan lebih terjaga.

Rombongan pun berangkat. Gerobak-gerobak besar berisi karung rempah ditarik oleh kerbau-kerbau yang sabar, roda-rodanya berderit menyusuri jalan berbatu. Di sisi rombongan itu, Dyah Ratnasari memilih berjalan kaki, meski kudanya dibawa oleh Ki Wijangga. Ia melangkah dengan tenang di samping Pandika, seolah ingin berbagi jalan dan nasib dengan pemuda asing itu.

Si Maung berjalan di depan mereka, sesekali mengendus tanah, sesekali melompat ke semak, seakan tahu dirinya kini bukan sekadar seekor kucing, melainkan penjaga kecil bagi perjalanan besar.

Dalam heningnya langkah, Pandika akhirnya membuka percakapan, suaranya dalam dan tenang.
“Aku sedang mencari seorang pendekar,” katanya. “Namanya Prabu Galang Siwah. Pernahkah kisanak mendengar nama itu?”

Dyah Ratnasari tersentak, matanya terbelalak di balik cadar tipisnya. “Prabu Galang Siwah…?” bisiknya, lirih namun penuh takjub. “Bagaimana engkau tahu nama itu? Dia adalah kakak dari ayahku—seorang ksatria agung Majapahit yang menghilang sejak ekspedisi ke tanah Melayu. Tak seorang pun mendengar kabarnya lagi, seakan ditelan bumi.”

Ia menatap Pandika dengan penuh selidik. “Apa hubunganmu dengannya? Apakah engkau mengenalnya?”

Pandika menggeleng perlahan. “Aku tak pernah mengenalnya. Namun aku membawa sebuah amanat… ada yang menitip pesan untuk menemukannya, bila ia masih hidup di jagat raya ini.”

Dyah Ratnasari menunduk, hatinya bergetar oleh ingatan pada kisah keluarganya yang hilang. Namun sebelum ia sempat menanggapi, Si Maung menggeram pelan, bulu-bulunya berdiri tegak.

Pandika menoleh ke arah hutan lebat di sekitar Gunung Salak. Awan tipis menggantung rendah di antara pepohonan, dan suara burung-burung mendadak sirna. Keheningan itu bukan pertanda baik.

Dyah Ratnasari menggenggam erat sarung pedangnya. “Hutan di Gunung Salak ini,” katanya dengan nada waspada, “terkenal menjadi sarang kelompok perampok. Kita harus berhati-hati.”

Ia mengangkat dagunya, sorot matanya berani. “Namun jangan takut, Pandika. Meski aku seorang perempuan, aku telah ditempa dalam seni bela diri sejak kecil. Jika bahaya menghadang, aku takkan bersembunyi.”

Pandika menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar, penuh hormat. “Keberanianmu, Ratnasari, tak kalah dengan para ksatria lelaki. Semoga benar kata-katamu, sebab aku merasa perjalanan ini baru saja membuka tabir dari ujian yang lebih berat.”

Dan seakan mengamini kata-kata Pandika, dari kejauhan terdengar sahutan samar—teriakan kasar, berpadu dengan gemerisik langkah kaki yang berat di semak belukar.
---

Perkemahan di Kabut Gunung Salak

Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan diselubungi kabut putih pekat. Pohon-pohon besar berdiri seperti bayangan raksasa yang bisu, sementara jalan di depan nyaris lenyap tertutup kabut. Roda gerobak berdecit, kerbau mendengus resah, dan tak seorang pun berani berjalan terlalu jauh dari rombongan.

Akhirnya Pandika mengangkat tangan, memberi tanda untuk berhenti. Suaranya terdengar mantap, meski udara dingin menusuk hingga ke tulang.
“Lebih bijak bila kita berkemah di sini malam ini. Kabut ini terlalu tebal, langkah kita hanya akan menjerumuskan ke bahaya.”

Para pedagang mengangguk lega meski wajah mereka pucat. Mereka segera menurunkan muatan, mengikat kerbau agar tak berkeliaran, dan mulai mendirikan tenda seadanya dari kain dan bambu yang dibawa. Bau rempah dari karung-karung yang tersimpan samar tercium, berpadu dengan aroma lembab tanah hutan.

Namun malam di hutan Gunung Salak bukan malam yang ramah. Dari kejauhan terdengar suara pekikan monyet, meraung panjang dan mendadak terputus. Menyusul kemudian lolongan nyaring—seekor harimau mengaum, membuat bulu kuduk setiap orang berdiri. Lalu hening, disusul oleh suara burung hantu yang melengking panjang, menambah mencekamnya suasana.

Si Maung, yang biasanya setia di sisi Pandika, kali ini melompat ringan ke batang pohon tinggi dan menghilang di antara cabang-cabang. Dari sana matanya yang berkilau tampak mengawasi, seakan mencari perlindungan sekaligus berjaga-jaga dari atas.

Dyah Ratnasari menoleh ke Pandika, matanya sedikit khawatir. “Hutan ini seakan hidup… penuh mata yang mengintai.”

Pandika menyalakan obor, nyalanya menembus kabut dengan cahaya kuning redup. “Hutan memang penuh roh—entah roh hewan, entah roh manusia yang tersesat di sini. Jangan khawatir. Selama kita tetap waspada, kabut hanya akan menjadi tirai, bukan maut.”

Para pedagang duduk melingkar, membuka bekal nasi dan lauk sederhana. Mereka makan dengan cepat, seakan setiap suap hanya untuk mengusir rasa takut. Tenda-tenda kecil berdiri, dan di tengah perkemahan api unggun dinyalakan. Nyala api menari-nari, membelah kabut, seakan menjadi satu-satunya pelindung di antara dunia manusia dan kegelapan hutan.

Namun, jauh di balik kabut, samar-samar terdengar bunyi lain—gemerisik ranting patah, langkah-langkah yang berat, dan bisikan rendah seperti suara manusia yang berunding di balik tirai kabut.

Pandika meraih pedangnya, menatap ke dalam pekatnya malam. “Tidurlah dengan mata terbuka,” ucapnya lirih. “Aku merasa kita tidak sendirian di sini.”

---

Pertemuan Si Maung dengan Si Belang dan Bayangan di Utara

Di ketinggian pohon, Si Maung bergerak lincah bagai bayangan malam. Tiba-tiba dari balik kabut terdengar derap langkah berat, dan muncullah seekor harimau belang raksasa, matanya menyala bak bara dalam gelap. Kedua makhluk itu saling menatap, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai sesama penguasa hutan.

Si Maung menundukkan kepala sedikit, tanda hormat, dan Si Belang menjawab dengan tiga kali auman panjang yang menggema di lembah. Gema itu mengguncang dedaunan, menghalau monyet-monyet yang menjerit ketakutan, burung-burung malam pun terbang bertaburan, hingga hutan menjadi lebih tenang.

Namun, ketenteraman itu tak bertahan lama. Di salah satu pohon tua, berayunlah sesosok bayangan ganjil: makhluk berambut panjang, berbusana putih lusuh, dengan wajah pucat menakutkan. Ia tidak terusir oleh auman Si Belang. Malah bergelayut dengan mata menyala, seakan menantang.

Si Maung menggeram rendah, bulu-bulunya berdiri. Ia segera turun menemui Pandika.
“Tuanku,” bisiknya lirih, “ada makhluk halus yang bergelayut di atas pohon. Ia bukan dari dunia fana, dan ia tidak mau pergi. Namun bukan itu yang paling ku cemaskan. Di utara, aku mencium bau manusia—manusia hidup, yang datang dengan niat busuk. Mereka sedang mengendap-endap menuju kita.”

Pandika mendengarkan dengan wajah tenang namun sorot mata tajam. Perlahan ia membuka tasnya, mengeluarkan zirah besi yang berkilau samar di bawah cahaya api unggun. Suara logam beradu terdengar lirih saat ia mengenakan pelindungnya.
“Yang ku takutkan bukan roh,” ujarnya pelan. “Roh hanya menakutkan. Tetapi manusia hidup bisa lebih kejam daripada bayangan gaib.”

Seketika tubuh Pandika seolah lenyap bersama kabut, Si Maung melompat ke punggungnya. Mereka bergerak bagai angin, tanpa suara, hingga tiba di dekat sekelompok pengintai. Dari balik kabut, suara Pandika terdengar bergema, tegas namun tanpa wujud:

“Satu guru, satu ilmu. Jangan mengganggu kami. Bila tak segera pergi, darahmulah yang lebih dahulu akan tumpah.”

Para pengintai saling menoleh, wajah mereka pucat. Pemimpin mereka, seorang bertubuh besar dengan sorot mata liar, maju selangkah. Dialah Singa Lodra, perampok yang namanya ditakuti para pedagang di jalur selatan.
“Siapa kau?! Keluar dan hadapilah aku!” teriaknya.

Tak ada jawaban, hanya hening. Hingga tiba-tiba, dari kabut, kilatan baja menyambar. Pedang Pandika menghantam kepala Singa Lodra dengan pukulan datar, dan tubuh sang pemimpin roboh tak sadarkan diri.

Kengerian segera menyebar di kalangan anak buahnya. Mereka menjerit, melepaskan senjata, lalu berlarian kocar-kacir ke dalam kabut, seakan bayangan hutan sendiri mengejar mereka.

Pandika berdiri di atas tubuh Singa Lodra yang terkapar, pedangnya berkilau oleh cahaya api unggun yang redup. Si Maung mendesis puas, sementara kabut seakan menutup kembali rahasia hutan yang barusan terbuka.

---

Singa Lodra yang Tertawan

Tubuh Singa Lodra, bagai karung daging yang tak berdaya, diikat kuat dengan rotan hutan yang liat. Pandika menyeretnya tanpa belas kasihan, langkahnya mantap meski tanah becek oleh kabut embun. Di kejauhan, raungan singkat terdengar: Si Maung tengah mengejar para perampok yang melarikan diri. Beberapa di antaranya jatuh tersungkur dengan kaki berdarah, bekas taring tajam sang penguasa rimba. Mereka yang lolos pun akan berjalan timpang sepanjang sisa hidupnya, sebagai tanda bahwa hutan tidak pernah lupa kepada pengkhianat.

Dengan ayunan ringan, Pandika melemparkan tubuh pemimpin perampok itu ke dekat api unggun, hingga bara menyembur percikan kecil. Para pedagang yang sedang menggigil segera mengenal wajahnya.
“Itu… itu dia!” seru salah seorang dengan mata membelalak. “Singa Lodra! Kepala perampok yang selama ini menjarah jalur dagang kami! Kepalanya dihargai mahal, dan barangsiapa yang menangkapnya akan diganjar gelar terhormat oleh Sang Raja!”

Kegembiraan bercampur ketakutan terlihat di wajah mereka.

Dyah Ratnasari yang baru saja bangkit dari tidurnya tertegun. Selimut Pandika hanya menyisakan tas perlengkapan; ia mengira pemuda itu masih terlelap. Kini ia berdiri di hadapannya, zirahnya berkilau samar, nafasnya tenang seperti baru kembali dari perjalanan panjang.
“Bagaimana dengan kawanan perampok yang lain?” tanyanya, suaranya setengah cemas.

Pandika menatapnya singkat, lalu menancapkan pedangnya ke tanah lembap.
“Mereka telah tercerai-berai. Yang berlari akan membawa luka di kakinya; yang sembunyi akan selalu dihantui rasa takut. Tak seorang pun akan kembali dalam waktu dekat. Hutan telah menghukum mereka.”

Ia menarik nafas panjang, menatap ke arah jalan yang tertutup kabut. “Sepertinya gangguan sudah sirna. Bagaimana jika kita melanjutkan perjalanan?”

Seorang pedagang mengangguk cepat, wajahnya serius namun penuh kelegaan.
“Baiklah, aku setuju. Terlalu lama kita berhenti di sini, rempah-rempah yang kami bawa bisa rusak oleh lembab. Mutunya akan turun, dan kerugian menanti kami.”

Api unggun bergemuruh lirih, seakan mengamini keputusan itu. Di balik kabut, Si Maung mengaum rendah, tanda bahwa jalan telah aman untuk sementara.


---
























01/08/25

Season 7 kerajaan mythopia

---

Chapter 44 Di Tepi Bengawan Solo

Di lembah timur yang rimbun, tatkala matahari menggantung tinggi di langit, sinarnya yang menyengat tersembunyi di balik rindangnya dahan-dahan pohon tua yang tumbuh menjulang di tepi Bengawan Solo. Di antara bebatuan yang dilicinkan oleh aliran zaman, mengalirlah sungai jernih bak kaca, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan dedaunan yang menari ditiup angin lembut musim panas.

Di sanalah, di tempat yang tersembunyi dari mata manusia biasa, tiga putri dari istana Majapahit sedang mandi dan bermain air. Mereka adalah bunga terakhir dari zaman keemasan:
Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, putri bungsu dari Prabu Kertawardhana yang agung;
Lembayung Ardhani, pemilik suara selembut sutra dan pandangan secerah senja;
dan Pujeng Rarasati, gadis periang dengan tawa yang mampu menyembuhkan luka hati.

Mereka tertawa ringan, saling memercikkan air seperti masa masih kanak-kanak, jauh dari beban mahkota dan sumpah darah kerajaan. Namun tak jauh dari sana, di balik semak dan pohon, berdirilah para pengawal bersenjata. Di antara mereka, berdiri tegak Rakai Jaya Langgana, seorang ksatria muda berselimut diam dan rahasia. Cintanya kepada sang Putri bagaikan api yang tersimpan dalam perisai — hangat namun tak pernah menyala terang.

Tiba-tiba, di sela desiran angin dan riak air, suara Dyah Sekar mengalun lembut, namun membawa nada gelisah:

> “Pernahkah kalian dengar,” katanya sambil membasuh rambut hitam legamnya,
“bahwa para begundal kegelapan dari Sinabung telah kembali menodai perbatasan timur? Kekaisaran kita, yang lelah oleh bayangan lama, kini telah mengeluarkan sayembara. Siapa pun yang sanggup membawa mereka ke keadilan akan diberi gelar dan tanah di seberang lautan.”



Lembayung menoleh, tatapannya penuh rasa ingin tahu.

> “Katanya ada seorang pendekar yang sudah menjawab tantangan itu,” ujarnya, “Namanya Pandika. Seorang diri ia berangkat, berasal dari Kerajaan Cakram, negeri kecil yang tak banyak dikenal.”



Pujeng Rarasati menambahkan sambil tertawa kecil,

> “Mereka bilang Pandika membawa pesan dari para tetua. Ia mencari raja muda yang hilang dari Mythopia. Seorang pemuda bernama Isidore.”



Putri Sekar mengangkat wajahnya, mata hitam legamnya menatap ke langit seakan mencoba membaca takdir.

> “Isidore…” bisiknya, “Konon ia memiliki wajah tampan dan kulit sawo matang seperti tanah tempat nenek moyang kita berpijak. Namun apa yang bisa kulihat dari raut wajah jika hatinya belum kukenal?”



Tak ada yang menjawab. Hanya desir angin dan gumaman air yang menjawab pertanyaan sang Putri, dan di kejauhan, Rakai Jaya Langgana mengepalkan tangan di balik semak — sebab ia tahu, takdir sedang bergerak, dan kisah besar tengah menanti untuk ditulis dalam kitab para leluhur.


---

Chapter 45 Keajaiban di Bengawan Solo

Nun jauh di jantung tanah timur, kala bayang-bayang siang mulai memendek dan daun-daun berdesir dalam bisikan angin dari pegunungan Lawu, mengalir sebuah sungai tua yang dikenal dalam tembang dan dongeng para tetua — Bengawan Solo.

Ia bukan sungai biasa. Ia adalah arteri dari bumi tua, mengalir sejak zaman para raja belum menjejak tanah, sejak para dewa menanam bintang di langit dan memberi nama bagi segala pohon dan batu. Bengawan Solo mengalir tenang, memeluk batu-batu tua yang dilicinkan oleh ribuan musim, dan menyanyi dengan suara air yang tak pernah bosan memuja waktu.

Pada sebuah tikungan tersembunyi, di mana pepohonan berakar dari zaman purba dan bunga liar tumbuh tanpa takut, di sanalah airnya paling jernih — sebening kaca cermin para peramal, memantulkan langit yang luas dan daun-daun yang bergoyang seperti tirai surga.

Di tempat inilah, kala dunia diam dan hanya burung-burung hutan yang bersuara, para putri dari istana Majapahit kerap datang untuk mandi. Dan ketika kaki mereka yang halus menyentuh airnya, seolah sungai itu sendiri berdebar dalam diam — air menghangat dengan kelembutan, dan bebatuan bersinar seperti baru dilahirkan kembali dari perut bumi.

Sang putri utama, Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, turun pertama kali, diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Air menyambut mereka seperti saudara lama, merangkul tubuh-tubuh muda mereka dengan gemetar lembut, dan seolah menghafal setiap langkah, tawa, dan hela nafas mereka.

Lalu terjadilah keajaiban kecil yang tidak tertulis dalam kitab para pendeta namun disampaikan turun-temurun oleh para leluhur penjaga tanah: setiap kali para putri selesai mandi, air Bengawan Solo berubah harum. Tidak tajam seperti minyak wangi, tapi lembut dan sukar dijelaskan — seperti wangi bunga tanjung yang mekar malam hari, seperti kenangan masa kecil yang hangat dan jauh.

Harum itu bertahan hingga malam. Bahkan para nelayan yang berlabuh di hulu bertanya-tanya siapa yang telah berjalan di atas air dan meninggalkan jejak surga. Dan para tetua desa berkata, "Itu bukan jejak manusia biasa — itu jejak para putri darah raja, yang mandi bukan hanya dengan tubuh, melainkan dengan cahaya dalam jiwa."


---
Chapter 46 Pertanda di Sungai Bengawan

Di balik pepohonan yang menaungi aliran suci Bengawan Solo, dalam bayang-bayang hening di mana cahaya siang menari melalui dedaunan, berdirilah Paman Hanggara — tua, tegap, dan bermata tajam seperti elang yang telah menyaksikan banyak zaman berlalu.

Ia memandang ke arah seorang pemuda yang duduk menyendiri di sisi timur sungai, tangannya menggenggam gagang keris tanpa suara, matanya tertuju ke permukaan air yang berkilau diterpa cahaya. Dialah Rakai Jaya Langgana, pengawal utama sang putri.

> “Nak Jaya...” kata Paman Hanggara perlahan, suaranya dalam dan bergetar oleh rasa sayang yang dibungkus kekhawatiran, “engkau telah memasuki usia di mana lelaki harus berpikir tentang garis keturunan. Jangan kau habiskan hidupmu dalam bayang-bayang yang tak bisa kau capai.”



Rakai menunduk, napasnya berat.

> “Ampun, Paman,” katanya lirih, “jika hati ini telah keliru. Aku memang menyimpan rasa pada sang Putri... namun kupastikan rasa itu takkan pernah keluar dari tempatnya. Cukup bagiku berdiri di sisinya sebagai perisai, bukan sebagai pasangan.”



Hanggara menatapnya lama, lalu menghela napas dan memalingkan wajah, seakan memahami, namun tak bisa menyetujui sepenuhnya.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan di barat, muncullah Wirya Nagapati, prajurit bayangan yang langkahnya lebih sunyi dari desir angin. Jubahnya hitam, dan matanya bersinar bagai bara api dalam kegelapan.

> “Waktumu habis, Putri-putri Istana,” bisiknya dengan suara serak namun jelas. “Hutan telah bicara... Jejak mistis tercium di utara. Ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang tak menyukai kehadiran darah kerajaan di tempat ini.”



Hanggara tak membuang waktu. Ia membawa jari ke bibir dan meniup sebuah siulan panjang — tidak keras, tapi merdu dan dalam. Suara itu menggema pelan seperti nada dari seruling zaman tua, menjalar ke sela-sela daun dan menyentuh telinga mereka yang tahu artinya.

Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, yang tengah membasuh rambutnya dengan air jeruk purut dan bunga tanjung, menoleh pelan.

> “Siulan Paman terdengar lebih cepat dari biasanya,” ucapnya dengan dahi berkerut, “seolah pagi ini ingin berakhir sebelum waktunya. Mungkinkah ada gangguan yang mengintai dari kejauhan?”



Ia berdiri, anggun dan tenang, namun tatapannya tajam — seperti seorang ratu yang tahu kapan harus memerintah dan kapan harus berlari dari bahaya.

Di atas cabang pohon tinggi, tersembunyi di balik dedaunan lebat, Sasi Anglingrat — pengawal rahasia istana — tengah berjaga. Matanya yang tajam menangkap bayangan gelap yang merayap seperti asap dari arah utara. Kabut hitam itu tidak berasal dari bumi, dan tidak pula milik langit.

Ia menghela napas, lalu melompat turun dengan gesit seperti bayangan seekor kijang malam. Tanpa berkata-kata, ia berlari ke arah pasukan dan rekan-rekannya. Pertanda buruk telah datang. Dan waktu takkan memberi mereka banyak kesempatan.


---
---

Chapter 47 Wangkara, Bayangan yang Membelah

Untuk pertama kalinya, Sasi Anglingrat, penjaga rahasia dari Majapahit, menyaksikan wujud yang tak bisa dijelaskan oleh kitab perang maupun bisikan para pendeta hutan. Ia berdiri diam, napasnya tertahan, saat dari balik kabut yang merayap turun dari langit, muncul sosok yang menyerupai manusia namun tak sepenuhnya nyata.

Separuh tubuhnya kabut, separuh lainnya tampak seperti manusia yang telah ditinggalkan cahaya kehidupan. Kabut itu berdenyut perlahan, mengelilingi sosok tersebut, dan setiap kali ia bergerak, tanah di sekitarnya seperti kehilangan warna dan suara.

> “Wangkara...” bisik Sasi, matanya menyipit, “makhluk dari bayang-bayang utara, yang dikisahkan dalam gulungan lontar-lontar tertua, namun tak pernah dipercaya sepenuhnya.”



Ia memberi isyarat kepada pasukan untuk mundur. Gerak jarinya cepat namun jelas: berkumpul, diam, lalu mundur perlahan. Dirinya sendiri tetap berdiri di depan, seolah bayang-bayang pohon telah bersatu dengan tubuhnya.

Dengan satu gerakan anggun, Sasi Anglingrat mencabut dua bilah pedang pendek dari punggungnya — pusaka berlapis mantra yang hanya ia sendiri yang mampu memanggil kekuatannya.

Tanpa ragu, ia melemparkan bilah pertama ke arah Wangkara. Pedang itu melesat seperti kilat — namun saat menyentuh tubuh kabut makhluk itu, bilah tersebut melintas seakan hanya menembus udara. Tak ada luka. Tak ada suara. Hanya kehampaan.

Sasi mengatupkan rahang, lalu melangkah maju.

> “Jika tidak bisa dengan jarak jauh,” ucapnya dalam hati, “maka akan kuhadapi dengan nafas dan nadi.”



Ia mencengkeram pedang kedua dengan kedua tangan. Saat menebas, ia mengalirkan bukan hanya tenaga, tapi juga keyakinan, karena hanya keyakinan yang bisa menembus dunia bayangan. Namun ketika bilah itu menyayat tubuh Wangkara, makhluk itu terbelah menjadi dua, dan kedua bagian itu hidup — bergerak sendiri dengan wajah yang sama kosongnya.

Dari arah utara, Wirya Nagapati datang bagai angin malam. Jubahnya mengepul, dan di tangannya terhunus keris warisan leluhur — bilah sakti yang dipercaya dapat melukai roh dan jin. Ia menerjang Wangkara dengan teriakan keras, menebas tubuh makhluk itu.

Namun hasilnya tak berbeda. Setiap tebasan hanya menggandakan jumlah musuh. Dari satu, menjadi dua. Dari dua, menjadi empat. Dan kabut semakin menebal, mengaburkan pandangan, merampas harapan.

> “Mundur!” seru Wirya dengan suara yang menggema seperti guntur di pegunungan, “Wangkara bukan untuk kita hadapi di sini. Makhluk ini bukan untuk dibunuh... melainkan untuk dijauhi.”



Dengan keberanian mereka, Sasi dan Wirya menahan gelombang kabut yang terus mendekat, menciptakan waktu dan ruang yang cukup bagi para putri dan pasukan pengawal untuk mundur ke sisi selatan. Dyah Sekar, yang telah berselimut kain tipis dan rambutnya masih basah oleh air Bengawan, dituntun oleh Rakai Jaya Langgana menuju kuda-kuda yang telah disiapkan di balik pohon.

Di belakang mereka, kabut terus bergulung seperti ombak senja yang menelan hutan. Dan bayangan Wangkara masih berdiri, diam, tanpa suara — namun tak ada satu pun yang berani menatapnya dua kali.

---
---

Chapter 48 Pertemuan di Bukit Halilintar

Tanpa jeda, tanpa keluh, Pandika, sang pengembara dari Cakram, menunggang kudanya melintasi hutan lebat, sabana luas, dan lembah-lembah berkabut hingga akhirnya tiba di hadapan Bukit Halilintar — sebuah dataran tinggi yang diselimuti awan kelabu dan gelegar petir di kejauhan, seperti panggung dunia bagi kejadian-kejadian besar yang ditakdirkan.

Kudanya — seekor kuda istimewa berdarah Dewa Angin — meringkik pelan, tubuhnya penuh peluh namun matanya tetap bersinar jernih. Pandika turun perlahan, menepuk lembut leher hewan setianya.

> “Terima kasih, sahabatku,” katanya lirih. “Kau telah menuntunku sejauh ini. Kini saatnya kau beristirahat... makanlah rerumputan yang tumbuh di tanah suci ini. Takkan ada binatang buas mengganggumu.”



Tak jauh dari sana, tersembunyi di dalam lekuk gua kuno di jantung bukit, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, membuka matanya. Ia duduk bersila di atas batu, dikelilingi lingkaran cahaya redup dari api biru yang menyala tanpa bahan bakar.

> “Ada kekuatan mendekat,” ujarnya lirih, “kekuatan yang bukan dari kegelapan... tapi juga bukan dari tanah ini.”



Dari balik bayangan, muncullah Rakajati, penjaga hutan yang setia, suaranya tenang seperti suara pohon tua yang berbicara di malam sunyi.

> “Dia hanyalah seorang pengembara,” ujarnya, “tapi kebaikan mengalir dalam darahnya. Biarlah aku yang membawanya kemari.”



Dalam sekejap, tubuh Rakajati menyatu dengan batang pohon, menghilang ke dalam kulit kayu seperti roh penjaga rimba. Dan ketika ia muncul kembali, dedaunan bergetar seolah alam turut menunduk menyambutnya. Ia berdiri di hadapan Pandika, yang terkejut dan tanpa pikir panjang mengangkat kedua tangannya dalam sikap bertahan, tinjunya terkepal namun tak menyerang.

Rakajati hanya tersenyum.

> “Tenanglah, wahai pengembara. Aku bukan musuhmu,” ucapnya.
“Mohon maaf jika kedatanganku mengejutkan,” balas Pandika, merendah. “Namaku Pandika, dari negeri Cakram. Aku datang untuk mencari Tuan Isidore. Ada keperluan mendesak... kami membutuhkan bantuannya untuk menumpas gerombolan kegelapan yang kini bersarang di puncak Gunung Sinabung.”



Rakajati diam sejenak, seperti menimbang jawaban dari suara angin dan getaran tanah.

> “Sayang sekali, kami tak sedang berada di tempat yang tetap,” jawabnya akhirnya. “Kami sedang bersiap melakukan perjalanan menuju Sungai Bengawan Solo — untuk sebuah pertemuan yang tak bisa ditunda. Mungkin... beberapa hari lagi sebelum kami bisa menghadap ke utara.”



Pandika menunduk dalam-dalam, lalu berkata dengan ketulusan yang bersinar dalam matanya:

> “Jika berkenan, izinkan aku ikut serta dalam perjalanan itu. Aku bersumpah demi tanah kelahiranku, aku takkan menjadi beban ataupun penghalang.”



Rakajati menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan.

> “Kalau begitu, bersiaplah. Ikuti langkahku. Kau akan bertemu dengan Isidore... dan nasib akan menguji kita bersama.”



Lalu mereka melangkah perlahan menyusuri lereng bukit, kabut tipis menyelimuti langkah mereka, dan di kejauhan, guruh masih bersuara — seperti gendang langit yang tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah takdir dunia.


---
Chapter 49 Pertemuan Dua Takdir: Pandika dan Isidore

Di dalam gua yang diterangi cahaya samar dari batu-batu berpendar, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, duduk di atas singgasana batu yang dipahat alam sendiri. Aura kebangsawanan menyatu dengan ketenangan seorang bijak, namun matanya menyiratkan bahwa ia telah menyaksikan banyak hal—lebih dari yang seharusnya ditanggung oleh seorang muda.

Seorang pengembara menghampiri dengan langkah ringan namun penuh keyakinan. Ia membungkuk dalam penghormatan, lalu berkata:

> “Perkenalkan diriku, Pandika, dari Kerajaan Cakram. Aku telah diberitahu oleh Rakajati bahwa engkau hendak menuju Sungai Bengawan Solo. Bila berkenan, ijinkan aku menyertai perjalananmu. Aku bersumpah atas kehormatanku, aku takkan menjadi beban.”



Isidore menatapnya sejenak, menilai bukan wajah, tapi jiwa di baliknya. Lalu ia mengangguk tenang.

> “Boleh saja, Pandika. Jalan kami terbuka bagi mereka yang membawa terang dan keberanian.”



Pangreksa, sang penjaga pusaka kerajaan, yang berdiri tak jauh dari situ, memperhatikan pedang yang tergantung di pinggang Pandika. Matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.

> “Pedangmu... sungguh langka. Itu bukan buatan manusia biasa.”



Pandika menyentuh gagang senjatanya dengan penuh hormat.

> “Benar. Senjata ini diberikan oleh seorang peri hutan—mereka yang hidup tersembunyi di antara akar dan kabut, pelindung tanah dan daun.”



Rakajati mengangkat alis, suaranya mengandung kekaguman.

> “Peri... mereka sangat sulit ditemukan. Bahkan aku, yang hidup di antara pepohonan, tak pernah melihat wujud mereka selama ratusan purnama. Kau benar-benar beruntung.”



Bhra Anuraga, sang pendeta muda yang selalu haus akan kisah dan makna di baliknya, bersandar pada tongkat kayunya.

> “Jika engkau berkenan, ceritakanlah. Bagaimana perjumpaan itu terjadi?”



Pandika mengangguk, lalu mulai bertutur:

> “Aku sedang dalam perjalanan menyelesaikan misi yang dipercayakan oleh rajaku, Agus Marto, raja dari tanah Cakram. Untuk membuktikan kelayakanku sebagai seorang ksatria, aku ditugaskan menyelesaikan banyak tantangan yang tersebar di kerajaan-kerajaan dunia lama. Dalam satu perjalanan di hutan utara, aku terluka parah saat melawan makhluk bayangan. Saat itulah seorang peri datang—ia menyembuhkanku, lalu memberiku pedang ini sebagai penuntun dalam kegelapan.”



Pangreksa menepuk pundaknya pelan.

> “Semoga perjalananmu membawa keberhasilan. Dunia memerlukan ksatria yang bersumpah atas keadilan, bukan hanya kekuatan.”



Rakajati tersenyum, namun matanya penuh harap.

> “Sudah lama aku merindukan kehadiran para peri. Setelah misi ini selesai, kau harus mengantarku kepada mereka. Hatiku ingin melihat mereka sekali lagi, sebelum usia menutup mataku.”



Pandika membalas dengan hormat:

> “Bila takdir mengizinkan, aku yakin mereka akan sangat senang bertemu denganmu, Rakajati.”



Tiba-tiba, udara di dalam gua bergetar halus, seperti kabut tipis yang berdesir di antara bintang. Raja Alam Wardana, roh leluhur dari dunia tersembunyi, muncul dalam pantulan air suci yang mengalir di dinding batu.

> “Isidore...” suaranya dalam dan menggema seperti nyanyian bumi,
“Ketahuilah bahwa pengembara ini—Pandika—bukanlah orang biasa. Di dalam darahnya mengalir kekuatan dari bangsa peri yang lama hilang dari dunia ini. Bila kelak gelap menutupi matamu dan jalanmu terputus, dialah cahaya yang akan menyelamatkanmu.”



Isidore menunduk perlahan, dan dalam hatinya ia tahu: pertemuan ini bukan kebetulan. Takdir telah menyulam benang mereka dalam satu jalinan besar yang belum tersingkap seluruhnya.


---


---

Chapter 50 Perjalanan Menuju Bengawan Solo

"Sayangnya," ujar Surya Wikrama dengan nada berat, matanya menatap ke arah barat, "di dekat Bengawan Solo tiada batu loncatan yang dapat membawa kita ke sana dengan cepat. Mohon bantuanmu, kakanda Rakajati, agar perjalanan ini tak memakan waktu terlalu lama."

Rakajati mengangguk perlahan, lalu berkata dengan tenang namun penuh wibawa,
"Baiklah… namun aku memerlukan tenagamu, Surya Wikrama, untuk menerangi jalan di akar-akar tua yang akan kita lalui."

Ia kemudian menancapkan tongkatnya ke batang pohon raksasa yang menjulang, tua dan lapuk namun penuh kekuatan purba. Suara retakan terdengar, lalu batang pohon itu perlahan terbelah, memperlihatkan lorong gelap yang melingkar turun ke perut bumi, dipenuhi urat-urat akar yang mengalirkan cahaya samar hijau.

"Apakah kita akan masuk ke sana?" tanya Pandika, suaranya setengah ragu, setengah takjub.

"Kau aman bersama kami," jawab Isidore, matanya berkilau di tengah remang. "Ikuti kami, dan jangan tertinggal."

Surya Wikrama melangkah ke depan, pedangnya terhunus, memancarkan cahaya keemasan yang membasuh dinding akar dengan kilau hangat. Bau tanah basah dan resin tua memenuhi udara. Akar-akar besar seolah bergerak perlahan, membimbing langkah mereka menuruni lorong berliku hingga akhirnya mereka keluar di tepi Bengawan Solo.

Namun, ketenangan sungai itu ternodai. Kabut kelam menggantung rendah di atas air, berputar-putar bagai napas makhluk purba.

"Wangkara…" bisik Surya Wikrama dengan nada waspada. "Jarang sekali mereka muncul di siang hari. Mereka tidak akan menyerang, namun kabut ini… terlalu lama menghirupnya akan menjerat mata kita dalam ilusi."

"Bagaimana kita mengusirnya?" tanya Isidore.

Bhra Anuraga menatap ke arah kabut, wajahnya tegang. "Aku kira… ada seseorang yang mengarahkan mereka kemari." Ia menarik napas panjang. "Kita harus menghidupkan aura kita masing-masing."

Maka Surya Wikrama melangkah maju, mengangkat pedangnya tinggi, dan darinya memancar sinar emas bagaikan matahari fajar. Isidore menutup matanya sejenak, lalu dari tubuhnya mengalir cahaya kebiruan, lembut namun teguh seperti air yang menolak dibelah. Bhra Anuraga menyalakan aura kemerahan laksana bara api yang tak padam. Pangreksa memancarkan kilau perak yang menusuk kabut seperti bilah dingin. Guntur Wisesa menggetarkan udara dengan kilat yang berkilau di sekelilingnya.

Namun Pandika—dari dirinya terpancar cahaya putih murni, seolah hutan peri sendiri memberinya kekuatan. Sinar itu menyilaukan, mengusir rasa dingin yang menyusup dari kabut. Wangkara, makhluk bayangan yang gelisah, meringis tanpa suara, tubuh mereka berbalik, melayang kembali ke rimba lebat tempat kegelapan mereka bersemayam.

Akhirnya, Bengawan Solo kembali sunyi. Airnya berkilau diterpa cahaya, seakan mengucapkan terima kasih.


---

Chapter 51 Pertemuan di Tepi Bengawan Solo

Dari seberang sungai, Putri Majapahit, Dyah Sekar Tanjung, menatap dengan mata terbelalak. Di langit senja, cahaya-cahaya aneh mekar bagai bunga surga: emas, biru, perak, dan putih. Mula-mula redup bagaikan kunang-kunang di rerumputan, namun perlahan kian terang hingga menyilaukan mata.

“Cahaya apakah itu?” bisik Lembayung, dayang setia, seraya menundukkan kepala.

“Putri, sebaiknya kita lekas pergi,” ujar Paman Hanggara, wajahnya suram, tangan menggenggam gagang keris. “Tanda-tanda semacam itu jarang membawa kebaikan.”

Namun sebelum ia sempat berbalik, Pujeng Rarasati, pengiring lain, berseru, “Lihatlah, kabut itu telah sirna! Wangkara sudah pergi, putri. Alam kembali bernapas bebas.”

Dyah Sekar Tanjung berdiri tegak, sorot matanya penuh keberanian. “Tidak, paman. Aku ingin tahu, siapakah ksatria yang mengusir kegelapan itu. Bawalah aku ke sana.”

“Titah tuan putri, kami laksanakan,” jawab para penjaga bayangan, suara mereka serempak bagai gaung lembah. Mereka melangkah lebih dulu, berlari ringan di antara pepohonan, untuk mendahului dan menyampaikan maksud tuan putri.

Rakai Jaya Hanggana, bertubuh besar bak pohon jati, berjalan paling depan, dadanya membentang melindungi putri. Di belakangnya, para prajurit membentuk formasi tembok, tombak mereka berkilau oleh pantulan cahaya sungai.

Tak lama kemudian, penjaga bayangan yang tiba terlebih dahulu menunduk hormat di hadapan para ksatria asing. “Hamba Sasi Anglirat. Ijinkan kami berkenalan dengan tuan-tuan ksatria yang gagah berani ini.”

Pangreksa, yang berdiri tenang dengan tatapan lembut namun penuh wibawa, menjawab, “Tidak perlu sungkan. Kami hanyalah pengembara yang lewat. Perkenalkan, aku Pangreksa, dan inilah sahabat-sahabatku.”

Sasi Anglirat kembali menunduk. “Mohon kiranya tuan berkenan menunggu sebentar. Tuan putri kami ingin mengucapkan terima kasih atas jasa agung kalian.”

Isidore menoleh sejenak pada rekan-rekannya, lalu menjawab dengan senyum samar, “Baiklah. Kami pun tak sedang dikejar waktu. Bengawan ini indah, dan kami ingin sejenak menikmati kedamaiannya.”

“Bagaimana,” sela Surya Wikrama sambil melepaskan sabuk pedangnya, “sementara menunggu, aku masakkan ikan jendil untuk kita semua?”

Sebelum ada yang sempat menanggapi, ia melangkah ke tepi sungai. Dengan satu gerakan tangannya yang penuh wibawa, air sungai beriak, dan ikan-ikan meloncat sendiri, jatuh ke tangannya bagaikan tunduk pada kehendak sang ksatria.

Para pengawal bayangan terdiam, mata mereka membelalak. Salah satu berbisik lirih, “Sungguh, ini bukan manusia biasa. Ada darah para dewa dalam dirinya.”


---








Kost Premium Income 62 juta/bulan - Siap Panen Cuan



---

🏡 KOST PREMIUM INCOME 62 JUTA/BULAN – SIAP PANEN CUAN! 💸

🔥 Dijual Cepat – Lokasi Super Strategis di BINTARO SEKTOR 3A
📍 Jl. Mutiara Raya, Pondok Ranji, Tangerang Selatan

✨ Cocok untuk INVESTOR yang ingin passive income instan!


---

💎 FASILITAS SUPER LENGKAP
🛏 31+1 kamar | 🛁 31+1 kamar mandi
🏠 Luas Bangunan: 450 m² | Luas Tanah: 210 m²
🧾 SHM – Sertifikat Hak Milik
🔐 Smart Door Lock + CCTV 24 jam
🌬 AC + Water Heater + Smart TV Tiap Kamar
🍽 Dapur Bersama + Dispenser + Microwave
🪑 Meja, Lemari, Kasur, Bantal & Guling
💡 Token listrik mandiri per kamar


---

🚀 LOKASI EMAS
✅ 2 menit ke STAN (11.000 mahasiswa aktif)
✅ 6 menit ke RS Mitra Keluarga
✅ 9 menit ke Stasiun Pondok Ranji
✅ 11 menit ke Bintaro Jaya XChange Mall
✅ 12 menit ke Tol Pondok Ranji


---

💰 POTENSI CUAN: 62 JUTA/BLN
🏦 Unit selalu penuh! Dikelilingi ribuan mahasiswa, dokter, dan pekerja!


---

📞 Harga Spesial: Rp 8,5 M – Masih Bisa Nego!
⏳ Jangan sampai telat… properti seperti ini jarang muncul!

🟢 Langsung survei, lihat unit, bawa pulang cuan!

Cp: M. Irvan 081317943160
Bila laku komisinya cuma 2.5 % sebagian buat Jumat barokah dan sembako buat Ojol 
---



01/07/25

season 3 Jatmika dan portal waktu

---

Bulan baru telah tiba, dan PT. Sinar Ultraviolet memasuki fase yang belum pernah mereka alami sebelumnya: stabilitas. Bukan sekadar keberhasilan dalam satu malam, tapi sebuah sistem yang mulai berjalan dengan sendirinya—seolah gravitasi teknologi yang mereka temukan menarik semua hal ke dalam orbitnya.

Divisi produksi tidak mengenal jeda. Mesin-mesin pencetak prototipe artefak lampu beroperasi nyaris tanpa henti, memproduksi dengan presisi dan ketelitian. Setiap lampu replika yang selesai dirakit bukan sekadar suvenir teknologi, tapi simbol harapan—bahwa cahaya bisa membuka jalan ke tempat lain, mungkin bahkan ke masa lalu.

Sementara itu, tim pemasaran dibanjiri permintaan. Laman pemesanan daring mencatat angka yang terus naik. Tak ada ruang kosong di kalender kunjungan. Beberapa bahkan harus menunggu dua bulan ke depan.

Departemen SDM bekerja dalam keheningan yang sibuk, memilah dan menilai ratusan pelamar. Mereka merancang pelatihan intensif bagi 100 karyawan baru, bukan sekadar mengenalkan prosedur kerja, tapi juga menyuntikkan etika baru: bahwa mereka bekerja dengan teknologi yang melintasi batas waktu dan ruang.

Di ruang lain, departemen keuangan merilis laporan yang selama ini hanya menjadi target ambisius—untuk pertama kalinya, saldo rekening perusahaan menunjukkan surplus. Sebuah titik balik. Perusahaan kini mampu membiayai operasional, membayar gaji, dan bahkan merencanakan ekspansi jangka panjang.

Divisi operasional, tanpa menunggu terlalu lama, segera menyusun blueprint kantor baru di Jakarta. Sebuah keputusan strategis yang akan membuka akses lebih luas bagi pelanggan dari luar negeri.

Jatmika, yang kini secara resmi menjadi koordinator teleportasi global, menunjuk John sebagai asistennya. Kepercayaan itu tidak hanya karena kedekatan pribadi, tetapi karena John terbukti efisien dan berpikiran sistematis. Bersama-sama mereka merancang modul pelatihan, menyusun jadwal kunjungan, dan mengelola operasional harian dengan ketepatan waktu nyaris militer.

Hari ini adalah ujian besar pertama mereka.

Sepuluh rombongan dari Tiongkok tiba di pelataran gedung menggunakan bus Big Bird. Masing-masing peserta telah membayar untuk akses penuh ke seratus titik teleport—total transaksi lebih dari satu miliar rupiah.

Untungnya, Pak Toni sudah memprediksi kebutuhan ini. Beberapa bulan sebelumnya, ia memesan 500 set baju astronot tambahan, dan karena kebijakan vendor, mereka menerima bonus 600 unit ekstra. Ketepatan waktu dan perhitungan jangka panjangnya menjadi penyelamat hari itu.

Masalah bahasa tidak sempat berkembang menjadi kendala. Jatmika telah memesan perangkat kacamata pintar dengan fitur penerjemah otomatis berbasis AI, serta menyewa dua puluh mahasiswa terbaik dari universitas unggulan sebagai penerjemah pendukung. Transmisi komunikasi berjalan nyaris tanpa friksi, seolah semua telah dirancang sebelumnya oleh tangan yang tak terlihat.

Rombongan tamu terkesima. Bagi mereka, teleportasi bukan sekadar teknologi—melainkan pengalaman spiritual. Sesuatu yang menggabungkan rasa ingin tahu kuno dengan pencapaian manusia modern.

Seorang delegasi bertanya melalui translator, “Apakah ada titik teleportasi di wilayah Tiongkok?”

Jatmika tersenyum, lalu mengangguk.
“Tentu saja ada,” jawabnya. “Dan bukan hanya satu. Kami menemukan tiga titik aktif. Salah satunya bahkan terletak di kawasan pegunungan dekat provinsi Sichuan.”

Wajah-wajah di hadapannya berbinar. Mereka tidak hanya membeli akses—mereka membeli harapan bahwa sejarah bisa disentuh kembali. Bahwa mungkin, mereka juga akan menemukan artefak yang tersimpan diam di tanah mereka sendiri.

Di langit sore, cahaya bulan baru memantul di kaca gedung laboratorium. Sebuah awal baru sedang didefinisikan, tidak hanya oleh cahaya, tapi oleh arah yang kini mereka pilih.


---

---

Jatmika membagi rombongan tur menjadi sepuluh kelompok, masing-masing beranggotakan lima puluh orang. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang pemandu terlatih serta dibekali satu penerjemah khusus. Perjalanan mereka bukanlah sekadar wisata, melainkan ekspedisi lintas ruang dan budaya — sebuah upaya mengenali kembali fragmen teknologi kuno yang tersembunyi di dalam goa-goa teleportasi.

Jatmika memimpin Kelompok Satu. John ditugaskan untuk Kelompok Dua. Sementara itu, Billy, Fahmi, Sherly, Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal masing-masing bertanggung jawab atas kelompok berikutnya — sepuluh pemimpin, sepuluh arah, sepuluh portal waktu yang aktif.

Di laboratorium pusat, Ny. Tien mengatur jalannya aktivasi teleportasi. Ia menghitung kebutuhan energi dalam satuan mega-watt, menyeimbangkan suplai arus ke setiap titik artefak, memastikan tidak ada satu pun kelompok yang terlempar ke lokasi yang salah.

Bola-bola listrik mulai terbentuk di atas lantai logam berukir, mengambang di udara seolah medan gravitasi diputar ulang. Artefak lampu menyala perlahan, dari kuning hangat hingga keemasan menyilaukan. Kemudian, satu demi satu, sambaran energi mengenai lingkaran setiap kelompok—dan mereka pun menghilang dari laboratorium, seperti dijemput oleh hukum fisika yang belum tercatat.

Dengan kalkulasi yang tepat, Ny. Tien menjadwalkan siklus perpindahan setiap tiga puluh menit sekali, menggeser tiap kelompok ke titik teleportasi berikutnya. Ia mengamati monitor dengan intensitas tenang—seolah ia sedang menjaga gerbang antara dimensi.

Kelompok Jatmika tiba di sebuah gua kuno yang dipenuhi ukiran simbolik pada dindingnya. Ia segera mengenali motif yang telah ia pelajari selama bertahun-tahun: garis-garis cahaya, bentuk segitiga simetris, dan lambang heliks ganda. Tempat ini, ia yakini, adalah situs peninggalan Surya Wikrama—salah satu ksatria legendaris dari masa Mythopia yang menguasai unsur cahaya.

Namun ada satu simbol yang selama ini tak mampu ia pecahkan—aksara bergaya piktograf yang tampak seperti kunci, namun tanpa gembok. Sampai seorang peserta dari rombongan—seorang profesor muda dari Provinsi Anhui, Tiongkok—melangkah maju.

Ia mengamati simbol tersebut dalam diam, lalu berbisik dalam bahasa Mandarin klasik,
“Ini adalah aksara Han kuno... artinya segel, atau perintah tertutup.”

“Bagaimana cara membukanya?” tanya Jatmika, hati-hati.

“Sesuai prinsip dualisme, Anda tak bisa membuka segel dengan membacanya,” jawabnya. “Anda harus menulis lawan katanya… bukan pada dinding, tetapi pada elemen yang bersifat hidup: batu pasir magnetik.”

Jatmika menatap batu di sisi kanan gua—batu dengan urat halus berwarna hitam yang bereaksi pada logam. Ia mengangguk.

Peserta itu mengambil sebilah kayu kecil, lalu dengan tenang menggambar satu simbol—sebuah karakter antitesis dari simbol awal—pada permukaan batu tersebut.

Sejenak tak terjadi apa-apa. Lalu lantai gua bergetar. Rangkaian mekanisme kuno aktif, seolah baru dibangunkan dari tidur ribuan tahun. Bongkahan batu bergerak secara teratur, dan perlahan-lahan, sebuah pintu terbuka ke arah luar, mengalirkan cahaya matahari sore dari celahnya.

Jatmika menahan napas, bukan karena keterkejutan, tapi karena kesadaran bahwa mereka baru saja menyentuh sesuatu yang bukan hanya teknologi, tapi warisan pemikiran.

“Tien,” ucapnya pelan melalui mikrofon, “tolong salin karakter ini ke dalam basis data. Simpan dalam semua format. Ini bisa jadi kunci untuk membuka gua lainnya.”

Dan untuk pertama kalinya sejak proyek teleportasi dimulai, Jatmika tidak hanya melihat sistem bekerja, tapi melihat sejarah itu sendiri menjawab kembali.


---
---

Para peserta diizinkan keluar dari gua untuk menyerap udara segar dan menikmati panorama pegunungan yang menjulang sunyi. Di kejauhan, awan melayang perlahan seolah terbuat dari sutra yang dilipat angin, dan suara burung hantu dari balik hutan memberi nuansa purba yang tak tersentuh waktu.

Jatmika memberi instruksi singkat.
“Lima belas menit. Setelah itu, semua kembali ke titik pertemuan.”

Ia lalu melangkah mendekati salah satu peserta yang tampak mencatat simbol-simbol pada dinding gua ke dalam buku kulit tebal. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Prof. Wen Shuyuan, seorang pakar sejarah dari Universitas Xiamen yang telah menghabiskan tiga dekade hidupnya mempelajari arkeologi Asia Timur.

"Struktur mekanik gua ini luar biasa," ucapnya pelan. "Seperti fusi antara pemahaman kuno tentang energi dan prinsip medan elektromagnetik modern."

Jatmika mengangguk, lalu berkata,
"Perusahaan kami berencana membangun kantor cabang di setiap negara. Saya ingin mengusulkan: bagaimana jika Anda menjadi penanggung jawab pengembangan dan riset kami di Tiongkok?"

Prof. Wen tampak berpikir sejenak. Jatmika menambahkan,
"Sebagai kepala cabang, Anda juga akan mendapatkan akses penuh terhadap sistem teleportasi—termasuk jaringan simbol dan mekanisme aktivasi. Dan... jika Anda mengenal seorang investor yang bersedia mendukung pembangunan fisik kantor kami di sana, itu akan sangat membantu."

Wen Shuyuan tersenyum samar. “Saya pernah berulang kali ditawari dana oleh seorang kolektor yang ingin mendanai yayasan saya. Mereka ingin membuktikan bahwa legenda kuno adalah catatan sejarah, bukan mitos.”
Ia menatap langit, lalu melanjutkan, “Apakah satu triliun rupiah cukup sebagai investasi awal?”

Jatmika menatapnya dalam diam, lalu menjawab,
“Dengan jumlah itu, kami bisa membangun kantor, merekrut tim penuh, dan membiayai riset lintas negara. Saya kira, ini awal yang sangat baik.”

Dari mikrofon di telinganya, suara Ny. Tien terdengar lembut namun tegas:
“Waktu tersisa lima menit. Siapkan evakuasi dari gua.”

Jatmika segera berjalan ke arah peserta, menyampaikan pengumuman dengan suara yang jelas. Ia lalu berpaling pada Prof. Wen,
“Sebelum kita kembali… bisakah Anda bantu menutup pintu gua seperti sebelumnya?”

Wen Shuyuan mengangguk, mengambil tongkat tipis dari lantai, lalu menulis lambang kuno di batu pasir magnetik: segel penutup dalam Aksara Han Tua. Tak lama kemudian, mekanisme gua bereaksi. Batu-batu mulai bergerak, saling bertautan membentuk formasi tertutup. Pintu gua menutup rapat, seperti rahasia yang tak ingin ditemukan dua kali.

Ny. Tien segera memulai proses teleportasi lanjutan. Dalam waktu singkat, seluruh peserta berpindah dari satu titik ke titik berikutnya. Beberapa menunjukkan tanda-tanda kelelahan ringan—detak jantung meningkat, reaksi pupil menurun, sinyal saraf menurun stabil.

Sistem otomatis mendeteksi ambang batas toleransi fisik mereka, dan dengan protokol keselamatan kelas satu, seluruh peserta ditarik kembali menuju laboratorium pusat.

Di sana, suara mesin perlahan mereda. Para peserta kembali dalam kondisi utuh, beberapa terduduk lelah namun tersenyum—seolah baru saja melihat kembali dunia seperti yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.


---
---


Sebelum proses teleportasi selesai, Jatmika telah mempersiapkan sebuah jamuan sederhana namun berkesan—prasmanan dengan cita rasa khas Indonesia. Di ruang makan berpanel kaca, uap sate ayam dan tongseng menyatu dengan aroma nasi goreng dan wedang jahe yang mengepul hangat. Kerak telor digoreng langsung di atas tungku kecil, sementara bakso disajikan dalam mangkuk-mangkuk uap seperti di warung tenda malam hari.

Sebuah keheningan kagum sesaat menyelimuti peserta dari Tiongkok ketika mereka diperbolehkan mengambil makanan. Beberapa mencoba menebak bahan dari setiap sajian melalui rasa dan tekstur. Mereka yang selesai makan memilih untuk pindah ke aula besar—bukan karena ruangan sempit, tetapi karena percakapan dan tawa semakin ramai.

Tak lama, kelompok John tiba. Wajahnya tampak tegang, kontras dengan suasana makan siang yang ceria.

“Jatmika,” katanya pelan tapi tegas. “Kami terpaksa kembali lebih cepat.”

Jatmika berhenti sejenak dari melayani tamu, lalu menoleh.
“Ada apa?”

“Seorang peserta... membuka helmnya sendiri di dalam gua,” kata John. “Dia panik. Tidak bisa bernapas. Kami tidak bisa melanjutkan teleportasi.”

Jatmika mengangguk, menginternalisasi informasi itu dengan cepat.
“Kalau dia merasa dirugikan, kita bisa fasilitasi pengembalian dana penuh,” ucapnya, tenang.

“Tidak perlu,” kata John. “Keadaannya sudah stabil. Tapi orang tuanya… mereka memaksa memberi saya sejumlah uang, mungkin sebagai bentuk... suap agar saya tidak bicara.”

“Berapa?” tanya Jatmika.

“Saya tidak tahu pasti. Dalam mata uang Tiongkok. Jumlahnya... tidak kecil.”

Mereka saling diam sejenak. Dalam dunia di mana teknologi bisa melintasi ruang dalam satu denyut listrik, konsekuensi manusia tetap tak terhindarkan—emosi, ketakutan, dan harga diri.

“Catat kejadian ini ke dalam log keamanan,” kata Jatmika. “Bukan untuk menghukum siapa pun, tapi untuk pembelajaran.”

John mengangguk.

Sementara itu, Jatmika berjalan pelan menuju meja bagian operasional, mencari salah satu penerjemah. Ia memanggil staf senior, kemudian menunjuk ke arah Prof. Wen Shuyuan yang sedang berbincang dengan beberapa delegasi.

“Segera siapkan draf kerja sama. Pak Toni sudah menyetujui pembukaan kantor cabang di luar negeri,” katanya. “Tapi tekankan satu hal—pusat kendali teleportasi tetap di Indonesia. Kantor di negara lain hanya akan berfungsi sebagai pos transit.”

Ia menatap para peserta yang masih makan dan tertawa, lalu melanjutkan,
“Kita mungkin telah membuka pintu ke masa depan. Tapi setiap langkah harus tetap diawasi oleh tangan manusia yang memahami risikonya.”

Di sudut ruangan, wedang jahe terus mengepul. Aroma rempah tetap bertahan, bahkan ketika teknologi dan sejarah terus berputar di sekitarnya.


---

---

Pak Toni tiba di laboratorium dengan langkah mantap, membawa serta atmosfer penghargaan dan keseriusan. Ia menghampiri Profesor Wen Shuyuan yang tengah memeriksa salinan kontrak kerja sama. Mereka berjabat tangan dengan hormat, dan dengan bahasa yang sederhana namun tulus, Pak Toni berkata, “Terima kasih, Profesor, atas kepercayaan Anda pada perusahaan kecil kami.”

Wen Shuyuan membalas dengan anggukan bijak. “Kecil bukan berarti tak besar pengaruhnya. Saya percaya pada teknologi yang lahir dari keterbukaan terhadap masa lalu,” ujarnya.

Kontrak pun disepakati sepenuhnya. Klausul-klausul yang diajukan PT. Sinar Ultraviolet diterima tanpa revisi: penyediaan lahan dan fasilitas di Tiongkok, kelengkapan legalitas kantor cabang, peran aktif sebagai penghubung dengan investor, regulator, dan akademisi, serta komitmen penuh pada kerahasiaan dan keamanan teknologi teleportasi. Setiap penemuan baru wajib dilaporkan secara berkala—bukan hanya sebagai bentuk akuntabilitas, tetapi juga sebagai tanggung jawab terhadap sejarah itu sendiri.

Sebagai kepala cabang, Wen Shuyuan akan menerima bagian dari pendapatan teleportasi, bukan sekadar sebagai imbalan kerja, tetapi sebagai bagian dari simbiosis pengetahuan dan kepercayaan.

Sambil tersenyum, Profesor Wen menambahkan satu bentuk keramahan pribadi: “Jika suatu saat Anda, Pak Toni, atau Jatmika ingin mengunjungi Tiongkok, Anda boleh tinggal di mana pun yang saya miliki. Anggap saja itu bentuk kecil dari sambutan saya.”

Sementara percakapan itu berlangsung, Jatmika mengakses terminal kontrol untuk memeriksa status tim yang masih berada di luar laboratorium. Nama Billy muncul dalam daftar yang belum kembali. Ia meminta konfirmasi pada Ny. Tien, yang segera memberi laporan: “Satu peserta dari tim Billy mengalami kelelahan fisik. Saya akan melakukan pemulangan manual sekarang.”

Di dalam ruang teleportasi yang disterilkan, artefak lampu kembali memancarkan cahaya keemasan. Bola-bola listrik bermunculan, seolah menganyam geometri waktu dan ruang. Suara statis meningkat, lalu dengan satu kilatan petir yang tajam namun bersih, seluruh anggota tim Billy muncul di tengah lingkaran energi.

Jatmika segera masuk ke ruang pemulihan, memeriksa satu per satu peserta dengan senter dan sensor biometrik. Tak ada tanda-tanda bahaya. Namun seperti prosedur biasa, ia bertanya, “Apakah ada kejadian yang perlu dicatat selama di gua?”

Seorang pemandu dari tim Billy menjawab, “Ada seorang peserta yang menyentuh batu biru yang menonjol dari dinding. Ia mencoba mencabutnya, mungkin mengira itu artefak. Tapi batu itu licin, dan ia kehilangan pijakan. Terjatuh dari ketinggian dua meter. Pergelangan kakinya terkilir.”

“Apakah sudah ditangani?”

“Sudah. Ia menerima perawatan dasar, dan kini tampak pulih. Ia bahkan bersikeras tidak mau merepotkan tim medis.”

Jatmika mencatat laporan itu. Dalam benaknya, insiden itu bukan sekadar kecelakaan, melainkan sinyal bahwa gua-gua teleportasi mungkin memiliki mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti—mekanisme yang bukan hanya merespons alat, tapi juga niat.

Ia memandang artefak lampu yang kini telah padam, menyadari bahwa setiap kilatan bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga momentum sejarah yang sedang bergerak maju.


---
---

Tim pendamping dari kelompok Fahmi, Sherly, Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal belum juga kembali ke laboratorium. Sebagian besar telah berhasil dipulangkan, namun tujuh kelompok masih tertahan di titik teleportasi mereka masing-masing. Di ruang kendali, Ny. Tien melaporkan progres dan menatap layar monitor dengan ekspresi serius. “Tim Fahmi masih aktif di titik 50,” ucapnya.

Tanpa ragu, Jatmika menjawab, “Kirim saya ke lokasi mereka.”

Dengan seberkas cahaya keemasan dan suara petir yang menggelegar, tubuh Jatmika menghilang dari ruangan.

Ia tiba di koordinat titik 50, sebuah gua yang terletak di kawasan Nevados Ojos del Salado, Chili—gunung berapi tertinggi yang masih aktif di permukaan bumi. Dingin dan hening menyelimuti suasana, namun tak lama suara percakapan ramai terdengar dari lorong bagian dalam gua. Ia melangkah lebih dalam dan menemukan pemandangan yang tak kalah mencengangkan: ukiran di dinding menggambarkan seratus ksatria dalam posisi bersujud kepada Raja Alam Wardana—penguasa pertama kerajaan Mythopia, sebagaimana tercatat dalam teks-teks kuno yang belum seluruhnya diterjemahkan.

Artefak lampu di gua ini pun berbeda. Lebih besar, tersusun dari mineral berstruktur kristalin dan batuan jamrud yang tampak seperti menyimpan energi dalam lapisan geologisnya sendiri. Sebuah teknologi kuno yang seolah berasal dari masa yang belum dikenali sejarah.

Jatmika mendekati kerumunan peserta. Kebanyakan dari mereka bukan hanya pengunjung biasa, melainkan akademisi lintas disiplin: arkeolog, ahli sejarah kuno, dan pakar linguistik dari berbagai negara.

“Fahmi, kenapa belum kembali?” tanyanya dengan nada ramah.

Fahmi mendekat, wajahnya dipenuhi semangat namun juga keraguan. “Mereka sangat antusias. Beberapa mencoba menelusuri ruang-ruang gua lebih dalam, mencari pusat energi teleportasi. Tapi kami belum menemukannya. Gua ini menyimpan banyak teka-teki.”

Jatmika mengangguk. “Saya akan coba membuka pintunya.”

Ia berjongkok dan mulai menggambar segel kuno di lantai batu berpasir magnet, mengikuti metode yang sebelumnya berhasil di titik lain. Garis-garis simetris terbentuk, tapi tidak terjadi apa pun. Tidak ada suara, tidak ada pergerakan mekanis. Hening.

Beberapa peserta yang memperhatikan dari kejauhan mulai tertawa pelan. Salah satu dari mereka, seorang profesor dari Universitas Osaka, mendekat dan menunjuk pada satu bagian.

“Anda lupa satu titik di ujung segel,” katanya sambil tersenyum.

Satu titik. Detail sekecil itu. Jatmika menarik napas pelan, lalu menambahkan titik tersebut.

Hampir seketika, gemuruh lembut terdengar dari kedalaman gua. Batu-batu perlahan bergerak, menciptakan celah dan lorong menuju cahaya. Pintu keluar gua terbuka, dan cahaya dari langit Andes yang dingin menyinari wajah-wajah peserta.

Sorak gembira terdengar dari seluruh penjuru gua. Beberapa dari mereka bahkan memeluk satu sama lain—bukan hanya karena pintu terbuka, tapi karena menyaksikan langsung bahwa sejarah bukan hanya tulisan mati, melainkan perangkat aktif yang masih bisa berfungsi, bahkan bereaksi.

Namun, di tengah kegembiraan itu, ada satu kenyataan yang luput dari perhatian mereka. Gua ini berada di kawasan gunung api aktif. Walau tak menunjukkan gejala erupsi, tetap ada risiko tersembunyi. Beberapa peserta, setelah menyadari hal ini, memilih untuk segera kembali ke dalam gua.

Tanpa perlu aba-aba, tim dengan cepat bersiap untuk kembali.

Setelah satu per satu peserta kembali ke titik teleportasi, Ny. Tien mengaktifkan sistem pemulangan. Dalam pancaran cahaya keemasan yang membelah udara, seluruh tim dan peserta ditarik kembali ke laboratorium pusat.

Di ruang pemulihan, Jatmika kembali memeriksa kondisi peserta. Tak ada yang terluka, tak ada insiden serius, namun dalam pikirannya, ada satu pelajaran yang terus berulang: bahwa bahkan teknologi yang paling mutakhir sekalipun masih tunduk pada detail-detail kecil—titik pada segel, perubahan suhu, atau tempat yang salah di waktu yang nyaris tepat.

Dan dalam titik-titik kecil itulah sejarah, kesalahan, dan kemajuan terus berulang.


---
---

“Fahmi, kau sudah bekerja dengan baik. Sekarang saatnya istirahat dan nikmati jamuan makan bersama rombongan,” ujar Jatmika sambil menepuk bahu asistennya.

Setelah memastikan timnya dalam keadaan baik, ia menoleh ke arah Ny. Tien di ruang kendali.

“Ny. Tien, kirim saya ke titik selanjutnya. Tim Sherly belum kembali.”

“Baik. Koordinat terkunci. Lokasi: Gunung Monte Pissis, Argentina. Titik ke-60.”

Dalam sepersekian detik, cahaya kuning keemasan muncul, membungkus tubuh Jatmika. Dengan semburat listrik statis di udara dan dengung resonan dari ruang hampa, ia menghilang.

Ketika Jatmika tiba, suhu di sekelilingnya lebih rendah dari biasanya. Ia berdiri di bibir sebuah gua yang tampak terbentuk dari perpaduan proses vulkanik dan mekanisme yang tidak sepenuhnya alami. Struktur lorong gua melingkar, seperti terancang oleh logika yang menggabungkan estetika dengan fungsi.

Ia mulai berjalan, mengikuti jejak langkah yang samar di debu gua. Lorong itu seakan-akan memutar dirinya, memisahkan waktu luar dan waktu dalam. Setelah beberapa menit berjalan, ia tiba di sebuah ruangan besar.

Ruangan itu... luar biasa.

Di tengahnya berdiri sebuah meja batu bundar, tidak seperti meja kerajaan dalam sejarah manusia—tetapi lebih menyerupai dewan waktu, tempat keputusan tidak dibuat untuk hari ini, melainkan untuk berabad-abad ke depan. Di tengah meja tertanam sebuah permata berkilau, dengan bias warna yang sulit dijelaskan—bukan hanya merah, tapi merah yang seakan hidup. Di sekelilingnya, berdiri kursi-kursi batu dengan sandaran yang tinggi, masing-masing dihiasi batu ruby seukuran kepalan tangan.

Di atas setiap kursi, terasa seolah ada bayangan tak kasatmata. Sejarah. Atau mungkin... ingatan.

Para peserta dari tim Sherly sedang berkumpul di sekeliling meja, berdiskusi dengan penuh semangat tentang keajaiban kerajaan Mythopia. Bagi mereka, ini bukan sekadar eksplorasi ilmiah, melainkan penemuan yang menyentuh batas antara mitos dan realitas. Kerajaan yang tidak tercatat di buku sejarah manapun, namun hadir begitu nyata di hadapan mereka.

Jatmika mendekati Sherly.

“Bagaimana kalian bisa menemukan ruangan ini?” tanyanya pelan.

Sherly menoleh, matanya masih penuh takjub.

“Seseorang dalam tim berhasil memecahkan pola ukiran di artefak dinding. Gambar itu seperti teka-teki simbolik—begitu disusun dengan benar, dindingnya bergeser, dan pintu ini terbuka.”

Ia lalu berbisik, hampir seperti anak kecil yang sedang curhat.

“Meja itu... kau tahu kan, betapa mahalnya jika dijual?”

Jatmika tersenyum lebar, memainkan candanya dengan nada serius.

“Air liurku saja hampir menetes, melihat batu ruby sebesar itu di sandaran kursi. Tapi setiap batu yang kita ambil bisa jadi satu kunci yang hilang. Mungkin batu itu tidak hanya berharga secara materi.”

Sherly mengangguk. Ia paham.

“Sudah saatnya kita kembali,” ujar Jatmika. “Kita terlalu lama di sini. Tempat ini… bukan hanya gua. Ini warisan. Dan warisan bukan untuk dimiliki, tapi untuk dijaga.”

Sherly memanggil timnya. Dengan enggan, mereka meninggalkan kursi dan meja batu yang seperti menunggu sesi dewan selanjutnya. Jatmika menekan komunikator di pergelangan tangannya.

“Ny. Tien, lokasi aman. Siap untuk pemulangan.”

Beberapa detik kemudian, ruang gua dipenuhi kilatan emas. Suara listrik menyambar ringan, dan para peserta satu per satu menghilang dari tempat itu, kembali ke laboratorium pusat.

Gua kembali sunyi.

Dan Jatmika tahu, di balik kesunyian itu, sejarah masih menunggu untuk ditemukan—bukan untuk dijual, tapi untuk dimengerti.


---

---
Laboratorium pusat perlahan mulai lengang, namun layar holografik di ruang kendali masih menampilkan lima titik yang aktif. Kelompok Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal belum kembali.

"Masih ada lima kelompok lagi, Ny. Tien?" tanya Jatmika sambil mengenakan baju astronot dengan emblem perusahaan di dada.

"Ya. Titik terakhir menunjukkan stabil, tapi tidak bergerak ke arah portal pulang. Kemungkinan mereka terlalu fokus dengan apa pun yang mereka temukan," jawab Ny. Tien.

Jatmika mengangguk pelan. “Kirim saya ke titik Sharon dulu. Kita jemput mereka satu per satu.”

Dengan cahaya keemasan dan ledakan elektromagnetik kecil, tubuh Jatmika lenyap dari ruang kendali.


---

Ia tiba di dalam gua yang terletak di kawasan Altai, Mongolia. Cahaya redup dari artefak lampu memantulkan kilatan merah dari sesuatu yang besar dan berkarat.

Sharon sedang berdiri dengan helm terbuka, berbicara dengan peserta dari Tiongkok yang menunjuk ke arah dinding batu.

“Sharon,” panggil Jatmika.

Sharon menoleh. “Pak Jatmika! Anda harus lihat ini. Mereka menemukan zirah besi tua. Ukurannya sangat tidak biasa, hampir dua meter tingginya.”

Jatmika mendekat. Di sana, dalam pelukan batu dan lumut, tergeletak setelan zirah penuh dengan ornamen berbentuk spiral dan pola-pola geometris. Di sampingnya, pedang besar dengan bilah berwarna abu kehijauan tertancap separuh ke lantai gua.

“Apakah ini senjata manusia?” tanya Jatmika setengah kepada Sharon, setengah kepada dirinya sendiri.

“Saya tidak yakin. Tapi menurut peserta dari tim kami, ukiran pada zirah ini mirip simbol yang pernah ditemukan di Dinasti Xia, tapi dengan struktur logam yang jauh lebih maju,” jawab Sharon.

Seorang peserta dari Beijing mendekat. “Kami menyebut ini ‘besi yang tak mungkin’. Logam seperti ini tak bisa ditempa dengan teknologi saat itu. Tapi benda ini ada, lengkap, dan nyata.”

Jatmika memandangi zirah itu sekali lagi. Di kepalanya muncul pertanyaan: apakah teknologi masa lalu lebih kompleks dari yang selama ini diyakini, atau apakah sejarah telah kehilangan terlalu banyak fragmen untuk didekonstruksi secara linier?

“Waktu kita terbatas. Catat dan dokumentasikan dengan pemindai, kita harus kembali.”

Sharon mengangguk. Jatmika memberi sinyal ke Ny. Tien. Dalam kilatan cahaya, mereka semua menghilang.


---

Titik kedua: Lembah Nubra, Himalaya Barat.

Lisa dan timnya sedang berkumpul di sekitar sebuah batang kayu berukir yang berdiri tegak di tengah ruangan batu. Di ujung tongkat itu tertanam batu merah delima yang berdenyut pelan, seolah menyimpan napas.

“Tongkat ini beresonansi dengan artefak lampu saat kami mendekatkannya. Saya rasa ini adalah alat pengarah... atau semacam kunci,” kata Lisa sambil menunjuk fluktuasi medan magnetik di layar tablet transparannya.

“Apakah ada teks?” tanya Jatmika.

“Satu kalimat. Ditulis dalam bahasa Sanskrit kuno: ‘Yang membawa cahaya, biarlah ia mengarahkan jalan raja.’”

“Batu ini menyimpan energi. Seperti artefak, tapi lebih terfokus. Mungkin dulu digunakan untuk memanipulasi sistem teleportasi.”

Lisa memutar tongkat itu ke arah dinding. Sekilas, artefak lampu menyala lebih terang.

Jatmika menghela napas. “Hebat. Tapi kita harus pulang. Waktunya hampir habis.”


---

Titik ketiga: Guiana Highlands, Amerika Selatan.

Aska duduk bersila di depan sebuah altar batu. Di atas altar, tergeletak pedang dengan bilah tipis, melengkung seperti sabit. Cahaya dari artefak memantulkan kilau ungu dari sisi bilahnya.

“Ini bukan hanya senjata,” kata Aska tanpa menoleh. “Ini... instrumen musik. Kami coba mengetukkan pelan ke batu, dan menghasilkan resonansi seperti suara dawai.”

Peserta lain mengangguk. “Pedang ini tampaknya punya dua fungsi: membelah udara dan membelah suara. Salah satu peserta mencatat notasi musik di dinding yang sepertinya berhubungan.”

Jatmika mengangkat pedang itu pelan. Pedangnya ringan—nyaris tidak berbobot. Ia memikirkan sejarah bukan hanya sebagai kumpulan data, tetapi sebagai simfoni yang tercatat dalam benda-benda.

“Kita harus kembali,” katanya.


---

Titik keempat: Gua bawah tanah di Kepulauan Faroe.

Hafiez dan timnya tengah membuka sebuah lemari batu. Di dalamnya: puluhan senjata. Namun tak satu pun terbuat dari logam yang dikenal. Ada bilah seperti kaca yang tak bisa dipatahkan, dan tombak kayu dengan inti bercahaya dari dalam.

“Senjata... atau simbol kekuasaan?” tanya Jatmika.

“Saya rasa keduanya. Tapi bukan untuk perang. Mereka terlalu halus. Mungkin ini... tanda hierarki,” jawab Hafiez.

“Ambil dokumentasi. Simpan koordinat. Kita harus pulang.”


---

Titik kelima: Terowongan berlapis kristal di bawah Laut Hitam.

Novrizal berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh artefak melayang yang berpendar.

“Mereka aktif ketika kami bernyanyi,” ucap Novrizal pelan. “Salah satu peserta membaca puisi kuno, dan tiba-tiba semua artefak ini bergetar. Mereka... merespons suara manusia.”

Jatmika mendekat. “Apakah ini semacam sistem keamanan atau komunikasi?”

“Entahlah. Tapi saya tahu satu hal: kita baru menyentuh permukaan sejarah ini.”


---

Kembali di laboratorium, seluruh tim telah berkumpul. Artefak-artefak tercatat, data terkumpul. Di layar holografik, jam sistem menunjukkan 00:00. Batas waktu telah habis.

Ny. Tien mematikan sistem teleportasi untuk hari itu.

Jatmika berdiri diam di tengah ruangan, menyerap keheningan yang kini memenuhi laboratorium.

Mereka semua membawa pulang lebih dari sekadar temuan. Mereka membawa pulang pertanyaan—pertanyaan tentang siapa yang menciptakan semua itu, untuk siapa, dan mengapa mereka memilih untuk meninggalkannya.

Teknologi teleportasi telah membuka pintu. Tapi yang ada di baliknya bukan hanya tempat baru. Melainkan sejarah yang hidup, menunggu untuk dibaca kembali.


---
.
---

Evaluasi Setelah Teleportasi: Sebuah Laporan Tak Lengkap

Di tengah aroma sate ayam, wedang jahe yang masih mengepul, dan riuh rendah percakapan dari berbagai bahasa, para pemandu dan peserta duduk melingkar dalam suasana yang tak sepenuhnya santai. Mereka sedang menyantap makan siang, namun di balik sendok dan gelas, ada kesadaran kolektif: sesuatu telah berubah. Bukan hanya tentang apa yang telah ditemukan, melainkan tentang apa yang belum mereka mengerti.

Jatmika berdiri perlahan, menyampaikan pengumuman dengan suara yang tenang tapi cukup untuk menghentikan percakapan.

“Dari total seratus titik teleportasi yang telah diprogram, kita hanya berhasil menjangkau titik ke-64. Sisanya, tiga puluh enam titik, akan dijadwalkan ulang sebulan mendatang. Ini bukan keputusan sepihak, melainkan hasil dari kalkulasi sistem teleportasi yang saat ini mulai menunjukkan gejala kelebihan muatan.”

Ny. Tien menambahkan, sambil memproyeksikan grafik data ke layar lengkung transparan di atas meja makan: deteksi kelelahan neurologis ringan pada mayoritas peserta, fluktuasi sinaptik selama proses teleport, dan pembentukan residu energi tak dikenal di titik-titik teleport tertentu.

"Teleportasi ditunda, bukan dihentikan," ujar Ny. Tien singkat, seolah mengingatkan bahwa bahkan mesin pun butuh istirahat.

Namun, kabar baik pun hadir, menyusup di antara jeda logika dan kelelahan fisik. Perusahaan, yang awalnya hanya digerakkan oleh idealisme sekelompok ilmuwan Indonesia, kini mendapatkan suntikan investasi sebesar 1 triliun rupiah. Dana itu akan digunakan untuk mendirikan kantor cabang di berbagai negara. Tapi lebih dari sekadar ekspansi bisnis, kantor-kantor ini akan menjadi simpul distribusi dari artefak paling misterius yang mereka miliki: lampu teleportasi.

“Dan ternyata,” kata Jatmika sambil menyesap wedang jahe, “lampu itu bukan sekadar perangkat perpindahan spasial.”

Ia memandang ke arah Novrizal, yang mengangguk pelan sebelum menjelaskan.

“Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—baik dari struktur material maupun dari sumber tenaganya. Beberapa peserta dari Tiongkok menduga teknologi ini bukan berasal dari bumi. Dan jika benar, maka ini bukan lagi eksplorasi, tapi perbatasan baru dari pemahaman umat manusia.”

Sementara itu, diskusi berkembang dari ruang logika ke ruang mitologi.

Billy mengungkapkan: “Beberapa peserta mendapati peti mati yang diduga tempat peristirahatan para ksatria Mythopia. Ada tameng suci. Ada keris Raja Isidore. Tapi... apa yang mereka jaga?”

“Dan lebih penting lagi, apa yang mengalahkan mereka,” ujar Sharon, dengan nada yang setengah bercanda, setengah bertanya pada sejarah yang tak tercatat.

“Dalam kisah para peserta dari Tiongkok,” sambung Sherly, “disebut bahwa dahulu ada seratus ksatria Mythopia. Tak terkalahkan. Namun di akhir sejarah, hanya tersisa sepuluh. Yang lain hilang. Lenyan.”
Ia berhenti sejenak. “Mungkinkah mereka dikalahkan oleh kekuatan dari aliansi Majapahit sendiri? Atau oleh entitas yang bahkan tidak mengenal waktu seperti yang kita pahami?”

Di tengah percakapan serius itu, Hafiez menyuarakan keprihatinan yang lebih praktis. “Kalau teleportasi diundur sebulan penuh, bagaimana jika para peserta tidak menerima?”

Jatmika mengangguk, sudah memikirkan hal itu. “Kita siap mengembalikan dana mereka sepenuhnya. Tapi lebih penting dari semua itu: kita harus memastikan barang-barang berharga yang ditemukan tetap aman. Gua-gua itu bukan sekadar museum. Mereka adalah sistem yang hidup. Dan seperti semua sistem yang hidup—ia bisa rusak, atau lebih buruk lagi, ia bisa dilukai.”

Ia menatap semua yang hadir, suaranya lebih rendah kali ini.

“Ada ruangan-ruangan yang belum kita buka. Ada segel yang belum kita baca. Mungkin ada kebenaran yang belum siap diungkap. Tapi kalau kita tidak berhati-hati, bisa jadi bukan hanya penemuan yang hilang. Tapi juga kepercayaan.”

Di luar jendela laboratorium, langit berwarna jingga keemasan. Senja. Waktu transisi. Batas antara terang dan gelap.

Sama seperti teleportasi itu sendiri.


---