---
Misi Ketiga: Menuju Mata Air Terlarang
Di bawah rindang pohon raksasa yang akar-akarnya menjalar bagaikan urat bumi, Pandika berbaring bersandar, membiarkan lelah merayapi raganya. Embusan angin malam membawa aroma tanah lembap, sementara cahaya rembulan menyusup di antara celah dedaunan, menorehkan kilau pucat di wajahnya yang letih.
Namun ketenangan itu terputus ketika suara dalam, sedikit serak namun tegas, memanggil dari samping.
"Sudah cukup kau terlelap, Pandika. Waktumu di sini terlalu lama. Bangun, kita harus pergi," ujar Si Maung, matanya berkilat seperti bara di kegelapan.
Pandika mengerang pelan, lalu duduk dengan wajah menahan nyeri.
"Aduh… badanku sakit semua," keluhnya sambil menatap lengan yang tergores dalam. Dari luka itu, cairan keruh merembes perlahan.
"Luka ini… mengeluarkan nanah. Sepertinya cakarnya mengandung racun."
Si Maung mendengus pendek, lalu menatap jauh ke utara.
"Jika begitu, kita tak punya banyak waktu. Aku akan membawamu ke Gunung Rinjani. Di sana, di puncak yang diselimuti awan abadi, mengalir air suci bangsa peri. Hanya air itulah yang mampu menawar racun ini."
Pandika menatapnya, kebingungan bercampur keraguan.
"Aku bahkan tak tahu di mana letaknya. Aku belum pernah ke sana."
Sekilas senyum nakal terlukis di wajah Si Maung.
"Kau bisa naik ke pundakku."
Pandika terbahak, meski nyerinya membuat tawa itu terpotong.
"Kau bercanda? Tubuhmu sekecil itu mau kutunggangi? Nanti kau remuk."
"Pokoknya naik saja," balas Si Maung, matanya menyipit seolah tak mau dibantah. "Kau ini bawel sekali."
Menghela napas, Pandika pun mencoba menuruti kemauan sahabatnya itu. Ia berdiri dengan langkah berat, lalu dengan gaya jenaka seperti hendak menaiki seekor kuda, ia mengangkat kaki. Namun sebelum ia sempat menapak, tubuh Si Maung bergetar—bulunya berdiri, matanya menyala seperti purnama, dan cahaya perak menyelubungi seluruh sosoknya.
Dalam sekejap, sang kucing mungil itu menjelma menjadi seekor serigala raksasa—bahunya setinggi dada Pandika, taringnya bagaikan bilah gading, dan bulunya berkilau seakan ditempa dari cahaya fajar.
Si Maung menundukkan tubuhnya.
"Naiklah, Pandika. Malam ini, kita akan menembus hutan purba menuju tanah terlarang."
---
---
Perjalanan ke Segara Anak
Bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busur dewa, Si Maung melesat menembus hutan pinus dan jati. Nafasnya berembus seperti kabut tipis di pagi buta, sementara tapak kakinya nyaris tak meninggalkan jejak. Sesekali, tubuhnya lenyap ke dalam bayangan, seolah ia tak lebih dari hembusan angin yang berlari di antara batang-batang pohon. Ada kalanya ia melompat ke cabang-cabang raksasa, berlari di atasnya seperti seekor roh penjaga hutan.
Pandika, yang bertengger di punggung sang makhluk, berpegangan erat pada bulu lehernya yang tebal. Kecepatan lari Si Maung membuat dunia di sekeliling mereka menjadi garis-garis kabur — hutan, sungai, bahkan laut pun mereka seberangi, sebab kaki Si Maung mampu berlari di atas permukaan air seperti menjejak kaca yang tenang.
Saat mereka mencapai bukit berpasir, langkah Si Maung melambat. “Sebentar lagi,” ujarnya, suaranya berat namun lembut, “kita akan tiba di Danau Segara Anak.”
“Apakah itu tempat mata air suci yang dijaga bangsa peri?” tanya Pandika, matanya menatap puncak gunung yang diselimuti awan.
“Iya, bisa dibilang seperti itu,” jawab Si Maung singkat.
Namun, keheningan yang menyelimuti tempat itu membuat Pandika heran. “Di manakah para peri? Mengapa sepi sekali di sini?”
“Lebih baik kau istirahat. Tidurlah… perjalananmu panjang,” kata Si Maung.
Kelelahan menguasai Pandika. Ia merebahkan diri di tepi danau, di mana air memantulkan cahaya bulan laksana cermin perak. Mimpi pun datang — ia bermain lompat tali bersama bidadari yang tertawa lembut di bawah cahaya bintang.
Namun, kabut mulai turun dari hutan, menyelimuti tepian air. Dari dalam kabut itu, muncul rombongan peri. Mereka cantik dan anggun, tetapi di mata mereka berkilat sesuatu yang dingin. Laksmiranindya Kirana, sang peri berambut seputih embun, mendekat sambil membawa tali emas. Dengan gerakan halus namun tegas, ia mengikat tubuh Pandika yang tertidur lelap.
Peri Wulanratih Sekarwangi menatap Si Maung dengan senyum penuh rahasia. “Terima kasih, wahai pembawa persembahan. Usahamu tidak sia-sia.”
Cempakalirna Dewimaya menjilat bibirnya. “Aku sudah tak sabar mencicipi daging darah bangsawan ini.”
Namun Nirwasitasari Kalacandra mengangkat tangannya. “Tunggu. Ia terluka… cakar racun telah mengenainya. Biarkan kita mengobatinya. Setelah ia gemuk, barulah kita santap.”
Si Maung menunduk. “Dia bukan bangsawan, tapi calon ksatria dari Kerajaan Cakram.”
Kalyana Mahindrawari mengernyit, suaranya tajam seperti ujung tombak. “Calon ksatria? Dari kerajaan tak ternama? Aku mengira kau membawa anak raja, atau setidaknya bangsawan. Ini—hanya seorang petani!”
Pertengkaran mereka memecah keheningan hutan, hingga Pandika terbangun. Namun tubuhnya tak mampu bergerak; tali emas peri telah membelenggunya.
---
Di Antara Peri dan Bayangan Mimpi
Pandika terjaga, namun pikirannya terombang-ambing antara sadar dan mimpi. Dunia di sekelilingnya bagaikan lukisan hidup — kabut perak melayang di udara, aroma bunga liar memenuhi napas, dan di hadapannya berdiri para wanita jelita bermahkota cahaya. Namun, tubuhnya terikat tali emas yang dingin, memantulkan sinar bulan.
Dengan suara yang sedikit gemetar namun penuh hormat, ia berkata,
“Mohon maaf… apakah kalian bangsa peri? Aku Pandika, hanya rakyat jelata, mengembara demi menunaikan misi sebagai calon prajurit Kerajaan Cakram.”
Kalyana Mahindrawari, peri bermata laksana batu nilam, memandangnya dengan raut bingung. “Rakyat jelata? Calon prajurit yang bahkan belum diangkat? Oh, Maung… apakah kau sekali lagi menangkap orang yang keliru?”
Sebelum Si Maung sempat menjawab, dari balik kabut muncullah seorang perempuan dengan mahkota halus seperti anyaman bintang, memegang tongkat berujung kristal biru. Matanya memancarkan kebijaksanaan yang menembus jiwa. Dialah Safiranindya Parameswara, Ratu Peri dan penjaga rahasia gunung.
Dengan suara yang lembut namun berwibawa, ia berkata,
“Lepaskan ikatan itu. Ia bukan mangsa, melainkan seorang pengembara yang tersesat.”
Tali emas pun longgar, jatuh ke tanah seperti ular berkilau. Pandika segera bersujud, menundukkan kepala hingga menyentuh tanah berlumut.
“Hamba berterima kasih, Ratu yang mulia. Aku datang mencari air suci untuk mengobati tanganku… racun dari cakar monster telah meresap ke dalam darahku.”
Safiranindya menatapnya lama, seakan membaca riwayat hidupnya dari sorot mata. Kemudian ia memberi perintah pada para peri pengikutnya,
“Bawalah ia ke mata air yang tersembunyi di jantung hutan. Biarkan air mancur ajaib itu membersihkan lukanya, agar ia dapat melanjutkan perjalanannya.”
Namun bisik-bisik segera pecah di antara para peri. Beberapa memperdebatkan di mana Pandika akan beristirahat, sebab jarang sekali lelaki diizinkan tinggal di wilayah mereka.
Ratu Safiranindya mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan itu.
“Ia akan beristirahat di rumahku. Dan lebih dari itu…” ia menatap Pandika dengan tatapan yang dalam dan misterius, “…ia akan menjadi penabur benih masa depan bangsaku.”
Tak seorang pun berani membantah. Udara terasa lebih berat, dan Pandika menyadari bahwa tak semua keputusan para peri adalah anugerah — sebagian adalah takdir yang sulit dielakkan.
---
Malam di Istana Kabut
Sore merayap turun ke lembah, menumpahkan warna emas dan ungu di permukaan Danau Segara Anak. Kabut tipis mulai berkumpul di permukaan air, seperti roh-roh kuno yang bangkit dari tidur panjangnya. Dari kejauhan, Pandika melihat bayangan sebuah istana yang tak dibangun dari batu, melainkan dari cahaya dan kabut yang menari. Pilar-pilarnya terbuat dari pohon hidup berbalut lumut perak, sementara atapnya menjulang seperti sayap kupu-kupu raksasa yang membeku di udara.
Safiranindya Parameswara memimpin langkah, gaunnya menyapu tanah tanpa suara, meninggalkan jejak aroma melati liar. Si Maung berjalan di belakang Pandika, seolah memastikan ia tidak lari—atau mungkin memastikan ia tidak hilang.
Ketika Pandika melangkah ke dalam istana, udara berubah: hangat, harum, namun berat seperti di dalam mimpi. Lantai berkilau bagaikan air, dan di atasnya mengambang bunga-bunga bercahaya yang tak pernah layu.
Para peri berbaris di sisi lorong, memandangi Pandika dengan tatapan bercampur ingin tahu dan waspada. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, seakan kata-kata tak layak diucapkan di hadapan tamu yang akan menjadi bagian dari takdir bangsanya.
Ratu membawanya ke sebuah ruangan bundar di puncak menara. Dari jendela terbuka, bulan purnama tampak begitu dekat, seolah ia hanya perlu mengulurkan tangan untuk meraihnya. Di tengah ruangan berdiri sebuah ranjang yang terbuat dari anyaman daun berlapis sutra tipis, memantulkan cahaya perak bulan.
“Di sinilah engkau akan beristirahat malam ini,” ujar sang Ratu, suaranya lembut namun membawa sesuatu yang tidak dapat Pandika tolak.
Pandika mencoba berbicara, namun kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ada perasaan aneh—antara kehormatan, rasa takut, dan sebuah kesadaran bahwa ia kini berada di luar kendali nasibnya sendiri.
Safiranindya mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh perban di tangan Pandika.
“Air suci akan menyembuhkanmu… namun darahmu akan menyembuhkan sesuatu yang lebih besar di bangsaku.”
Mata Pandika menatap matanya, mencari jawaban, namun yang ia temukan hanyalah kedalaman tak terukur—seperti langit malam tanpa bintang.
Di luar, angin pegunungan membawa suara nyanyian lembut para peri, lagu kuno yang berbicara tentang pengorbanan dan kelahiran kembali. Pandika menyadari bahwa malam itu tidak hanya akan menguji tubuhnya… tetapi juga jiwanya.
---
---
Ritual di Mata Air Bintang
Fajar belum tiba ketika Pandika terbangun. Udara di kamarnya dipenuhi aroma segar dedaunan basah dan wangi bunga yang tidak pernah ia kenal. Safiranindya Parameswara berdiri di ambang pintu, jubahnya berkilau oleh cahaya bintang yang terakhir sebelum fajar.
“Sudah saatnya,” katanya singkat.
Pandika mengikuti sang Ratu menuruni lorong-lorong istana kabut. Tidak ada suara langkah, hanya gema napas mereka di udara dingin. Mereka keluar melalui gerbang belakang, menuju sebuah jalur batu yang diapit pepohonan tinggi. Di antara daun-daun gelap, kunang-kunang hijau berkumpul, membentuk lingkaran cahaya yang memandu jalan.
Akhirnya mereka tiba di sebuah gua terbuka. Di dalamnya, sebuah kolam kecil memantulkan cahaya langit yang penuh bintang—padahal mereka berada di bawah tanah. Airnya berkilau seperti cairan perak, dan di tengahnya mengalir sebuah mata air kecil, bening dan murni.
“Inilah Mata Air Bintang,” ujar sang Ratu, suaranya bergetar dengan hormat. “Satu tetesnya dapat menyembuhkan racun terburuk. Namun, agar air ini mau menerima perintah, ia harus mengenal jiwamu.”
Para peri muncul dari bayangan, masing-masing membawa kendi kristal. Mereka mulai melantunkan nyanyian kuno, suara mereka bergema lembut di langit-langit gua seperti doa yang telah diucapkan ribuan kali.
Safiranindya menatap Pandika, matanya setajam cahaya bulan. “Berdirilah di tengah kolam. Biarkan air menyentuh lukamu.”
Pandika melangkah masuk. Airnya sedingin es, namun entah mengapa terasa menenangkan. Saat air menyentuh tangannya yang bernanah, cahaya biru lembut mulai menyebar, menelan rasa sakit yang selama ini ia tahan.
Namun tiba-tiba, nyanyian para peri berubah nada—dari lembut menjadi berat, hampir menyerupai mantra pengikat. Air di sekeliling Pandika beriak tanpa angin. Dari dasar kolam, muncul pusaran cahaya, merayap ke atas tubuhnya.
Safiranindya mendekat ke tepi kolam. “Air ini tak hanya menyembuhkan, Pandika. Ia akan menandai dirimu—agar darahmu dan takdirmu menjadi bagian dari bangsa kami.”
Pandika mencoba bergerak, namun tubuhnya berat, seakan air itu sendiri menahannya. Dari pusaran, muncul bayangan wajah-wajah peri kuno, memandangnya dengan tatapan yang mengukur nilai jiwanya.
Dalam hati, Pandika bertanya-tanya… apakah ini benar-benar penyembuhan—atau awal dari ikatan yang tidak akan pernah bisa ia lepaskan?
---
Tanda dari Mata Air Bintang
Pusaran cahaya itu semakin kuat, membungkus Pandika seperti jubah hidup. Air yang semula dingin kini menghangat, seolah darah bumi sendiri mengalir di sekelilingnya. Dari kejauhan, dentang lonceng perak terdengar—padahal tak ada satu pun lonceng di gua itu.
Safiranindya mengangkat tongkatnya, ujungnya memancarkan cahaya putih keperakan. “Wahai Mata Air yang lahir sebelum cahaya pertama, kenalilah dia. Tautkan nadinya pada nadimu, agar langkahnya menyusuri jejak para penjelajah abadi.”
Air mendidih tanpa panas, lalu tiba-tiba merayap naik seperti tangan tak kasat mata, menempel di dada Pandika. Rasa hangat itu berubah menjadi nyeri yang menusuk. Pandika ingin berteriak, namun suaranya tenggelam di dalam gema mantra para peri.
Di balik kelopak matanya yang terpejam, gelap berubah menjadi hamparan cahaya. Pandika melihat dirinya berdiri di padang luas di bawah langit merah darah. Di kejauhan, sebuah kota berkubah emas terbakar, dan seekor naga raksasa berputar-putar di udara, sayapnya menutupi matahari.
Lalu, sosok-sosok muncul dari kabut—wajah-wajah yang belum pernah ia kenal namun terasa akrab: seorang perempuan berpedang dengan mata seperti malam tanpa bintang, seorang anak kecil memegang obor yang tak padam meski diterpa badai, dan di tengah mereka… dirinya sendiri, mengenakan zirah perak dengan lambang yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Namun bayangan itu retak seperti kaca, dan dari celahnya mengalir darah, bercampur dengan bisikan: “Takdirmu bukan milikmu seorang. Ia akan menuntut harga yang tak ingin kau bayar.”
Tiba-tiba cahaya sirna. Pandika terhuyung, namun Safiranindya menahannya dengan satu sentuhan di bahu. Di tempat nyerinya tadi, kini terukir sebuah tanda bercahaya: lingkaran dengan bintang bersudut tujuh di tengahnya.
“Itu adalah Tanda Perjanjian,” kata sang Ratu pelan. “Mulai hari ini, engkau bukan lagi hanya anak manusia. Air telah mengenalimu, dan kau tak akan pernah bisa mengingkarinya.”
Pandika menatap tanda itu, antara takjub dan takut. Ia merasakan kekuatan baru berdenyut di nadinya… namun di baliknya, ada sesuatu yang berat, seperti pintu besar yang baru saja terbuka—dan tidak akan pernah tertutup lagi.
Perpisahan dari Lembah Peri
Hari-hari di lembah bangsa peri mengalir bagaikan arus bening yang tak berbunyi. Pandika hampir lupa akan dentang waktu di luar sana; hutan yang melindungi negeri ini seperti menahan nafas dunia luar. Namun di lubuk hatinya, ia tahu—misinya belum usai.
Maka ia pun menghadap Sang Ratu Safiranindya untuk memohon izin berangkat. Namun sebelum ia sempat mengucapkan salam perpisahan, sang Ratu menatapnya dengan mata yang memantulkan cahaya bintang, lalu bersuara lembut namun sarat beban masa silam.
“Pandika,” ucapnya, “dahulu, sebelum kakimu menginjak tanah ini, pernah datang seorang ksatria agung. Namanya Prabu Galang Siwah, penguasa seni tempur yang tiada tanding, dan pengendali magis setara para bijak tertua. Di setiap pertempuran, ia selalu berada di garda terdepan; banyak musuhnya yang gugur di ujung pedang dan sorot matanya. Namun pada akhirnya, rasa lelah merayapi jiwanya, dan ia memilih menetap di sini, jauh dari bau darah dan pekik perang.”
Ratu menghela nafas panjang, seakan ingatan itu menorehkan luka yang belum sembuh.
“Namun tak lama, datanglah seorang bangsawan dari kerajaan yang tak dikenal. Entah apa yang dibisikkan padanya, Prabu Galang pergi tanpa sepatah kata, lenyap dari mata kami… dan hingga kini, ia tak pernah kembali. Jika engkau menemuinya di luar sana, sampaikanlah pesan ini—bahwa aku masih menunggu.”
Pandika menunduk, hormat pada kisah itu. “Ampun, Paduka Ratu, hamba tak dapat tinggal lebih lama. Misi hamba memanggil, dan jalan yang telah kupilih harus kutempuh hingga akhir.”
Sang Ratu bangkit dari singgasananya. Dari peti perak berukir daun telinga rusa, ia mengeluarkan sebilah pedang. Bilahnya berkilau bagai cahaya bulan di puncak salju, dan pada gagangnya terukir huruf-huruf kuno bangsa peri.
“Terimalah Linduparama,” kata Safiranindya, “pusaka dari leluhur kami, yang pernah menempa senjata para pahlawan di zaman purba. Semoga bilah ini menjadi perisai dan penuntunmu, hingga kau dapat kembali dengan selamat.”
Dengan penuh hormat, Pandika menerima pedang itu, merasakan getaran halus mengalir dari gagangnya ke nadinya.
Di bawah naungan pepohonan raksasa, Si Maung telah menanti. Ia akan menjadi penuntun Pandika keluar dari negeri yang tersembunyi ini, kembali ke jalan panjang yang penuh bayang-bayang dan misteri.
Maka, dengan satu salam terakhir, Pandika meninggalkan lembah peri—membawa pedang yang berkilau, pesan seorang ratu, dan takdir yang kini semakin berat di pundaknya.
Jalan Keluar dari Lembah yang Terlindung
Kabut pagi masih bergelayut di pucuk pohon ketika Pandika menoleh terakhir kalinya ke arah lembah bangsa peri. Dari kejauhan, ia melihat bayangan Sang Ratu Safiranindya berdiri di ambang gerbang kristal, jubahnya berkibar perlahan bagai sayap angin. Di sampingnya, peri-peri pengawal berdiri diam seperti patung giok, sementara sinar matahari pertama menyinari menara-menara berukir batu zamrud.
Si Maung—kini dalam wujud serigala besar dengan bulu hitam berkilat—menundukkan kepala, memberi isyarat agar Pandika naik ke punggungnya. Tanpa suara, mereka bergerak menembus jalan setapak yang membelah hutan purba.
Pohon-pohon di sini jauh lebih tua dari segala yang pernah Pandika lihat; batangnya lebar, kulitnya berlapis lumut keperakan, dan dari cabang-cabangnya menggantung akar-akar bercahaya bagai benang bintang. Udara terasa berat, seolah mengandung bisik-bisik dari zaman sebelum manusia pertama dilahirkan.
Namun perjalanan keluar tidaklah mudah. Jalan itu dijaga oleh Gerbang Cahaya, sebuah pusaran cahaya keemasan yang hanya akan terbuka bagi mereka yang diizinkan para penjaga hutan. Dari kegelapan pepohonan, muncullah sosok-sosok tinggi berjubah hijau tua, wajahnya tertutup topeng daun. Suara mereka terdengar seperti hembusan angin di dedaunan.
> “Kau membawa pedang leluhur kami,” kata salah satu penjaga, matanya memancarkan cahaya samar. “Maka kau akan diizinkan lewat… namun ingatlah, dunia di luar sini tidak mengenal belas kasihan seperti yang kau temui di lembah ini.”
Gerbang Cahaya bergetar, memekarkan lingkaran cahaya yang menelan kabut dan bayang-bayang. Begitu mereka melangkah masuk, Pandika merasakan hembusan udara dingin dan berat di dadanya—tanda bahwa mereka telah meninggalkan perlindungan magis bangsa peri.
Di luar, dunia tampak asing dan kelam. Lautan hutan berganti menjadi tebing curam, dan di bawah sana terbentang lembah berbatu yang dikuasai bayangan mendung. Dari kejauhan, Pandika dapat melihat kilatan petir yang membelah langit—sebuah pertanda bahwa badai besar sedang menunggu di arah perjalanan mereka.
Si Maung menoleh sekilas. “Kita sudah keluar… tapi ingat, ini baru permulaan.”
Maka mereka pun melanjutkan langkah, meninggalkan cahaya lembah peri, menuju dunia yang kini terasa jauh lebih sunyi—namun penuh dengan janji petualangan yang belum terungkap.
---
---
Di Kedai Pawon Adirenggo
Di jantung Kerajaan Apsari—sebuah negeri yang makmur oleh rempah-rempah dan hasil bumi—terdapat sebuah desa kecil bernama Salak. Di desa itu, para petani dan pedagang hidup dalam kesejahteraan, terutama setelah musim panen tiba. Udara sore hari dipenuhi aroma cengkeh, pala, dan kayu manis yang terbawa angin dari gudang-gudang penyimpanan.
Di tepi jalan desa berdirilah sebuah kedai makan sederhana namun masyhur: Pawon Adirenggo Nyi Saras. Atap ilalangnya menjulang, dan dari tungku tanah liat mengepul asap wangi yang menggoda siapa pun yang lewat. Kedai itu hari ini dipenuhi pengunjung; bangku-bangku kayu penuh oleh para petani yang baru saja menjual hasil panennya, kantung-kantung koin tembaga bergemerincing di pinggang mereka.
Nyi Saras sendiri, seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah, berkeliling sambil mengantar pesanan. Tangannya cekatan, membawakan piring-piring berisi lalapan hijau segar, urap berbumbu kelapa, jukut sayuran hangat, serta ikan dan ayam bakar yang masih berasap, dipadu dengan minuman tuak manis dan es dawet yang dingin menyegarkan.
Di salah satu meja, duduklah seorang tamu asing. Pakaian perjalanannya usang oleh debu jalan, namun di pinggangnya tergantung sebuah pedang indah yang berkilau redup, seolah menyimpan kisah lama dari jauh. Di samping kakinya meringkuk seekor kucing hitam gemuk dengan mata kuning menyala—terlihat jinak, namun penuh rahasia. Di hadapannya tersaji hidangan semeja penuh, dan ia makan dengan tenang, seakan perjalanan panjangnya belum cukup untuk meredakan lapar.
Tak jauh dari situ, pintu kedai berderit terbuka. Masuklah seorang wanita muda berparas ayu, wajahnya tersembunyi di balik cadar tipis dan topi lebar. Di sampingnya berjalan seorang pendekar tegap, sorot matanya tajam, geraknya ringan namun menyiratkan kekuatan seorang ahli kanuragan. Mereka mengambil tempat di kursi dekat pemuda asing dan kucingnya, seolah sengaja memilih posisi itu.
Sementara itu, di sudut lain kedai, sekelompok pedagang tengah berbincang hangat. Suara mereka berbaur dengan denting gelas dan riuh para pengunjung.
> “Musim ini rempah melimpah, harga naik di pelabuhan,” ujar seorang pedagang berjanggut. “Tapi jalanan tak lagi aman. Bandit-bandit dari utara makin sering menyerang pedagang yang berjalan tanpa pengawalan.”
Seorang pedagang lain menunduk, wajahnya cemas. “Aku butuh pengawal untuk kafilahku… mungkin pemuda asing itu,” katanya, menuding halus ke arah pria dengan kucing hitam. “Lihatlah pedangnya. Bukan pedang orang biasa. Barangkali dia seorang pendekar.”
Riuh kedai perlahan mereda, seakan udara ikut memperhatikan kehadiran sang tamu misterius. Pedang di pinggangnya, kucing hitam di sisinya, dan tatapannya yang dalam membuat para pengunjung bertanya-tanya: siapakah sebenarnya orang itu, dan apa maksud kedatangannya di negeri yang damai ini?
---
Pertemuan di Kedai Pawon Adirenggo
Suasana kedai semakin padat, suara obrolan dan dentingan mangkuk berpadu dengan aroma rempah yang memenuhi udara. Pandika duduk tenang, menepuk lembut kepala Si Maung yang asyik menjilati kakinya di bawah meja. Pandika makan dengan sederhana, meski hidangan di hadapannya melimpah; ia tampak lebih seperti seorang pengembara yang bersyukur atas sesuap nasi ketimbang bangsawan yang memamerkan kelimpahan.
Beberapa pedagang yang duduk di sudut akhirnya bangkit dan menghampiri mejanya. Mereka menunduk singkat sebagai tanda hormat—bukan hormat pada gelar, sebab mereka belum mengenalnya, melainkan pada aura wibawa yang terpancar dari dirinya.
“Maafkan keberanian kami, Tuan,” ujar seorang pedagang berjanggut tebal, suaranya bergetar namun penuh harap. “Kami dengar jalanan menuju pelabuhan kerap diganggu gerombolan perampok. Kafilah kami membawa rempah dari panen musim ini, dan kami membutuhkan seorang pelindung. Pedang di pinggang Tuan menandakan bukan sembarang pengelana… apakah Tuan sudi menjadi pengawal kami?”
Pandika meletakkan cangkir tuaknya, menatap mereka dengan mata yang jernih. “Aku hanyalah seorang pengembara dari Kerajaan Cakram,” ujarnya lirih namun tegas. “Bukan ksatria ternama, bukan pula pendekar yang diagungkan. Namun bila niat kalian tulus dan jalan kalian benar, aku akan mempertimbangkannya.”
Sebelum para pedagang sempat menjawab, wanita bercadar yang tadi duduk bersama seorang pendekar tegap bangkit dari tempatnya. Gerakannya anggun, dan suara lembut namun berwibawa terdengar di seluruh kedai.
“Bukan sembarang pengembara, kulihat,” katanya, menatap Pandika dengan mata bening yang menyembul dari balik cadarnya. “Di setiap helai langkahmu tampak jejak seorang yang pernah berlatih dalam seni perang dan ketabahan. Namaku Dyah Ratnaswari, putri dari seorang ksatria Majapahit. Aku dalam perjalanan menuju tanah leluhurku, ditemani pengawal setia, Ki Wijangga.”
Pendekar tegap di sampingnya menunduk hormat.
Dyah Ratnaswari menatap Pandika lebih dalam. “Jika engkau memang benar seorang dari Cakram, maka takdir mungkin telah menuntun langkah kita untuk bertemu di sini. Jalan menuju Majapahit pun tak bebas dari bahaya. Barangkali, bila engkau bersedia, kita dapat berjalan bersama.”
Kedai hening sejenak. Semua mata tertuju pada Pandika, pemuda asing dengan kucing hitam di sisinya. Si Maung mendongak, matanya berkilau bagai bara api, seolah memahami beban pilihan yang akan diambil tuannya.
Pandika tersenyum samar. “Barangkali takdir memang menghendaki demikian,” ujarnya, seraya menggenggam gagang pedangnya. “Bila jalan kita searah, maka kita akan berjalan bersama—menjaga kafilah para pedagang, dan barangkali… menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar tujuan perjalanan.”
Suasana kedai kembali riuh, namun kini berbalut rasa takjub. Pertemuan itu, meski sederhana, terasa seperti awal dari sebuah kisah besar yang akan tercatat dalam ingatan banyak orang.
---
Perjalanan Menuju Majapahit
Pandika menerima permintaan para pedagang tanpa meminta upah, sebab dalam hatinya ia tahu—ia belum layak menyandang nama ksatria di tanah kelahirannya. Maka ia menganggap perjalanan ini sebagai jalan pembuktian dirinya. Para pedagang pun bersorak lega, sebab mereka percaya kini kafilah rempah mereka akan lebih terjaga.
Rombongan pun berangkat. Gerobak-gerobak besar berisi karung rempah ditarik oleh kerbau-kerbau yang sabar, roda-rodanya berderit menyusuri jalan berbatu. Di sisi rombongan itu, Dyah Ratnasari memilih berjalan kaki, meski kudanya dibawa oleh Ki Wijangga. Ia melangkah dengan tenang di samping Pandika, seolah ingin berbagi jalan dan nasib dengan pemuda asing itu.
Si Maung berjalan di depan mereka, sesekali mengendus tanah, sesekali melompat ke semak, seakan tahu dirinya kini bukan sekadar seekor kucing, melainkan penjaga kecil bagi perjalanan besar.
Dalam heningnya langkah, Pandika akhirnya membuka percakapan, suaranya dalam dan tenang.
“Aku sedang mencari seorang pendekar,” katanya. “Namanya Prabu Galang Siwah. Pernahkah kisanak mendengar nama itu?”
Dyah Ratnasari tersentak, matanya terbelalak di balik cadar tipisnya. “Prabu Galang Siwah…?” bisiknya, lirih namun penuh takjub. “Bagaimana engkau tahu nama itu? Dia adalah kakak dari ayahku—seorang ksatria agung Majapahit yang menghilang sejak ekspedisi ke tanah Melayu. Tak seorang pun mendengar kabarnya lagi, seakan ditelan bumi.”
Ia menatap Pandika dengan penuh selidik. “Apa hubunganmu dengannya? Apakah engkau mengenalnya?”
Pandika menggeleng perlahan. “Aku tak pernah mengenalnya. Namun aku membawa sebuah amanat… ada yang menitip pesan untuk menemukannya, bila ia masih hidup di jagat raya ini.”
Dyah Ratnasari menunduk, hatinya bergetar oleh ingatan pada kisah keluarganya yang hilang. Namun sebelum ia sempat menanggapi, Si Maung menggeram pelan, bulu-bulunya berdiri tegak.
Pandika menoleh ke arah hutan lebat di sekitar Gunung Salak. Awan tipis menggantung rendah di antara pepohonan, dan suara burung-burung mendadak sirna. Keheningan itu bukan pertanda baik.
Dyah Ratnasari menggenggam erat sarung pedangnya. “Hutan di Gunung Salak ini,” katanya dengan nada waspada, “terkenal menjadi sarang kelompok perampok. Kita harus berhati-hati.”
Ia mengangkat dagunya, sorot matanya berani. “Namun jangan takut, Pandika. Meski aku seorang perempuan, aku telah ditempa dalam seni bela diri sejak kecil. Jika bahaya menghadang, aku takkan bersembunyi.”
Pandika menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar, penuh hormat. “Keberanianmu, Ratnasari, tak kalah dengan para ksatria lelaki. Semoga benar kata-katamu, sebab aku merasa perjalanan ini baru saja membuka tabir dari ujian yang lebih berat.”
Dan seakan mengamini kata-kata Pandika, dari kejauhan terdengar sahutan samar—teriakan kasar, berpadu dengan gemerisik langkah kaki yang berat di semak belukar.
---
Perkemahan di Kabut Gunung Salak
Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan diselubungi kabut putih pekat. Pohon-pohon besar berdiri seperti bayangan raksasa yang bisu, sementara jalan di depan nyaris lenyap tertutup kabut. Roda gerobak berdecit, kerbau mendengus resah, dan tak seorang pun berani berjalan terlalu jauh dari rombongan.
Akhirnya Pandika mengangkat tangan, memberi tanda untuk berhenti. Suaranya terdengar mantap, meski udara dingin menusuk hingga ke tulang.
“Lebih bijak bila kita berkemah di sini malam ini. Kabut ini terlalu tebal, langkah kita hanya akan menjerumuskan ke bahaya.”
Para pedagang mengangguk lega meski wajah mereka pucat. Mereka segera menurunkan muatan, mengikat kerbau agar tak berkeliaran, dan mulai mendirikan tenda seadanya dari kain dan bambu yang dibawa. Bau rempah dari karung-karung yang tersimpan samar tercium, berpadu dengan aroma lembab tanah hutan.
Namun malam di hutan Gunung Salak bukan malam yang ramah. Dari kejauhan terdengar suara pekikan monyet, meraung panjang dan mendadak terputus. Menyusul kemudian lolongan nyaring—seekor harimau mengaum, membuat bulu kuduk setiap orang berdiri. Lalu hening, disusul oleh suara burung hantu yang melengking panjang, menambah mencekamnya suasana.
Si Maung, yang biasanya setia di sisi Pandika, kali ini melompat ringan ke batang pohon tinggi dan menghilang di antara cabang-cabang. Dari sana matanya yang berkilau tampak mengawasi, seakan mencari perlindungan sekaligus berjaga-jaga dari atas.
Dyah Ratnasari menoleh ke Pandika, matanya sedikit khawatir. “Hutan ini seakan hidup… penuh mata yang mengintai.”
Pandika menyalakan obor, nyalanya menembus kabut dengan cahaya kuning redup. “Hutan memang penuh roh—entah roh hewan, entah roh manusia yang tersesat di sini. Jangan khawatir. Selama kita tetap waspada, kabut hanya akan menjadi tirai, bukan maut.”
Para pedagang duduk melingkar, membuka bekal nasi dan lauk sederhana. Mereka makan dengan cepat, seakan setiap suap hanya untuk mengusir rasa takut. Tenda-tenda kecil berdiri, dan di tengah perkemahan api unggun dinyalakan. Nyala api menari-nari, membelah kabut, seakan menjadi satu-satunya pelindung di antara dunia manusia dan kegelapan hutan.
Namun, jauh di balik kabut, samar-samar terdengar bunyi lain—gemerisik ranting patah, langkah-langkah yang berat, dan bisikan rendah seperti suara manusia yang berunding di balik tirai kabut.
Pandika meraih pedangnya, menatap ke dalam pekatnya malam. “Tidurlah dengan mata terbuka,” ucapnya lirih. “Aku merasa kita tidak sendirian di sini.”
---
Pertemuan Si Maung dengan Si Belang dan Bayangan di Utara
Di ketinggian pohon, Si Maung bergerak lincah bagai bayangan malam. Tiba-tiba dari balik kabut terdengar derap langkah berat, dan muncullah seekor harimau belang raksasa, matanya menyala bak bara dalam gelap. Kedua makhluk itu saling menatap, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai sesama penguasa hutan.
Si Maung menundukkan kepala sedikit, tanda hormat, dan Si Belang menjawab dengan tiga kali auman panjang yang menggema di lembah. Gema itu mengguncang dedaunan, menghalau monyet-monyet yang menjerit ketakutan, burung-burung malam pun terbang bertaburan, hingga hutan menjadi lebih tenang.
Namun, ketenteraman itu tak bertahan lama. Di salah satu pohon tua, berayunlah sesosok bayangan ganjil: makhluk berambut panjang, berbusana putih lusuh, dengan wajah pucat menakutkan. Ia tidak terusir oleh auman Si Belang. Malah bergelayut dengan mata menyala, seakan menantang.
Si Maung menggeram rendah, bulu-bulunya berdiri. Ia segera turun menemui Pandika.
“Tuanku,” bisiknya lirih, “ada makhluk halus yang bergelayut di atas pohon. Ia bukan dari dunia fana, dan ia tidak mau pergi. Namun bukan itu yang paling ku cemaskan. Di utara, aku mencium bau manusia—manusia hidup, yang datang dengan niat busuk. Mereka sedang mengendap-endap menuju kita.”
Pandika mendengarkan dengan wajah tenang namun sorot mata tajam. Perlahan ia membuka tasnya, mengeluarkan zirah besi yang berkilau samar di bawah cahaya api unggun. Suara logam beradu terdengar lirih saat ia mengenakan pelindungnya.
“Yang ku takutkan bukan roh,” ujarnya pelan. “Roh hanya menakutkan. Tetapi manusia hidup bisa lebih kejam daripada bayangan gaib.”
Seketika tubuh Pandika seolah lenyap bersama kabut, Si Maung melompat ke punggungnya. Mereka bergerak bagai angin, tanpa suara, hingga tiba di dekat sekelompok pengintai. Dari balik kabut, suara Pandika terdengar bergema, tegas namun tanpa wujud:
“Satu guru, satu ilmu. Jangan mengganggu kami. Bila tak segera pergi, darahmulah yang lebih dahulu akan tumpah.”
Para pengintai saling menoleh, wajah mereka pucat. Pemimpin mereka, seorang bertubuh besar dengan sorot mata liar, maju selangkah. Dialah Singa Lodra, perampok yang namanya ditakuti para pedagang di jalur selatan.
“Siapa kau?! Keluar dan hadapilah aku!” teriaknya.
Tak ada jawaban, hanya hening. Hingga tiba-tiba, dari kabut, kilatan baja menyambar. Pedang Pandika menghantam kepala Singa Lodra dengan pukulan datar, dan tubuh sang pemimpin roboh tak sadarkan diri.
Kengerian segera menyebar di kalangan anak buahnya. Mereka menjerit, melepaskan senjata, lalu berlarian kocar-kacir ke dalam kabut, seakan bayangan hutan sendiri mengejar mereka.
Pandika berdiri di atas tubuh Singa Lodra yang terkapar, pedangnya berkilau oleh cahaya api unggun yang redup. Si Maung mendesis puas, sementara kabut seakan menutup kembali rahasia hutan yang barusan terbuka.
---
Singa Lodra yang Tertawan
Tubuh Singa Lodra, bagai karung daging yang tak berdaya, diikat kuat dengan rotan hutan yang liat. Pandika menyeretnya tanpa belas kasihan, langkahnya mantap meski tanah becek oleh kabut embun. Di kejauhan, raungan singkat terdengar: Si Maung tengah mengejar para perampok yang melarikan diri. Beberapa di antaranya jatuh tersungkur dengan kaki berdarah, bekas taring tajam sang penguasa rimba. Mereka yang lolos pun akan berjalan timpang sepanjang sisa hidupnya, sebagai tanda bahwa hutan tidak pernah lupa kepada pengkhianat.
Dengan ayunan ringan, Pandika melemparkan tubuh pemimpin perampok itu ke dekat api unggun, hingga bara menyembur percikan kecil. Para pedagang yang sedang menggigil segera mengenal wajahnya.
“Itu… itu dia!” seru salah seorang dengan mata membelalak. “Singa Lodra! Kepala perampok yang selama ini menjarah jalur dagang kami! Kepalanya dihargai mahal, dan barangsiapa yang menangkapnya akan diganjar gelar terhormat oleh Sang Raja!”
Kegembiraan bercampur ketakutan terlihat di wajah mereka.
Dyah Ratnasari yang baru saja bangkit dari tidurnya tertegun. Selimut Pandika hanya menyisakan tas perlengkapan; ia mengira pemuda itu masih terlelap. Kini ia berdiri di hadapannya, zirahnya berkilau samar, nafasnya tenang seperti baru kembali dari perjalanan panjang.
“Bagaimana dengan kawanan perampok yang lain?” tanyanya, suaranya setengah cemas.
Pandika menatapnya singkat, lalu menancapkan pedangnya ke tanah lembap.
“Mereka telah tercerai-berai. Yang berlari akan membawa luka di kakinya; yang sembunyi akan selalu dihantui rasa takut. Tak seorang pun akan kembali dalam waktu dekat. Hutan telah menghukum mereka.”
Ia menarik nafas panjang, menatap ke arah jalan yang tertutup kabut. “Sepertinya gangguan sudah sirna. Bagaimana jika kita melanjutkan perjalanan?”
Seorang pedagang mengangguk cepat, wajahnya serius namun penuh kelegaan.
“Baiklah, aku setuju. Terlalu lama kita berhenti di sini, rempah-rempah yang kami bawa bisa rusak oleh lembab. Mutunya akan turun, dan kerugian menanti kami.”
Api unggun bergemuruh lirih, seakan mengamini keputusan itu. Di balik kabut, Si Maung mengaum rendah, tanda bahwa jalan telah aman untuk sementara.
---