Tampilkan postingan dengan label Tarian surga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tarian surga. Tampilkan semua postingan

24/02/25

Tarian surga

Penulis tyas---

Semuanya masuk, meresap perlahan, seperti embun pagi yang menyentuh setiap sudut hati. Ia merasuk ke dalam sanubari, bercengkrama dengan alam ruh dan jiwa yang terbakar dalam buaian asmara. Seperti tarian darwish, gerakannya mengalir bebas, menyatu dengan keheningan alam yang seakan berbicara. Langit jingga memanggil, mengajaknya terbang tinggi, melintasi batas-batas dunia yang fana.

Suara gendang dan seruling dari lautan luas bergema, membawanya melintasi samudra kehidupan yang tak berujung. Seperti pengembara yang tak kenal lelah, ia terus berjalan, mencari makna hidup, mencari surga cinta yang abadi. Cahaya merasuk ke dalam tubuhnya, membawanya melintasi jagat raya, berputar bagai Ka’bah, menyatu dengan irama alam semesta.

Kilauan cahaya memancar, memenuhi ruang dan waktu, sementara zikir dan tasbih mengalun berirama, mengagungkan Sang Pencipta. Mawar merah alam semesta pun ikut berzikir, menyebut nama-Nya dengan penuh kekaguman. Damai menyelimuti ruh dan jiwa yang suci, bertasbih dalam keheningan cahaya agung Sang Pencipta. Kata-kata kerinduan terangkai, mengungkapkan rindu yang mendalam bagi jiwa yang kesepian.

Ia menari bersama alam, bernyanyi bersama langit, mengagungkan Sang Kekasih dengan segenap jiwa. Dengan kerinduan yang membara, ia berharap kecintaan-Nya merajut kasih, menyebut nama-Nya dengan rindu yang tak terhingga. Setiap detak jantungnya adalah doa, setiap nafasnya adalah pujian bagi Sang Pencipta.

---
Chapter 1 Perjuangan dalam kampus

Aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di Universitas Harapan Indonesia. Ya, salah satu universitas terbaik di negeri ini. Saat kakiku melangkah melewati gerbang kampus, mataku tertarik pada tulisan besar yang terpampang di atas: *“Selamat Datang Calon Pemimpin Bangsa”*. Kalimat itu seolah menyiratkan janji, bahwa kampus ini akan membentuk para mahasiswanya menjadi pemimpin masa depan. Dan memang, kampus ini telah melahirkan banyak tokoh sukses, mulai dari pengusaha hingga politisi ternama. Mereka adalah bukti nyata bahwa Universitas Harapan Indonesia bukan sekadar nama.

Kampus ini adalah impian. Banyak orang bermimpi untuk bisa masuk, tetapi hanya sedikit yang berhasil. Seleksinya ketat, dengan persaingan yang sengit—hanya satu dari dua puluh calon mahasiswa yang diterima. Dan aku, dengan segala keberuntungan dan kerja keras, termasuk di antara mereka yang berhasil melangkahkan kaki ke dalam gerbang ini.

Kampus ini luas, sekitar empat hektar, dengan gedung-gedung megah yang berdiri kokoh di antara pepohonan rindang. Setiap fakultas memiliki gedung sendiri, dilengkapi fasilitas akademik yang canggih. Lingkungannya asri, dengan tempat-tempat duduk yang tersebar di bawah pohon-pohon besar. Tempat itu, yang oleh mahasiswa dijuluki “DPR” (*Dibawah Pohon Rindang*), sering menjadi lokasi diskusi serius atau sekadar bersantai setelah kelas.

Saat aku melintas, mataku tertarik pada sekelompok mahasiswa yang sedang berdebat panas di bawah salah satu pohon. Suara mereka terdengar meski jarakku cukup jauh. Seorang mahasiswa dengan buku tebal di tangan kiri berbicara dengan penuh semangat, sementara yang lain tak kalah bersemangat menyampaikan argumennya. Aku tersenyum. Inilah dunia kampus, pikirku. Tempat di mana ide-ide bertabrakan, dan setiap orang berusaha membuktikan kebenarannya.

Namun, tak jauh dari mereka, ada sepasang mahasiswa yang duduk mesra, tak peduli dengan sekelilingnya. Mereka berciuman dengan bebas, seolah tak ada yang melihat. Aku merasa tidak nyaman. Sebagai seorang muslim, aku tahu ini bukanlah hal yang dibenarkan. Perang batin pun terjadi dalam diriku. Haruskah aku menegur mereka? Atau membiarkan saja, karena ini bukan urusanku?

Hatiku berdebat. *“Engkau adalah umat muslim. Bukankah kewajibanmu untuk mengingatkan mereka?”* Tapi di sisi lain, suara lain berbisik, *“Jangan mencampuri urusan orang lain. Ini bukan urusanmu.”* Aku terdiam sejenak, mencerna pertarungan dalam diriku. Akhirnya, keyakinanku menang. Aku harus mengingatkan mereka. Ini bukan tentang agama, tapi tentang perilaku yang tidak terpuji.

Dengan langkah mantap, aku mendekati mereka. *“Assalamualaikum, Kak,”* sapaku lembut.

Mereka terkejut, memisahkan diri secepat kilat. *“Iya, loe siapa ya?”* tanya si lelaki, suaranya setengah kesal.

*“Maaf sebelumnya, Kak. Apakah kakak muslim?”* tanyaku, mencoba menjaga sopan santun.

*“Iya, gue muslim. Kenapa?”*

*“Bukankah dalam ajaran Islam, kita dilarang berdua-duaan seperti ini? Ketiganya adalah setan,”* kataku, mencoba menjelaskan dengan tenang.

Namun, alih-alih menerima, si lelaki malah melotot. *“Udah loe jangan banyak bacot! Pergi lu dari sini, sebelum gue hajar!”* teriaknya, sambil memegang kerah bajuku dengan kasar. Aku terdorong ke belakang, jatuh ke tanah.

Mereka berdua pergi, masih bergandengan tangan, seolah tak peduli dengan teguranku. Aku bangkit, membersihkan debu dari bajuku. Hatiku bergejolak, tapi aku tak menyerah. Ini hanya awal. Aku berjanji pada diriku sendiri: aku akan terus menyerukan kebenaran di kampus ini. Aku tak ingin di akhirat nanti, aku termasuk orang yang merugi karena diam saat melihat kesalahan.

Ini adalah permulaan. Dan aku tak akan menyerah. Karena menyerah berarti kalah, dan kekalahan bukanlah pilihan.

---

Sudah hampir sebulan aku belajar di kampus pilihanku, Universitas Harapan Indonesia. Namun, semakin hari, aku semakin merasa bahwa kampus ini seperti gurun yang gersang dari nilai-nilai agama. Kampus ini mengajarkan ilmu dunia dengan begitu megah, tetapi ilmu akhirat seolah terlupakan. Tidak ada hijab yang membatasi laki-laki dan perempuan, tidak ada suara azan yang menggema saat waktu sholat tiba. Yang ada hanyalah paham hedonisme, di mana kebahagiaan duniawi menjadi tujuan utama. Hatiku hancur, menyesali pilihanku.

Ketika waktu Zhuhur tiba, aku menunggu suara azan yang tak kunjung datang. Hati ini seperti tersayat pisau tajam. Universitas yang mayoritas muslim ini, seolah hanya muslim di kartu pengenal saja. Mereka sibuk mengejar ilmu dunia, melupakan bahwa ada ilmu akhirat yang lebih penting. *“Ya Allah, apa yang terjadi dengan umat muslim di sini? Mengapa mereka melupakan perintah-Mu?”* bisikku dalam hati.

Aku bergegas menuju mushola kampus, berharap menemukan sedikit ketenangan. Namun, mushola itu kecil, tak sebanding dengan luasnya area kampus. Ukurannya hanya sepuluh kali lima belas meter, dan terlihat tak terurus. Sarang laba-laba menghiasi sudut-sudutnya, seolah menandakan bahwa tempat suci ini jarang dikunjungi. Aku menghela napas, lalu mengumandangkan azan meski tanpa speaker. Suaraku mungkin tak terdengar jauh, tapi setidaknya aku mencoba.

Setelah menunggu beberapa saat, tak ada seorang pun yang datang. Aku sholat sendirian, merasakan kesepian yang mendalam. Namun, di rakaat ketiga, tiba-tiba ada yang mencolekku dari belakang. Seorang mahasiswa bergabung, menjadi makmumku. Tak lama, dua orang lagi datang, menyusul sebagai masbuk. Setelah sholat, kami pun berkenalan. Meski baru beberapa menit mengenal, rasanya kami sudah seperti saudara. Kami berbincang tentang keadaan kampus yang memprihatinkan. Suara Allah hampir tak terdengar di sini. Bukan hanya aku, mereka pun merasa sedih.

Sejak saat itu, kami menjadi empat serangkai yang tak terpisahkan. Setiap hari, kami berkumpul di mushola setelah sholat berjamaah. Musholla yang terletak di dekat gerbang kampus ini menjadi tempat strategis bagi kami untuk bertemu, meski kami berasal dari fakultas yang berbeda.

Andi, sahabatku yang pertama, adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Politik. Posturnya tinggi dan agak gemuk, dengan kulit kecoklatan yang selalu terlihat cerah karena kebiasaannya menjaga wudhu. Dibesarkan di lingkungan pesantren, Andi memiliki wawasan keislaman yang luas, mulai dari fiqih hingga perkembangan dunia Islam kontemporer. Jiwa kepemimpinannya pun menonjol, tak heran dia pernah menjadi lurah pondok di pesantrennya.

Bintang, temanku yang kedua, adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi. Dijuluki ensiklopedi berjalan, dia memiliki kecepatan membaca yang luar biasa—500 kata per menit. Buku setebal 1000 halaman bisa dilahapnya dalam tiga jam, dan dia bisa menceritakan kembali ide-ide pokoknya dengan ringkas. Kurasa, dia bisa memenangkan acara kuis pengetahuan umum seperti *“Kuis Siapa Berani”* jika dia mau.

Ahmad, sahabat karibku yang ketiga, adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi. Kemampuannya dalam menganalisis masalah sangat akurat. Dia bisa memecahkan misteri dengan data yang minim, meski seringkali jalan pikirannya sulit dipahami. Ahmad adalah orang yang keras kepala, tak mudah menerima pendapat orang lain tanpa penjelasan yang logis.

Dan aku, Arya, mahasiswa Fakultas Kedokteran. Ketertarikanku pada dunia kedokteran bermula dari kematian ibuku karena kanker serviks lima belas tahun lalu. Ayahku, meski awalnya berharap aku mengambil ekonomi, akhirnya mengerti dan mendukung pilihanku.

Suatu hari, setelah sholat Dzuhur, kami duduk bersama di mushola. *“Aku merasa miris dengan keadaan di kampus kita ini,”* kata Andi, memecah keheningan. *“Saudara-saudara kita sepertinya tidak mengenal siapa Tuhan mereka. Apakah mereka tak takut azab Allah?”*

*“Menurutku, mereka bukannya tidak takut, mereka hanya tidak tahu,”* jawab Ahmad. *“Aku yakin jika ditanya tentang Islam, mereka akan bingung menjawabnya. Islam adalah kata yang asing bagi mereka.”*

*“Jika mereka asing, bagaimana jika kita memperkenalkan ajaran itu kepada mereka?”* usul Andi. *“Kita buat organisasi yang berorientasi pada dakwah.”*

*“Tak usah repot-repot membuat organisasi,”* sanggah Bintang. *“Itu hanya akan menimbulkan pertengkaran. Cukup kita berdakwah secara personal.”*

*“Bintang, ingat pesan Ali bin Abi Thalib,”* kataku, mencoba menengahi. *“Kebaikan yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi. Lihatlah keadaan umat Islam sekarang. Sudah saatnya kita membuat organisasi dakwah, mengubah kampus ini menjadi tempat yang Islami.”*

*“Aku setuju dengan Arya,”* sambut Andi. *“Kita buat organisasi yang akan menyuburkan kampus ini dari peradaban yang kering dan layu.”*

*“Baiklah, jika itu tujuannya, aku sepakat,”* akhirnya Bintang mengamini.

*“Allahu Akbar!”* seruku spontan, diikuti oleh ketiga sahabatku. Suara takbir kami menggema, seolah menjadi penyemangat bagi rencana kami.

*“Lalu, apa nama organisasinya?”* tanya Bintang.

*“Bagaimana kalau Majelis Jihad?”* usul Andi. *“Kita berjihad melawan kekufuran dan kezhaliman di lingkungan kita.”*

*“Tapi, nama itu mungkin terlalu kuat,”* sanggah Bintang. *“Banyak yang masih berpikir negatif tentang kata jihad. Mereka menganggapnya identik dengan terorisme.”*

*“Itulah yang diciptakan oleh mereka yang membenci Islam,”* jawab Andi dengan tegas. *“Mereka membuat jihad seolah sesuatu yang menakutkan. Padahal, jihad adalah perjuangan untuk kebenaran.”*

---

*“Apakah ada yang lain?”* Aku merasa tidak cocok dengan nama *“Majelis Jihad”*. Meski maknanya dalam, aku khawatir nama itu akan menimbulkan kesalahpahaman. *“Bagaimana kalau kita memilih nama yang lebih lembut, tapi tetap memiliki makna mendalam?”*

Andi mengangguk, mempertimbangkan usulanku. *“Ehm, bagaimana kalau namanya Himpunan Mahasiswa Tarbiyah?”* usulnya. *“Sebagai mahasiswa Islam, kita punya kewajiban untuk mendidik sesama muslim, terutama di lingkungan kampus. Kita bisa mengajarkan nilai-nilai keislaman, sehingga mereka bisa menjadi muslim sejati.”*

Ahmad menambahkan, *“Ketika mereka menjadi muslim yang bertarbiyah, mereka akan mengajarkan ilmu itu kepada orang lain. Dan begitu seterusnya. Ini seperti jihad, tapi dalam bentuk yang lebih halus—berperang melawan kebodohan tentang agama.”*

*“Aku setuju dengan nama itu,”* kataku. *“Tapi apakah ada usulan lain?”*

Tak ada yang menjawab, jadi aku pun mengajukan ide. *“Bagaimana kalau Pusat Studi Mahasiswa Islam? Kita jadikan kampus ini sebagai pusat peradaban Islam. Kumpulan mahasiswa yang memiliki pemahaman yang sama, yang bertujuan untuk mengenalkan, mempelajari, dan mengembangkan keislaman di lingkungan kampus.”*

Aku melanjutkan, *“Dalam surat Al-Alaq ayat 1, Allah memerintahkan kita untuk membaca—‘Iqra’. Kita diminta untuk membaca ayat-ayat Allah, baik yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun yang terhampar di alam semesta. Rasulullah juga bersabda bahwa kita harus belajar dari buaian hingga liang lahat. Organisasi ini bisa menjadi wadah untuk belajar tentang Islam secara kaffah.”*

*“Kita jadikan organisasi ini sebagai pusat belajar keislaman. Namanya Pusat Studi Mahasiswa Islam, atau disingkat PSMI. Bagaimana menurut kalian?”*

Ketiga sahabatku terdiam sejenak, mempertimbangkan usulanku. Kemudian, Bintang mengangguk. *“Aku setuju dengan nama itu,”* katanya.

*“Begitu juga denganku,”* timpal Ahmad.

*“Baiklah, jika semua setuju, mulai saat ini kita namakan organisasi ini Pusat Studi Mahasiswa Islam,”* Andi menegaskan.

*“Allahu Akbar!”* serempak kami bertakbir, suara kami menggema di mushola kecil itu. Takbir itu seperti penyemangat, menguatkan tekad kami untuk mengubah kampus yang gersang ini menjadi tempat yang kaya akan nilai-nilai keislaman.

*“Teman-teman, besok malam jika kalian tidak keberatan, kita buat rancangan organisasi ini di rumahku. Kita bisa mabit sekalian. Gimana?”* tanyaku.

*“Aku setuju,”* jawab Andi.

*“Bagaimana denganmu, Ahmad?”*

*“Yup, aku juga setuju,”* sahutnya.

*“Begitu juga denganku,”* Bintang menimpali.

*“Jangan lupa ya, besok malam setelah sholat Isya berjamaah di masjid samping rumahku, kita bertemu lagi. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,”* aku menutup pembicaraan hari ini.

*“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,”* mereka menjawab serempak sebelum kami membubarkan diri.

---

Malam itu, rumahku dipenuhi oleh ketiga sahabatku. Menurut mereka, rumahku lebih mirip istana daripada rumah biasa. Luas, dengan halaman parkir yang bisa menampung sepuluh mobil, kolam renang, dan taman yang asri. Di samping ruang tamu, ada kolam ikan dengan pancuran air yang mengalir lembut, menciptakan suasana tenang. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran kayu jati dan lukisan-lukisan indah. Pembantu rumah tangga pun ada beberapa, masing-masing dengan tugasnya sendiri.

Tapi, ketiga sahabatku tidak terkesan berlebihan. Mereka tahu bahwa semua ini hanyalah titipan dari Sang Maha Pemilik. *“Semua yang ada di sini akan dimintai pertanggungjawaban,”* bisikku dalam hati.

Kami langsung menuju kamar, memulai diskusi serius tentang visi dan misi PSMI. Kami bekerja keras, tak ada waktu untuk beristirahat. Tubuh kami lelah, tapi semangat kami tak pernah padam. *“Apa artinya lelah ini dibandingkan dengan ridho Allah?”* pikirku.

Setelah semalaman bergulat dengan ide-ide, akhirnya visi dan misi PSMI selesai kami susun. Keesokan harinya, kami membawa proposal itu ke rektor.

Rektor duduk di kursi lebar yang empuk, kakinya menempel di meja sambil membaca dokumen. Wajahnya terlihat menyeramkan—kumis tebal, bibir hitam karena sering merokok, dan tubuhnya tinggi besar. *“Selamat siang, Pak,”* sapa Andi dengan tenang, meski sedikit gugup.

*“Selamat siang. Ada perlu apa kalian berempat datang ke ruangan saya?”* suaranya keras, menggelegar.

*“Begini, Pak. Kami ingin mengajukan organisasi rohani Islam. Ini proposalnya,”* Andi menjelaskan sambil menyerahkan dokumen yang telah kami jilid rapi.

Rektor terkejut. *“Sudah cukup kegiatan senat dan BPM di kampus ini. Tidak perlu lagi organisasi macam ini.”*

*“Tapi, Pak, organisasi PMK (Persatuan Mahasiswa Kristen) sudah ada di kampus kita. Kenapa kami tidak boleh?”* protesku.

*“Itu lain cerita. Mereka sudah lama ada, dan anggotanya banyak. Kalian cuma berempat. Apa kalian mau cari uang dari sini?”* matanya melotot, menatap kami dengan curiga.

*“Astaghfirullah, Pak. Kami tidak bermaksud seperti itu. Kami hanya ingin mengajak mahasiswa kembali ke jalan yang benar,”* jawabku tegas.

*“Kalian pikir diri kalian seperti Nabi, ya?”* ejeknya.

*“Kami hanya mengikuti ajaran Nabi untuk berdakwah,”* balasku.

*“Sudah cukup kegiatan di kampus ini. Tidak ada lagi organisasi baru!”* suaranya semakin keras.

*“Jika Bapak menolak, kami akan demo,”* Ahmad memotong, suaranya tegas.

*“Baik, bapak tidak takut. Paling cuma kalian berempat yang demo,”* jawab rektor dengan sinis.

Kami pun keluar dengan perasaan kecewa. Tapi, ini bukan akhir. Ini hanya awal dari perjuangan kami. *“Ya Allah, berilah kami kemudahan dalam jihad ini. Berilah kami pertolongan-Mu,”* bisikku dalam hati.

Hidup kami hanya untuk berdakwah. Raga kami untuk berjihad, dan jiwa kami untuk menggapai ridho Allah. Kami tidak takut, karena kami yakin pertolongan Allah selalu ada.

--

BAB 2 (Lanjutan): Strategi dan Perlawanan

Kami keluar dari ruangan rektor dengan langkah yang lebih mantap dari saat kami masuk. Penolakan itu tidak mengejutkan, tapi tetap meninggalkan rasa getir di hati.

Di luar, angin sore bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun di sekitar halaman kampus. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiranku.

"Kita tidak bisa berhenti di sini," Ahmad akhirnya bersuara, suaranya penuh tekad.

Andi mengangguk. "Kita butuh strategi lain. Jika mereka tidak mengizinkan organisasi kita secara formal, kita tetap bisa bergerak dengan cara lain."

Bintang menyandarkan tubuhnya ke pagar besi, ekspresi berpikirnya kembali muncul. "Apa yang kita butuhkan sekarang adalah dukungan. Jika cukup banyak mahasiswa yang ingin organisasi ini ada, mereka tidak bisa mengabaikan kita begitu saja."

Aku menatap mereka satu per satu. "Kita mulai dari mana?"

Ahmad tersenyum miring. "Dari tempat yang paling berpengaruh—senat mahasiswa."


Bab 2 (Lanjutan): Membangun Aliansi

Hari berikutnya, kami membagi tugas. Andi menemui ketua senat Fakultas Ilmu Politik, Bintang bertemu dengan Fakultas Ilmu Komunikasi, Ahmad ke Fakultas Ekonomi, dan aku sendiri menghadapi ketua senat Fakultas Kedokteran.

Aku melangkah ke ruangan sekretariat senat Fakultas Kedokteran dengan hati-hati. Ini bukan sekadar pertemuan biasa, ini adalah kesempatan untuk membuat perubahan.

"Assalamualaikum," sapaku ketika memasuki ruangan.

Ketua senat, seorang perempuan bernama Rini, menoleh dari meja kerjanya. Dengan blazer putih dan rambut yang ditata rapi, dia tampak seperti seseorang yang tahu betul cara mengatur sesuatu.

"Waalaikumsalam," jawabnya singkat. "Ada yang bisa saya bantu?"

Aku menatapnya langsung. "Saya ingin membicarakan sesuatu yang penting. Tentang organisasi mahasiswa Islam yang ingin kami bentuk."

Rini mengangkat satu alis, lalu menyilangkan tangan di dadanya. "Kudengar proposal kalian ditolak."

Aku tersenyum tipis. "Benar. Tapi kami belum menyerah."

Dia tertawa kecil. "Aku suka semangatmu. Tapi bagaimana aku tahu organisasi ini tidak akan menjadi kelompok eksklusif yang menghakimi orang lain?"

Aku menahan napas sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati. "Kami tidak ingin memaksakan apa pun. Kami hanya ingin menciptakan ruang bagi mereka yang ingin belajar dan memahami Islam lebih dalam."

Dia menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas. "Baiklah. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, tapi aku akan membicarakannya dengan anggota senat lain."

Aku mengangguk. Itu sudah lebih dari cukup untuk langkah pertama.


Bab 3: Gerakan Bawah Tanah

Dukungan dari senat mulai mengalir secara perlahan. Tidak semua terbuka mendukung kami, tapi semakin banyak yang tertarik dengan gagasan kami.

Namun, masih ada satu kendala besar—rektor.

"Kita tidak bisa terus bermain aman," Ahmad berkata suatu malam ketika kami berkumpul di mushola. "Kita butuh sesuatu yang lebih… dramatis."

Aku menatapnya curiga. "Dramatis seperti apa?"

Dia menyeringai. "Pamflet."

Andi mengangkat alis. "Kau serius?"

"Kita cetak seribu, dan kita sebarkan di seluruh kampus," lanjut Ahmad. "Kita buat pesan yang tak bisa diabaikan."

Bintang menyeringai. "Aku suka idemu."

Aku menghela napas. "Baiklah. Tapi kita lakukan dengan hati-hati."

Malam itu, kami bekerja tanpa henti. Bintang mendesain pamflet dengan slogannya:

"Selamatkan Islam dari Jiwa-Jiwa yang Tersesat"

Di bawahnya, ada gambar masjid yang sepi, simbol dari bagaimana nilai-nilai agama perlahan-lahan menghilang dari kampus ini.

Ketika malam semakin larut, kami menyelinap ke seluruh area kampus. Kami menempelkan pamflet di papan pengumuman, di dinding-dinding fakultas, bahkan di pintu kamar mandi.

Jantungku berdetak kencang setiap kali aku menempelkan satu lembar pamflet. Ada ketakutan, ada kegelisahan. Tapi ada juga adrenalin yang mengalir deras.

"Ini gila," bisik Andi di sampingku. "Aku suka."

Ketika kami selesai, kampus ini bukan lagi tempat yang sama.


Bab 3 (Lanjutan): Bentrokan dengan Rektor

Keesokan paginya, kampus gempar.

Mahasiswa berkerumun di depan papan pengumuman, membaca isi pamflet dengan ekspresi beragam—terkejut, penasaran, bahkan marah.

Di dalam ruangannya, rektor menatap pamflet yang dipegangnya dengan ekspresi tak terbaca. Kami berdiri di depannya, menunggu reaksinya.

"Apa kalian yang melakukan ini?" suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya.

Aku menegakkan punggung. "Ya, Pak."

Dia meletakkan pamflet itu di atas meja dengan perlahan. "Kalian tahu ini bisa dianggap sebagai tindakan provokatif?"

Ahmad maju selangkah. "Kami hanya ingin didengar, Pak."

Rektor menatapnya tajam. "Dan menurut kalian, cara ini yang terbaik?"

Andi bersuara tenang. "Jika kami datang dengan proposal dan ditolak tanpa alasan yang jelas, maka ya, ini cara terbaik yang kami miliki."

Hening.

Rektor menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menautkan jemarinya. "Saya bisa mengeluarkan kalian dari kampus ini."

Jantungku berdetak lebih kencang. Tapi aku menahan diri, menatapnya langsung.

"Kami tidak takut, Pak," kataku akhirnya. "Kami hanya ingin keadilan."

Dia menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Saya ingin bicara dengan seluruh senat mahasiswa sebelum mengambil keputusan."

Aku bisa melihat Andi, Bintang, dan Ahmad saling bertukar pandang. Ini belum kemenangan, tapi ini juga bukan kekalahan.

Kami baru saja membuka pintu yang selama ini tertutup.

Dan kami tidak akan mundur.

BAB 4: LOBI DAN PERLAWANAN

Minggu itu, kampus masih bergemuruh karena pamflet-pamflet yang kami sebar. Mahasiswa membicarakan kami, beberapa setuju, beberapa menganggap kami berlebihan. Tapi satu hal yang pasti—kami telah membuat mereka memperhatikan.

Namun, perhatian saja tidak cukup. Kami membutuhkan tindakan.

"Aku sudah berbicara dengan beberapa orang dari senat," kata Andi saat kami duduk di sebuah kedai kopi dekat kampus. "Sebagian besar bersimpati pada kita, tapi mereka takut kehilangan dukungan rektor."

Bintang mengaduk kopinya pelan, matanya menyipit penuh perhitungan. "Jadi kita harus meyakinkan mereka bahwa mendukung kita tidak akan merugikan mereka."

Ahmad menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya tajam. "Atau lebih baik lagi—meyakinkan mereka bahwa menentang kita justru akan merugikan mereka."

Aku tersenyum kecil. "Kita main politik sekarang?"

Ahmad balas tersenyum. "Kalau ingin menang, kita harus tahu cara bermain."


Langkah Pertama: Mendekati Senat Mahasiswa

Kami membagi tugas.

  • Andi bertanggung jawab melobi Fakultas Ilmu Politik, menggunakan pemikirannya yang tajam untuk bernegosiasi dengan mahasiswa yang terbiasa dengan strategi kekuasaan.
  • Bintang, dengan kemampuan komunikasinya, menangani Fakultas Ilmu Komunikasi dan organisasi pers mahasiswa, memastikan suara kami tersebar di mana-mana.
  • Ahmad, dengan analisanya yang tajam, mendekati Fakultas Ekonomi, mencari celah di antara mereka yang lebih peduli pada keuntungan dan stabilitas.
  • Aku kembali menemui Fakultas Kedokteran, berusaha memperkuat dukungan yang sudah mulai terbentuk.

Pertemuan dengan Senat Fakultas Kedokteran

Aku berjalan ke sekretariat Senat Fakultas Kedokteran, merasa lebih percaya diri daripada sebelumnya.

Rini, ketua senat, sedang duduk dengan beberapa anggota lainnya. Dia menatapku ketika aku masuk, bibirnya melengkung dalam senyum kecil.

"Aku tahu kau akan kembali," katanya.

Aku tersenyum. "Aku harap ini pertanda baik."

Dia menyilangkan tangan di dadanya. "Aku sudah bicara dengan anggota senat lain. Beberapa mendukungmu, beberapa masih ragu. Mereka khawatir dengan citra fakultas jika terlalu dekat dengan gerakan yang… kontroversial."

Aku menatapnya langsung. "Rini, kita sama-sama tahu bahwa fakultas ini seharusnya mendukung gerakan yang membawa perubahan positif. Jika kampus kita semakin jauh dari nilai-nilai moral, apakah itu bukan tanggung jawab kita juga?"

Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Kau tahu? Aku sebenarnya mengagumi keberanianmu. Tapi pertanyaannya, apa jaminan bahwa organisasi ini tidak akan menjadi kelompok yang fanatik?"

Aku tersenyum. "Kami tidak ingin memaksa siapa pun. Kami hanya ingin memberikan pilihan bagi mereka yang ingin memperdalam pemahaman agama. Ini bukan tentang memisahkan, tapi tentang menyatukan."

Rini menatapku lama, lalu akhirnya mengangguk. "Baik. Aku akan memberikan dukunganku. Tapi dengan satu syarat—jika organisasi ini mulai menunjukkan tanda-tanda ekstremisme, aku akan menjadi orang pertama yang menentangnya."

Aku mengulurkan tangan. "Setuju."

Dia tersenyum dan menjabat tanganku. "Kita lihat sejauh mana kau bisa membawa ini, Arya."


Langkah Kedua: Menyatukan Dukungan

Minggu berikutnya, hasil kerja keras kami mulai terlihat.

  • Andi berhasil mendapatkan persetujuan dari Fakultas Ilmu Politik dengan meyakinkan mereka bahwa keberadaan organisasi ini akan memperkuat diskusi intelektual di kampus.
  • Bintang memastikan bahwa suara kami terdengar di media kampus, dengan artikel-artikel yang menyoroti perlunya wadah keislaman bagi mahasiswa.
  • Ahmad, dengan caranya sendiri, membuat Fakultas Ekonomi menyadari bahwa stabilitas sosial di kampus bisa terancam jika isu ini tidak ditangani dengan baik.
  • Dan aku, dengan dukungan Rini, berhasil mendapatkan restu dari Fakultas Kedokteran.

Kami tidak lagi hanya empat orang yang berjuang sendirian. Kami sekarang memiliki jaringan pendukung yang kuat.

Namun, kami tahu bahwa pertarungan sesungguhnya belum dimulai.

Rektor belum memberikan keputusan final. Dan jika kami ingin menang, kami harus menyiapkan langkah terakhir yang lebih besar.


BAB 5: KONFRONTASI TERAKHIR

Hari itu tiba lebih cepat dari yang kami duga.

Kami menerima undangan dari rektorat untuk menghadiri rapat terbuka bersama seluruh perwakilan senat dan organisasi mahasiswa.

Aku bisa merasakan ketegangan di udara saat kami berjalan menuju aula besar kampus. Di sepanjang koridor, mahasiswa berhenti sejenak untuk melihat kami. Beberapa tersenyum mendukung, beberapa hanya mengamati dengan penuh rasa ingin tahu.

Di dalam aula, rektor sudah menunggu, duduk di kursinya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Saat semua orang telah duduk, dia berbicara.

"Kampus ini telah menjadi saksi banyak perubahan selama bertahun-tahun," katanya, suaranya dalam dan berwibawa. "Dan hari ini, kita dihadapkan pada keputusan besar—apakah kita akan mengizinkan organisasi baru ini atau tidak?"

Dia menatap kami dengan pandangan tajam. "Saya ingin mendengar alasan terakhir kalian. Mengapa organisasi ini harus ada?"

Aku berdiri, menatapnya langsung.

"Karena kampus ini bukan hanya tempat belajar akademik. Ini adalah tempat di mana mahasiswa membentuk karakter, menemukan jati diri mereka, dan memahami nilai-nilai yang akan mereka bawa ke dunia luar. Jika kita bisa memiliki organisasi untuk seni, olahraga, dan politik, mengapa kita tidak bisa memiliki organisasi yang membantu mahasiswa memahami agamanya lebih dalam?"

Aku membiarkan kata-kataku menggantung di udara.

Rektor terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke perwakilan senat. "Pendapat kalian?"

Rini dari Fakultas Kedokteran berdiri lebih dulu. "Saya mendukung ini."

Diikuti oleh Andi, lalu Bintang, lalu Ahmad. Satu per satu, perwakilan dari berbagai fakultas berdiri, menyuarakan dukungan mereka.

Untuk pertama kalinya, rektor tampak benar-benar mempertimbangkan sesuatu.

Akhirnya, dia menghela napas dan menatap kami kembali.

"Baik," katanya. "Organisasi kalian disetujui, dengan satu syarat—kalian harus memastikan bahwa ini tetap menjadi wadah yang inklusif dan tidak menciptakan perpecahan."

Aku menahan napas, lalu mengangguk. "Kami berjanji."

Dan dengan itu, segalanya berubah.

Kami telah menang.

EPILOG: AWAL DARI SEBUAH PERJALANAN

Hari itu, langit sore di kampus terasa berbeda. Udara lebih sejuk, matahari tenggelam perlahan di balik gedung-gedung fakultas, meninggalkan semburat jingga yang memantulkan cahaya ke jendela-jendela.

Aku berdiri di depan mushola, tempat di mana semuanya dimulai. Tempat di mana aku bertemu dengan Andi, Bintang, dan Ahmad. Tempat di mana kami pertama kali memimpikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar diskusi di bawah pohon rindang.

Kini, mushola itu hidup.

Pintu yang dulunya jarang terbuka kini sering dilalui mahasiswa yang datang untuk sholat atau sekadar mencari ketenangan. Poster-poster kegiatan PSMI terpampang di papan pengumuman, mengumumkan kajian pekanan, diskusi keislaman, dan berbagai program yang kami rancang dengan hati-hati.

Aku melihat Andi berdiri di dekat pintu, berbicara dengan beberapa mahasiswa baru. Ada ketegasan dalam suaranya, tapi juga kehangatan. Dia tidak hanya seorang pemimpin, tapi juga seorang mentor.

Bintang duduk di bangku taman, dikelilingi beberapa mahasiswa yang tampak asyik mendengarkan ceritanya. Aku tersenyum—dia selalu tahu cara membuat orang tertarik.

Sementara itu, Ahmad bersandar di tembok, memperhatikan segalanya dengan tatapan penuh kepuasan. Dia mungkin tidak banyak bicara, tapi aku tahu dia bangga dengan apa yang telah kami capai.

Aku menarik napas panjang, membiarkan udara sore memenuhi dadaku.

Siapa sangka?

Beberapa bulan yang lalu, kami hanyalah empat mahasiswa yang resah dengan keadaan. Kami menghadapi penolakan, perlawanan, bahkan ancaman. Tapi kami bertahan. Dan hari ini, kami berdiri di sini, membuktikan bahwa perubahan itu mungkin.

Aku merasakan seseorang berdiri di sampingku. Rini.

"Tak kusangka, kalian benar-benar berhasil," katanya, matanya menatap ke arah mahasiswa yang berlalu-lalang di sekitar mushola.

Aku tersenyum. "Aku juga tidak."

Dia menoleh, menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Jangan berhenti di sini, Arya. Ini baru permulaan."

Aku mengangguk. Aku tahu dia benar.

Perjuangan kami belum berakhir. Dunia di luar sana lebih luas, lebih keras, dan penuh tantangan yang lebih besar.

Tapi untuk saat ini, aku menikmati momen ini.

Karena aku tahu, apapun yang akan terjadi di masa depan, aku tidak akan pernah sendirian.

Aku memiliki sahabat-sahabat yang akan selalu berjuang bersamaku.

Dan aku memiliki keyakinan yang tidak akan pernah goyah.

Langit semakin gelap, tapi di dalam hatiku, cahaya itu tetap menyala.

Karena ini bukan akhir.

Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Sebuah perjalanan yang baru saja dimulai.