01/08/25

Season 7 kerajaan mythopia

---

Chapter 44 Di Tepi Bengawan Solo

Di lembah timur yang rimbun, tatkala matahari menggantung tinggi di langit, sinarnya yang menyengat tersembunyi di balik rindangnya dahan-dahan pohon tua yang tumbuh menjulang di tepi Bengawan Solo. Di antara bebatuan yang dilicinkan oleh aliran zaman, mengalirlah sungai jernih bak kaca, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan dedaunan yang menari ditiup angin lembut musim panas.

Di sanalah, di tempat yang tersembunyi dari mata manusia biasa, tiga putri dari istana Majapahit sedang mandi dan bermain air. Mereka adalah bunga terakhir dari zaman keemasan:
Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, putri bungsu dari Prabu Kertawardhana yang agung;
Lembayung Ardhani, pemilik suara selembut sutra dan pandangan secerah senja;
dan Pujeng Rarasati, gadis periang dengan tawa yang mampu menyembuhkan luka hati.

Mereka tertawa ringan, saling memercikkan air seperti masa masih kanak-kanak, jauh dari beban mahkota dan sumpah darah kerajaan. Namun tak jauh dari sana, di balik semak dan pohon, berdirilah para pengawal bersenjata. Di antara mereka, berdiri tegak Rakai Jaya Langgana, seorang ksatria muda berselimut diam dan rahasia. Cintanya kepada sang Putri bagaikan api yang tersimpan dalam perisai — hangat namun tak pernah menyala terang.

Tiba-tiba, di sela desiran angin dan riak air, suara Dyah Sekar mengalun lembut, namun membawa nada gelisah:

> “Pernahkah kalian dengar,” katanya sambil membasuh rambut hitam legamnya,
“bahwa para begundal kegelapan dari Sinabung telah kembali menodai perbatasan timur? Kekaisaran kita, yang lelah oleh bayangan lama, kini telah mengeluarkan sayembara. Siapa pun yang sanggup membawa mereka ke keadilan akan diberi gelar dan tanah di seberang lautan.”



Lembayung menoleh, tatapannya penuh rasa ingin tahu.

> “Katanya ada seorang pendekar yang sudah menjawab tantangan itu,” ujarnya, “Namanya Pandika. Seorang diri ia berangkat, berasal dari Kerajaan Cakram, negeri kecil yang tak banyak dikenal.”



Pujeng Rarasati menambahkan sambil tertawa kecil,

> “Mereka bilang Pandika membawa pesan dari para tetua. Ia mencari raja muda yang hilang dari Mythopia. Seorang pemuda bernama Isidore.”



Putri Sekar mengangkat wajahnya, mata hitam legamnya menatap ke langit seakan mencoba membaca takdir.

> “Isidore…” bisiknya, “Konon ia memiliki wajah tampan dan kulit sawo matang seperti tanah tempat nenek moyang kita berpijak. Namun apa yang bisa kulihat dari raut wajah jika hatinya belum kukenal?”



Tak ada yang menjawab. Hanya desir angin dan gumaman air yang menjawab pertanyaan sang Putri, dan di kejauhan, Rakai Jaya Langgana mengepalkan tangan di balik semak — sebab ia tahu, takdir sedang bergerak, dan kisah besar tengah menanti untuk ditulis dalam kitab para leluhur.


---

Chapter 45 Keajaiban di Bengawan Solo

Nun jauh di jantung tanah timur, kala bayang-bayang siang mulai memendek dan daun-daun berdesir dalam bisikan angin dari pegunungan Lawu, mengalir sebuah sungai tua yang dikenal dalam tembang dan dongeng para tetua — Bengawan Solo.

Ia bukan sungai biasa. Ia adalah arteri dari bumi tua, mengalir sejak zaman para raja belum menjejak tanah, sejak para dewa menanam bintang di langit dan memberi nama bagi segala pohon dan batu. Bengawan Solo mengalir tenang, memeluk batu-batu tua yang dilicinkan oleh ribuan musim, dan menyanyi dengan suara air yang tak pernah bosan memuja waktu.

Pada sebuah tikungan tersembunyi, di mana pepohonan berakar dari zaman purba dan bunga liar tumbuh tanpa takut, di sanalah airnya paling jernih — sebening kaca cermin para peramal, memantulkan langit yang luas dan daun-daun yang bergoyang seperti tirai surga.

Di tempat inilah, kala dunia diam dan hanya burung-burung hutan yang bersuara, para putri dari istana Majapahit kerap datang untuk mandi. Dan ketika kaki mereka yang halus menyentuh airnya, seolah sungai itu sendiri berdebar dalam diam — air menghangat dengan kelembutan, dan bebatuan bersinar seperti baru dilahirkan kembali dari perut bumi.

Sang putri utama, Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, turun pertama kali, diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Air menyambut mereka seperti saudara lama, merangkul tubuh-tubuh muda mereka dengan gemetar lembut, dan seolah menghafal setiap langkah, tawa, dan hela nafas mereka.

Lalu terjadilah keajaiban kecil yang tidak tertulis dalam kitab para pendeta namun disampaikan turun-temurun oleh para leluhur penjaga tanah: setiap kali para putri selesai mandi, air Bengawan Solo berubah harum. Tidak tajam seperti minyak wangi, tapi lembut dan sukar dijelaskan — seperti wangi bunga tanjung yang mekar malam hari, seperti kenangan masa kecil yang hangat dan jauh.

Harum itu bertahan hingga malam. Bahkan para nelayan yang berlabuh di hulu bertanya-tanya siapa yang telah berjalan di atas air dan meninggalkan jejak surga. Dan para tetua desa berkata, "Itu bukan jejak manusia biasa — itu jejak para putri darah raja, yang mandi bukan hanya dengan tubuh, melainkan dengan cahaya dalam jiwa."


---
Chapter 46 Pertanda di Sungai Bengawan

Di balik pepohonan yang menaungi aliran suci Bengawan Solo, dalam bayang-bayang hening di mana cahaya siang menari melalui dedaunan, berdirilah Paman Hanggara — tua, tegap, dan bermata tajam seperti elang yang telah menyaksikan banyak zaman berlalu.

Ia memandang ke arah seorang pemuda yang duduk menyendiri di sisi timur sungai, tangannya menggenggam gagang keris tanpa suara, matanya tertuju ke permukaan air yang berkilau diterpa cahaya. Dialah Rakai Jaya Langgana, pengawal utama sang putri.

> “Nak Jaya...” kata Paman Hanggara perlahan, suaranya dalam dan bergetar oleh rasa sayang yang dibungkus kekhawatiran, “engkau telah memasuki usia di mana lelaki harus berpikir tentang garis keturunan. Jangan kau habiskan hidupmu dalam bayang-bayang yang tak bisa kau capai.”



Rakai menunduk, napasnya berat.

> “Ampun, Paman,” katanya lirih, “jika hati ini telah keliru. Aku memang menyimpan rasa pada sang Putri... namun kupastikan rasa itu takkan pernah keluar dari tempatnya. Cukup bagiku berdiri di sisinya sebagai perisai, bukan sebagai pasangan.”



Hanggara menatapnya lama, lalu menghela napas dan memalingkan wajah, seakan memahami, namun tak bisa menyetujui sepenuhnya.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan di barat, muncullah Wirya Nagapati, prajurit bayangan yang langkahnya lebih sunyi dari desir angin. Jubahnya hitam, dan matanya bersinar bagai bara api dalam kegelapan.

> “Waktumu habis, Putri-putri Istana,” bisiknya dengan suara serak namun jelas. “Hutan telah bicara... Jejak mistis tercium di utara. Ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang tak menyukai kehadiran darah kerajaan di tempat ini.”



Hanggara tak membuang waktu. Ia membawa jari ke bibir dan meniup sebuah siulan panjang — tidak keras, tapi merdu dan dalam. Suara itu menggema pelan seperti nada dari seruling zaman tua, menjalar ke sela-sela daun dan menyentuh telinga mereka yang tahu artinya.

Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, yang tengah membasuh rambutnya dengan air jeruk purut dan bunga tanjung, menoleh pelan.

> “Siulan Paman terdengar lebih cepat dari biasanya,” ucapnya dengan dahi berkerut, “seolah pagi ini ingin berakhir sebelum waktunya. Mungkinkah ada gangguan yang mengintai dari kejauhan?”



Ia berdiri, anggun dan tenang, namun tatapannya tajam — seperti seorang ratu yang tahu kapan harus memerintah dan kapan harus berlari dari bahaya.

Di atas cabang pohon tinggi, tersembunyi di balik dedaunan lebat, Sasi Anglingrat — pengawal rahasia istana — tengah berjaga. Matanya yang tajam menangkap bayangan gelap yang merayap seperti asap dari arah utara. Kabut hitam itu tidak berasal dari bumi, dan tidak pula milik langit.

Ia menghela napas, lalu melompat turun dengan gesit seperti bayangan seekor kijang malam. Tanpa berkata-kata, ia berlari ke arah pasukan dan rekan-rekannya. Pertanda buruk telah datang. Dan waktu takkan memberi mereka banyak kesempatan.


---
---

Chapter 47 Wangkara, Bayangan yang Membelah

Untuk pertama kalinya, Sasi Anglingrat, penjaga rahasia dari Majapahit, menyaksikan wujud yang tak bisa dijelaskan oleh kitab perang maupun bisikan para pendeta hutan. Ia berdiri diam, napasnya tertahan, saat dari balik kabut yang merayap turun dari langit, muncul sosok yang menyerupai manusia namun tak sepenuhnya nyata.

Separuh tubuhnya kabut, separuh lainnya tampak seperti manusia yang telah ditinggalkan cahaya kehidupan. Kabut itu berdenyut perlahan, mengelilingi sosok tersebut, dan setiap kali ia bergerak, tanah di sekitarnya seperti kehilangan warna dan suara.

> “Wangkara...” bisik Sasi, matanya menyipit, “makhluk dari bayang-bayang utara, yang dikisahkan dalam gulungan lontar-lontar tertua, namun tak pernah dipercaya sepenuhnya.”



Ia memberi isyarat kepada pasukan untuk mundur. Gerak jarinya cepat namun jelas: berkumpul, diam, lalu mundur perlahan. Dirinya sendiri tetap berdiri di depan, seolah bayang-bayang pohon telah bersatu dengan tubuhnya.

Dengan satu gerakan anggun, Sasi Anglingrat mencabut dua bilah pedang pendek dari punggungnya — pusaka berlapis mantra yang hanya ia sendiri yang mampu memanggil kekuatannya.

Tanpa ragu, ia melemparkan bilah pertama ke arah Wangkara. Pedang itu melesat seperti kilat — namun saat menyentuh tubuh kabut makhluk itu, bilah tersebut melintas seakan hanya menembus udara. Tak ada luka. Tak ada suara. Hanya kehampaan.

Sasi mengatupkan rahang, lalu melangkah maju.

> “Jika tidak bisa dengan jarak jauh,” ucapnya dalam hati, “maka akan kuhadapi dengan nafas dan nadi.”



Ia mencengkeram pedang kedua dengan kedua tangan. Saat menebas, ia mengalirkan bukan hanya tenaga, tapi juga keyakinan, karena hanya keyakinan yang bisa menembus dunia bayangan. Namun ketika bilah itu menyayat tubuh Wangkara, makhluk itu terbelah menjadi dua, dan kedua bagian itu hidup — bergerak sendiri dengan wajah yang sama kosongnya.

Dari arah utara, Wirya Nagapati datang bagai angin malam. Jubahnya mengepul, dan di tangannya terhunus keris warisan leluhur — bilah sakti yang dipercaya dapat melukai roh dan jin. Ia menerjang Wangkara dengan teriakan keras, menebas tubuh makhluk itu.

Namun hasilnya tak berbeda. Setiap tebasan hanya menggandakan jumlah musuh. Dari satu, menjadi dua. Dari dua, menjadi empat. Dan kabut semakin menebal, mengaburkan pandangan, merampas harapan.

> “Mundur!” seru Wirya dengan suara yang menggema seperti guntur di pegunungan, “Wangkara bukan untuk kita hadapi di sini. Makhluk ini bukan untuk dibunuh... melainkan untuk dijauhi.”



Dengan keberanian mereka, Sasi dan Wirya menahan gelombang kabut yang terus mendekat, menciptakan waktu dan ruang yang cukup bagi para putri dan pasukan pengawal untuk mundur ke sisi selatan. Dyah Sekar, yang telah berselimut kain tipis dan rambutnya masih basah oleh air Bengawan, dituntun oleh Rakai Jaya Langgana menuju kuda-kuda yang telah disiapkan di balik pohon.

Di belakang mereka, kabut terus bergulung seperti ombak senja yang menelan hutan. Dan bayangan Wangkara masih berdiri, diam, tanpa suara — namun tak ada satu pun yang berani menatapnya dua kali.

---
---

Chapter 48 Pertemuan di Bukit Halilintar

Tanpa jeda, tanpa keluh, Pandika, sang pengembara dari Cakram, menunggang kudanya melintasi hutan lebat, sabana luas, dan lembah-lembah berkabut hingga akhirnya tiba di hadapan Bukit Halilintar — sebuah dataran tinggi yang diselimuti awan kelabu dan gelegar petir di kejauhan, seperti panggung dunia bagi kejadian-kejadian besar yang ditakdirkan.

Kudanya — seekor kuda istimewa berdarah Dewa Angin — meringkik pelan, tubuhnya penuh peluh namun matanya tetap bersinar jernih. Pandika turun perlahan, menepuk lembut leher hewan setianya.

> “Terima kasih, sahabatku,” katanya lirih. “Kau telah menuntunku sejauh ini. Kini saatnya kau beristirahat... makanlah rerumputan yang tumbuh di tanah suci ini. Takkan ada binatang buas mengganggumu.”



Tak jauh dari sana, tersembunyi di dalam lekuk gua kuno di jantung bukit, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, membuka matanya. Ia duduk bersila di atas batu, dikelilingi lingkaran cahaya redup dari api biru yang menyala tanpa bahan bakar.

> “Ada kekuatan mendekat,” ujarnya lirih, “kekuatan yang bukan dari kegelapan... tapi juga bukan dari tanah ini.”



Dari balik bayangan, muncullah Rakajati, penjaga hutan yang setia, suaranya tenang seperti suara pohon tua yang berbicara di malam sunyi.

> “Dia hanyalah seorang pengembara,” ujarnya, “tapi kebaikan mengalir dalam darahnya. Biarlah aku yang membawanya kemari.”



Dalam sekejap, tubuh Rakajati menyatu dengan batang pohon, menghilang ke dalam kulit kayu seperti roh penjaga rimba. Dan ketika ia muncul kembali, dedaunan bergetar seolah alam turut menunduk menyambutnya. Ia berdiri di hadapan Pandika, yang terkejut dan tanpa pikir panjang mengangkat kedua tangannya dalam sikap bertahan, tinjunya terkepal namun tak menyerang.

Rakajati hanya tersenyum.

> “Tenanglah, wahai pengembara. Aku bukan musuhmu,” ucapnya.
“Mohon maaf jika kedatanganku mengejutkan,” balas Pandika, merendah. “Namaku Pandika, dari negeri Cakram. Aku datang untuk mencari Tuan Isidore. Ada keperluan mendesak... kami membutuhkan bantuannya untuk menumpas gerombolan kegelapan yang kini bersarang di puncak Gunung Sinabung.”



Rakajati diam sejenak, seperti menimbang jawaban dari suara angin dan getaran tanah.

> “Sayang sekali, kami tak sedang berada di tempat yang tetap,” jawabnya akhirnya. “Kami sedang bersiap melakukan perjalanan menuju Sungai Bengawan Solo — untuk sebuah pertemuan yang tak bisa ditunda. Mungkin... beberapa hari lagi sebelum kami bisa menghadap ke utara.”



Pandika menunduk dalam-dalam, lalu berkata dengan ketulusan yang bersinar dalam matanya:

> “Jika berkenan, izinkan aku ikut serta dalam perjalanan itu. Aku bersumpah demi tanah kelahiranku, aku takkan menjadi beban ataupun penghalang.”



Rakajati menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan.

> “Kalau begitu, bersiaplah. Ikuti langkahku. Kau akan bertemu dengan Isidore... dan nasib akan menguji kita bersama.”



Lalu mereka melangkah perlahan menyusuri lereng bukit, kabut tipis menyelimuti langkah mereka, dan di kejauhan, guruh masih bersuara — seperti gendang langit yang tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah takdir dunia.


---
Chapter 49 Pertemuan Dua Takdir: Pandika dan Isidore

Di dalam gua yang diterangi cahaya samar dari batu-batu berpendar, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, duduk di atas singgasana batu yang dipahat alam sendiri. Aura kebangsawanan menyatu dengan ketenangan seorang bijak, namun matanya menyiratkan bahwa ia telah menyaksikan banyak hal—lebih dari yang seharusnya ditanggung oleh seorang muda.

Seorang pengembara menghampiri dengan langkah ringan namun penuh keyakinan. Ia membungkuk dalam penghormatan, lalu berkata:

> “Perkenalkan diriku, Pandika, dari Kerajaan Cakram. Aku telah diberitahu oleh Rakajati bahwa engkau hendak menuju Sungai Bengawan Solo. Bila berkenan, ijinkan aku menyertai perjalananmu. Aku bersumpah atas kehormatanku, aku takkan menjadi beban.”



Isidore menatapnya sejenak, menilai bukan wajah, tapi jiwa di baliknya. Lalu ia mengangguk tenang.

> “Boleh saja, Pandika. Jalan kami terbuka bagi mereka yang membawa terang dan keberanian.”



Pangreksa, sang penjaga pusaka kerajaan, yang berdiri tak jauh dari situ, memperhatikan pedang yang tergantung di pinggang Pandika. Matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.

> “Pedangmu... sungguh langka. Itu bukan buatan manusia biasa.”



Pandika menyentuh gagang senjatanya dengan penuh hormat.

> “Benar. Senjata ini diberikan oleh seorang peri hutan—mereka yang hidup tersembunyi di antara akar dan kabut, pelindung tanah dan daun.”



Rakajati mengangkat alis, suaranya mengandung kekaguman.

> “Peri... mereka sangat sulit ditemukan. Bahkan aku, yang hidup di antara pepohonan, tak pernah melihat wujud mereka selama ratusan purnama. Kau benar-benar beruntung.”



Bhra Anuraga, sang pendeta muda yang selalu haus akan kisah dan makna di baliknya, bersandar pada tongkat kayunya.

> “Jika engkau berkenan, ceritakanlah. Bagaimana perjumpaan itu terjadi?”



Pandika mengangguk, lalu mulai bertutur:

> “Aku sedang dalam perjalanan menyelesaikan misi yang dipercayakan oleh rajaku, Agus Marto, raja dari tanah Cakram. Untuk membuktikan kelayakanku sebagai seorang ksatria, aku ditugaskan menyelesaikan banyak tantangan yang tersebar di kerajaan-kerajaan dunia lama. Dalam satu perjalanan di hutan utara, aku terluka parah saat melawan makhluk bayangan. Saat itulah seorang peri datang—ia menyembuhkanku, lalu memberiku pedang ini sebagai penuntun dalam kegelapan.”



Pangreksa menepuk pundaknya pelan.

> “Semoga perjalananmu membawa keberhasilan. Dunia memerlukan ksatria yang bersumpah atas keadilan, bukan hanya kekuatan.”



Rakajati tersenyum, namun matanya penuh harap.

> “Sudah lama aku merindukan kehadiran para peri. Setelah misi ini selesai, kau harus mengantarku kepada mereka. Hatiku ingin melihat mereka sekali lagi, sebelum usia menutup mataku.”



Pandika membalas dengan hormat:

> “Bila takdir mengizinkan, aku yakin mereka akan sangat senang bertemu denganmu, Rakajati.”



Tiba-tiba, udara di dalam gua bergetar halus, seperti kabut tipis yang berdesir di antara bintang. Raja Alam Wardana, roh leluhur dari dunia tersembunyi, muncul dalam pantulan air suci yang mengalir di dinding batu.

> “Isidore...” suaranya dalam dan menggema seperti nyanyian bumi,
“Ketahuilah bahwa pengembara ini—Pandika—bukanlah orang biasa. Di dalam darahnya mengalir kekuatan dari bangsa peri yang lama hilang dari dunia ini. Bila kelak gelap menutupi matamu dan jalanmu terputus, dialah cahaya yang akan menyelamatkanmu.”



Isidore menunduk perlahan, dan dalam hatinya ia tahu: pertemuan ini bukan kebetulan. Takdir telah menyulam benang mereka dalam satu jalinan besar yang belum tersingkap seluruhnya.


---


---

Chapter 50 Perjalanan Menuju Bengawan Solo

"Sayangnya," ujar Surya Wikrama dengan nada berat, matanya menatap ke arah barat, "di dekat Bengawan Solo tiada batu loncatan yang dapat membawa kita ke sana dengan cepat. Mohon bantuanmu, kakanda Rakajati, agar perjalanan ini tak memakan waktu terlalu lama."

Rakajati mengangguk perlahan, lalu berkata dengan tenang namun penuh wibawa,
"Baiklah… namun aku memerlukan tenagamu, Surya Wikrama, untuk menerangi jalan di akar-akar tua yang akan kita lalui."

Ia kemudian menancapkan tongkatnya ke batang pohon raksasa yang menjulang, tua dan lapuk namun penuh kekuatan purba. Suara retakan terdengar, lalu batang pohon itu perlahan terbelah, memperlihatkan lorong gelap yang melingkar turun ke perut bumi, dipenuhi urat-urat akar yang mengalirkan cahaya samar hijau.

"Apakah kita akan masuk ke sana?" tanya Pandika, suaranya setengah ragu, setengah takjub.

"Kau aman bersama kami," jawab Isidore, matanya berkilau di tengah remang. "Ikuti kami, dan jangan tertinggal."

Surya Wikrama melangkah ke depan, pedangnya terhunus, memancarkan cahaya keemasan yang membasuh dinding akar dengan kilau hangat. Bau tanah basah dan resin tua memenuhi udara. Akar-akar besar seolah bergerak perlahan, membimbing langkah mereka menuruni lorong berliku hingga akhirnya mereka keluar di tepi Bengawan Solo.

Namun, ketenangan sungai itu ternodai. Kabut kelam menggantung rendah di atas air, berputar-putar bagai napas makhluk purba.

"Wangkara…" bisik Surya Wikrama dengan nada waspada. "Jarang sekali mereka muncul di siang hari. Mereka tidak akan menyerang, namun kabut ini… terlalu lama menghirupnya akan menjerat mata kita dalam ilusi."

"Bagaimana kita mengusirnya?" tanya Isidore.

Bhra Anuraga menatap ke arah kabut, wajahnya tegang. "Aku kira… ada seseorang yang mengarahkan mereka kemari." Ia menarik napas panjang. "Kita harus menghidupkan aura kita masing-masing."

Maka Surya Wikrama melangkah maju, mengangkat pedangnya tinggi, dan darinya memancar sinar emas bagaikan matahari fajar. Isidore menutup matanya sejenak, lalu dari tubuhnya mengalir cahaya kebiruan, lembut namun teguh seperti air yang menolak dibelah. Bhra Anuraga menyalakan aura kemerahan laksana bara api yang tak padam. Pangreksa memancarkan kilau perak yang menusuk kabut seperti bilah dingin. Guntur Wisesa menggetarkan udara dengan kilat yang berkilau di sekelilingnya.

Namun Pandika—dari dirinya terpancar cahaya putih murni, seolah hutan peri sendiri memberinya kekuatan. Sinar itu menyilaukan, mengusir rasa dingin yang menyusup dari kabut. Wangkara, makhluk bayangan yang gelisah, meringis tanpa suara, tubuh mereka berbalik, melayang kembali ke rimba lebat tempat kegelapan mereka bersemayam.

Akhirnya, Bengawan Solo kembali sunyi. Airnya berkilau diterpa cahaya, seakan mengucapkan terima kasih.


---

Chapter 51 Pertemuan di Tepi Bengawan Solo

Dari seberang sungai, Putri Majapahit, Dyah Sekar Tanjung, menatap dengan mata terbelalak. Di langit senja, cahaya-cahaya aneh mekar bagai bunga surga: emas, biru, perak, dan putih. Mula-mula redup bagaikan kunang-kunang di rerumputan, namun perlahan kian terang hingga menyilaukan mata.

“Cahaya apakah itu?” bisik Lembayung, dayang setia, seraya menundukkan kepala.

“Putri, sebaiknya kita lekas pergi,” ujar Paman Hanggara, wajahnya suram, tangan menggenggam gagang keris. “Tanda-tanda semacam itu jarang membawa kebaikan.”

Namun sebelum ia sempat berbalik, Pujeng Rarasati, pengiring lain, berseru, “Lihatlah, kabut itu telah sirna! Wangkara sudah pergi, putri. Alam kembali bernapas bebas.”

Dyah Sekar Tanjung berdiri tegak, sorot matanya penuh keberanian. “Tidak, paman. Aku ingin tahu, siapakah ksatria yang mengusir kegelapan itu. Bawalah aku ke sana.”

“Titah tuan putri, kami laksanakan,” jawab para penjaga bayangan, suara mereka serempak bagai gaung lembah. Mereka melangkah lebih dulu, berlari ringan di antara pepohonan, untuk mendahului dan menyampaikan maksud tuan putri.

Rakai Jaya Hanggana, bertubuh besar bak pohon jati, berjalan paling depan, dadanya membentang melindungi putri. Di belakangnya, para prajurit membentuk formasi tembok, tombak mereka berkilau oleh pantulan cahaya sungai.

Tak lama kemudian, penjaga bayangan yang tiba terlebih dahulu menunduk hormat di hadapan para ksatria asing. “Hamba Sasi Anglirat. Ijinkan kami berkenalan dengan tuan-tuan ksatria yang gagah berani ini.”

Pangreksa, yang berdiri tenang dengan tatapan lembut namun penuh wibawa, menjawab, “Tidak perlu sungkan. Kami hanyalah pengembara yang lewat. Perkenalkan, aku Pangreksa, dan inilah sahabat-sahabatku.”

Sasi Anglirat kembali menunduk. “Mohon kiranya tuan berkenan menunggu sebentar. Tuan putri kami ingin mengucapkan terima kasih atas jasa agung kalian.”

Isidore menoleh sejenak pada rekan-rekannya, lalu menjawab dengan senyum samar, “Baiklah. Kami pun tak sedang dikejar waktu. Bengawan ini indah, dan kami ingin sejenak menikmati kedamaiannya.”

“Bagaimana,” sela Surya Wikrama sambil melepaskan sabuk pedangnya, “sementara menunggu, aku masakkan ikan jendil untuk kita semua?”

Sebelum ada yang sempat menanggapi, ia melangkah ke tepi sungai. Dengan satu gerakan tangannya yang penuh wibawa, air sungai beriak, dan ikan-ikan meloncat sendiri, jatuh ke tangannya bagaikan tunduk pada kehendak sang ksatria.

Para pengawal bayangan terdiam, mata mereka membelalak. Salah satu berbisik lirih, “Sungguh, ini bukan manusia biasa. Ada darah para dewa dalam dirinya.”

---

Chapter 52 Adegan Pertemuan di Bengawan Solo

Asap tipis dari ikan jendil yang dipanggang perlahan menari-nari di udara. Aroma gurihnya terbawa angin, menyentuh hidung Lembayung.

“Siapakah yang sedang membakar ikan di saat perutku meronta lapar?” serunya, separuh bercanda, separuh sungguh.

Pujeng Rarasati tersenyum, menoleh pada putri. “Sepertinya ksatria itu tahu bagaimana membaca suasana. Barangkali inilah pertanda pertemuan baik.”

Rombongan pun tiba di tepi sungai, di mana para ksatria duduk dengan wajah bersahaja. Api unggun menyala redup, di atasnya ikan-ikan menguning dengan harum menawan.

Dyah Sekar Tanjung melangkah anggun ke depan. Suaranya jernih, penuh wibawa kerajaan.
“Aku Dyah Sekar Tanjung, putri dari tanah Majapahit. Atas nama keluarga dan negeriku, hatur sembah terima kasih, sebab tuan-tuan ksatria telah mengusir kabut jahat beserta para wangkara.”

Para ksatria berdiri memberi hormat. Satu per satu mereka memperkenalkan diri: Surya Wikrama dengan tatapannya yang bercahaya, Pangreksa dengan suaranya yang kokoh, Bhra Anuraga yang berapi-api, hingga akhirnya Isidore, yang melangkah terakhir.

“Izinkan hamba memperkenalkan diri,” ucap Isidore, suaranya dalam dan tenang, namun mengandung getaran yang menyentuh hati. “Isidore, pengembara dari negeri jauh. Tiada maksud lain selain berjalan di jalan takdir yang ditunjukkan semesta.”

Tatapan Dyah Sekar Tanjung bertemu dengan tatapan Isidore. Ada kilau aneh di sana: kagum, penasaran, dan sesuatu yang lebih dalam, meski tak terucap.

Isidore tersenyum lembut. “Putri, bila berkenan, duduklah bersama kami. Api ini hangat, dan ikan sungai ini lebih lezat bila disantap ramai-ramai.”

Dyah Sekar tersenyum samar, lalu berkata, “Baiklah, ksatria. Undanganmu kuterima. Jarang aku dapati sambutan seindah ini di tengah hutan.”

Mereka pun duduk berdekatan. Di antara percakapan ringan dan tawa kecil, Dyah Sekar memberanikan diri bertanya, suaranya lirih, seakan hanya untuk Isidore.

“Ksatria Isidore… berapakah usiamu, bila tak berkeberatan menjawab?”

Isidore menatap nyala api sejenak sebelum menjawab. “Tahun-tahun bagiku telah banyak terlewati. Namun usia, putri, hanyalah angka. Yang lebih berarti adalah perjalanan hati.”

Dyah Sekar tersenyum, lalu menunduk, menyembunyikan rona wajahnya. “Dan apakah dalam perjalanan hatimu… telah ada seseorang yang menanti?”

Isidore menoleh padanya, menatap dalam-dalam, namun dengan kelembutan yang membuat jantung sang putri bergetar. “Belum, putri. Hatiku masih berjalan, belum berlabuh. Namun… kadang semesta mempertemukan dua jiwa pada waktu yang tepat, walau mereka masih terikat pada jalan masing-masing.”

Dyah Sekar terdiam, jemarinya meremas ujung selendang. Ada kata yang ingin keluar, tapi tertahan oleh adab dan tugas sebagai putri kerajaan.

Isidore lalu menundukkan kepala hormat. “Masih ada tanggungan yang harus kuselesaikan. Namun bila jalan takdir berkenan, aku akan kembali. Dan bila aku kembali… semoga kita dapat bercakap lebih dari sekadar tentang nama dan asal.”

Dyah Sekar Tanjung menatapnya dengan mata berbinar, suaranya setengah bisikan, “Aku akan menanti.”

Api unggun berderak, ikan matang disajikan, dan di bawah cahaya Bengawan Solo yang berkilau, tumbuhlah benih perasaan yang belum sempat mekar—namun janji dalam hati telah terucap di antara mereka.


---
Chapter 53 Senja di Bengawan Solo

Tatkala sang surya condong ke barat, langit berwarna tembaga dan lembayung, Paman Hanggara berdiri tegap dengan wajah penuh wibawa. Ia mengucapkan perpisahan kepada para ksatria dengan suara yang dalam,
“Wahai Isidore dan para sahabat yang berhati gagah, Majapahit selalu terbuka bagimu. Datanglah suatu hari, maka istana akan menyambutmu dengan segala kemuliaannya.”

Putri Dyah Sekar Tanjung pun maju selangkah, langkahnya selembut desir angin senja. Dari tangannya yang halus, ia mengulurkan sebuah hiasan berbentuk kupu-kupu, ditempa dari emas murni dan bertabur permata, berkilau seperti sayap cahaya kala sore.
“Terimalah ini, ksatria Isidore, tanda kenangan dari pertemuan kita. Semoga ia menjadi pengingat, bahwa di Majapahit ada seorang putri yang menanti doa keselamatan bagimu.”

Isidore menerima dengan penuh hormat, lalu mengeluarkan sebuah gelang dari kayu hutan purba. Kayu itu beraroma harum, seperti wangi dupa yang membelai jiwa. Ia menyerahkannya dengan tatapan tulus,
“Dan terimalah dari tanganku yang sederhana ini, putri. Gelang ini terbuat dari kayu suci yang selalu mengingatkan pada keseimbangan. Semoga aromanya senantiasa menenangkan hatimu, sebagaimana pertemuan ini menenangkan hatiku.”

Sejenak hening, lalu rombongan prajurit bersama sang putri berangkat, langkah mereka perlahan hilang dalam kabut senja, meninggalkan para ksatria dalam keheningan penuh makna.


---

Gua Sagara Putra

“Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan,” ujar Rakajati, sorot matanya tajam menembus belantara. “Ada seorang ksatria yang tertidur menanti kita.”

Ia menunjuk sebuah gua purba di tepi hutan, tak jauh dari arus Bengawan Solo. Mulut gua itu tertutup oleh pintu batu raksasa, dihiasi pahatan naga dan ombak, seakan samudra sendiri membisikkan rahasianya di sana.

Surya Wikrama maju ke depan. Dengan tangan tegak ia membentuk segel, dan cahaya suci memancar dari telapak tangannya. Sinar itu merambat, menyusuri retakan ukiran batu, hingga pintu gua bergetar dan terbuka perlahan, mengeluarkan suara dalam bagaikan gemuruh lautan.

“Masuklah,” katanya. “Inilah tempat persemayaman Sagara Putra, pengendali samudra.”

Mereka melangkah ke dalam, dan pandangan Pandika seketika terpesona. Dinding gua berhiaskan ornamen indah, kilauan kristal dan relief gelombang laut yang seakan hidup, memantulkan cahaya pelita. Dan di ruang terdalam, di bawah derasnya air terjun yang jatuh dari celah batu, seorang ksatria agung duduk bersila, tubuhnya diselubungi lumut dan kabut waktu: Sagara Putra.

Maka dimulailah pemanggilan. Surya Wikrama mengangkat tangan, memanggil jiwa sahabatnya dari alam roh. Guntur Wisesa berdiri di sampingnya, mengeluarkan aura petir yang menyambar lembut, menyinari ruangan dengan cahaya kilat. Bayu Anggana mengibaskan tangan, dan angin murni berhembus, mengusir kelelawar serta udara busuk yang lama bersarang di gua. Bhra Anuraga memanggil bara api, menghangatkan batu-batu yang dingin dan memurnikan udara lembap. Rakajati menundukkan kepala, akar-akar bumi menjalar, membersihkan lumut yang melilit tubuh Sagara Putra.

Perlahan, mata sang ksatria terbuka. Air terjun yang membasuh tubuhnya tampak berkilau, seolah ikut menyambut kebangkitannya. Ia menoleh, dan mendapati sahabat-sahabat lamanya telah menunggu dengan sabar.

“Saudaraku…” ucap Sagara Putra dengan suara serupa gemuruh ombak, “kalian telah datang. Waktuku tertidur telah berakhir. Kini, bersama kalian, aku akan berjalan kembali di jalan takdir.”

---

Chapter 54 Upacara Penyambutan Sagara Putra

Di ruang gua yang berkilau oleh gemerlap kristal dan jatuhnya air terjun, para ksatria berdiri membentuk lingkaran mengelilingi Sagara Putra. Api suci Bhra Anuraga berpendar di sisi, cahaya petir Guntur Wisesa menari di udara, dan angin Bayu Anggana membawa harum dupa yang mereka bakar sebagai tanda persaudaraan.

Surya Wikrama mengangkat tangannya, suaranya bergema di dinding gua:

“Wahai Sagara Putra, pengendali samudra yang agung, kami menyambut kebangkitanmu. Persaudaraan Mythopia belum musnah, dan hari ini engkau kembali menjadi tiang penyangga takdir.”

Mereka kemudian mengulurkan senjata mereka ke tengah lingkaran—pedang, tombak, tongkat, dan panah—membentuk bintang cahaya. Pandika meletakkan tangannya di atas, tanda sumpah setia.

Sagara Putra bangkit dari duduknya. Air yang jatuh dari rambutnya berkilau bagai mutiara. Ia menunduk hormat pada saudara-saudaranya, lalu mengangkat kedua tangannya, sehingga air terjun di belakangnya bergemuruh lebih dahsyat, seakan samudra ikut bersumpah.

“Bersama kalian aku hidup kembali. Demi bumi, demi langit, dan demi jiwa-jiwa yang gugur, kita akan menunaikan perjanjian lama. Mythopia tidak akan runtuh.”

Sorak doa persaudaraan memenuhi gua. Aura cahaya, angin, api, air, tanah, dan petir berbaur, menciptakan sinar pelangi yang menari di udara—tanda sumpah ksatria yang abadi.


---
Chapter 55 Kilas Balik: Perang Melawan Mahluk Mistis

Setelah upacara itu, Sagara Putra duduk bersila, dan dengan suara berat ia membuka kisah lama, kisah yang hanya diceritakan dalam bisikan-bisikan leluhur.

“Seratus tahun yang lalu, bumi ini diguncang oleh bencana. Dari perut gunung purba di dataran tinggi Dieng, bangkitlah Lelakut Gunung—raksasa dari batu dan lava, setinggi puncak gunung itu sendiri. Tubuhnya dipenuhi retakan merah membara, dan dari mulutnya dimuntahkan lahar yang menghanguskan hutan dan desa. Langit saat itu gelap, matahari tertutup asap, dan bumi bergetar di bawah pijakannya.”

Para ksatria Mythopia berkumpul dan menyerang dengan segala kekuatan. Panah petir ditembakkan, pedang suci beradu, sihir purba dipanggil. Namun raksasa itu tidak roboh. Setiap tebasan hanya menjatuhkan serpihan batu, namun tubuhnya kembali mengeras dengan api baru.

“Dan ketika kami mulai kelelahan,” lanjut Sagara Putra, suaranya bergetar, “muncul lagi malapetaka kedua: Gendrawani Api, seorang raksasi bertangan delapan, rambutnya menyala laksana obor, dan tiap tangannya menggenggam senjata maut. Ia meraung, dan suaranya memecahkan batu-batu puncak Dieng. Ratusan prajurit roboh, desa-desa dilalap api, sungai-sungai mendidih oleh panasnya.”

Banyak ksatria gugur hari itu. Ahli strategi kami, dengan air mata, memerintahkan mundur agar rakyat tidak seluruhnya binasa. Tetapi—”

Ia terdiam sejenak, menundukkan kepala, lalu melanjutkan,
“—di antara kami ada satu yang tidak mundur. Seorang ksatria dari Majapahit. Ia membawa pedang dan tongkat sihir. Seorang diri ia berdiri di tengah amukan api, menebas, menusuk, melantunkan mantra dengan membabi buta. Dari pedangnya lahir cahaya, dari tongkatnya mengalir gelombang sihir, menahan raksasi dan Lelakut Gunung agar kami bisa selamat. Tetapi setelah itu… tiada yang tahu nasibnya. Apakah ia gugur bersama kobaran api, atau masih hidup, berkelana di alam yang tak terjangkau manusia.”

Keheningan panjang menyelimuti gua. Hanya suara air terjun yang terdengar, laksana tangisan bumi mengingat perang itu.

“Karena itu,” Sagara Putra mengakhiri, “kita harus bersiap. Sebab bencana itu bisa saja bangkit lagi, dan sumpah kita hari ini adalah perisai terakhir bagi dunia.”














Tidak ada komentar: