Ketika Kota Menjadi Gema
Jatmika dan John duduk di ruang tamu sederhana, layar holografis di dinding menampilkan linimasa yang bergerak terlalu cepat untuk diikuti. Di sana, berita dan komentar bercampur, bukan lagi dibedakan antara fakta dan opini. Hashtag berganti setiap menit, tetapi intinya tetap sama: amarah kolektif yang menolak untuk diredam.
Semuanya berawal dari satu kalimat seorang anggota DPR, yang menantang rakyat dengan menyebut wacana pembubaran DPR sebagai “tolol.” Kalimat itu, dalam hitungan jam, berubah menjadi simbol kesenjangan: bukan sekadar jarak antara wakil dan rakyat, melainkan antara mereka yang bisa menertawakan kesulitan, dan mereka yang harus menanggungnya setiap hari.
Ketika rekaman anggota DPR berjoget-joget dalam sidang kenaikan gaji tersebar luas, resonansinya semakin keras. Gambar tubuh-tubuh yang bergoyang di ruang parlemen terasa seperti ejekan bagi jutaan orang yang sedang berjuang membeli beras dengan harga yang terus merangkak naik.
Jakarta pun meledak. Aksi protes di depan gedung DPR pada awalnya adalah upaya artikulasi, tetapi diabaikan. Anggota dewan memilih menghindar, sebagian besar meninggalkan negeri untuk “urusan dinas.” Kekosongan itu segera diisi oleh amarah. Rumah-rumah pejabat menjadi sasaran penjarahan—bukan sekadar mencari barang, melainkan membongkar simbol. Mobil polisi dibakar, jalanan penuh kepulan asap.
Puncaknya datang ketika sebuah mobil taktis Brimob melindas seorang pengemudi ojek daring. Rekaman itu menyebar dalam hitungan detik, dan dalam hitungan jam menjadi bahan bakar yang membuat demonstrasi menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Di laboratorium, notifikasi masuk ke sistem pusat teleportasi. Satu kalimat singkat:
“Semua operasi dibatalkan. Tunggu sampai keadaan stabil.”
Jatmika menatap layar itu lama, sebelum memandang John.
“Teknologi ini,” katanya pelan, “diciptakan untuk membuka dunia, bukan untuk melarikan diri darinya. Tapi hari ini, kita belajar bahwa dunia bisa menutup dirinya sendiri.”
Di luar, Jakarta masih bergemuruh. Namun gema itu bukan hanya suara demonstran, bukan hanya dentuman gas air mata. Itu adalah gema sebuah bangsa yang tengah mencari titik teleportasinya sendiri: bukan ke ruang lain, tetapi ke masa depan yang berbeda.
---
Sinkronisasi yang Hilang
Malam itu, ketika Jakarta masih bergetar oleh gema demonstrasi, John duduk di beranda rumah Jatmika. Lampu jalan berkelip, seakan ikut goyah oleh ketidakpastian. Ia menyalakan sebatang rokok, menarik dalam-dalam, lalu berkata seolah kepada dirinya sendiri:
“Teleportasi tidak pernah benar-benar gagal karena teknologinya,” ujarnya lirih. “Yang membuatnya gagal adalah ketika sinkronisasi tidak tercapai. Tubuh, pikiran, dan medan energi harus selaras. Begitu salah satu keluar jalur, hasilnya bisa fatal—seseorang bisa hilang di tengah perpindahan, atau muncul kembali tidak utuh.”
Ia berhenti sejenak, memperhatikan layar holo yang masih menampilkan potongan-potongan video kerusuhan.
“Negara ini,” lanjutnya, “tidak jauh berbeda. Energinya besar, rakyatnya luar biasa. Tapi kalau frekuensi antara pemimpin dan rakyat tidak pernah sinkron, apa yang terjadi? Kita melihatnya sekarang: pecahnya struktur, chaos yang tak bisa dihentikan hanya dengan perintah.”
Jatmika tidak langsung menjawab. Baginya, kata-kata John bukan sekadar renungan, melainkan hipotesis sosial yang bisa diuji. Ia tahu benar bahwa teleportasi hanyalah alat—cermin yang memperlihatkan bagaimana manusia mengelola kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Keesokan harinya, meski laporan pembatalan operasi sudah jelas, Jatmika tetap datang ke kantor. Bukan untuk menentang keadaan, melainkan karena keyakinan bahwa teknologi tidak boleh ikut lumpuh oleh politik. Bersama ketua tim sepuluh, ia mengaktifkan kembali artefak lampu di ruang laboratorium. Proses teleportasi dijalankan dengan hati-hati, bukan untuk mengangkut orang, melainkan untuk mengamankan temuan yang telah dikumpulkan di titik-titik gua.
Kotak-kotak besi dibawa ke hadapan mereka, masing-masing berisi benda yang lebih menyerupai teka-teki daripada harta karun: zirah besi yang meski berkarat masih terasa berat dengan makna, tongkat kayu dengan batu delima merah yang berkilau dari dalam, lemari tua penuh pedang yang bilahnya seakan masih haus medan perang.
Namun perhatian Jatmika tertuju pada satu benda: sebuah keris yang disimpan dalam kotak besi berlapis segel. Kotak itu bukan sekadar wadah, melainkan penjara yang dibuat agar sesuatu tetap terikat.
Jatmika menyentuh permukaan kotak itu. Dingin, namun berdenyut halus, seolah ada nadi yang masih bekerja di dalamnya.
“Kalau teleportasi bisa gagal karena sinkronisasi yang hilang,” katanya pelan, “saya bertanya-tanya: benda ini… apakah ia pernah menjadi pusat dari sinkronisasi sebuah kerajaan? Dan kalau dulu sempat hilang, apa itu yang membuat mereka runtuh?”
John hanya menatap, rokoknya telah padam. Ia tahu, seperti halnya pada masyarakat, ada kekuatan yang jika tidak diseimbangkan akan memecah belah—baik manusia maupun sejarahnya sendiri.
Dan malam itu, di dalam laboratorium yang hening, pertanyaan itu menggantung di udara: apakah keris itu sekadar artefak, ataukah ia masih mencari keseimbangan yang hilang?
---
Kotak yang Kosong
Laboratorium telah sunyi. Hanya dengungan generator dan suara jarum jam dinding yang terdengar, beradu dengan kilau redup lampu neon. Para karyawan sudah pulang, menyisakan tiga orang: Pak Toni, Jatmika, dan John. Mereka duduk di meja panjang, dikelilingi tumpukan berkas laporan serta grafik kerugian akibat penundaan jadwal teleportasi.
“Semoga pemerintah cepat menyelesaikan tuntutan massa,” kata Pak Toni, memijit pelipisnya. “Kalau ekonomi tetap lumpuh, tidak ada artinya kita melanjutkan proyek ini. Semua orang sibuk dengan urusan perut.”
John, yang sejak tadi diam, menggeser pandangannya ke kotak besi di pojok meja. Kotak itu tampak tak asing, seolah ada gravitasi tersendiri yang menarik matanya. “Bagaimana kalau,” katanya hati-hati, “kita periksa isi kotak itu? Kerisnya mungkin menyimpan jawaban—atau setidaknya, petunjuk—tentang asal mula semua ini.”
Pak Toni menatapnya, awalnya ingin menolak, tapi rasa ingin tahunya lebih besar dari kehati-hatian. “Mungkin kau benar,” gumamnya.
Jatmika mengangguk pelan. Ia mendekat ke kotak besi itu. Tidak ada kunci, tidak ada engsel. Hanya sebuah gambar samar di permukaan, terbuat dari debu magnetik yang menempel seperti ukiran hidup. Ia teringat pada pelajaran singkat dari Wen Shuyuan tentang segel kuno: gambar tidak hanya lambang, tapi juga perintah.
Dengan tangan gemetar, Jatmika menarik sebatang besi tipis, lalu menggambar pola segel di atas permukaan kotak. Goresannya menggetarkan butiran debu magnetik, membentuk simbol yang berdenyut seakan mengenali maksudnya.
Terdengar bunyi mekanis—klik, klik, klik—suara tua seperti gigi roda yang lama tak bergerak. Kotak itu bergetar, lalu perlahan membuka.
Mereka bertiga menahan napas.
Namun di dalamnya: kosong.
Bukan keris, bukan batu permata, bukan benda apapun yang mereka harapkan. Hanya ruang hampa berlapis beludru hitam, seakan keris itu pernah ada namun telah meninggalkan jejaknya.
John melangkah mundur. “Apa… ada yang salah dengan segelnya?”
Jatmika menggeleng, wajahnya kaku. “Tidak. Segelnya bekerja. Mekanisme kotak terbuka sempurna. Yang aneh adalah…” Ia berhenti, suaranya merendah, “…jejak energi masih ada.”
Pak Toni menyentuh bagian dalam kotak. Ujung jarinya merasakan getaran halus, bukan dingin logam melainkan sisa panas, seakan sesuatu baru saja menghilang sesaat sebelum kotak itu dibuka.
“Kerisnya tidak hilang,” bisik Jatmika akhirnya. “Ia berpindah. Entah ke mana.”
Hening turun, lebih berat dari sebelumnya. Rasanya seperti mereka bukan membuka kotak, melainkan membuka ruang kosong di dalam sejarah.
Pak Toni mencoba menertawakannya, tapi tawanya tidak berhasil menutupi ketakutan yang tumbuh. “Kalau keris bisa berpindah sendiri, berarti kita bukan hanya berurusan dengan mesin teleportasi. Kita berurusan dengan sesuatu yang memilih ke mana ia akan pergi.”
John menatap kotak yang kini terbuka, seperti menatap mulut gua gelap yang tak berujung. “Atau sesuatu… yang menunggu saatnya untuk kembali.”
Laboratorium terasa lebih dingin. Dan untuk pertama kalinya, mereka bertiga merasa bahwa teknologi teleportasi hanyalah gerbang kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang mungkin tidak bisa mereka kendalikan.
Layar yang Menyimpan 17+8 Tuntutan
Di ruang tamu sederhana itu, televisi menyala tanpa jeda. Gambar dari gedung DPR di Jakarta terpampang: ribuan orang memadati jalan, suara lantang influencer bercampur dengan gema pengeras suara. Jatmika dan John duduk bersebelahan, masing-masing memegang cangkir kopi yang sudah dingin.
Narasi berita beralih ke infografik: “Tuntutan 17+8 Rakyat.”
Tulisan itu tampil dengan huruf tebal, dibagi menjadi dua bagian: jangka pendek, jangka panjang.
John menyipitkan mata. “Lucu, bukan? Ini seperti daftar bug dalam sebuah sistem. Ada yang harus diperbaiki segera, dan ada yang perlu patch besar di versi berikutnya.”
Jatmika tersenyum samar, meski matanya tetap terpaku pada layar. “Bedanya, bug dalam sistem hanya memengaruhi program. Bug di sini menyentuh kehidupan nyata: harga beras, ongkos rumah sakit, masa depan orang-orang yang bahkan tak pernah tahu apa itu teleportasi.”
Satu per satu poin dibacakan: tim investigasi independen, penghentian kriminalisasi, audit harta DPR, reformasi partai, revisi pajak, perlindungan buruh, penegakan HAM.
“Ini peta jalan,” kata Jatmika pelan. “Bukan sekadar tuntutan. Jika dipenuhi, ia bisa memperbaiki jaringan kepercayaan yang sekarang retak.”
John menambahkan, “Tapi seperti teleportasi—energi harus seimbang. Kalau satu titik menyerap terlalu banyak tekanan, jaringan bisa runtuh. Demo ini… adalah uji sinkronisasi sosial. Kalau gagal, konsekuensinya chaos.”
Hening sebentar. Hanya suara reporter yang terus membacakan poin-poin, seperti mantra modern: reformasi DPR, perbaikan pajak, penguatan KPK.
Di luar rumah, dunia tetap berjalan. Motor lewat, suara anak kecil bermain, aroma gorengan dari warung tetangga. Tapi mereka berdua tahu: keseharian itu rapuh.
Jatmika menegakkan duduknya. “Semoga pemerintah bisa menanggapi dengan bijak. Kalau tidak, teleportasi bukan halangan. Yang runtuh duluan bukan teknologi, tapi fondasi kepercayaan.”
John tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, menatap layar yang masih memancarkan daftar 17+8 itu—sebuah algoritma politik yang menunggu untuk dijalankan.
Mimpi Keris
Televisi masih menyala, menampilkan gambar demonstrasi yang berulang seperti loop tak berkesudahan. Jatmika dan John tertidur di sofa, cahaya layar membias pada wajah mereka yang lelah.
Dalam tidurnya, Jatmika berada di ruang asing. Kotak besi yang pernah ia buka kini hadir kembali, seolah tak pernah disentuh. Ia melihat keris itu jelas: bilahnya hitam berkilau, gagangnya terukir halus. Saat tangannya menyentuh, seketika tubuhnya tersentak. Rasa nyeri itu bukan sekadar sakit—lebih mirip aliran listrik yang memaksa masuk, menembus tulang dan syaraf.
Ia berteriak, mencoba melepaskan, namun keris itu menempel erat, seakan menolak dipisahkan.
Lalu, sosok muncul: seorang pria berjubah kerajaan, wajahnya teduh, matanya mengandung sejarah yang terlalu panjang untuk diukur dengan tahun.
“Tenanglah,” ujarnya lembut. Suaranya menenangkan, seperti gema yang berasal dari dua arah: masa lalu dan masa depan.
“Aku Isidore.”
Senyumnya menyingkap sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkenalan.
“Keris itu masih ada. Tapi bukan di sini. Ia tersimpan di pusat persenjataan kerajaan Mythopia. Hanya keturunan Mythopia yang dapat melangkah ke sana. Dan kau, Jatmika, harus datang sendiri.”
Dengan gerakan tangannya, Isidore menunjukkan gambaran sebuah gua. Pintu segel terbuka perlahan, cahaya matahari menembus dari balik celah batu. Ada jalan setapak yang dilingkupi kabut putih.
“Jangan keluar dari kabut itu,” katanya. “Kabut adalah penuntun sekaligus pelindung. Ikuti jalan sampai kau tiba di gua berikutnya. Di sana, segel akan membawamu pada keris yang sesungguhnya.”
Semua itu terasa nyata. Terlalu nyata untuk sekadar mimpi.
Jatmika terbangun dengan keringat dingin, televisi masih menyala dengan suara pelan. Ia segera mematikannya, lalu duduk dalam gelap. Nafasnya masih berat, tapi pikirannya jernih.
Apakah ini sekadar bunga tidur? pikirnya. Atau pesan yang memang ditujukan kepadaku?
Ia menyadari satu hal: ia belum pernah melihat pria bernama Isidore itu sebelumnya. Dan justru karena itu, kata-kata dalam mimpi itu terasa lebih kuat daripada sekadar khayalan.
Pertanyaan menggantung di udara kamar:
Apakah aku harus mencarinya sendiri?
Keesokan harinya, di ruang laboratorium yang penuh dengan dengung mesin, Jatmika berdiri di depan Ny. Tien—sebuah program AI yang suaranya tenang, nyaris terlalu manusiawi untuk disebut buatan. Ia meminta agar lokasi yang diduga sebagai pintu menuju Istana Mythopia diperiksa. Ny. Tien, dengan kecermatan dingin, menampilkan hasil: lima gua, masing-masing di Gunung Lawu, Merbabu, Dempo, Gede, dan Kerinci. Semua memiliki ciri yang mirip dengan apa yang Jatmika lihat dalam mimpinya: jalan berkabut, samar, seakan menanti untuk ditafsirkan.
“Teleportasikan aku ke sana,” ucap Jatmika akhirnya, meski dalam hati ia masih ragu apakah ini langkah yang benar, atau sekadar pengejaran terhadap sesuatu yang barangkali tak pernah nyata.
Setelah mengenakan baju pelindung dan menegakkan bahunya, ia menyatakan siap. Ny. Tien menghitung mundur. Dari artefak lampu, cahaya emas merekah, berganti merah, lalu putih. Kilatan listrik menyambar, dan dalam sekejap tubuh Jatmika lenyap dari laboratorium.
Ia tiba di gua Gunung Lawu. Hening, dingin, hanya gema langkahnya yang menemani. Ia menelusuri lorong, menemukan sebuah pintu, lalu menggambar segel persis seperti dalam mimpinya. Pintu itu membuka ke jalan berkabut. Ia mencoba menapaki jalan itu, kabut putih menggulung pelan di sekelilingnya. Ia berjalan lama, tanpa tahu arah. Tak ada pintu gua lain, tak ada tanda kehidupan. Hanya kesunyian. Dengan hati berat, ia memutuskan kembali.
Satu per satu gua lain ia coba—Merbabu, Dempo, Gede—namun semuanya hanya memberi jalan yang buntu. Hingga akhirnya, ia tiba di Gunung Kerinci.
Kali ini, ia mencoba mengingat dengan sungguh-sungguh: dalam mimpi, ia diperintah agar mengikuti jalan berkabut, jangan pernah keluar darinya, atau ia akan tersesat. Ia melangkah, kabut terasa lebih padat, seakan berlapis-lapis, namun jalan setapak tetap tampak samar. Hingga akhirnya ia tiba pada sebuah tebing batu, buntu, seolah perjalanan berakhir di sana.
Dengan tangan gemetar, ia menggambar segel kunci di papan batu menggunakan debu magnetik. Pintu pun terbuka, dan jantungnya berdetak keras ketika cahaya menyemburat.
Di dalam gua itu, tumpukan koin emas dan cawan-cawan berkilau menyambutnya. Namun ia hanya menatap sekilas; benda-benda itu, betapapun mewah, terasa hampa. Ia tahu, ia sedang mencari sesuatu yang lain.
Di sisi ruangan, ia menemukan sebuah lemari buku kuno. Lembaran-lembaran di dalamnya memuat peta gua dalam bahasa asing yang tampak terlalu tua untuk dikenali. Ada pula silsilah kerajaan Mythopia, nama-nama yang asing sekaligus samar, seakan sebagian dari dirinya pernah mendengarnya dalam bisikan. Batu-batu biru di dinding gua menyala perlahan, memantulkan cahaya dingin ke wajahnya.
Tiba-tiba, terlintas pikiran yang menusuk: hanya keturunan Mythopia yang bisa memegang keris itu. Ia tak pernah benar-benar mengenal ayahnya, apalagi kakeknya. Jika ia benar keturunan raja, mungkinkah hidupnya sejak dulu tak seharusnya sesulit ini? Ia menggigit bibir, menahan getir, lalu bergumam dalam hati: mungkin aku memang orang asing di tanahku sendiri.
Di ujung ruangan, sebuah lemari besi besar berdiri. Dengan ragu ia membukanya. Di dalam, ada sebuah kotak bersegel. Ia membuka kotak itu, dan mendapati sebuah cincin berukir, dihiasi batu merah delima yang tampak terlalu murni untuk dunia ini.
Ia mengangkat cincin itu, lalu—tanpa banyak pertimbangan—mencoba menyelipkannya di jarinya.
Sekejap, cincin itu menyala merah. Panasnya menusuk, ruangan bergetar, cahaya di dinding berubah liar. Atmosfer menjadi mencekam, seolah ada sesuatu yang baru saja terbangun. Jatmika panik, berusaha mencabut cincin itu, namun cincin melekat erat, tak mau lepas.
Saat itu juga, sebuah tongkat melayang dari kejauhan, terhenti di depan dirinya. Refleks, ia meraihnya, seolah tangannya digerakkan oleh kehendak lain.
Lalu, dari kegelapan, sebuah keris melesat cepat. Jatmika berteriak, tubuhnya mencoba mundur, tapi bilah itu berhenti tepat di depan tangannya, bergetar perlahan.
Untuk sesaat, dunia terasa membeku. Ia tak tahu apakah ia baru saja dipilih… atau dikutuk.
Keris itu berhenti di udara, persis di depan tangannya. Untuk beberapa saat, Jatmika hanya menatapnya, seakan bilah itu menatap balik, menimbang apakah ia layak. Lalu, tanpa benar-benar berniat, tangannya bergerak. Jari-jarinya meraih gagang keris itu.
Sekejap, tubuhnya seperti dihantam arus listrik. Nyeri menjalar, tajam dan panas, menyusuri setiap saraf. Ia ingin melepaskannya, tapi keris itu menempel, seolah melekat pada kulit dan tulangnya.
“Tidak… seharusnya bukan aku,” bisiknya lirih, setengah memohon. Namun genggaman itu tak bisa lepas.
Rasa sakit semakin menghancurkan. Lututnya goyah. Ia jatuh terduduk, lalu bersujud, dahi menempel pada batu yang dingin. Sakit itu berubah jadi gelombang, menelan kesadarannya. Hingga akhirnya gelap.
---
Di dalam kegelapan, sebuah medan pertempuran terbentang. Ia melihat para ksatria berdiri berbaris, tongkat-tongkat mereka menyala dengan api. Di depan mereka, prajurit-prajurit biasa mengangkat tombak, melemparkan panah, bahkan mencoba menjerat monster itu dengan tali yang tampak rapuh.
Makhluk yang mereka hadapi… raksasa bertangan sepuluh, setiap tangan menggenggam senjata, bergerak dengan kekejaman yang sulit dipahami. Setiap kali satu prajurit mencoba mendekat, satu lengan mengayun, dan tubuh manusia itu terpotong, lenyap begitu saja dari dunia.
Para ksatria berusaha menahan, api dari tongkat mereka melesat, membakar kulit raksasa itu. Dan Jatmika—atau mungkin seseorang yang mirip dirinya—menerjang ke depan, keris di tangan, bilahnya berkilat dengan cahaya aneh. Ia menusuk, menggores kulit keras monster itu, meninggalkan luka yang tak sembuh.
Namun raksasa itu seolah tak pernah kehabisan kekuatan.
Lalu, ksatria yang memegang keris itu mengangkat tinggi bilahnya, membelah udara. Dari sana, sinar putih muncul, begitu terang hingga menyilaukan segala yang ada. Sesaat kemudian, sosok ksatria itu lenyap, menghilang dari pandangan.
---
Jatmika terbangun dengan napas terengah. Keringat membasahi tubuhnya, dan keris itu masih ada, melekat di tangannya. Rasanya dingin sekarang, bukan panas. Tapi dingin itu pun membawa beban, seolah-olah ia telah diwarisi sesuatu yang tak pernah diminta.
---