Tampilkan postingan dengan label kerajaan mythopia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan mythopia. Tampilkan semua postingan

17/02/25

Season 3 Kerajaan Mythopia


Chapter 15 Kebangkitan Bangsa Barbar di Bawah Kabut Kelud 

Di lereng Gunung Kelud yang terkutuk, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, berdiri sebuah desa yang telah jatuh ke dalam cengkeraman kegelapan. Desa itu bernama **Gundhuk Mör**, "Tanah Bernafas Hitam" dalam bahasa kuno. Udara di sana berbau belerang dan abu, dan langit senantiasa kelam, seolah matahari tak berani menatapnya langsung. Di tengah desa, para prajurit barbar—bertubuh kekar, bermata merah seperti bara—berbaris dalam formasi kacau, pedang-pedang bergerigi mereka menghunjam tanah, sementara sorak-sorai mereka menggema bagaikan teriakan makhluk neraka.  

**Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasana yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Tubuhnya dibalut zirah hitam berukir rune kematian, dan di tangannya ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang konfor ditempa dalam lahar Gunung Kelud. Matanya—sepasang lubang gelap yang menyala merah—memantulkan kebencian yang tak terpadamkan. **"Pulau Jawa akan jatuh!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. **"Kali ini, keris sakti Mythopia akan menjadi milik kita. Dan dengan itu, Nusantara akan gemetar!"**  

Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitam yang berdesis seperti ular. Tangannya memegang tongkat dari tulang naga yang telah punah, dan di ujungnya berputar bola api hitam—**Nyala Udûn**, api yang mencuri nyawa dan mengubah jiwa menjadi abu. **"Mereka yang menolak bergabung,"** bisiknya dengan suara mendesis, **"akan kujadikan tumbal untuk api abadi ini."**  

Para jawara desa—pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman—kini dirantai oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, jiwa mereka dikendalikan oleh bisikan Ki Surya Dahana. Mereka dilatih dengan kejam: pedang mereka dicelupkan ke dalam racun *Morgul*, dan mantra-mantra gelap diajarkan untuk menghancurkan pertahanan magis kerajaan-kerajaan.  

**Seratus musim yang lalu**, bangsa barbar ini hampir musnah dalam **Pertempuran Lembah Api**, di mana Raja Mythopia kala itu, **Almarhum Aldaron**, mengerahkan ksatria-ksatria cahaya dengan keris suci **Caladthil**, "Bintang yang Menembus Kegelapan". Kekalahan itu membakar dendam turun-temurun. **"Kali ini,"** pekik Sangar Mahadipa kepada pasukannya, **"kita tak akan salah memilih lawan. Mythopia akan kita hancurkan dari dalam!"**  

Di balik kabut hitam, para pengintai barbar mengamati gerak-gerik Mythopia. Mereka tahu: keris suci itu kini dipegang oleh Isidore, sang penerus muda yang belum menguasai kekuatannya. **"Kelemahannya adalah ketakutannya,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya memperlihatkan bayangan Isidore yang sedang berlatih di Gunung Pamaton. **"Dan ketakutan adalah pintu menuju kekalahan."**  
**"Persiapan kita hampir selesai,"** geram Sangar Mahadipa, meremas tengkorak musuh terakhirnya hingga hancur. **"Bersiaplah, Mythopia. Kegelapan yang kalian kira telah mati... baru saja bangkit."**  

Chapter 16 Latihan Pewaris Tahta Mythopia 

Di bawah langit yang dipenuhi awan kelabu, Isidore, sang pewaris tahta Mythopia, berdiri di tengah padang luas yang diterpa angin kencang. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang di udara dengan selendang keperakannya yang berkibar-kibar. **"Lari, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gemuruh badai. **"Rasakan kekuatan angin, dan jangan biarkan ia menyeretmu!"**  

Isidore melesat, kakinya menapak tanah dengan susah payah. Angin berhembus kencang, mencoba menjatuhkannya, tetapi ia terus berlari, berjuang melawan kekuatan alam yang tak kenal ampun. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Bayu Anggana, matanya menyala biru. **"Ini adalah ujian untuk jiwamu. Jika kau bisa melawan angin, kau bisa melawan apa pun."**  

---  
**Di lereng Gunung Pamaton**, **Pangreksa**, sang Penguasa Es, telah menciptakan sebuah danau beku yang memancarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Permukaannya berkilau seperti kaca, dan di tengahnya, Isidore berdiri, tubuhnya menggigil. **"Masuklah,"** perintah Pangreksa, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Danau ini akan menguji ketahananmu. Jika kau bisa bertahan di sini, kau bisa bertahan di mana pun."**  

Isidore melangkah ke dalam air yang membeku, napasnya membentuk kabut putih. Dinginnya menusuk seperti ribuan jarum, tetapi ia bertahan, memusatkan pikirannya pada keris suci yang ia genggam erat. **"Ingat, Isidore,"** bisik Pangreksa, **"dingin hanyalah ilusi. Yang sebenarnya kau lawan adalah ketakutanmu sendiri."**  

---  
**Di hutan purba**, **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, telah membangkitkan akar-akar pohon raksasa yang bergerak seperti ular naga. **"Hindari mereka, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Jika kau tertangkap, kau akan tertarik ke dalam tanah, dan tak ada yang bisa menyelamatkanmu!"**  

Isidore melompat dan berputar, menghindari akar-akar yang mencengkeram. Tubuhnya berkeringat, napasnya tersengal-sengal, tetapi ia terus bergerak. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Rakajati, matanya yang seperti lubang gelap memancarkan cahaya kehijauan. **"Ini adalah ujian untuk kecerdasanmu. Jika kau bisa membaca gerakan alam, kau bisa membaca gerakan musuh."**  

---  
**Di puncak bukit yang sunyi**, **Raja Alam Wardhana** duduk bersila, cahaya kebiruannya memancar seperti rembulan. **"Meditasi, Isidore,"** katanya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Temukan kekuatan inti dalam dirimu. Itulah sumber kekuatan sejati."**  

Isidore menutup matanya, mencoba memusatkan pikirannya. Namun, bayangan kegelapan terus mengganggu—mimpi buruk tentang bangsa barbar, tentang kehancuran Mythopia. **"Jangan melawan ketakutanmu,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Terimalah, dan kau akan menemukan kekuatan untuk mengatasinya."**  

---  
**Di padang rumput yang luas**, **Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, mengajari Isidore bela diri tingkat tinggi. Pedangnya berkilauan seperti kilat, dan gerakannya seperti tarian angin. **"Pertahananmu harus sekuat seranganmu,"** katanya, menangkis serangan Isidore dengan mudah. **"Dan seranganmu harus secepat pikiranmu."**  

Isidore mengangguk, tubuhnya lelah tetapi tekadnya tak pernah padam. **"Aku akan belajar, Guru,"** katanya, suaranya penuh hormat. **"Aku akan menjadi kuat, untuk Mythopia."**  

---  
**Di tengah latihan yang melelahkan itu**, Bayu Anggana tiba-tiba menghentikan angin. Matanya yang biru pucat menyipit, seolah mendengar sesuatu. **"Ada mata-mata,"** bisiknya, suaranya seperti desiran dedaunan. **"Suku barbar mengintai kita."**  

Dengan gerakan cepat, Bayu Anggana mengangkat tangannya. Angin berubah menjadi pisau tajam yang melesat ke arah semak-semak. Terdengar jeritan, dan kemudian—keheningan. **"Mereka tak akan mengganggu kita lagi,"** katanya, wajahnya tegas. **"Tapi ini hanya awal, Isidore. Mereka akan kembali, dan kau harus siap."**  
*"Kau telah melangkah jauh, Isidore,"** kata Bayu Anggana, memandangnya dengan bangga. **"Tapi perjalananmu baru saja dimulai. Mythopia membutuhkanmu—bukan hanya sebagai pewaris, tetapi sebagai pelindung."**  

Isidore mengangguk, matanya berkilau dengan tekad yang baru. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**  
---  
Chapter 17 Pencapaian dan Persiapan Menuju Gunung Lawu

Setelah satu bulan penuh pelatihan keras di bawah bimbingan para ksatria legendaris Mythopia, tubuh Isidore telah berubah. Luka dan lebam menghiasi kulitnya seperti medali perang, sementara otot-ototnya yang kini kekar menegaskan kekuatan yang telah ia peroleh. Setiap langkahnya penuh keyakinan, setiap gerakannya penuh presisi. Namun, di balik fisik yang kuat, jiwanya juga telah ditempa menjadi baja—siap menghadapi tantangan yang lebih besar.  

Di penghujung pelatihan, para ksatria memberikan hadiah sebagai tanda pengakuan atas usahanya.  

**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, mengulurkan tangannya yang berakar ke arah Isidore. Di telapaknya, terbaring sebuah buah durian ajaib—kulitnya berwarna merah tua seperti darah naga, dan aromanya memancarkan keharuman yang menenangkan jiwa. **"Ini adalah *Durian Mór*, buah yang hanya tumbuh sekali dalam seratus musim,"** kata Rakajati, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Makanlah, dan kau akan merasakan kekuatan bumi menyatu dengan darahmu. Luka-lukamu akan sembuh, dan stamina tubuhmu akan menjadi perkasa."**  

Isidore menggigit buah itu, dan seketika rasa manis-segar mengalir di lidahnya, diikuti oleh panas yang merambat ke seluruh tubuh. Luka-lukanya mengering, lebam-lebamnya menghilang, dan tenaganya pulih sepenuhnya. **"Terima kasih, Rakajati,"** katanya, matanya berkilau penuh syukur.  

**Pangreksa**, sang Penguasa Es, melangkah maju. Di tangannya, tergantung sebuah kalung kristal es yang berkilauan seperti bintang jatuh. **"Ini adalah *Kalung Nenya*, penjaga fokus dan ketenangan,"** katanya, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Kenakanlah, dan kau tak akan pernah kehilangan arah, bahkan di tengah badai sekalipun."**  

Isidore mengenakan kalung itu, dan seketika, pikirannya menjadi jernih seperti air danau di pagi hari. **"Aku bisa merasakan kekuatannya,"** bisiknya, memegang kristal itu dengan penuh hormat.  

**Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, menghidangkan makanan yang telah ia siapkan dengan penuh cinta: daging sapi bakar yang empuk, dibumbui rempah-rempah kuno, dan nasi singkong yang harumnya memenuhi udara. **"Makanlah, Isidore,"** katanya, suaranya seperti desiran angin musim semi. **"Makanan ini akan memberimu mimpi indah, dan esok hari, kau akan bangun dengan semangat baru."**  

Isidore menyantap hidangan itu dengan lahap, dan ketika malam tiba, ia tertidur dengan nyenyak—tanpa mimpi buruk, tanpa bayangan kegelapan.  

---  
**Keesokan harinya**, Isidore bangun dengan tubuh yang segar dan jiwa yang siap. **"Kau telah mencapai level tertinggi dalam pelatihanmu,"** kata Raja Alam Wardhana, cahaya kebiruannya memancar seperti fajar pertama. **"Tapi perjalanan kita belum selesai. Kini, kita harus menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**  

**Gunung Lawu**, gunung berapi yang legendaris, dikenal sebagai tempat di mana api abadi menyala. Di sanalah Bhra Anuraga, ksatria yang tubuhnya menyala seperti bara, menjaga rahasia kekuatan api Mythopia. **"Dia adalah ksatria terkuat di antara kita,"** kata Pangreksa, suaranya penuh hormat. **"Dan dia tak akan mudah menerimamu, Isidore. Kau harus membuktikan dirimu."**  

Dengan keris suci di pinggang, kalung es di leher, dan tekad yang membara, Isidore mengangguk. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**  

---  
**"Mari kita berangkat,"** kata Bayu Anggana, angin berhembus membawa kabar bahwa perjalanan mereka telah dipersiapkan oleh alam sendiri. **"Gunung Lawu menunggu, dan Bhra Anuraga tak akan membiarkan kita menunggu terlalu lama."**  

Dengan langkah pasti, Isidore dan para ksatria melangkah menuju Gunung Lawu, siap menghadapi api abadi dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya.  


Chapter 18 Kemarahan di Gunung Kelud 

Di puncak Gunung Kelud, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasananya yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Wajahnya yang kasar dan penuh bekas luka berkerut dalam kemarahan yang membara. Di tangannya, ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang ditempa dalam lahar gunung. Tiba-tiba, dengan gerakan kasar, ia membanting gada itu ke tanah.  

**"Mereka telah membunuh mata-mataku!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. Tanah di bawahnya retak, mengeluarkan asap hitam yang berbau belerang. **"Dan kini, Isidore—anak itu—telah menjadi ksatria aura? Tidak! Aku tak akan membiarkan Mythopia bangkit kembali!"**  

Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitamnya yang berdesis seperti ular. Di tangannya, bola api hitam **Nyala Udûn** berputar-putar, memancarkan cahaya kehijauan yang menyeramkan. **"Tenang, Sangar,"** bisiknya, suaranya seperti desisan angin malam. **"Aku masih bisa melihatnya. Isidore sedang menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**  

Matanya yang merah menyala memandang ke dalam bola api, dan di dalamnya terlihat bayangan Isidore—tubuhnya kini kekar, langkahnya penuh keyakinan, dan keris suci di pinggangnya memancarkan cahaya keemasan. **"Dia telah menjadi kuat,"** lanjut Ki Surya Dahana, **"tapi kekuatannya belum sebanding dengan jawara-jawara kita."**  

Sangar Mahadipa menggeram, matanya menyala seperti bara. **"Kirim mereka! Kirim semua jawara desa yang telah kau kendalikan dengan ilmu hitammu! Aku ingin tahu seberapa kuat mereka—dan seberapa lemah Isidore!"**  

Ki Surya Dahana mengangguk, dan dengan gerakan tangannya, bola api hitam itu melesat ke langit, membawa pesan kepada para jawara desa yang telah menjadi kaki tangannya. Mereka adalah pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman, tetapi kini jiwa mereka telah dikendalikan oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, tubuh mereka kebal terhadap senjata biasa, dan kematian tak lagi memiliki arti bagi mereka.  

**"Mereka akan menghadang Isidore di Gunung Lawu,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat. **"Dan ketika keris suci itu jatuh ke tangan kita, Mythopia akan hancur, dan Nusantara akan menjadi milik kita."**  

Sangar Mahadipa tertawa, suaranya seperti gemuruh gunung yang siap meletus. **"Keris sakti Mythopia akan menjadi milikku! Dan dengan itu, tak ada yang bisa menghentikan kita!"**  

---  
**"Mythopia akan jatuh,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya berputar semakin cepat. **"Dan kegelapan akan menyelimuti Nusantara selamanya."**  

Di kejauhan, di lereng Gunung Lawu, Isidore dan para ksatria Mythopia terus melangkah, tak menyadari bahwa bahaya telah mengintai di balik kabut hitam.  


13/02/25

season 2 kerajaan mythopia

Cerita ditulis oleh M. Irvan
Traktir via OVO 081317943160

Chapter 10 Kisah Perjalanan 

Di tengah perjalanan yang melelahkan, langit yang semula cerah tiba-tiba berubah gelap. Awan hitam bergulung-gulung, dan hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah dan pepohonan di sekitarnya. Namun, hujan itu tidak berlangsung lama. Ketika awan mulai berlalu, sinar matahari menembus celah-celahnya, dan di langit muncul pelangi yang memancarkan warna-warni indah. Isidore terpesona oleh keindahan alam yang memukau ini, tetapi hatinya mulai gelisah. Jalan yang dilaluinya terasa asing, dan dia pun tersesat di tengah hutan yang lebat.

Dengan hati yang bimbang, Isidore mengeluarkan keris suci dari balik jubahnya. Cahaya keemasan dari keris itu memancar, menerangi sekelilingnya. Tiba-tiba, dari cahaya itu muncul tiga sosok biksu sakti, melayang di udara dengan tenang. Mereka adalah Raja Alam Wardhana, Ksatria Cheon Myeong, dan Sri Laksana.

"Jangan khawatir, Isidore," kata Raja Alam Wardhana dengan suara yang menenangkan. "Kau tidak tersesat. Jalan yang kau tempuh adalah jalan yang benar. Kau telah dipandu oleh kekuatan kuno Mythopia."

Raja Alam Wardhana mengangkat tangannya, dan aura putih yang memancar dari tubuhnya semakin membesar. Aura itu menyebar ke sekeliling, menyentuh akar-akar pohon yang mulai bergerak, tumbuh, dan membesar. Pohon-pohon itu mengeluarkan aroma kayu jati yang harum, seolah hutan itu hidup dan bernapas.

Tiba-tiba, dari balik pohon-pohon yang membesar, muncul seorang ksatria gagah berani. Tubuhnya terbuat dari kayu jati yang kokoh, dan matanya memancarkan kekuatan yang tak tertandingi. "Siapa itu yang berani mengganggu masa latihanku?" suaranya menggema, penuh dengan wibawa dan kekuatan.

Dari belakang ksatria kayu jati itu, muncul seorang pria tua berjanggut panjang yang dipenuhi lumut. Dia memegang tongkat kayu yang tampak tua dan penuh dengan ukiran-ukiran kuno. Wajahnya dipenuhi kedamaian, tetapi matanya memancarkan kebijaksanaan yang tak tertandingi. "Aku adalah penjaga hutan ini," katanya dengan suara yang dalam dan penuh makna. "Aku telah bersemedi di sini selama ratusan tahun, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali."

Isidore memandang mereka dengan mata yang penuh rasa ingin tahu dan hormat. "Aku adalah Isidore, putra Raja Itharius dari Mythopia," katanya dengan suara yang penuh keyakinan. "Aku sedang mencari ksatria-ksatria kerajaan Mythopia yang telah lama hilang. Apakah kalian adalah bagian dari mereka?"

Pria tua itu mengangguk perlahan, matanya memancarkan kebijaksanaan yang dalam. "Kami adalah penjaga hutan dan pelindung Mythopia," katanya. "Kau telah dipilih oleh kekuatan kuno untuk membawa Mythopia kembali ke kejayaannya. Bersiaplah, Isidore, karena perjalananmu baru saja dimulai."

Dengan hati yang dipenuhi oleh tekad dan keberanian, Isidore mengangguk. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia juga tahu bahwa inilah takdirnya.

Cerita ditulis oleh M. Irvan
OVO 081317943160

Perjalanan Menuju Gunung Pawitra 
Di bawah naungan pohon raksasa yang menjulang tinggi, batangnya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang bersinar samar, Isidore berdiri bersama Rakajati, sang Ksatria Kayu. Raja Alam Wardhana melayang di udara, aura kebiruannya memancar seperti cahaya rembulan yang menyentuh setiap helai daun dan akar di sekitarnya. Udara terasa magis, dipenuhi bisikan angin yang membawa lagu-lagu zaman silam.  

**"Sembilan ksatria lagi tersebar di penjuru Nusantara,"** kata Raja Alam Wardhana, suaranya bergema seperti gema dari lubuk waktu. **"Mereka adalah Pangreksa sang Penguasa Es, Sagara Putra sang Penakluk Samudra, Bayu Anggana sang Pengendali Angin, Bhra Anuraga sang Tuan Api, Jagat Dirgantara sang Penguasa Tanah, Surya Wikrama sang Pembawa Cahaya, Guntur Wisesa sang Penakluk Petir, Rangga Wulung sang Ahli Senjata, dan Arya Wiratma sang Perancang Strategi. Bersama mereka, Mythopia akan bangkit sebagai mercusuar kejayaan."**  

Rakajati, dengan tubuhnya yang terbuat dari kayu jati berumur ribuan tahun, mengangkat tangannya. **"Gunung Pawitra adalah gerbang pertama,"** katanya, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak di bawah tanah. **"Pegang erat kerismu, Isidore. Alam akan membawa kita."**  

Dengan gerakan penuh kesaktian, Rakajati menempelkan telapak tangannya ke batang pohon raksasa. Seketika, kulit kayu itu merekah, membuka jalan seperti mulut gua yang gelap dan penuh misteri. Isidore melangkah masuk, diikuti oleh Rakajati dan Raja Alam Wardhana. Saat lapisan kayu menutup kembali, kegelapan menyelimuti mereka—namun tidak lama. Raja Alam Wardhana mengangkat tangannya, dan aura kebiruan yang dipancarkannya menjelma menjadi cahaya suci, menerangi lorong di dalam pohon yang ternyata adalah labirin akar-akar raksasa saling bertaut.  

**"Ini adalah Jalan Akar Purba,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Jalur yang hanya dikenal oleh para penjaga hutan dan makhluk-makhluk yang telah melupakan matahari."**  

Akar-akar itu bergerak hidup, meliuk seperti ular naga yang mengantarkan mereka melesat melalui bumi. Isidore merasakan tanah bergetar, seolah seluruh hutan bernapas bersamanya. Cahaya keemasan dari keris suci menyatu dengan aura Raja Alam Wardhana, menciptakan lingkaran pelindung yang memancarkan simbol-simbol kuno Mythopia.  

Tiba-tiba, gerakan berhenti. Akar-akar itu membuka diri seperti tirai yang tersibak, dan Isidore melangkah keluar—langsung dihadapkan pada pemandangan Gunung Pawitra yang megah. Puncaknya menyembul ke langit, diselimuti kabut perak dan dikelilingi awan mendung yang bergulung-gulung. Batu-batu besar di lereng gunung terukir wajah para leluhur, matanya yang kosong seolah mengawasi setiap pendatang.  

**"Kita telah tiba,"** kata Rakajati, suaranya bergetar penuh hormat. **"Gunung Pawitra menyimpan rahasia pertama: Pangreksa, sang Penguasa Es, bersemayam di puncaknya. Tapi ingat, Isidore—gunung ini bukan sekadar batu dan salju. Ia hidup, dan hanya yang berhati murni yang boleh melangkah."**  

Isidore menatap puncak gunung, hatinya berdebar kencang. Angin dingin berhembus membawa suara bisikan, **"Selamat datang, penerus Mythopia..."**  

--


Chapter 11 Pertemuan dengan Pangreksa, Sang Penguasa Es 

Di puncak Gunung Pawitra, udara panas tiba-tiba berubah menjadi dingin yang menusuk tulang. Salju turun lebat, membungkus lereng gunung dalam selimut putih yang tak bernyawa. Tak ada burung yang berani terbang, tak ada binatang yang berani mengais—hanya kesunyian yang menyelimuti, seolah alam sendiri menahan napas.  

Isidore menggigil, tetapi keris suci di tangannya memancarkan kehangatan yang ajaib. **"Tetaplah dekat, Isidore,"** bisik Raja Alam Wardhana, aura kebiruannya mengembang seperti perisai yang melindungi mereka dari terpaan angin ganas. **"Gunung ini mengenali darah Mythopia di dalam dirimu."**  

Dengan keris diangkat tinggi, Isidore menyibakkan kabut salju. Di hadapan mereka, lapisan es tebal mencair perlahan, membentuk jalan sempit yang mengular menuju mulut gua es raksasa. Pintu gua itu terbuat dari kristal es murni, berkilauan di bawah sinar bulan purnama yang tiba-tiba menembus awan.  

**"Segel kuno,"** kata Sri Laksana, sang biksu, mendekati pintu es. Tangannya menari di udara, menggambar simbol-simbol api dengan jari yang berpendar. **"Hanya api suci yang bisa menghancurkan es abadi ini."**  

Tiba-tiba, simbol itu melesat ke pintu es, dan ledakan dahsyat mengguncang gunung. Kristal es pecah berkeping-keping, membuka jalan ke dalam gua yang dipenuhi harta karun—emas, permata, dan senjata-senjata berlapis embun beku berserakan di lantai, seolah menjadi saksi bisu dari keserakahan masa lalu.  

Di tengah gua, terpancang sebongkah es raksasa. Di dalamnya, terlihat sosok Pangreksa, sang Penguasa Es, terbaring seperti patung yang tak tersentuh waktu. Wajahnya awet muda, rambut peraknya berkilauan, dan baju zirahnya yang berlapis kristal memantulkan cahaya redup.  

**"Mengapa dia terkurung dalam es?"** tanya Isidore, suaranya bergetar.  

Sri Laksana mengulurkan tangannya ke es itu, menggambar segel baru. **"Dia mengurung dirinya sendiri,"** jawabnya. **"Agar kekuatannya tidak jatuh ke tangan yang salah."**  

Segel itu menyala, dan es meledak dalam hujan kristal. Namun, Pangreksa tetap tertidur—napasnya pelan, tubuhnya tak bergerak.  

Raja Alam Wardhana mengangkat kedua tangannya. **"Bangunlah, Pangreksa! Penerus takhta Mythopia telah datang!"** Aura kebiruannya membanjiri gua, menyinari setiap sudut hingga Isidore terpaksa menutup mata. Cahaya itu begitu menyilaukan, seolah memanggil jiwa-jiwa yang tertidur dari zaman ke zaman—dan Isidore pun terjatuh, pingsan.  

---  
** 
Ketika Isidore terbuka matanya, dia terbaring di atas permadani bulu yang hangat. Di depannya, Pangreksa duduk bersila, wajahnya teduh seperti bulan purnama. Meja kayu di antara mereka dipenuhi hidangan—roti hangat, daging rusa panggang, dan anggur yang berkilau dalam cawan perak.  

**"Mohon maaf, Tuanku,"** kata Pangreksa dengan suara seruling es yang jernih. **"Kekuatanku masih belum sepenuhnya pulih. Tapi ketahuilah—aku tetap setia pada sumpahku kepada Mythopia."**  

Isidore mengangguk, matanya masih berkunang-kunang. **"Apa yang terjadi?"**  

**"Aura Raja Alam Wardhana membangkitkan ingatanku,"** jawab Pangreksa. **"Aku tertidur selama berabad-abad, menjaga harta ini agar tidak dijarah. Tapi kini, saatnya aku kembali bertugas."**  

Dia berdiri, baju zirahnya berderak seperti gemuruh gletser. **"Gunung Pawitra hanyalah awal. Masih ada delapan ksatria lain yang harus kau temui. Dan aku akan mendampingimu."**  

Di luar gua, Raja Alam Wardhana dan Rakajati telah menunggu. Angin berhembus membawa kabar: petualangan Isidore baru saja dimulai.  

---  
Chapter 12 Perjalanan ke Gunung Pamaton

Di bawah langit kelam yang dihiasi bintang-bintang berkelip, Isidore dan Pangreksa berjalan di lereng Gunung Pawitra, jejak kaki mereka tertutup salju yang baru jatuh. Pangreksa, sang Penguasa Es, tubuhnya kekar bagaikan pahatan dewa-dewa kuno, melangkah dengan wibawa seorang kesatria yang telah mengarungi zaman. Rambut peraknya berkilau di bawah sinar bulan, sementara mata birunya memancarkan kesabaran tak berujung. Isidore, yang baru berusia tujuh belas musim, langkahnya masih ringan dan ceroboh seperti anak rusa muda—tubuhnya ramping, tangan-tangannya belum pernah mencengkeram pedang, namun tekad di matanya membara seperti api pertama penciptaan.  

**"Kau harus belajar, Isidore,"** kata Pangreksa, suaranya dalam seperti gemuruh gletser yang bergerak. **"Darah Mythopia mengalir dalam dirimu, tapi darah saja tak cukup. Tubuhmu harus kuat, jiwamu harus terlatih."**  

Isidore mengangguk, napasnya membentuk kabut putih di udara dingin. **"Ajari aku, Pangreksa. Aku tak ingin menjadi beban bagi siapa pun."**  

Pangreksa tersenyum, senyum yang hangat menembus dinginnya malam. **"Kau bukan beban, Isidore. Kau adalah harapan."**  

Di belakang mereka, Rakajati sang Ksatria Kayu berjalan lambat, tongkatnya yang berusia ribuan tahun mengetuk tanah dengan irama kuno. Tubuhnya yang terbuat dari kayu jati tua berderak setiap kali angin menerpa, dan matanya—yang seperti lubang di batang pohon—terkadang tertutup, seolah tertidur dalam mimpi hutan yang tak terjangkau manusia.  

**"Mengapa kau tak mau belajar dari Rakajati?"** tanya Pangreksa suatu malam, saat mereka beristirahat di bawah pohon raksasa yang daunnya berbisik bahasa zaman silam.  

Isidore memandang Rakajati yang sedang duduk bersila, tubuhnya diselimuti lumut dan akar-akar kecil. **"Dia... terlihat terlalu tua. Aku takut mengganggu istirahatnya."**  

Pangreksa tertawa, suaranya seperti gemericik air di bawah es. **"Usia Rakajati adalah kekuatannya, Isidore. Dalam tidurnya, dia mendengar suara bumi, bisikan akar, dan nyanyian batu. Suatu hari nanti, kau akan pahami."**  

Perjalanan menuju Gunung Pamaton dipenuhi ujian. Ksatria Cheon Myeong, sang Pelindung Raja, telah berpesan: **"Jalan kaki akan menguatkan tubuhmu, Isidore. Tenaga dalammu harus tumbuh seperti pohon—perlahan, tapi berakar dalam."**  

Maka mereka pun berjalan. Hari demi hari, Isidore dilatih Pangreksa di antara bebatuan terjal dan lereng curam. Pangreksa mengajarinya cara mengatur napas di ketinggian, cara melompati jurang dengan gesit, dan cara membaca gerak angin yang membawa bahaya. Tubuh Isidore yang awalnya goyah mulai menemui bentuknya, otot-otot kecil mengeras, dan langkahnya menjadi lebih pasti.  

Suatu senja, saat matahari terbenam menyala merah di balik Gunung Pamaton, Rakajati tiba-tiba berhenti. Tangannya yang berakar menunjuk ke arah ngarai gelap di bawah mereka. **"Di sanalah jalan rahasia,"** katanya, suaranya seperti gesekan daun kering. **"Tapi hanya yang berani melangkah di kegelapan yang akan menemukan terang."**  

Isidore memandang ngarai itu, hatinya berdebar. Pangreksa meletakkan tangan di bahunya. **"Ini saatnya, Isidore. Latihanmu akan diuji."**  

Dengan keris suci di pinggang dan tekad yang membara, Isidore melangkah ke tepi ngarai. Angin berhembus kencang, membawa suara Ksatria Cheon Myeong dari kejauhan: **"Tenaga dalammu adalah senjata pertama, Isidore. Percayalah padanya."**  

Dan Isidore pun melompat

---  
Chapter 13 Perjalanan ke Puncak Gunung Pamaton

Di lereng Gunung Pamaton yang curam, udara tipis berhembus membawa nyanyian angin purba. Rakajati, sang Ksatria Kayu, berjalan di depan dengan langkah mantap, tangannya yang berakar memetik buah-buahan liar dari semak-semak berbatu. **"Makanlah, Isidore,"** katanya, suaranya seperti gesekan ranting kering, sambil menyerahkan buah nanas keemasan yang berkilau seperti dipoles cahaya bulan. **"Buah ini mengandung kekuatan bumi yang telah kusentuh. Ia akan menguatkan dagingmu dan menjernihkan jiwamu."**  

Isidore menggigit buah itu, dan seketika rasa manis-segar mengalir di lidahnya, diikuti oleh panas yang merambat ke seluruh tubuh. Otot-ototnya yang lelah seolah dipenuhi tenaga baru, dan napasnya menjadi dalam dan teratur. **"Ajaib,"** bisiknya, memandang Rakajati dengan decak kagum.  

**"Bukan sihir, Isidore,"** sahut Pangreksa, sang Penguasa Es, yang berjalan di sampingnya. **"Ini adalah kebijaksanaan kuno yang tertanam dalam setiap tetes sari buah ini. Alam selalu memberi pada yang tahu cara meminta."**  

Dengan kekuatan baru, Isidore melompati jurang selebar tiga langkah, memanjat tebing batu yang licin, dan menapaki jalan setapak yang dipenuhi akar-akar bergerigi. Di belakangnya, Rakajati menghentakkan tongkat kayunya ke tanah. Tiba-tiba, dinding tebing merekah, membuka tangga batu kuno yang melingkari gunung seperti ular naga yang terlelap. Tangga itu tinggi dan curam, anak tangganya tertutup lumut zamrud, seolah belum ada yang menginjaknya selama ribuan tahun.  

**"Jalan ini hanya terbuka bagi yang dipanggil angin,"** kata Rakajati, matanya yang seperti lubang gelap di batang pohon memancarkan cahaya kehijauan. **"Naiklah, Isidore. Bayu Anggana menunggu."**  

Sepanjang pendakian, angin berbisik dalam bahasa yang terlupakan. Sesekali, Isidore menoleh ke bawah, dan pemandangan yang terhampar membuatnya terpana: lembah-lembah hijau yang dipotong sungai perak, hutan-hutan yang bergoyang seperti lautan daun, dan langit yang menyala jingga di ufuk barat. Namun, yang paling menakjubkan adalah kincir-kincir angin raksasa yang berputar di lereng gunung. Bilah-bilahnya dari kristal tembus pandang, berputar tanpa henti meski tiada angin—karya tangan Bayu Anggana, sang Pengendali Angin.  

Setelah hampir seharian mendaki, mereka tiba di puncak. Di sana, di tepi jurang yang diterpa angin ganas, berdiri sebuah rumah yang tak seperti lainnya: dindingnya terbuat dari batu vulkanik hitam berkilauan, atapnya dari daun-daun emas yang berdesir lembut, dan pintunya dari kayu pohon *Telperion* yang telah punah, diukir dengan gambar angin yang sedang menari.  

**"Ini... bukan rumah biasa,"** gumam Isidore, napasnya tertahan.  

**"Ini adalah *Ondolindë*, Rumah Angin Abadi,"** jawab Rakajati, suaranya bergetar penuh hormat. **"Tempat di mana Bayu Anggana menyimpan rahasia udara dan lagu-lagu zaman sebelum fajar."**  

Tiba-tiba, angin berhembus kencang, membawa suara yang dalam dan merdu dari dalam rumah:  
**"Selamat datang, Isidore, darah Mythopia. Masuklah, dan kita akan berbicara tentang angin yang membawa takdirmu."**  

Pintu kayu *Telperion* terbuka perlahan, dan di baliknya, terlihat bayangan seorang lelaki tinggi dengan rambut putih terbang tertiup angin, matanya seperti dua bintang biru yang menyala—  
Bayu Anggana, sang Penguasa Angin, telah menunggu.  

--- 
Cerita ditulis oleh M. Irvan
OVO 081317943160

Chapter 14 Mimpi dan Kebangkitan 

Di dalam *Ondolindë*, Rumah Angin Abadi, Bayu Anggana melayang di udara seperti jelmaan angin itu sendiri. Kain sutra keperakan yang diselendangkannya berkibar-kibar tanpa tersentuh angin, sementara kakinya—yang tak pernah menyentuh tanah—seolah ditopah oleh kekuatan tak kasatmata. Wajahnya awet muda, namun matanya yang biru pucat menyimpan ribuan musim kebijaksanaan. **"Aku telah mendengar bisikan angin tentang kedatanganmu, Isidore,"** katanya, suaranya seperti desiran dedaunan di tengah badai. **"Sejak fajar pertama Mythopia, aku berjanji untuk mengabdi pada keturunan sang Pendiri. Dan kini, saatnya tiba."**  

Dia mengangkat tangannya, dan meja kayu *mallorn* muncul dari udara, dipenuhi hidangan ajaib: nasi jagung manis yang berkilau seperti mutiara, daging ayam panggang beraroma rempah kuno, dan minuman berwarna keemasan yang berkilau seperti cairan matahari. Isidore menyantapnya dengan lahap, tetapi begitu suapan terakhir masuk, kepalanya terasa berat. Matanya terpejam, dan dunia pun menghilang.  

---  
**Dalam mimpi, Isidore melihat langit Mythopia yang gelap gulita.** Awan hitam bergulung-gulung seperti naga yang murka, menghujani kerajaan dengan air asam yang membakar tanaman dan menggerogoti batu. Dari balik kabut, pasukan bangsa barbar—bersenjata kapak berdarah dan perisai bertanduk—menerjang gerbang istana. Raja Itharius, ayahnya, berdiri di puncak menara, keris suci di tangannya menyala seperti bintang jatuh. **"Kembalilah, Isidore!"** teriaknya, sementara para biksu di bawahnya melemparkan bola api ke langit, mencoba mengusir kegelapan. **"Mythopia baik-baik saja! Ini hanya ilusi!"**  

---  
**Isidore terjaga dengan teriakan.** Kekuatannya meledak tak terkendali—cahaya keemasan dari keris suci memancar liar, menghancurkan meja *mallorn* dan mengoyak dinding batu vulkanik. **"Tahan dia!"** seru Pangreksa.  

Dengan gerakan cepat, Pangreksa mengangkat tangannya. Udara di sekitar Isidore membeku, menjeratnya dalam sangkar es yang transparan. Rakajati menancapkan tongkat kayunya ke lantai, dan akar-akar purba melesat dari tanah, membelit tubuh Isidore seperti ular naga yang berusaha menjinakkan anaknya. **"Tenang, Isidore!"** gertak Rakajati, suaranya bergema seperti gemuruh bumi.  

Bayu Anggana mengibaskan selendangnya, dan angin berputar-putar membentuk kubah tak kasatmata di sekeliling mereka, mencegah kekuatan Isidore menyebar lebih jauh. **"Aura darah Mythopia terlalu liar untuk tubuh yang belum siap,"** bisiknya, wajahnya tegang.  

Raja Alam Wardhana tiba-tiba muncul dari bayangan, cahaya kebiruannya menembus sangkar es. **"Masuklah ke pikirannya,"** bisik Bayu Anggana. **"Hanya kau yang bisa menenangkan jiwa penerus ini."**  

Raja Alam Wardhana meletakkan telapak tangannya di dahi Isidore. Seketika, dunia nyata memudar—  

Di dalam pikiran Isidore, mereka berdiri di tengah lautan mimpi yang bergolak. Langit berwarna ungu gelap, dan suara teriakan barbar terus menggema. **"Ini bukan kenyataan, Isidore,"** kata Raja Alam Wardhana, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Ini adalah ketakutanmu—bayangan yang diciptakan oleh beban takhta. Dengarkan *Lagu Penciptaan*…"**  

Dia bersenandung, dan tiba-tiba, melodi kuno mengisi udara—lagu yang sama yang dinyanyikan para Valar saat membentuk dunia. Gemuruh barbar pun reda, awan hitam tersibak, dan Isidore melihat Mythopia yang sebenarnya: istana tetap megah, tanaman hijau subur, dan ayahnya tersenyum dari kejauhan.  

**"Kau harus belajar menguasai kekuatanmu,"** kata Raja Alam Wardhana. **"Atau kau akan dihancurkan olehnya."**  

---  
**Ketika Isidore membuka mata, sangkar es telah mencair, akar-akar purba mengendur, dan kubah angin Bayu Anggana berhenti berputar.** Dia terbaring di lantai, dikelilingi oleh keempat ksatria yang wajahnya dipenuhi kelegaan.  

**"Maafkan aku,"** bisik Isidore, suaranya serak. **"Aku… tidak menyangka kekuatan itu begitu…"  

"Kau adalah darah Mythopia,"** sela Bayu Anggana, tangannya mengusap udara sehingga sisa kerusakan di *Ondolindë* pun tertutup lumut dan bunga liar. **"Kekuatanmu adalah warisan, bukan kutukan. Tapi kau harus belajar mendengar angin, bukan melawannya."**  

Pangreksa membantu Isidore berdiri. **"Latihanmu dimulai besok. Dan kali ini, kau tak boleh lari."**  

Di luar, langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilau seperti permata di mahkota para dewa. Isidore memandang ke arah Mythopia yang jauh di ufuk barat, dan dalam hatinya, dia berjanji: *Aku akan menguasai ini. Demi ayah, demi kerajaan, demi semua yang kucintai.*  

---