Tampilkan postingan dengan label kerajaan mythopia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan mythopia. Tampilkan semua postingan

07/10/25

season 8 Kerajaan Mythopia


Chapter 56 Ritual Kegelapan di Gua Sinabung

Di kedalaman Gunung Sinabung yang diselimuti kabut abadi, terdapat sebuah gua yang hanya dikenal oleh mereka yang bersekutu dengan kegelapan. Di sanalah Ki Surya Dahana, sang ahli sihir tua dari masa lampau, menatap bola kaca di hadapannya dengan mata menyala bagaikan bara api. Di dalam bola itu, tampak bayangan Isidore dan para ksatria Mythopia bersatu dengan Sagara Putra.

Amarah membuncah di dada sang pertapa. Ia menggeram, lalu melemparkan cawan emasnya hingga pecah berhamburan. “Kutukan bagi mereka semua!” desisnya dengan suara yang menggetarkan udara gua. “Mereka tak seharusnya bersatu kembali. Dunia ini seharusnya milik mereka yang kuat, bukan mereka yang mengaku penjaga cahaya!”

Empat pemimpin suku yang menjadi pengikut setianya berdiri di sekeliling: Gurnaka dari suku batu, Rakayan dari suku bayangan, Jalarang dari penjaga rawa, dan Murkalana dari bangsa kegelapan hutan. Mereka menatap satu sama lain, ketakutan bercampur penasaran.

“Guru,” tanya Rakayan dengan suara berat, “sekuat apakah ksatria dari Mythopia itu? Bahkan raksasa api pun gentar mendengar nama mereka.”

Ki Surya Dahana menatap mereka tajam, lalu mengangkat tongkat hitamnya tinggi-tinggi. Dari ujung tongkat itu, keluar cahaya putih menyilaukan, meluncur ke udara, membentuk garis lurus di depan mereka. Cahaya itu berdenyut, bergetar, dan perlahan berubah warna—putih menjadi ungu, lalu hitam keunguan, seperti luka yang menganga di langit.

Ia mengucapkan mantra dalam bahasa kuno Mythopia, bahasa yang bahkan roh-roh bumi enggan mendengarnya. Dari garis itu, muncullah sesosok makhluk tak kasat mata, tinggi dan berkerudung kabut hitam. Dengan kedua tangannya yang panjang dan kurus, makhluk itu membuka celah di udara, membentuk pintu menuju ruang tersembunyi.

“Masuklah,” ujar Ki Surya Dahana dengan suara dalam. “Tempat ini bukan untuk manusia lemah. Ikutilah aku, dan kau akan tahu rahasia kekuasaan sejati.”

Para pemimpin suku saling berpandangan, lalu melangkah ke dalam bersama tuan mereka. Begitu mereka semua masuk, makhluk kasat mata itu menutup celah tersebut, menelan cahaya, hingga tidak tersisa sedikit pun bekas keberadaan mereka di dunia luar.

Di dalam ruangan itu, terbentang pemandangan yang membuat mereka ternganga: barisan rak penuh manuskrip tua berlumut, peti-peti emas yang bersinar redup di bawah cahaya batu sihir, dan artefak suci dari zaman yang terlupakan.

“Inilah yang kujanjikan kepada kalian,” ujar Ki Surya Dahana dengan nada kemenangan. “Untuk kesetiaan yang kalian berikan, kini kuhadiahkan warisan dari dunia lama. Di sinilah ilmu yang menumbangkan kerajaan dan mengguncang langit tersimpan.”

Ia menatap mereka satu per satu dengan senyum dingin.
“Pelajarilah semua naskah yang ada di sini. Ajarkan kepada anak buahmu, bila kalian cukup cerdas untuk memahaminya. Siapa yang berhasil menaklukkan isi tempat ini... akan menaklukkan dunia.”

Tawa mereka bergema di seluruh ruangan, tawa serakah yang menandakan awal dari kebangkitan kegelapan yang lama terpendam.


---
---

Chapter 57 Ritual Darah di Ruang Artefak

Di ruang yang sunyi, hanya cahaya batu sihir yang berkelip di antara bayang-bayang. Udara beraroma besi dan debu kuno, seakan napas waktu sendiri terhenti di tempat itu. Ki Surya Dahana berdiri di tengah ruangan, tongkat hitamnya menancap di lantai batu, menyalurkan denyut kekuatan yang membuat udara bergetar halus.

Empat kepala suku berdiri di sekelilingnya, mata mereka menyala dalam cahaya keunguan yang menakutkan.

Yang pertama melangkah maju adalah Orkaghor si Bercak Darah, kepala suku Gurnaka — makhluk raksasa dengan kulit sekeras batu dan bekas luka di seluruh tubuhnya. Tangannya yang besar gemetar menahan gairah ketika ia menatap sebuah telur emas di atas altar batu hitam. Telur itu berdenyut perlahan, seperti jantung yang menunggu kehidupan baru.

Ki Surya Dahana menatapnya tajam. “Telur itu tak akan membuka diri untuk siapa pun, kecuali bagi yang berani memberi bagian dari hidupnya.”

Tanpa ragu, Orkaghor menggigit bibir bawahnya hingga darah menetes ke tangannya. Ia meludah ke atas telur itu. Setetes, dua tetes, lalu cairan merah itu terserap perlahan oleh permukaan emas yang berkilau lembut.

Suara lirih seperti desis ular terdengar — dan telur itu berdenyut cepat, memancarkan cahaya merah kehijauan. Retakan halus muncul di permukaannya, semakin besar, hingga pecah dengan ledakan lembut.

Dari dalamnya keluar seekor burung merak bertubuh mungil namun matanya menyala seperti bara api. Bulu-bulunya memancarkan warna merah, hijau, dan emas yang berganti-ganti seperti nyala api yang menari.

“Burung Rathakana,” ujar Ki Surya Dahana pelan, hampir seperti berdoa. “Pemikat hewan buas, penakluk jiwa liar. Kini ia menjadi milikmu, Orkaghor. Tapi berhati-hatilah—ia setia hanya pada darah yang pertama kali menyentuhnya. Jika kau khianati dia, ia akan mematuk jantungmu tanpa ampun.”

Orkaghor tersenyum puas, menunduk hormat, lalu memeluk burung itu dengan tangan penuh darah.

Selanjutnya, Lorendis si Licik dari suku Rakayan melangkah maju, matanya memandang ke sekeliling seperti pencuri di antara harta raja. Ia berhenti di depan sebuah lonceng besar dari perunggu hitam.
“Yang ini,” katanya dengan suara pelan namun tajam, “aku bisa merasakan kekuatannya.”

Ki Surya Dahana menggeleng pelan. “Jangan. Suara lonceng itu tidak membeda-bedakan. Ia membunuh semua yang mendengarnya—termasuk tuannya sendiri.”

Ia mengangkat tangannya, dan dari udara muncul sebuah kipas logam berukir naga, berkilau kehijauan. “Ini lebih cocok untukmu, Lorendis. Sekali dikipaskan, ribuan jarum halus akan terbang, menembus kulit, meracuni darah musuhmu. Namun ingat, kipas ini tak mengenal arah angin. Jika kau ceroboh, kau akan mati oleh senjatamu sendiri.”

Lorendis mengambilnya, senyum licik di bibirnya melebar, “Senjata yang membunuh dengan indah,” bisiknya, sebelum menunduk hormat.

Kemudian datang Mhezzrak si Pisau Tak Terlihat dari suku Jalarang — tubuhnya kurus, matanya tajam seperti pisau. Ia tidak banyak bicara. Ia memilih sebuah kotak kecil dari perak yang tergeletak di rak paling bawah. Saat dibuka, tampak di dalamnya berbaring belasan belati dan jarum tipis, semuanya berkilau bagai es beku di bawah sinar bulan.

“Pilihan yang cerdas,” ujar Ki Surya Dahana dengan nada puas. “Itu adalah senjata dari masa perang kuno—belati yang bisa terbang sendiri menuju sasaran, dan akan kembali kepada pemiliknya setelah mencicip darah. Tapi jika kau tidak menguasai napas dan kemauanmu, ia akan berbalik, menembus jantungmu sendiri.”

Mhezzrak tersenyum tipis, menyentuh salah satu belati itu, dan benda itu bergetar, seolah mengenal pemilik barunya.

Dan yang terakhir, Vorthax si Gila Darah dari suku Murkalana, melangkah maju. Tubuhnya tinggi dan lebar, matanya memantulkan cahaya merah. Ia tidak menatap rak atau altar—melainkan sesuatu yang tergeletak di lantai batu, terbungkus lumut dan abu.

Itu adalah pedang besar, hitam seperti malam tanpa bintang. Ki Surya Dahana memandangnya dengan ekspresi antara kagum dan waspada.
“Itu adalah pedang Nagarastra,” katanya pelan. “Dulu, ia menebas kepala seekor naga di masa purba. Tapi pedang itu haus darah, Vorthax. Ia akan meminum darah setiap kali dihunus. Jika tidak, ia akan menuntut darah pemiliknya.”

Vorthax tertawa keras, menggenggam gagangnya yang berat, lalu mengangkat pedang itu dengan kedua tangan. “Kalau begitu, biarlah ia haus selamanya!”

Kilatan merah membuncah dari bilah pedang, memenuhi ruangan dengan cahaya seperti api neraka.

Ki Surya Dahana tersenyum puas, matanya berkilat dengan kegembiraan gelap.
“Latihlah diri kalian di sini,” katanya perlahan. “Kuasa Mythopia akan kembali menatap bumi, dan dunia akan tahu... bahwa kegelapan tak pernah mati.”

Suara tawa mereka bergema, bergulung di dalam gua seperti guntur, sementara cahaya merah, hijau, dan ungu berbaur di dinding batu, menandakan kebangkitan kekuatan lama yang telah lama tertidur.


---
---

Chapter 58 Ritual Darah dan Bayangan: Latihan Para Kepala Suku

Dengan gerakan perlahan namun sarat kuasa, Ki Surya Dahana mengangkat tongkat hitamnya ke udara. Ujungnya memancarkan cahaya putih menyilaukan, lalu ia mengguratkan garis di udara—garis itu bergetar, berdenyut seperti urat kehidupan, sebelum membuka diri menjadi pintu cahaya yang beriak bagai air dalam dimensi tak kasat mata.

Dari balik cahaya itu muncul makhluk-makhluk tak terlihat, penjaga dari dunia roh yang hanya tunduk pada mantra kuno Mythopia. Mereka melangkah senyap, menarik tirai realitas dan memperlihatkan ruang ilusi di baliknya—tempat yang luas tanpa batas, di mana gunung dan hutan tampak bersinar dalam cahaya merah keunguan.

“Silakan masuk,” ujar Ki Surya Dahana, suaranya bergema dalam ruangan itu seperti dentang logam purba. “Di sana telah kusiapkan makhluk-makhluk buas untuk kalian buru... atau mungkin, merekalah yang akan memburu kalian. Aku tidak tahu mana yang akan terjadi lebih dahulu.”

Empat kepala suku saling berpandangan; tawa keras bergema, dipenuhi semangat haus darah dan ambisi. Mereka memasuki ruang itu satu per satu, diiringi oleh bayangan sihir yang menutup pintu di belakang mereka.

Di dalam, dunia magis itu hidup. Pohon-pohon menjulang seperti menara batu, akar-akar raksasa menggeliat seperti ular, dan udara dipenuhi kabut merah keemasan. Dari kejauhan, terdengar raungan makhluk-makhluk liar yang belum pernah dikenal oleh manusia mana pun.

Awalnya, hanya binatang kecil yang muncul dari balik semak—monyet-monyet liar, kijang yang melompat panik, dan beberapa serigala dengan mata menyala biru. Mereka diburu dengan mudah oleh para kepala suku, senjata mereka menebas udara, darah menodai tanah ilusi.

Namun seiring waktu berjalan, hewan-hewan itu berubah. Dari balik kabut muncul harimau bertaring panjang, beruang raksasa dengan kulit baja, dan ular sebesar batang pohon. Raungan demi raungan mengguncang tanah, dan para kepala suku menjerit girang dalam kegilaan mereka.

Orkaghor memanggil burung Rathakana, dan dari kepakan sayapnya, muncul aura pemikat yang membuat hewan-hewan buas itu menunduk—sebelum ia menebas mereka tanpa ampun.
Lorendis menari dengan kipas racunnya, menciptakan badai jarum yang menembus kulit dan daging, membuat mangsanya tumbang dengan senyum licik di bibirnya.
Mhezzrak menebar belati tak terlihat, membiarkan mereka terbang menembus jantung setiap musuh, lalu kembali ke genggamannya dengan darah menetes.
Vorthax, dengan pedang Nagarastra, menebas segalanya di jalannya—tanah, batu, dan tubuh-tubuh yang tak lagi dikenali.

Namun semakin lama, ruang itu berubah menjadi neraka hidup. Dari langit ungu yang berputar, muncul raungan yang berbeda, lebih dalam, lebih purba. Tanah bergetar, pepohonan roboh, dan dari kabut hitam yang tebal muncullah raksasa Gendrawani bertangan delapan.

Tubuhnya menjulang seperti menara, matanya menyala seperti bara, rambutnya menjuntai bagai nyala api, dan tiap tangannya menggenggam senjata dari zaman yang terlupakan. Setiap langkahnya mengguncang bumi, setiap helaan napasnya menyalakan udara menjadi panas membakar.

Para kepala suku terdiam sesaat—lalu tertawa gila, menyambut tantangan itu dengan sorak liar. Mereka menyerbu bersama-sama, menghunus senjata dan mengeluarkan kekuatan magis mereka.

Pertempuran pun meledak. Tanah ilusi bergetar, udara pecah oleh benturan sihir dan baja. Suara logam beradu dengan raungan makhluk purba, cahaya merah, biru, dan hijau bersilangan dalam kekacauan yang agung.

Namun, tak satu pun dari mereka mati. Meski tubuh mereka robek, tulang hancur, dan darah berceceran di tanah, mantra Ki Surya Dahana menjaga mereka tetap hidup—sebuah kutukan abadi dalam ilusi.

Ruang itu adalah medan latihan tanpa kematian, di mana rasa sakit menjadi guru, dan kegilaan menjadi teman.

Dari luar, Ki Surya Dahana menyaksikan semuanya melalui bola kacanya, matanya berkilau dalam kepuasan gelap.
“Ya…” bisiknya pelan. “Biar mereka belajar apa artinya kekuatan sejati. Karena sebentar lagi… dunia akan menjadi medan latihan mereka yang sesungguhnya.”

Cahaya ungu dari tongkatnya berdenyut makin kuat, dan suara tawa Ki Surya Dahana menggema di seluruh gua, menggetarkan udara, seakan kegelapan itu sendiri tertawa bersamanya.


---

---

Chapter 59 Adegan Setelah Latihan Para Kepala Suku

Dari celah tirai cahaya yang perlahan menutup, empat sosok keluar satu per satu, tubuh mereka berbalut luka dan debu, namun mata mereka menyala dengan api kekuatan baru. Ruang ilusi ciptaan Ki Surya Dahana telah menelan waktu seolah seratus pertempuran berlangsung dalam sekejap mata fana.

Mereka—para kepala suku yang dulu hanyalah pembunuh, pemburu, dan penjarah—kini menjelma menjadi makhluk yang kekuatannya melampaui batas manusia.

Burung merak Rathakana milik Orkaghor kini telah tumbuh sempurna. Bulu-bulunya berpendar dalam cahaya merah kehijauan, dan tiap kepakkan sayapnya mampu menundukkan binatang buas serta menenangkan amarah makhluk liar. Ia menjadi lambang kejayaan suku Gurnaka—burung pemikat yang kini bersarang di pundak sang kepala suku, bagai api dan darah yang menyatu.

Lorendis, si licik dari Rakayan, telah mencapai puncak keahliannya. Kipas beracunnya kini menari di udara seperti angin maut, setiap kibasan menebarkan jarum kematian yang tak terlihat. Ia menatap tangannya sendiri dengan senyum tipis—antara kagum dan ngeri—menyadari bahwa setiap gerakannya dapat membunuh sahabat maupun musuh.

Mhezzrak, sang pemburu dari Jalarang, berdiri tegak dengan bayangan tajam di sekelilingnya. Seratus belati dan jarum beracunnya kini taat sepenuhnya pada pikirannya. Ia dapat menebas seratus musuh sebelum napas pertama mereka sempat bergetar di udara.

Namun yang paling menakutkan dari semuanya adalah Vorthax, dari suku Murkalana. Pedang besar Nagarastra yang dahulu tergeletak membisu kini berdenyut seperti makhluk hidup. Bilahnya berwarna hitam kebiruan, memancarkan aura prana naga yang dulu dibunuhnya. Dalam tangannya, pedang itu menjadi alat pembantaian sejati—api naga dan darah manusia berpadu menjadi satu kehendak.

Ki Surya Dahana menatap mereka dengan mata yang suram namun berkilat penuh kebanggaan dan kecemasan.
“Lihatlah,” ujarnya perlahan, suaranya bergema di ruangan batu yang dingin, “kalian telah menaklukkan ratusan medan ilusi, bahkan mengakhiri riwayat Gendrawani bertangan delapan yang pernah mengguncang dunia manusia. Namun ingatlah—kekuatan tanpa kendali hanya akan menuntun pada kegilaan. Kalian mesti menyeimbangkannya dengan keteguhan batin, atau lambat laun kekuatan itu akan menelan kalian sendiri.”

Keempat kepala suku menundukkan kepala, tak sepenuhnya memahami beban kata-kata itu. Di mata mereka, hanya ada kemenangan—dan kehausan akan ujian yang lebih besar.

Ki Surya Dahana memalingkan wajahnya ke bola kaca yang menggantung di udara, di mana bayangan Isidore dan para ksatrianya tampak samar.
“Belum cukup,” gumamnya lirih, “belum cukup untuk menandingi mereka. Masih ada jalan panjang menuju keagungan, dan lebih banyak darah yang mesti tertumpah sebelum fajar kekuasaan bangkit kembali.”


---

---

Chapter 60 Bayang di Balik Gunung Asrama

Di bawah perut bumi, jauh di bawah reruntuhan kota kuno Mythopia, terbentang ruang raksasa tempat batu-batu bernafas dan udara bergetar oleh bisikan roh. Di sanalah, Rasvathar, sang Penjaga Bayang-Bayang, bersembunyi. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih; luka-luka dari perang melawan Ksatria Majapahit masih membara seperti bara di bawah kulitnya yang pucat.

Selama berabad-abad, ia bertahan dalam bayang waktu yang terbeku, menghisap sisa-sisa kekuatan dari reruntuhan kuil, meminum kabut yang menetes dari dinding batu. Ia menunggu saat di mana bintang Mythopia kembali terbit—bukan untuk menerangi dunia, melainkan untuk menelannya ke dalam kegelapan abadi.

Di hadapannya terbentang cermin Arkamaya, pusaka yang dahulu menjadi lambang kebijaksanaan kerajaan Mythopia. Kini, cermin itu retak dan memantulkan bayangan yang bukan bayangan dunia manusia. Dari sana, Rasvathar menyaksikan dunia berjalan di atas luka-lukanya sendiri.

> “Lihatlah…” suaranya berat bagai guruh dari dalam bumi. “Putra Itharius, darah cahaya, berani mengumpulkan kembali ksatria-ksatria Mythopia. Ia hendak menghidupkan kejayaan yang telah kulenyapkan. Dan lihat pula… muridku yang durhaka, Surya Dahana, kini bermain dengan ilusi kekuasaan.”



Matanya yang keunguan menyala perlahan, menyulut udara di sekitarnya menjadi asap pekat. Dari kegelapan, muncul bayangan-bayangan pengintai—makhluk tanpa wajah, mata-mata yang berkelana melalui kabut dan mimpi manusia.

> “Temukan Surya Dahana,” ujarnya dengan nada bagai mantra. “Bisikkan padanya… bahwa aku telah menemukan rahasia tertinggi Mythopia—Api Abadi dari Menara Luar. Katakan, kekuatan itu dapat menghancurkan Isidore, bila ia cukup bodoh untuk mempercayaimu.”



Bayangan itu menunduk tanpa suara, lalu lenyap dalam kabut yang mengalir seperti air hitam.

Rasvathar lalu menatap langit-langit batu yang berlumut, seakan berbicara kepada para dewa yang telah lama mati.

> “Biarlah Surya Dahana berperang dengan Isidore. Biarlah manusia saling membunuh di bawah bendera kejayaan dan kesetiaan. Dari abu mereka aku akan bangkit… dan dunia ini akan menjadi takhta bagi kegelapan yang kekal.”



Di luar gua, guntur bergemuruh tanpa hujan. Seekor burung malam terbang ketakutan, dan kabut ungu mulai turun dari lereng gunung, menandai bahwa bayang-bayang Rasvathar telah bergerak sekali lagi.


---


---

Chapter 61 Bisikan dari Bayang-Bayang

Di kedalaman gua Sinabung, api biru berkeredap dari mangkuk-mangkuk batu, menerangi dinding yang dipenuhi ukiran mantra kuno. Ki Surya Dahana duduk bersila di tengah lingkaran simbol sihir yang berpendar samar. Suara tanah berderak pelan, dan udara di sekelilingnya menjadi berat, seolah malam turun tanpa bintang.

Dari balik kabut hitam yang menetes dari langit-langit gua, muncul sesosok bayangan—tanpa bentuk, tanpa napas, tapi matanya menyala bagai bara yang bersembunyi di balik tirai malam.

Surya Dahana mendadak berdiri, tongkatnya terangkat tinggi, sinar hitam memancar dari ujungnya menghantam dinding batu hingga retak dan runtuh. Namun bayangan itu tidak bergeming—ia tetap di sana, tenang, melayang tanpa suara.

> “Siapa kau yang berani menodai wilayahku?” seru Surya Dahana, suaranya menggema ke seluruh penjuru gua.



Bayangan itu bergetar, lalu dari dalamnya terdengar suara dalam dan berat, seperti datang dari balik kabut ribuan tahun:

> “Wahai… muridku.”



Dahana menatap tajam.

> “Aku tak pernah punya guru. Katakan siapa kau sebenarnya, sebelum kutiadakan dari dunia ini.”



Bayangan itu berubah bentuk, perlahan membentuk siluet seorang tua berjubah panjang, dengan mahkota api yang berkelip di atas kepala bayangannya.

> “Apa kau sudah lupa padaku, Surya Dahana? Aku adalah Maharsi Angyantara, penasehat spiritual tertinggi Mythopia… yang dulu kau sebut Rasvathar.”



Dahana mengerutkan kening, wajahnya mengeras.

> “Aku ingat kau. Orang gila yang mencoba menggulingkan Dewan Mythopia dengan ilmunya yang terkutuk.”



> “Gila, katamu?” suara Rasvathar menggelegar pelan. “Aku hanya melihat kebenaran yang tak mampu diterima manusia lemah. Kebenaran bahwa cahaya dan kegelapan bukan musuh, melainkan dua sisi dari kekuasaan yang sama.”



> “Kau bicara seperti ular tua yang memakan ekornya sendiri,” balas Dahana dingin. “Aku tahu apa yang kau inginkan: kekuasaan atas semua makhluk, bahkan para dewa pun akan kau perbudak bila bisa.”



Bayangan Rasvathar bergoyang lembut, bagai asap yang tertawa.

> “Kau salah, Dahana. Aku tak menginginkan tahta. Aku menginginkan kesempurnaan—tatanan di mana yang kuat menuntun yang lemah. Dan kau… dengan pasukan suku-sukumu, dengan ilmu sihirmu yang tajam… kau bisa menjadi jembatan menuju tatanan itu.”



> “Aku tidak butuh tatananmu, Rasvathar. Aku membangun kekuatanku bukan untuk menaklukkan manusia, tapi untuk menegakkan kembali nama Mythopia yang telah dicemarkan.”



Rasvathar tertawa, suaranya seperti gemuruh batu runtuh.

> “Nama Mythopia? Hanya debu di bawah bintang! Lihatlah dirimu, murid yang dibuang, yang mencari kehormatan dari reruntuhan. Sementara itu, Isidore—darah Itharius—berjalan di bawah panji cahaya. Kau tahu dia akan menghancurkanmu bila tiba waktunya.”



Surya Dahana menatap tajam, tapi di dalam matanya ada seberkas keraguan.

> “Apa maumu, Rasvathar?”



> “Aku menawarkan persekutuan. Datanglah ke lembah bayangan di bawah Gunung Asrama. Di sana, aku akan menunjukkan kepadamu Rahasia Tertinggi Mythopia—ilmu yang bahkan para pendeta agung tak pernah berani menyentuhnya. Dengan itu, kau akan memiliki kekuatan untuk menundukkan Isidore… dan mungkin seluruh dunia manusia.”



Dahana diam lama, tongkatnya menurun perlahan. Api di sekitarnya berkedip redup.

> “Dan bila aku menolak?”



Rasvathar membisik, suaranya berubah lembut namun mengandung racun.

> “Maka dunia akan memilih untuk melupakanmu, Surya Dahana. Dan segala nama, segala kejayaanmu, akan hilang ditelan waktu. Bahkan rohmu tak akan diingat oleh bumi.”



Bayangan itu mulai memudar, lenyap dalam kabut hitam yang menyusup kembali ke dinding gua. Namun suaranya masih menggema di udara:

> “Pikirkanlah, muridku… kegelapan selalu menunggu mereka yang ditolak oleh cahaya.”



Surya Dahana berdiri diam, hanya suara api dan tetes air yang tersisa. Di wajahnya, tampak pergulatan batin antara kesetiaan pada cahaya dan godaan kekuatan tanpa batas.


---

Chapter 62 Bayang dan Cahaya dari Bengawan Solo

Para kepala suku segera mengerahkan prajurit-prajurit terbaik dari kabilah mereka — para pemburu, pendaki, dan pengintai yang telah ditempa oleh waktu dan darah. Dari gua Sinabung yang gelap hingga lembah-lembah berkabut di utara, mereka menyebar dalam kesunyian malam, mencari jalan menuju Gunung Asrama, tempat yang disebut-sebut sebagai gerbang menuju Lembah Bayangan.

Namun, tak seorang pun di antara mereka menyadari bahwa pada saat yang sama, Isidore dan para ksatria Mythopia sedang menempuh perjalanan menuju arah yang berlawanan — menuju Sinabung, tempat legenda tidur menunggu untuk dibangkitkan.

Perjalanan mereka dari tepi Bengawan Solo berlangsung damai dan sarat kenangan. Sungai itu mengalir tenang di bawah sinar matahari sore, memantulkan warna langit yang perlahan memerah. Setiap langkah Isidore membawa kembali ingatan tentang Putri Dyah Sekar Tanjung, tentang senyumnya yang lembut dan suara lembayung senja di matanya.

Di dadanya tergantung hiasan kupu-kupu berlapis emas, hadiah dari sang putri — sebuah karya seni yang tampak sederhana namun sesungguhnya hidup oleh sihir kuno Majapahit. Sayapnya kadang bergetar lembut, dan dari tubuh mungil itu memancar cahaya keemasan yang menari di udara.
Tak seorang pun dari rombongan ksatria tahu bahwa kupu-kupu itu bukan sekadar perhiasan. Ia adalah penjaga dan penuntun, makhluk langka yang menebarkan serbuk sari bercahaya untuk menandai keberadaan pemiliknya. Melalui kilau itu, di kejauhan, sang putri dapat mengikuti jejak perjalanan Isidore — bagai bintang yang selalu tahu di mana fajar akan terbit.

Sementara itu, di belantara yang jauh, para pengintai suku Gurnaka, Rakayan, Jalarang, dan Murkalana mulai kehilangan arah. Setiap petunjuk yang mereka kejar lenyap seperti kabut disapu angin.
Gunung Asrama berdiri diam di kejauhan, puncaknya diselubungi awan gelap yang tak tersentuh matahari. Namun ketika mereka mencoba mendekat, langit berubah — bintang-bintang lenyap, dan kabut hitam turun bagai tirai yang menelan pandangan.

> “Kami telah berjalan tujuh hari dan tujuh malam,” lapor salah seorang pengintai kepada Lorendis, “namun setiap jalur yang kami tempuh berakhir pada tempat yang sama. Seolah gunung itu menolak kami.”



Lorendis menatap ke langit, merasakan hawa aneh di udara.

> “Ini bukan medan biasa,” gumamnya. “Ini tempat di mana dunia manusia dan bayangan bersatu. Dan bayangan… tak pernah menunjukkan jalan kecuali kepada yang terpilih.”



Namun di sisi lain dunia, Isidore melangkah semakin dekat ke nasibnya, tak sadar bahwa dua kekuatan besar — bayangan dan cahaya — kini sedang berjalan di jalur yang sama, menuju takdir yang tak dapat dihindari.


---
Chapter 63 Perjalanan Menuju Sinabung

“Mari kita berpindah melalui Gunung Lawu,” ujar Surya Wikrama, matanya menatap ke arah barat, di mana puncak gunung menjulang bagai mahkota batu di bawah langit jingga. “Di sana terdapat batu loncatan — jalan rahasia menuju Sinabung.”

Perjalanan dari Bengawan Solo ke lereng Lawu tidaklah singkat, namun udara pegunungan menyelimuti mereka dengan kesejukan dan kesunyian purba. Di sepanjang jalan, akar-akar pohon raksasa menjulur dari tanah, membentuk jalinan seperti tangan para penjaga dunia bawah.
Dengan satu gerakan tangannya, Rakajati, sang pengendali rimba, memisahkan akar-akar itu, membuka jalan bagi rombongan.

Mereka tiba di hadapan sebuah gua tersembunyi di balik dinding batu yang dilapisi sarang laba-laba sewarna perak. Jaring-jaring itu bergetar halus, memantulkan cahaya samar dari batu-batu biru yang menempel di langit-langit gua.

Pandika, yang selalu mudah terpesona oleh keindahan alam, menatap kagum.

> “Lihatlah,” bisiknya, “seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi untuk menerangi tempat ini.”



Di tengah gua berdiri sebuah batu kristal putih sebesar tubuh manusia, berdenyut lembut seperti jantung bumi. Saat Surya Wikrama mengangkat tangannya dan menyentuhkan segel cahaya pada permukaannya, kristal itu memancarkan cahaya keemasan yang menelan seluruh ruangan.

Suara gemuruh memenuhi udara — bola-bola listrik bermunculan, berputar liar, menyambar dinding dan tanah, menciptakan kilatan biru dan ungu yang menari.

“Perlindungan!” seru Isidore, menarik kerisnya. Dengan cepat ia melantunkan mantra kuno, dan dari bilah keris itu terpancar perisai cahaya berbentuk pusaran angin. Dalam sekejap, seluruh rombongan diselimuti cahaya, dan ketika sambaran petir mencapai puncaknya, mereka lenyap dari pandangan.

Lalu datang keheningan.

Mereka muncul kembali di sebuah gua lain — gua Sinabung, jauh di utara.
Sisa kilau dari perjalanan magis itu masih berputar di udara, seperti debu bintang yang enggan padam. Batu kristal kini berwarna ungu tua, seolah telah menyimpan sebagian roh perjalanan mereka.

Pandika, masih gemetar, menjerit kecil sebelum menutup mulutnya.

> “Tenang,” suara lembut Pangreksa terdengar, “kau dalam perlindungan kami.”



Mereka berjalan keluar dari gua. Di depan mereka terbentang pemandangan yang menakjubkan — lembah Sinabung yang tertidur di bawah kabut pagi, diapit tebing batu yang menjulang.

Rakajati menunjuk ke arah timur, ke sebuah bukit kecil yang tampak seolah hidup oleh cahaya tanah.

> “Di sanalah,” katanya pelan, “gua Ksatria Jagat Dirgantara, penguasa tanah dan langit. Tapi lihatlah, pintunya tertutup oleh sarang semut penjaga bumi.”



Bhra Anuraga menatap dengan ngeri.

> “Astaga… bagaimana kita masuk? Apa kita harus menghancurkannya?”



Namun Surya Wikrama melangkah maju, menatap sarang itu dengan hormat.
Ia menghunus pedangnya, dan dari bilahnya terpancar cahaya emas yang hangat, bukan menyilaukan, melainkan menenangkan seperti mentari pagi.

> “Wahai penjaga tanah,” ucapnya lembut, “maafkan kami. Kami tak berniat mengganggu ketenangan kalian. Kami hanya datang untuk membangkitkan sang ksatria yang telah lama tertidur, agar keseimbangan dunia tetap terjaga.”



Cahaya itu menjalar di sepanjang dinding sarang, dan satu per satu semut raksasa keluar, melingkar di sekitar mereka — bukan sebagai musuh, melainkan sebagai penjaga yang tengah menimbang. Dari kegelapan terdengar dengung halus, seperti doa yang dilantunkan bumi sendiri.


---
Chapter 64 Pembangkitan Sang Ksatria Jagat Dirgantara

Udara di sekitar gua Sinabung menjadi pekat — seolah bumi sendiri menahan napas menunggu sesuatu yang agung akan terjadi. Dari bilah keris Surya Wikrama, cahaya emas menyala lembut, mula-mula seperti bara yang berdenyut, lalu perlahan membesar, memancar bagai mentari yang terbit dari dalam tanah.

“Waktunya telah tiba,” ucap Surya Wikrama dengan suara yang bergema menembus dinding batu. Ia menancapkan keris itu ke tanah, dan getaran halus segera menyebar, membuat pasir di kaki mereka bergetar lembut.

Dari kedalaman bumi terdengar bunyi berat — gruuum... gruuum..., suara batu yang bergeser, disusul ledakan kecil cahaya di tengah tanah. Lalu bumi terbelah, dan dari celahnya muncullah sosok raksasa batu — tubuhnya kokoh bagai gunung, berlapis bebatuan hitam dan lumut purba. Ia adalah Jagat Dirgantara, sang penguasa tanah, ksatria tua yang telah tertidur selama ribuan tahun.

Matanya masih tertutup, dan setiap gerakannya lamban, berat seperti dunia baru terbangun dari mimpi panjang. Debu beterbangan di udara, mengelilinginya bagaikan kabut dari zaman purba.

Pangreksa, penguasa es, melangkah maju, mengangkat tangannya.

> “Biarlah dinginku menenangkan tubuhmu, wahai penjaga tanah,” ujarnya.
Udara membeku, lapisan es membalut batu, menahan panas dan memberi bentuk pada tubuh raksasa itu.



Bhra Anuraga, sang penguasa api, mengikuti dengan nyala merah di matanya.

> “Api akan membakar sisa-sisa tidur panjangmu,” katanya.
Nyala api menjalar lembut di sela-sela batu, menghancurkan kerak dan debu masa lampau yang menutup kulit Jagat Dirgantara.



Lalu Sagara Putra, penguasa samudra, mengangkat tangan dan menyeru gelombang dari udara — air muncul, mengalir dari udara tipis, membasuh batu yang telah terpecah.

> “Biarlah airku menggerus kaku tubuhmu,” katanya dengan lembut.



Bayu Anggana, penguasa angin, menari di sekitarnya; setiap gerakannya memunculkan pusaran angin yang menghapus debu dan sisa kerak dari tubuh batu itu.

> “Angin akan membersihkanmu, wahai ksatria bumi,” serunya.



Lalu Guntur Wisesa, dengan sorot mata bagaikan kilat di langit badai, mengangkat tombaknya ke udara. Petir pun turun, menyambar tubuh batu yang membeku itu.

> “Terimalah kekuatan dari langit, wahai Jagat Dirgantara!”



Petir itu menyatu dengan tubuh golem batu; retakan-retakan muncul di seluruh permukaannya, berpendar cahaya dari dalam — putih, emas, dan hijau bercampur seperti sinar fajar menembus awan badai.

Rakajati, sang penguasa kayu, menancapkan tongkatnya ke tanah; akar-akar hijau bermunculan, melingkari tubuh raksasa batu itu, mengalirkan kehidupan baru ke dalamnya.

Dan ketika semua unsur bersatu — api, air, angin, tanah, petir, dan kehidupan — terdengar bunyi lembut seperti napas pertama dunia. Batu-batu pecah perlahan, gugur dari tubuh sang ksatria.

Dari dalam pecahan itu muncullah seorang lelaki berwajah tegas, bertubuh gagah, dengan kulit sewarna tanah lembah dan mata berkilau bagai batu giok. Ia menunduk perlahan, dan bumi di bawahnya bergetar ringan — bukan karena kekuatan, tapi karena rasa syukur.

> “Aku... telah terbangun,” suaranya dalam dan bergema, seperti suara bumi sendiri berbicara. “Beribu tahun aku tertidur, dan kini aku mendengar panggilan cahaya...”



Ia berlutut di hadapan Isidore, matanya bersinar lembut.

> “Wahai putra raja Itharius, penerus darah Mythopia, aku berhutang nyawa padamu dan para ksatriamu. Mulai hari ini, Jagat Dirgantara akan menjadi perisai kalian — penjaga tanah dan penopang dunia. Demi keseimbangan, dan demi Mythopia.”



Isidore menatapnya penuh hormat.

> “Bukan kami yang membangkitkanmu, wahai Jagat Dirgantara. Dunia sendirilah yang memanggilmu kembali. Dan kini... waktumu telah tiba untuk berdiri di sisi kebenaran.”



Cahaya keemasan dari keris Surya Wikrama perlahan meredup, namun di dalam gua itu, sinar baru muncul — bukan dari batu atau sihir, melainkan dari harapan yang kini hidup di hati mereka semua.


---
Chapter 65 Bayang-Bayang di Gua Sinabung

Dalam kedalaman gua Sinabung yang sunyi, Ki Surya Dahana duduk bersila di atas batu hitam, matanya menatap nyala api biru dari tungku kecil di hadapannya. Asap beraroma mur menyeruak, membentuk kabut tipis yang melayang di udara, menciptakan bayangan yang seolah hidup di dinding gua.

Angin dari celah batu berdesir pelan, namun dalam kesunyian itu, hati sang pertapa bergolak bagaikan samudra di bawah badai. Ia baru saja mendengar kabar dari mata-matanya — Jagat Dirgantara, sang penjaga tanah, telah terbangun dari tidur panjangnya dan kini bersumpah setia pada Isidore, putra raja Itharius.

Wajah Ki Surya Dahana menegang. Jemarinya yang kurus menggenggam tongkat hitam bertatah batu obsidian, mengetuk-ngetuk tanah tanpa sadar.

> “Jagat Dirgantara... bahkan bumi pun kini tunduk pada Isidore,” gumamnya lirih, antara kagum dan waspada.



Bayangan di dinding bergetar, lalu suara bergema dari kegelapan — bukan dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri.

> “Apakah kau takut, Surya Dahana? Atau iri?”



Ia terdiam. Hanya nyala biru yang menari di bola matanya.

> “Aku tidak takut,” katanya perlahan. “Tapi aku mengenal tanda-tanda zaman. Jika tanah telah bangkit, maka langit akan berguncang. Rasvatar tidak akan tinggal diam.”



Nama itu — Rasvatar — membuat api di tungku mendesis keras, seolah membenci kehadiran sang tokoh. Ki Surya Dahana menatapnya, teringat akan kunjungan bayangan sang penasehat hitam Mythopia, yang kini mengaku kembali dari kegelapan.

> “Ia datang membawa janji,” ujarnya pada dirinya sendiri, “janji tentang rahasia tertinggi alam, dan kekuatan untuk menundukkan manusia. Tapi aku tahu... dari lidah kegelapan hanya lahir racun.”



Ia menutup matanya, berusaha meredam bisikan-bisikan halus yang berdesir di telinganya, suara Rasvatar yang masih terngiang:

> ‘Manusia lemah harus tunduk pada yang kuat... begitulah hukum dunia, muridku.’



Ki Surya Dahana membuka mata, sorotnya kini tajam bagai bilah pedang.

> “Namun apakah aku benar-benar berbeda darinya?” gumamnya. “Aku pun membangun pasukan. Aku pun menginginkan kekuatan... demi apa? Demi Mythopia? Atau demi diriku sendiri?”



Bayangan para kepala suku terlintas dalam pikirannya — Orkaghor, Lorendis, Mhezzrak, Vorthax — semuanya kini mabuk kekuasaan, memeluk senjata yang diberkatinya sendiri. Ia tahu, bila Rasvatar menampakkan diri sepenuhnya, darah akan tumpah, dan Majapahit akan menjadi medan pertama yang dilahap api bencana.

Ia berdiri perlahan, menyandarkan tongkatnya pada batu. Api biru padam, meninggalkan hanya pijar ungu di ujung matanya.

> “Aku harus memilih,” ucapnya berat. “Apakah menjadi pelindung... atau penghancur.”



Langit di luar gua bergemuruh — kilat menyambar puncak Sinabung, menandai malam yang akan menjadi saksi pergulatan batin seorang yang berdiri di ambang dua dunia: antara terang dan kegelapan.

> “Rasvatar, kau boleh menebar bayang-bayangmu... tapi ketahuilah, bahkan kegelapan pun lahir dari cahaya yang dikhianati.”



Dengan langkah perlahan, ia berjalan ke mulut gua, menatap langit yang diliputi awan hitam. Dari sana, ia berbisik pada angin:

> “Awasi mereka, awasi Isidore. Bila Rasvatar turun ke dunia, aku... akan menemuinya sendiri.”
---
---

Chapter 66 Bayangan di Gunung Sinabung

Senja mulai turun di kaki gunung Sinabung. Langit barat berwarna merah darah, dan awan berarak bagai arus api yang terbelah oleh angin. Di hadapan gua batu yang menjadi tempat peristirahatan mereka, Isidore berdiri memandangi lembah yang diselimuti kabut tebal. Di sisi kanannya berdiri Pandika, wajahnya keras dan matanya menyala oleh semangat yang tak terbakar waktu.

> “Tuan Isidore,” ujarnya perlahan, “aku telah mendengar kabar buruk dari para penduduk yang selamat. Perkumpulan kegelapan di bawah naungan Ki Surya Dahana telah menculik banyak jiwa—orang tua, anak-anak, bahkan bayi. Mereka dijadikan bahan upacara untuk memperkuat ilmu hitam mereka. Kita tak boleh berdiam diri lagi.”



Isidore menatap Pandika dengan tatapan berat.

> “Aku tahu, Pandika. Bayang-bayang itu telah terlalu lama tumbuh di Sinabung. Bila kita biarkan, kegelapan itu akan menjalar sampai ke jantung Majapahit.”



Angin malam mulai turun, membawa suara burung malam dari kejauhan. Dari belakang mereka, Jagat Dirgantara melangkah maju. Tubuhnya yang tegap bagai tebing batu kini berkilau disinari cahaya bintang pertama yang muncul di langit.

> “Jagat Dirgantara,” kata Isidore, “kau pernah menjadi mata dan telinga bumi. Dapatkah engkau menunjukkan pada kami di mana para pengikut kegelapan itu bersembunyi?”



Ksatria tanah itu menunduk dengan hormat, suaranya dalam dan berat seperti gemuruh di bawah bumi.

> “Terima kasih atas kepercayaanmu, Tuan Isidore. Biarkan aku mencari mereka melalui gema bumi ini.”



Ia lalu melangkah ke sebuah batu besar di puncak dataran, menancapkan palu perangnya ke tanah. Cahaya emas membungkus tubuhnya, lalu ia melompat tinggi dan menghantam tanah dengan kekuatan yang membuat bumi bergetar.
Suara ledakan bergema menembus lembah—gelombang udara menyapu pepohonan, menumbangkan daun-daun, dan memaksa kabut mundur dari punggung gunung.

Dari kejauhan, terdengar jeritan—para mata-mata yang bersembunyi di bawah tanah terhempas dan pingsan, sementara yang bersembunyi di atas pohon berguguran seperti buah busuk tersambar badai.

Pandika menatap pemandangan itu dengan kagum.

> “Kekuatan yang menggetarkan bumi... sungguh layak bagi sang penjaga tanah.”



Isidore mengangguk.

> “Kini kita tahu di mana mereka bersembunyi. Akar kegelapan itu berdenyut di perut Sinabung. Di sanalah kita akan menyalakan api pembebasan.”



Namun jauh di tempat lain—di sebuah ruangan batu hitam yang diterangi oleh cahaya cermin berisi kabut—Rasvatar tersenyum tipis. Dari pantulan cermin itu, ia menyaksikan seluruh kejadian, dan di matanya berputar pusaran ungu yang menyala seperti bara.

> “Ah, Jagat Dirgantara... ksatria bumi yang legendaris,” gumamnya dengan nada kagum yang penuh racun. “Mythopia kembali mengumpulkan pasukannya. Ini akan menjadi panggung yang sempurna untuk kejatuhan mereka.”



Ia mengangkat tangannya, mengusap permukaan cermin. Bayangan baru muncul—pasukan berseragam Majapahit, berbaris di antara kabut, melindungi beberapa kereta kuda berhias lambang bunga teratai. Di dalamnya, wajah seorang putri bersinar lembut di antara cahaya obor.

Rasvatar tertawa kecil, suaranya serak namun bergema di seluruh ruangan.

> “Dyah Sekar Tanjung... rupanya takdir suka bermain dengan benang yang sama. Para ksatria Mythopia, pasukan Majapahit, dan sang pewaris darah raja—semuanya datang ke tempat yang sama.”



Ia menatap kabut ungu yang berputar di cermin, lalu berbisik pelan:

> “Biarlah Sinabung menjadi pusaran di mana terang dan gelap bertemu... dan hanya satu yang akan keluar hidup-hidup.”

---
---

Chapter 67 Bayangan dari Selatan

Malam turun di kaki Gunung Sinabung, dan udara menjadi berat dengan aroma tanah basah serta desiran angin dingin yang menyelusup di antara pepohonan raksasa. Kabut putih perlahan merayap dari lembah, menyelimuti akar dan semak bagai selimut kematian yang diam.

Di tengah hening itu, Jagat Dirgantara menunduk, telapak tangannya menempel pada tanah. Dari tubuhnya terpancar cahaya keemasan samar, berdenyut seperti nadi bumi. Ia menutup matanya, dan mendengar bisikan batu serta desir akar yang berbicara dalam bahasa kuno bumi.

> “Ada yang bersembunyi,” gumamnya pelan. “Di selatan, di balik pohon-pohon tinggi, kudengar langkah-langkah hati-hati manusia. Tapi di barat...” —ia membuka matanya perlahan, menatap ke arah pepohonan gelap— “...di barat hanya ada keheningan dan kematian. Para mata-mata yang bersembunyi di sana telah gugur, mungkin oleh tangan yang tak terlihat.”



Isidore segera menoleh, wajahnya menegang.

> “Apakah mereka dari pihak musuh?”



Jagat Dirgantara menggeleng perlahan.

> “Belum tentu. Namun aku merasakan aura jahat sedang mendekat. Jumlahnya besar—gelombang kegelapan yang bergerak seperti badai dari perut gunung. Kita harus mengungsikan penduduk dan mereka yang lemah, sebelum langit di atas Sinabung menjadi merah oleh darah.”



Rakajati yang berdiri di sisi kanan Isidore menatap lebatnya hutan dengan mata tajam. Akar-akar di bawah kakinya bergetar lembut, seolah menjawab panggilan batin sang penguasa kayu.

> “Tuan Isidore,” katanya cepat, “ada sekelompok prajurit Majapahit yang bersembunyi di balik pepohonan di sana. Aku dapat merasakan napas mereka dan bau baja dari perisai mereka. Kita harus memperingatkan mereka sebelum terlambat.”



Isidore tertegun sesaat.

> “Majapahit... di sini?”



Ia segera berlari menembus semak, diikuti Pandika dan Surya Wikrama yang menyalakan obor kecil berwarna keemasan. Di balik kabut, tampak barisan prajurit Majapahit berlutut di tanah, menatap mereka dengan waspada. Di antara mereka, berdiri Putri Dyah Sekar Tanjung, mengenakan jubah sutra berwarna ungu lembut, wajahnya pucat diterpa cahaya bulan.

> “Tuan Isidore...” bisiknya, matanya bergetar antara lega dan cemas. “Aku... tak menyangka akan bertemu denganmu di tempat ini.”



Isidore menunduk hormat, suaranya tenang namun penuh getaran hangat.

> “Putri Dyah Sekar Tanjung... seharusnya engkau tidak berada di sini. Sinabung bukan tempat bagi bunga istana. Angin malam membawa bau darah, dan bumi telah memperingatkan kita akan datangnya badai.”



Dyah Sekar tersenyum tipis.

> “Dan apakah bunga harus selalu berdiam di taman, Tuan Isidore? Kadang bunga pun harus melihat gelap untuk tahu cahaya mana yang sejati.”



Isidore sempat terdiam. Di balik suaranya yang lembut, ia mendengar keberanian yang sama dengan darah para leluhur Majapahit.

> “Engkau memiliki hati seorang ratu,” katanya pelan, “namun kali ini, izinkan aku yang menjaga keindahanmu dari gelap yang akan datang.”



Dyah Sekar menunduk, menatap gelang kayu di pergelangan tangannya—hadiah dari Isidore di tepian Bengawan Solo.

> “Kalau begitu, aku akan menunggu di bawah cahaya yang sama seperti dulu...”



Sebelum ia sempat melanjutkan, suara gemuruh terdengar dari kejauhan—sebuah raungan berat, seperti ribuan makhluk sedang merangkak keluar dari kedalaman bumi. Tanah bergetar, dan udara berubah dingin membeku. Dari kegelapan di antara pepohonan, muncul kabut hitam yang menggeliat hidup, menelan cahaya bulan sedikit demi sedikit.

Jagat Dirgantara menatap langit, suaranya bergema seperti petir di lembah.

> “Terlambat... mereka sudah datang.”



Kabut hitam kini menelan seluruh sisi hutan. Bayangan-bayangan bergerak cepat di antara pepohonan, mata mereka menyala merah bagai bara. Suara bisikan dan lolongan memenuhi udara.

Isidore mencabut kerisnya, bilahnya menyala kebiruan, dan berkata lantang:

> “Semua orang bersiap! Malam ini Sinabung akan menjadi medan ujian bagi keberanian kita!”

---
---

Chapter 68 Kabut Malapetaka

Langit di atas Gunung Sinabung perlahan kehilangan cahayanya. Matahari yang tadinya menembus kabut tipis kini tertelan oleh gelap yang berputar-putar di cakrawala. Angin berhenti berhembus, dan hutan yang tadinya bernyanyi dengan suara serangga kini terdiam bagai dunia yang menahan napas.

Lalu terdengar bunyi lirih—seperti suara genta purba dari balik lembah. Dari tanah yang gemetar, tiga sosok bercahaya muncul perlahan. Jubah mereka berkibar pelan, memantulkan sinar keemasan yang seolah melawan kabut hitam yang mendesak dari segala arah.

Isidore menatap mereka dengan takjub, lalu menunduk hormat.
Tiga biksu agung berdiri di hadapannya: Raja Alam Wardana, dengan tongkat berukir naga emas di tangan kanannya; Cheon Myeong, biksu dari timur jauh, bermata teduh namun tajam seperti baja; dan Sri Laksana, yang berselimut cahaya lembut, namun sorot matanya membawa kuasa dari dunia para arwah.

> “Isidore,” ujar Raja Alam Wardana dengan suara yang berat seperti guntur yang jauh. “Kabut yang datang ini bukan kabut biasa. Aku mengenali napasnya. Ini pertanda kebangkitan makhluk malapetaka tingkat IV—Bayang Agung, sang pemakan roh dan penghapus cahaya.”



Cheon Myeong menunduk dalam-dalam, suaranya tenang namun getir.

> “Makhluk itu tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan pedang atau sihir apa pun. Ia hanya dapat disegel, dan segel itu membutuhkan roh pendendam terkuat untuk menjadi kuncinya.”



Raja Alam Wardana menatap Isidore dengan mata yang bersinar bagai bara.

> “Carilah roh pendendam yang paling kuat di tempat ini. Biarkan Sri Laksana yang menyegelnya. Namun waspadalah—kabut ini akan menguji hatimu. Ia akan memanggil dengan suara yang engkau cintai... dan menyeretmu ke dalam kegelapan.”



Isidore menunduk, menggenggam kerisnya. Cahaya kebiruan di bilahnya mulai bergetar, seolah takut pada sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap dari dunia itu sendiri.

> “Aku mengerti, Paduka Wardana. Aku akan melakukannya.”



Namun sebelum ia sempat melangkah, kabut hitam menebal dengan cepat, menelan pepohonan, batu, dan bahkan cahaya dari ketiga biksu agung itu. Suara langkah para ksatria menghilang, dan Isidore tak lagi dapat merasakan napas satu pun dari mereka.

Lalu... terdengar jeritan.
Suara seorang perempuan, sayup tapi jelas menusuk hati.

> “Isidore! Tolong kami!”



Itu suara Putri Dyah Sekar Tanjung.

Isidore berbalik, napasnya tersengal. Namun tangan Raja Alam Wardana menahan bahunya, suaranya tajam seperti cambuk petir.

> “Jangan hiraukan suara itu! Itu bukan dia. Kabut sedang mencoba menyentuh hatimu. Cepat—cari sumber roh terkuat sebelum semuanya lenyap!”



Dan dari balik kabut, muncul ribuan arwah pendendam. Mata mereka merah menyala, tubuhnya diselimuti bayangan, membawa pedang dan tombak dari dunia kematian. Mereka meraung, memanggil nama-nama yang telah lama dilupakan, dan menyerbu dengan kegilaan abadi.

Isidore berlari di antara pohon-pohon tinggi, tubuhnya melesat di antara kilatan cahaya petir yang muncul dari kabut. Ia melompat ke atas cabang besar, menghindari tebasan tombak bayangan.

Di saat itulah Cheon Myeong muncul di sampingnya, tubuhnya berkilau bagai roh suci.

> “Isidore! Dengarkan baik-baik! Aku akan mengajarkanmu jurus yang dilarang di dunia manusia—Jurus Dewa Pedang. Kau hanya punya sekali kesempatan untuk menguasainya!”



Cheon Myeong mengayunkan tangannya, dan dalam sekejap Isidore merasakan ribuan kilatan pedang menari di pikirannya—seperti bintang yang jatuh ke bumi, mengukir langit dengan cahaya. Ia mengangkat kerisnya, meniru gerakan sang biksu, dan cahaya biru dari bilah itu berubah menjadi putih keperakan.

> “Sekarang!”



Dengan satu tebasan, Isidore memutar tubuhnya. Dari kerisnya memancar gelombang cahaya tajam bagai sayap dewa. Kabut terbelah, dan ratusan arwah pendendam lenyap dalam sorotan terang yang suci. Suara jerit mereka menggema di antara pepohonan, sebelum larut kembali ke dalam bumi.

Isidore terengah-engah, memegangi kerisnya yang kini bergetar hangat di tangannya. Cheon Myeong menatapnya dari jauh, tersenyum tipis.

> “Hebat, meski penguasaanmu belum sempurna... namun cahaya pedangmu telah menembus batas antara dunia hidup dan mati.”



Namun Wardana menatap ke arah barat dengan wajah muram.

> “Waktumu tidak banyak, Isidore. Bayang Agung akan segera bangkit sepenuhnya. Roh terkuat itu menunggu... di jantung kabut.”

---

---

Chapter 69 Bayangan Sang Raja Arwah

Kabut di lembah Sinabung makin menebal hingga tak seorang pun dapat membedakan tanah dari langit. Bau tanah basah bercampur dengan aroma besi dan darah yang lama. Isidore berjalan perlahan, langkahnya teredam oleh kabut yang seolah hidup dan berbisik di setiap sisi.

Di hadapannya, tampak bayangan seorang lelaki berdiri tegap di tengah pusaran gelap—berjubah kerajaan Majapahit, berwarna merah darah yang pudar oleh waktu. Di tangannya terhunus pedang besar berukir naga, Nagarastra, bilah legendaris yang kini tampak berkarat oleh dendam.

Cahaya keris di tangan Isidore bergetar; roh itu bukan arwah biasa.
Dari tubuhnya terpancar hawa kekuasaan dan kesedihan abadi.
Cheon Myeong muncul di sisi Isidore, suaranya lirih bagai angin malam.

> “Dialah yang kau cari, Isidore. Roh pendendam yang dulu raja dari raja—penguasa tanah dan darah. Pedangnya pernah menebas langit, dan kini ia terkutuk menebas bayangannya sendiri.”



Isidore menggenggam kerisnya erat, menatap sosok itu yang kini perlahan menoleh. Mata sang arwah memancarkan sinar merah temaram.

> “Siapa yang berani mengusik tidurku?” suara itu bergema seperti suara logam yang diseret di atas batu.
“Aku, Isidore, pewaris cahaya Mythopia,” jawab Isidore mantap. “Aku datang bukan untuk melawan, tetapi untuk mengakhiri dendammu.”



Arwah itu tertawa pelan, suaranya dingin dan bergetar.

> “Dendam tidak berakhir, anak muda. Ia hanya menunggu tubuh baru untuk menitis...”



Seketika tanah bergetar, dan arwah itu mengangkat pedang Nagarastra. Cahaya merah meledak, menembus kabut. Isidore melompat menghindar, tanah di bawahnya retak.

Cheon Myeong berseru:

> “Isidore! Gunakan tarian menebas bulan! Rasakan napas angin, bukan amarahmu!”



Dalam sekejap, Cheon Myeong memutar tubuhnya—gerakan halus seperti embusan angin lembut, namun setiap lenggokan membawa daya yang mematikan. Bilah bayangan menari di sekelilingnya, menciptakan lingkaran cahaya keperakan bagai bulan purnama di langit hitam.

> “Gerakan lembut bukan berarti lemah,” ujar Cheon Myeong. “Di balik keindahan tersimpan badai.”



Isidore menutup matanya sesaat, merasakan angin berputar di sekelilingnya. Ia menirukan setiap gerakan dengan hati-hati—tangan melengkung, langkah ringan bagai daun jatuh, dan tebasan terakhir seperti kilatan cahaya bulan menembus gelap.

Cahaya keperakan dari kerisnya membelah udara.
Sang arwah raja berusaha menangkis, namun gerakan itu terlalu halus dan cepat. Bilah keris Isidore menebas lengan sang arwah; darah hitam menetes dari luka yang tak seharusnya dimiliki roh.

Arwah itu menatap tangannya yang terputus, suaranya berubah lirih.

> “Gerakanmu... indah seperti tarian bulan di atas samudra. Tapi apakah kau siap menanggung akibatnya, pewaris Mythopia?”



Isidore tidak menjawab. Ia menunduk, mengangkat kerisnya tinggi-tinggi untuk memberi tusukan terakhir, bersiap menutup segel roh itu dengan mantra yang diajarkan oleh Sri Laksana.

Namun sebelum bilah itu menusuk dada sang arwah, udara bergetar.
Sebuah suara tawa menggema di seluruh lembah—dalam, berat, dan penuh kegilaan.

> “Hahaha... indah sekali! Begitu muda, begitu berani, dan begitu... menyerupai aku dulu.”



Dari balik kabut, muncul sosok tinggi berselimut bayangan merah tua—Rasvatar. Matanya menyala ungu seperti bara dari dunia lain, dan setiap langkahnya membuat tanah retak dan kabut menyingkir.

Arwah raja menghilang, terseret ke dalam pusaran gelap yang terbentuk di kaki Rasvatar.

> “Kau mencarinya, Isidore? Roh pendendam terkuat? Sayang sekali, kini ia telah menjadi milikku,” ujarnya dengan senyum bengis.



Isidore mundur setapak, merasakan hawa panas dari sosok itu. Kilatan petir menyambar langit, tapi cahaya pun tampak takut menyentuhnya.

Suara Raja Alam Wardana terdengar dari belakang, keras dan tegas:

> “Isidore! Mundurlah! Kau belum siap menghadapi dia. Rasvatar adalah penguasa seluruh elemen Mythopia—api, air, tanah, angin, dan bayangan!”



Rasvatar menatap sang biksu agung, matanya menyipit.

> “Penguasa? Tidak, Wardana. Aku penyeimbang. Ketika cahaya tumbuh terlalu sombong, maka kegelapan akan menuntut haknya kembali.”



Ia mengangkat tangannya, dan seluruh hutan berguncang. Pohon-pohon tua patah, tanah terbelah, dan bayangan menjalar seperti darah ke segala arah.

Isidore terlempar ke belakang, tubuhnya terbanting di tanah berbatu.
Namun ia tetap menggenggam kerisnya, menatap Rasvatar dengan tekad menyala.

> “Kalau kau penyeimbang, maka biarlah aku jadi cahaya terakhir yang berdiri melawanmu.”



Rasvatar tertawa perlahan, suaranya bergulung seperti badai malam.

> “Kau akan jadi lebih dari itu, anak muda... Kau akan jadi pembuka gerbang antara cahaya dan kegelapan.”



Dan sebelum siapa pun sempat bereaksi, tubuh Rasvatar lenyap menjadi kabut pekat, meninggalkan jejak bau belerang dan bisikan tak suci yang merayap di antara pepohonan.


---




























01/08/25

Season 7 kerajaan mythopia

---

Chapter 44 Di Tepi Bengawan Solo

Di lembah timur yang rimbun, tatkala matahari menggantung tinggi di langit, sinarnya yang menyengat tersembunyi di balik rindangnya dahan-dahan pohon tua yang tumbuh menjulang di tepi Bengawan Solo. Di antara bebatuan yang dilicinkan oleh aliran zaman, mengalirlah sungai jernih bak kaca, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan dedaunan yang menari ditiup angin lembut musim panas.

Di sanalah, di tempat yang tersembunyi dari mata manusia biasa, tiga putri dari istana Majapahit sedang mandi dan bermain air. Mereka adalah bunga terakhir dari zaman keemasan:
Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, putri bungsu dari Prabu Kertawardhana yang agung;
Lembayung Ardhani, pemilik suara selembut sutra dan pandangan secerah senja;
dan Pujeng Rarasati, gadis periang dengan tawa yang mampu menyembuhkan luka hati.

Mereka tertawa ringan, saling memercikkan air seperti masa masih kanak-kanak, jauh dari beban mahkota dan sumpah darah kerajaan. Namun tak jauh dari sana, di balik semak dan pohon, berdirilah para pengawal bersenjata. Di antara mereka, berdiri tegak Rakai Jaya Langgana, seorang ksatria muda berselimut diam dan rahasia. Cintanya kepada sang Putri bagaikan api yang tersimpan dalam perisai — hangat namun tak pernah menyala terang.

Tiba-tiba, di sela desiran angin dan riak air, suara Dyah Sekar mengalun lembut, namun membawa nada gelisah:

> “Pernahkah kalian dengar,” katanya sambil membasuh rambut hitam legamnya,
“bahwa para begundal kegelapan dari Sinabung telah kembali menodai perbatasan timur? Kekaisaran kita, yang lelah oleh bayangan lama, kini telah mengeluarkan sayembara. Siapa pun yang sanggup membawa mereka ke keadilan akan diberi gelar dan tanah di seberang lautan.”



Lembayung menoleh, tatapannya penuh rasa ingin tahu.

> “Katanya ada seorang pendekar yang sudah menjawab tantangan itu,” ujarnya, “Namanya Pandika. Seorang diri ia berangkat, berasal dari Kerajaan Cakram, negeri kecil yang tak banyak dikenal.”



Pujeng Rarasati menambahkan sambil tertawa kecil,

> “Mereka bilang Pandika membawa pesan dari para tetua. Ia mencari raja muda yang hilang dari Mythopia. Seorang pemuda bernama Isidore.”



Putri Sekar mengangkat wajahnya, mata hitam legamnya menatap ke langit seakan mencoba membaca takdir.

> “Isidore…” bisiknya, “Konon ia memiliki wajah tampan dan kulit sawo matang seperti tanah tempat nenek moyang kita berpijak. Namun apa yang bisa kulihat dari raut wajah jika hatinya belum kukenal?”



Tak ada yang menjawab. Hanya desir angin dan gumaman air yang menjawab pertanyaan sang Putri, dan di kejauhan, Rakai Jaya Langgana mengepalkan tangan di balik semak — sebab ia tahu, takdir sedang bergerak, dan kisah besar tengah menanti untuk ditulis dalam kitab para leluhur.


---

Chapter 45 Keajaiban di Bengawan Solo

Nun jauh di jantung tanah timur, kala bayang-bayang siang mulai memendek dan daun-daun berdesir dalam bisikan angin dari pegunungan Lawu, mengalir sebuah sungai tua yang dikenal dalam tembang dan dongeng para tetua — Bengawan Solo.

Ia bukan sungai biasa. Ia adalah arteri dari bumi tua, mengalir sejak zaman para raja belum menjejak tanah, sejak para dewa menanam bintang di langit dan memberi nama bagi segala pohon dan batu. Bengawan Solo mengalir tenang, memeluk batu-batu tua yang dilicinkan oleh ribuan musim, dan menyanyi dengan suara air yang tak pernah bosan memuja waktu.

Pada sebuah tikungan tersembunyi, di mana pepohonan berakar dari zaman purba dan bunga liar tumbuh tanpa takut, di sanalah airnya paling jernih — sebening kaca cermin para peramal, memantulkan langit yang luas dan daun-daun yang bergoyang seperti tirai surga.

Di tempat inilah, kala dunia diam dan hanya burung-burung hutan yang bersuara, para putri dari istana Majapahit kerap datang untuk mandi. Dan ketika kaki mereka yang halus menyentuh airnya, seolah sungai itu sendiri berdebar dalam diam — air menghangat dengan kelembutan, dan bebatuan bersinar seperti baru dilahirkan kembali dari perut bumi.

Sang putri utama, Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, turun pertama kali, diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Air menyambut mereka seperti saudara lama, merangkul tubuh-tubuh muda mereka dengan gemetar lembut, dan seolah menghafal setiap langkah, tawa, dan hela nafas mereka.

Lalu terjadilah keajaiban kecil yang tidak tertulis dalam kitab para pendeta namun disampaikan turun-temurun oleh para leluhur penjaga tanah: setiap kali para putri selesai mandi, air Bengawan Solo berubah harum. Tidak tajam seperti minyak wangi, tapi lembut dan sukar dijelaskan — seperti wangi bunga tanjung yang mekar malam hari, seperti kenangan masa kecil yang hangat dan jauh.

Harum itu bertahan hingga malam. Bahkan para nelayan yang berlabuh di hulu bertanya-tanya siapa yang telah berjalan di atas air dan meninggalkan jejak surga. Dan para tetua desa berkata, "Itu bukan jejak manusia biasa — itu jejak para putri darah raja, yang mandi bukan hanya dengan tubuh, melainkan dengan cahaya dalam jiwa."


---
Chapter 46 Pertanda di Sungai Bengawan

Di balik pepohonan yang menaungi aliran suci Bengawan Solo, dalam bayang-bayang hening di mana cahaya siang menari melalui dedaunan, berdirilah Paman Hanggara — tua, tegap, dan bermata tajam seperti elang yang telah menyaksikan banyak zaman berlalu.

Ia memandang ke arah seorang pemuda yang duduk menyendiri di sisi timur sungai, tangannya menggenggam gagang keris tanpa suara, matanya tertuju ke permukaan air yang berkilau diterpa cahaya. Dialah Rakai Jaya Langgana, pengawal utama sang putri.

> “Nak Jaya...” kata Paman Hanggara perlahan, suaranya dalam dan bergetar oleh rasa sayang yang dibungkus kekhawatiran, “engkau telah memasuki usia di mana lelaki harus berpikir tentang garis keturunan. Jangan kau habiskan hidupmu dalam bayang-bayang yang tak bisa kau capai.”



Rakai menunduk, napasnya berat.

> “Ampun, Paman,” katanya lirih, “jika hati ini telah keliru. Aku memang menyimpan rasa pada sang Putri... namun kupastikan rasa itu takkan pernah keluar dari tempatnya. Cukup bagiku berdiri di sisinya sebagai perisai, bukan sebagai pasangan.”



Hanggara menatapnya lama, lalu menghela napas dan memalingkan wajah, seakan memahami, namun tak bisa menyetujui sepenuhnya.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan di barat, muncullah Wirya Nagapati, prajurit bayangan yang langkahnya lebih sunyi dari desir angin. Jubahnya hitam, dan matanya bersinar bagai bara api dalam kegelapan.

> “Waktumu habis, Putri-putri Istana,” bisiknya dengan suara serak namun jelas. “Hutan telah bicara... Jejak mistis tercium di utara. Ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang tak menyukai kehadiran darah kerajaan di tempat ini.”



Hanggara tak membuang waktu. Ia membawa jari ke bibir dan meniup sebuah siulan panjang — tidak keras, tapi merdu dan dalam. Suara itu menggema pelan seperti nada dari seruling zaman tua, menjalar ke sela-sela daun dan menyentuh telinga mereka yang tahu artinya.

Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, yang tengah membasuh rambutnya dengan air jeruk purut dan bunga tanjung, menoleh pelan.

> “Siulan Paman terdengar lebih cepat dari biasanya,” ucapnya dengan dahi berkerut, “seolah pagi ini ingin berakhir sebelum waktunya. Mungkinkah ada gangguan yang mengintai dari kejauhan?”



Ia berdiri, anggun dan tenang, namun tatapannya tajam — seperti seorang ratu yang tahu kapan harus memerintah dan kapan harus berlari dari bahaya.

Di atas cabang pohon tinggi, tersembunyi di balik dedaunan lebat, Sasi Anglingrat — pengawal rahasia istana — tengah berjaga. Matanya yang tajam menangkap bayangan gelap yang merayap seperti asap dari arah utara. Kabut hitam itu tidak berasal dari bumi, dan tidak pula milik langit.

Ia menghela napas, lalu melompat turun dengan gesit seperti bayangan seekor kijang malam. Tanpa berkata-kata, ia berlari ke arah pasukan dan rekan-rekannya. Pertanda buruk telah datang. Dan waktu takkan memberi mereka banyak kesempatan.


---
---

Chapter 47 Wangkara, Bayangan yang Membelah

Untuk pertama kalinya, Sasi Anglingrat, penjaga rahasia dari Majapahit, menyaksikan wujud yang tak bisa dijelaskan oleh kitab perang maupun bisikan para pendeta hutan. Ia berdiri diam, napasnya tertahan, saat dari balik kabut yang merayap turun dari langit, muncul sosok yang menyerupai manusia namun tak sepenuhnya nyata.

Separuh tubuhnya kabut, separuh lainnya tampak seperti manusia yang telah ditinggalkan cahaya kehidupan. Kabut itu berdenyut perlahan, mengelilingi sosok tersebut, dan setiap kali ia bergerak, tanah di sekitarnya seperti kehilangan warna dan suara.

> “Wangkara...” bisik Sasi, matanya menyipit, “makhluk dari bayang-bayang utara, yang dikisahkan dalam gulungan lontar-lontar tertua, namun tak pernah dipercaya sepenuhnya.”



Ia memberi isyarat kepada pasukan untuk mundur. Gerak jarinya cepat namun jelas: berkumpul, diam, lalu mundur perlahan. Dirinya sendiri tetap berdiri di depan, seolah bayang-bayang pohon telah bersatu dengan tubuhnya.

Dengan satu gerakan anggun, Sasi Anglingrat mencabut dua bilah pedang pendek dari punggungnya — pusaka berlapis mantra yang hanya ia sendiri yang mampu memanggil kekuatannya.

Tanpa ragu, ia melemparkan bilah pertama ke arah Wangkara. Pedang itu melesat seperti kilat — namun saat menyentuh tubuh kabut makhluk itu, bilah tersebut melintas seakan hanya menembus udara. Tak ada luka. Tak ada suara. Hanya kehampaan.

Sasi mengatupkan rahang, lalu melangkah maju.

> “Jika tidak bisa dengan jarak jauh,” ucapnya dalam hati, “maka akan kuhadapi dengan nafas dan nadi.”



Ia mencengkeram pedang kedua dengan kedua tangan. Saat menebas, ia mengalirkan bukan hanya tenaga, tapi juga keyakinan, karena hanya keyakinan yang bisa menembus dunia bayangan. Namun ketika bilah itu menyayat tubuh Wangkara, makhluk itu terbelah menjadi dua, dan kedua bagian itu hidup — bergerak sendiri dengan wajah yang sama kosongnya.

Dari arah utara, Wirya Nagapati datang bagai angin malam. Jubahnya mengepul, dan di tangannya terhunus keris warisan leluhur — bilah sakti yang dipercaya dapat melukai roh dan jin. Ia menerjang Wangkara dengan teriakan keras, menebas tubuh makhluk itu.

Namun hasilnya tak berbeda. Setiap tebasan hanya menggandakan jumlah musuh. Dari satu, menjadi dua. Dari dua, menjadi empat. Dan kabut semakin menebal, mengaburkan pandangan, merampas harapan.

> “Mundur!” seru Wirya dengan suara yang menggema seperti guntur di pegunungan, “Wangkara bukan untuk kita hadapi di sini. Makhluk ini bukan untuk dibunuh... melainkan untuk dijauhi.”



Dengan keberanian mereka, Sasi dan Wirya menahan gelombang kabut yang terus mendekat, menciptakan waktu dan ruang yang cukup bagi para putri dan pasukan pengawal untuk mundur ke sisi selatan. Dyah Sekar, yang telah berselimut kain tipis dan rambutnya masih basah oleh air Bengawan, dituntun oleh Rakai Jaya Langgana menuju kuda-kuda yang telah disiapkan di balik pohon.

Di belakang mereka, kabut terus bergulung seperti ombak senja yang menelan hutan. Dan bayangan Wangkara masih berdiri, diam, tanpa suara — namun tak ada satu pun yang berani menatapnya dua kali.

---
---

Chapter 48 Pertemuan di Bukit Halilintar

Tanpa jeda, tanpa keluh, Pandika, sang pengembara dari Cakram, menunggang kudanya melintasi hutan lebat, sabana luas, dan lembah-lembah berkabut hingga akhirnya tiba di hadapan Bukit Halilintar — sebuah dataran tinggi yang diselimuti awan kelabu dan gelegar petir di kejauhan, seperti panggung dunia bagi kejadian-kejadian besar yang ditakdirkan.

Kudanya — seekor kuda istimewa berdarah Dewa Angin — meringkik pelan, tubuhnya penuh peluh namun matanya tetap bersinar jernih. Pandika turun perlahan, menepuk lembut leher hewan setianya.

> “Terima kasih, sahabatku,” katanya lirih. “Kau telah menuntunku sejauh ini. Kini saatnya kau beristirahat... makanlah rerumputan yang tumbuh di tanah suci ini. Takkan ada binatang buas mengganggumu.”



Tak jauh dari sana, tersembunyi di dalam lekuk gua kuno di jantung bukit, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, membuka matanya. Ia duduk bersila di atas batu, dikelilingi lingkaran cahaya redup dari api biru yang menyala tanpa bahan bakar.

> “Ada kekuatan mendekat,” ujarnya lirih, “kekuatan yang bukan dari kegelapan... tapi juga bukan dari tanah ini.”



Dari balik bayangan, muncullah Rakajati, penjaga hutan yang setia, suaranya tenang seperti suara pohon tua yang berbicara di malam sunyi.

> “Dia hanyalah seorang pengembara,” ujarnya, “tapi kebaikan mengalir dalam darahnya. Biarlah aku yang membawanya kemari.”



Dalam sekejap, tubuh Rakajati menyatu dengan batang pohon, menghilang ke dalam kulit kayu seperti roh penjaga rimba. Dan ketika ia muncul kembali, dedaunan bergetar seolah alam turut menunduk menyambutnya. Ia berdiri di hadapan Pandika, yang terkejut dan tanpa pikir panjang mengangkat kedua tangannya dalam sikap bertahan, tinjunya terkepal namun tak menyerang.

Rakajati hanya tersenyum.

> “Tenanglah, wahai pengembara. Aku bukan musuhmu,” ucapnya.
“Mohon maaf jika kedatanganku mengejutkan,” balas Pandika, merendah. “Namaku Pandika, dari negeri Cakram. Aku datang untuk mencari Tuan Isidore. Ada keperluan mendesak... kami membutuhkan bantuannya untuk menumpas gerombolan kegelapan yang kini bersarang di puncak Gunung Sinabung.”



Rakajati diam sejenak, seperti menimbang jawaban dari suara angin dan getaran tanah.

> “Sayang sekali, kami tak sedang berada di tempat yang tetap,” jawabnya akhirnya. “Kami sedang bersiap melakukan perjalanan menuju Sungai Bengawan Solo — untuk sebuah pertemuan yang tak bisa ditunda. Mungkin... beberapa hari lagi sebelum kami bisa menghadap ke utara.”



Pandika menunduk dalam-dalam, lalu berkata dengan ketulusan yang bersinar dalam matanya:

> “Jika berkenan, izinkan aku ikut serta dalam perjalanan itu. Aku bersumpah demi tanah kelahiranku, aku takkan menjadi beban ataupun penghalang.”



Rakajati menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan.

> “Kalau begitu, bersiaplah. Ikuti langkahku. Kau akan bertemu dengan Isidore... dan nasib akan menguji kita bersama.”



Lalu mereka melangkah perlahan menyusuri lereng bukit, kabut tipis menyelimuti langkah mereka, dan di kejauhan, guruh masih bersuara — seperti gendang langit yang tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah takdir dunia.


---
Chapter 49 Pertemuan Dua Takdir: Pandika dan Isidore

Di dalam gua yang diterangi cahaya samar dari batu-batu berpendar, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, duduk di atas singgasana batu yang dipahat alam sendiri. Aura kebangsawanan menyatu dengan ketenangan seorang bijak, namun matanya menyiratkan bahwa ia telah menyaksikan banyak hal—lebih dari yang seharusnya ditanggung oleh seorang muda.

Seorang pengembara menghampiri dengan langkah ringan namun penuh keyakinan. Ia membungkuk dalam penghormatan, lalu berkata:

> “Perkenalkan diriku, Pandika, dari Kerajaan Cakram. Aku telah diberitahu oleh Rakajati bahwa engkau hendak menuju Sungai Bengawan Solo. Bila berkenan, ijinkan aku menyertai perjalananmu. Aku bersumpah atas kehormatanku, aku takkan menjadi beban.”



Isidore menatapnya sejenak, menilai bukan wajah, tapi jiwa di baliknya. Lalu ia mengangguk tenang.

> “Boleh saja, Pandika. Jalan kami terbuka bagi mereka yang membawa terang dan keberanian.”



Pangreksa, sang penjaga pusaka kerajaan, yang berdiri tak jauh dari situ, memperhatikan pedang yang tergantung di pinggang Pandika. Matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.

> “Pedangmu... sungguh langka. Itu bukan buatan manusia biasa.”



Pandika menyentuh gagang senjatanya dengan penuh hormat.

> “Benar. Senjata ini diberikan oleh seorang peri hutan—mereka yang hidup tersembunyi di antara akar dan kabut, pelindung tanah dan daun.”



Rakajati mengangkat alis, suaranya mengandung kekaguman.

> “Peri... mereka sangat sulit ditemukan. Bahkan aku, yang hidup di antara pepohonan, tak pernah melihat wujud mereka selama ratusan purnama. Kau benar-benar beruntung.”



Bhra Anuraga, sang pendeta muda yang selalu haus akan kisah dan makna di baliknya, bersandar pada tongkat kayunya.

> “Jika engkau berkenan, ceritakanlah. Bagaimana perjumpaan itu terjadi?”



Pandika mengangguk, lalu mulai bertutur:

> “Aku sedang dalam perjalanan menyelesaikan misi yang dipercayakan oleh rajaku, Agus Marto, raja dari tanah Cakram. Untuk membuktikan kelayakanku sebagai seorang ksatria, aku ditugaskan menyelesaikan banyak tantangan yang tersebar di kerajaan-kerajaan dunia lama. Dalam satu perjalanan di hutan utara, aku terluka parah saat melawan makhluk bayangan. Saat itulah seorang peri datang—ia menyembuhkanku, lalu memberiku pedang ini sebagai penuntun dalam kegelapan.”



Pangreksa menepuk pundaknya pelan.

> “Semoga perjalananmu membawa keberhasilan. Dunia memerlukan ksatria yang bersumpah atas keadilan, bukan hanya kekuatan.”



Rakajati tersenyum, namun matanya penuh harap.

> “Sudah lama aku merindukan kehadiran para peri. Setelah misi ini selesai, kau harus mengantarku kepada mereka. Hatiku ingin melihat mereka sekali lagi, sebelum usia menutup mataku.”



Pandika membalas dengan hormat:

> “Bila takdir mengizinkan, aku yakin mereka akan sangat senang bertemu denganmu, Rakajati.”



Tiba-tiba, udara di dalam gua bergetar halus, seperti kabut tipis yang berdesir di antara bintang. Raja Alam Wardana, roh leluhur dari dunia tersembunyi, muncul dalam pantulan air suci yang mengalir di dinding batu.

> “Isidore...” suaranya dalam dan menggema seperti nyanyian bumi,
“Ketahuilah bahwa pengembara ini—Pandika—bukanlah orang biasa. Di dalam darahnya mengalir kekuatan dari bangsa peri yang lama hilang dari dunia ini. Bila kelak gelap menutupi matamu dan jalanmu terputus, dialah cahaya yang akan menyelamatkanmu.”



Isidore menunduk perlahan, dan dalam hatinya ia tahu: pertemuan ini bukan kebetulan. Takdir telah menyulam benang mereka dalam satu jalinan besar yang belum tersingkap seluruhnya.


---


---

Chapter 50 Perjalanan Menuju Bengawan Solo

"Sayangnya," ujar Surya Wikrama dengan nada berat, matanya menatap ke arah barat, "di dekat Bengawan Solo tiada batu loncatan yang dapat membawa kita ke sana dengan cepat. Mohon bantuanmu, kakanda Rakajati, agar perjalanan ini tak memakan waktu terlalu lama."

Rakajati mengangguk perlahan, lalu berkata dengan tenang namun penuh wibawa,
"Baiklah… namun aku memerlukan tenagamu, Surya Wikrama, untuk menerangi jalan di akar-akar tua yang akan kita lalui."

Ia kemudian menancapkan tongkatnya ke batang pohon raksasa yang menjulang, tua dan lapuk namun penuh kekuatan purba. Suara retakan terdengar, lalu batang pohon itu perlahan terbelah, memperlihatkan lorong gelap yang melingkar turun ke perut bumi, dipenuhi urat-urat akar yang mengalirkan cahaya samar hijau.

"Apakah kita akan masuk ke sana?" tanya Pandika, suaranya setengah ragu, setengah takjub.

"Kau aman bersama kami," jawab Isidore, matanya berkilau di tengah remang. "Ikuti kami, dan jangan tertinggal."

Surya Wikrama melangkah ke depan, pedangnya terhunus, memancarkan cahaya keemasan yang membasuh dinding akar dengan kilau hangat. Bau tanah basah dan resin tua memenuhi udara. Akar-akar besar seolah bergerak perlahan, membimbing langkah mereka menuruni lorong berliku hingga akhirnya mereka keluar di tepi Bengawan Solo.

Namun, ketenangan sungai itu ternodai. Kabut kelam menggantung rendah di atas air, berputar-putar bagai napas makhluk purba.

"Wangkara…" bisik Surya Wikrama dengan nada waspada. "Jarang sekali mereka muncul di siang hari. Mereka tidak akan menyerang, namun kabut ini… terlalu lama menghirupnya akan menjerat mata kita dalam ilusi."

"Bagaimana kita mengusirnya?" tanya Isidore.

Bhra Anuraga menatap ke arah kabut, wajahnya tegang. "Aku kira… ada seseorang yang mengarahkan mereka kemari." Ia menarik napas panjang. "Kita harus menghidupkan aura kita masing-masing."

Maka Surya Wikrama melangkah maju, mengangkat pedangnya tinggi, dan darinya memancar sinar emas bagaikan matahari fajar. Isidore menutup matanya sejenak, lalu dari tubuhnya mengalir cahaya kebiruan, lembut namun teguh seperti air yang menolak dibelah. Bhra Anuraga menyalakan aura kemerahan laksana bara api yang tak padam. Pangreksa memancarkan kilau perak yang menusuk kabut seperti bilah dingin. Guntur Wisesa menggetarkan udara dengan kilat yang berkilau di sekelilingnya.

Namun Pandika—dari dirinya terpancar cahaya putih murni, seolah hutan peri sendiri memberinya kekuatan. Sinar itu menyilaukan, mengusir rasa dingin yang menyusup dari kabut. Wangkara, makhluk bayangan yang gelisah, meringis tanpa suara, tubuh mereka berbalik, melayang kembali ke rimba lebat tempat kegelapan mereka bersemayam.

Akhirnya, Bengawan Solo kembali sunyi. Airnya berkilau diterpa cahaya, seakan mengucapkan terima kasih.


---

Chapter 51 Pertemuan di Tepi Bengawan Solo

Dari seberang sungai, Putri Majapahit, Dyah Sekar Tanjung, menatap dengan mata terbelalak. Di langit senja, cahaya-cahaya aneh mekar bagai bunga surga: emas, biru, perak, dan putih. Mula-mula redup bagaikan kunang-kunang di rerumputan, namun perlahan kian terang hingga menyilaukan mata.

“Cahaya apakah itu?” bisik Lembayung, dayang setia, seraya menundukkan kepala.

“Putri, sebaiknya kita lekas pergi,” ujar Paman Hanggara, wajahnya suram, tangan menggenggam gagang keris. “Tanda-tanda semacam itu jarang membawa kebaikan.”

Namun sebelum ia sempat berbalik, Pujeng Rarasati, pengiring lain, berseru, “Lihatlah, kabut itu telah sirna! Wangkara sudah pergi, putri. Alam kembali bernapas bebas.”

Dyah Sekar Tanjung berdiri tegak, sorot matanya penuh keberanian. “Tidak, paman. Aku ingin tahu, siapakah ksatria yang mengusir kegelapan itu. Bawalah aku ke sana.”

“Titah tuan putri, kami laksanakan,” jawab para penjaga bayangan, suara mereka serempak bagai gaung lembah. Mereka melangkah lebih dulu, berlari ringan di antara pepohonan, untuk mendahului dan menyampaikan maksud tuan putri.

Rakai Jaya Hanggana, bertubuh besar bak pohon jati, berjalan paling depan, dadanya membentang melindungi putri. Di belakangnya, para prajurit membentuk formasi tembok, tombak mereka berkilau oleh pantulan cahaya sungai.

Tak lama kemudian, penjaga bayangan yang tiba terlebih dahulu menunduk hormat di hadapan para ksatria asing. “Hamba Sasi Anglirat. Ijinkan kami berkenalan dengan tuan-tuan ksatria yang gagah berani ini.”

Pangreksa, yang berdiri tenang dengan tatapan lembut namun penuh wibawa, menjawab, “Tidak perlu sungkan. Kami hanyalah pengembara yang lewat. Perkenalkan, aku Pangreksa, dan inilah sahabat-sahabatku.”

Sasi Anglirat kembali menunduk. “Mohon kiranya tuan berkenan menunggu sebentar. Tuan putri kami ingin mengucapkan terima kasih atas jasa agung kalian.”

Isidore menoleh sejenak pada rekan-rekannya, lalu menjawab dengan senyum samar, “Baiklah. Kami pun tak sedang dikejar waktu. Bengawan ini indah, dan kami ingin sejenak menikmati kedamaiannya.”

“Bagaimana,” sela Surya Wikrama sambil melepaskan sabuk pedangnya, “sementara menunggu, aku masakkan ikan jendil untuk kita semua?”

Sebelum ada yang sempat menanggapi, ia melangkah ke tepi sungai. Dengan satu gerakan tangannya yang penuh wibawa, air sungai beriak, dan ikan-ikan meloncat sendiri, jatuh ke tangannya bagaikan tunduk pada kehendak sang ksatria.

Para pengawal bayangan terdiam, mata mereka membelalak. Salah satu berbisik lirih, “Sungguh, ini bukan manusia biasa. Ada darah para dewa dalam dirinya.”

---

Chapter 52 Adegan Pertemuan di Bengawan Solo

Asap tipis dari ikan jendil yang dipanggang perlahan menari-nari di udara. Aroma gurihnya terbawa angin, menyentuh hidung Lembayung.

“Siapakah yang sedang membakar ikan di saat perutku meronta lapar?” serunya, separuh bercanda, separuh sungguh.

Pujeng Rarasati tersenyum, menoleh pada putri. “Sepertinya ksatria itu tahu bagaimana membaca suasana. Barangkali inilah pertanda pertemuan baik.”

Rombongan pun tiba di tepi sungai, di mana para ksatria duduk dengan wajah bersahaja. Api unggun menyala redup, di atasnya ikan-ikan menguning dengan harum menawan.

Dyah Sekar Tanjung melangkah anggun ke depan. Suaranya jernih, penuh wibawa kerajaan.
“Aku Dyah Sekar Tanjung, putri dari tanah Majapahit. Atas nama keluarga dan negeriku, hatur sembah terima kasih, sebab tuan-tuan ksatria telah mengusir kabut jahat beserta para wangkara.”

Para ksatria berdiri memberi hormat. Satu per satu mereka memperkenalkan diri: Surya Wikrama dengan tatapannya yang bercahaya, Pangreksa dengan suaranya yang kokoh, Bhra Anuraga yang berapi-api, hingga akhirnya Isidore, yang melangkah terakhir.

“Izinkan hamba memperkenalkan diri,” ucap Isidore, suaranya dalam dan tenang, namun mengandung getaran yang menyentuh hati. “Isidore, pengembara dari negeri jauh. Tiada maksud lain selain berjalan di jalan takdir yang ditunjukkan semesta.”

Tatapan Dyah Sekar Tanjung bertemu dengan tatapan Isidore. Ada kilau aneh di sana: kagum, penasaran, dan sesuatu yang lebih dalam, meski tak terucap.

Isidore tersenyum lembut. “Putri, bila berkenan, duduklah bersama kami. Api ini hangat, dan ikan sungai ini lebih lezat bila disantap ramai-ramai.”

Dyah Sekar tersenyum samar, lalu berkata, “Baiklah, ksatria. Undanganmu kuterima. Jarang aku dapati sambutan seindah ini di tengah hutan.”

Mereka pun duduk berdekatan. Di antara percakapan ringan dan tawa kecil, Dyah Sekar memberanikan diri bertanya, suaranya lirih, seakan hanya untuk Isidore.

“Ksatria Isidore… berapakah usiamu, bila tak berkeberatan menjawab?”

Isidore menatap nyala api sejenak sebelum menjawab. “Tahun-tahun bagiku telah banyak terlewati. Namun usia, putri, hanyalah angka. Yang lebih berarti adalah perjalanan hati.”

Dyah Sekar tersenyum, lalu menunduk, menyembunyikan rona wajahnya. “Dan apakah dalam perjalanan hatimu… telah ada seseorang yang menanti?”

Isidore menoleh padanya, menatap dalam-dalam, namun dengan kelembutan yang membuat jantung sang putri bergetar. “Belum, putri. Hatiku masih berjalan, belum berlabuh. Namun… kadang semesta mempertemukan dua jiwa pada waktu yang tepat, walau mereka masih terikat pada jalan masing-masing.”

Dyah Sekar terdiam, jemarinya meremas ujung selendang. Ada kata yang ingin keluar, tapi tertahan oleh adab dan tugas sebagai putri kerajaan.

Isidore lalu menundukkan kepala hormat. “Masih ada tanggungan yang harus kuselesaikan. Namun bila jalan takdir berkenan, aku akan kembali. Dan bila aku kembali… semoga kita dapat bercakap lebih dari sekadar tentang nama dan asal.”

Dyah Sekar Tanjung menatapnya dengan mata berbinar, suaranya setengah bisikan, “Aku akan menanti.”

Api unggun berderak, ikan matang disajikan, dan di bawah cahaya Bengawan Solo yang berkilau, tumbuhlah benih perasaan yang belum sempat mekar—namun janji dalam hati telah terucap di antara mereka.


---
Chapter 53 Senja di Bengawan Solo

Tatkala sang surya condong ke barat, langit berwarna tembaga dan lembayung, Paman Hanggara berdiri tegap dengan wajah penuh wibawa. Ia mengucapkan perpisahan kepada para ksatria dengan suara yang dalam,
“Wahai Isidore dan para sahabat yang berhati gagah, Majapahit selalu terbuka bagimu. Datanglah suatu hari, maka istana akan menyambutmu dengan segala kemuliaannya.”

Putri Dyah Sekar Tanjung pun maju selangkah, langkahnya selembut desir angin senja. Dari tangannya yang halus, ia mengulurkan sebuah hiasan berbentuk kupu-kupu, ditempa dari emas murni dan bertabur permata, berkilau seperti sayap cahaya kala sore.
“Terimalah ini, ksatria Isidore, tanda kenangan dari pertemuan kita. Semoga ia menjadi pengingat, bahwa di Majapahit ada seorang putri yang menanti doa keselamatan bagimu.”

Isidore menerima dengan penuh hormat, lalu mengeluarkan sebuah gelang dari kayu hutan purba. Kayu itu beraroma harum, seperti wangi dupa yang membelai jiwa. Ia menyerahkannya dengan tatapan tulus,
“Dan terimalah dari tanganku yang sederhana ini, putri. Gelang ini terbuat dari kayu suci yang selalu mengingatkan pada keseimbangan. Semoga aromanya senantiasa menenangkan hatimu, sebagaimana pertemuan ini menenangkan hatiku.”

Sejenak hening, lalu rombongan prajurit bersama sang putri berangkat, langkah mereka perlahan hilang dalam kabut senja, meninggalkan para ksatria dalam keheningan penuh makna.


---

Gua Sagara Putra

“Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan,” ujar Rakajati, sorot matanya tajam menembus belantara. “Ada seorang ksatria yang tertidur menanti kita.”

Ia menunjuk sebuah gua purba di tepi hutan, tak jauh dari arus Bengawan Solo. Mulut gua itu tertutup oleh pintu batu raksasa, dihiasi pahatan naga dan ombak, seakan samudra sendiri membisikkan rahasianya di sana.

Surya Wikrama maju ke depan. Dengan tangan tegak ia membentuk segel, dan cahaya suci memancar dari telapak tangannya. Sinar itu merambat, menyusuri retakan ukiran batu, hingga pintu gua bergetar dan terbuka perlahan, mengeluarkan suara dalam bagaikan gemuruh lautan.

“Masuklah,” katanya. “Inilah tempat persemayaman Sagara Putra, pengendali samudra.”

Mereka melangkah ke dalam, dan pandangan Pandika seketika terpesona. Dinding gua berhiaskan ornamen indah, kilauan kristal dan relief gelombang laut yang seakan hidup, memantulkan cahaya pelita. Dan di ruang terdalam, di bawah derasnya air terjun yang jatuh dari celah batu, seorang ksatria agung duduk bersila, tubuhnya diselubungi lumut dan kabut waktu: Sagara Putra.

Maka dimulailah pemanggilan. Surya Wikrama mengangkat tangan, memanggil jiwa sahabatnya dari alam roh. Guntur Wisesa berdiri di sampingnya, mengeluarkan aura petir yang menyambar lembut, menyinari ruangan dengan cahaya kilat. Bayu Anggana mengibaskan tangan, dan angin murni berhembus, mengusir kelelawar serta udara busuk yang lama bersarang di gua. Bhra Anuraga memanggil bara api, menghangatkan batu-batu yang dingin dan memurnikan udara lembap. Rakajati menundukkan kepala, akar-akar bumi menjalar, membersihkan lumut yang melilit tubuh Sagara Putra.

Perlahan, mata sang ksatria terbuka. Air terjun yang membasuh tubuhnya tampak berkilau, seolah ikut menyambut kebangkitannya. Ia menoleh, dan mendapati sahabat-sahabat lamanya telah menunggu dengan sabar.

“Saudaraku…” ucap Sagara Putra dengan suara serupa gemuruh ombak, “kalian telah datang. Waktuku tertidur telah berakhir. Kini, bersama kalian, aku akan berjalan kembali di jalan takdir.”

---

Chapter 54 Upacara Penyambutan Sagara Putra

Di ruang gua yang berkilau oleh gemerlap kristal dan jatuhnya air terjun, para ksatria berdiri membentuk lingkaran mengelilingi Sagara Putra. Api suci Bhra Anuraga berpendar di sisi, cahaya petir Guntur Wisesa menari di udara, dan angin Bayu Anggana membawa harum dupa yang mereka bakar sebagai tanda persaudaraan.

Surya Wikrama mengangkat tangannya, suaranya bergema di dinding gua:

“Wahai Sagara Putra, pengendali samudra yang agung, kami menyambut kebangkitanmu. Persaudaraan Mythopia belum musnah, dan hari ini engkau kembali menjadi tiang penyangga takdir.”

Mereka kemudian mengulurkan senjata mereka ke tengah lingkaran—pedang, tombak, tongkat, dan panah—membentuk bintang cahaya. Pandika meletakkan tangannya di atas, tanda sumpah setia.

Sagara Putra bangkit dari duduknya. Air yang jatuh dari rambutnya berkilau bagai mutiara. Ia menunduk hormat pada saudara-saudaranya, lalu mengangkat kedua tangannya, sehingga air terjun di belakangnya bergemuruh lebih dahsyat, seakan samudra ikut bersumpah.

“Bersama kalian aku hidup kembali. Demi bumi, demi langit, dan demi jiwa-jiwa yang gugur, kita akan menunaikan perjanjian lama. Mythopia tidak akan runtuh.”

Sorak doa persaudaraan memenuhi gua. Aura cahaya, angin, api, air, tanah, dan petir berbaur, menciptakan sinar pelangi yang menari di udara—tanda sumpah ksatria yang abadi.


---
Chapter 55 Kilas Balik: Perang Melawan Mahluk Mistis

Setelah upacara itu, Sagara Putra duduk bersila, dan dengan suara berat ia membuka kisah lama, kisah yang hanya diceritakan dalam bisikan-bisikan leluhur.

“Seratus tahun yang lalu, bumi ini diguncang oleh bencana. Dari perut gunung purba di dataran tinggi Dieng, bangkitlah Lelakut Gunung—raksasa dari batu dan lava, setinggi puncak gunung itu sendiri. Tubuhnya dipenuhi retakan merah membara, dan dari mulutnya dimuntahkan lahar yang menghanguskan hutan dan desa. Langit saat itu gelap, matahari tertutup asap, dan bumi bergetar di bawah pijakannya.”

Para ksatria Mythopia berkumpul dan menyerang dengan segala kekuatan. Panah petir ditembakkan, pedang suci beradu, sihir purba dipanggil. Namun raksasa itu tidak roboh. Setiap tebasan hanya menjatuhkan serpihan batu, namun tubuhnya kembali mengeras dengan api baru.

“Dan ketika kami mulai kelelahan,” lanjut Sagara Putra, suaranya bergetar, “muncul lagi malapetaka kedua: Gendrawani Api, seorang raksasi bertangan delapan, rambutnya menyala laksana obor, dan tiap tangannya menggenggam senjata maut. Ia meraung, dan suaranya memecahkan batu-batu puncak Dieng. Ratusan prajurit roboh, desa-desa dilalap api, sungai-sungai mendidih oleh panasnya.”

Banyak ksatria gugur hari itu. Ahli strategi kami, dengan air mata, memerintahkan mundur agar rakyat tidak seluruhnya binasa. Tetapi—”

Ia terdiam sejenak, menundukkan kepala, lalu melanjutkan,
“—di antara kami ada satu yang tidak mundur. Seorang ksatria dari Majapahit. Ia membawa pedang dan tongkat sihir. Seorang diri ia berdiri di tengah amukan api, menebas, menusuk, melantunkan mantra dengan membabi buta. Dari pedangnya lahir cahaya, dari tongkatnya mengalir gelombang sihir, menahan raksasi dan Lelakut Gunung agar kami bisa selamat. Tetapi setelah itu… tiada yang tahu nasibnya. Apakah ia gugur bersama kobaran api, atau masih hidup, berkelana di alam yang tak terjangkau manusia.”

Keheningan panjang menyelimuti gua. Hanya suara air terjun yang terdengar, laksana tangisan bumi mengingat perang itu.

“Karena itu,” Sagara Putra mengakhiri, “kita harus bersiap. Sebab bencana itu bisa saja bangkit lagi, dan sumpah kita hari ini adalah perisai terakhir bagi dunia.”