24/02/25

Tarian surga

Penulis tyas---

Semuanya masuk, meresap perlahan, seperti embun pagi yang menyentuh setiap sudut hati. Ia merasuk ke dalam sanubari, bercengkrama dengan alam ruh dan jiwa yang terbakar dalam buaian asmara. Seperti tarian darwish, gerakannya mengalir bebas, menyatu dengan keheningan alam yang seakan berbicara. Langit jingga memanggil, mengajaknya terbang tinggi, melintasi batas-batas dunia yang fana.

Suara gendang dan seruling dari lautan luas bergema, membawanya melintasi samudra kehidupan yang tak berujung. Seperti pengembara yang tak kenal lelah, ia terus berjalan, mencari makna hidup, mencari surga cinta yang abadi. Cahaya merasuk ke dalam tubuhnya, membawanya melintasi jagat raya, berputar bagai Ka’bah, menyatu dengan irama alam semesta.

Kilauan cahaya memancar, memenuhi ruang dan waktu, sementara zikir dan tasbih mengalun berirama, mengagungkan Sang Pencipta. Mawar merah alam semesta pun ikut berzikir, menyebut nama-Nya dengan penuh kekaguman. Damai menyelimuti ruh dan jiwa yang suci, bertasbih dalam keheningan cahaya agung Sang Pencipta. Kata-kata kerinduan terangkai, mengungkapkan rindu yang mendalam bagi jiwa yang kesepian.

Ia menari bersama alam, bernyanyi bersama langit, mengagungkan Sang Kekasih dengan segenap jiwa. Dengan kerinduan yang membara, ia berharap kecintaan-Nya merajut kasih, menyebut nama-Nya dengan rindu yang tak terhingga. Setiap detak jantungnya adalah doa, setiap nafasnya adalah pujian bagi Sang Pencipta.

---
Chapter 1 Perjuangan dalam kampus

Aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di Universitas Harapan Indonesia. Ya, salah satu universitas terbaik di negeri ini. Saat kakiku melangkah melewati gerbang kampus, mataku tertarik pada tulisan besar yang terpampang di atas: *“Selamat Datang Calon Pemimpin Bangsa”*. Kalimat itu seolah menyiratkan janji, bahwa kampus ini akan membentuk para mahasiswanya menjadi pemimpin masa depan. Dan memang, kampus ini telah melahirkan banyak tokoh sukses, mulai dari pengusaha hingga politisi ternama. Mereka adalah bukti nyata bahwa Universitas Harapan Indonesia bukan sekadar nama.

Kampus ini adalah impian. Banyak orang bermimpi untuk bisa masuk, tetapi hanya sedikit yang berhasil. Seleksinya ketat, dengan persaingan yang sengit—hanya satu dari dua puluh calon mahasiswa yang diterima. Dan aku, dengan segala keberuntungan dan kerja keras, termasuk di antara mereka yang berhasil melangkahkan kaki ke dalam gerbang ini.

Kampus ini luas, sekitar empat hektar, dengan gedung-gedung megah yang berdiri kokoh di antara pepohonan rindang. Setiap fakultas memiliki gedung sendiri, dilengkapi fasilitas akademik yang canggih. Lingkungannya asri, dengan tempat-tempat duduk yang tersebar di bawah pohon-pohon besar. Tempat itu, yang oleh mahasiswa dijuluki “DPR” (*Dibawah Pohon Rindang*), sering menjadi lokasi diskusi serius atau sekadar bersantai setelah kelas.

Saat aku melintas, mataku tertarik pada sekelompok mahasiswa yang sedang berdebat panas di bawah salah satu pohon. Suara mereka terdengar meski jarakku cukup jauh. Seorang mahasiswa dengan buku tebal di tangan kiri berbicara dengan penuh semangat, sementara yang lain tak kalah bersemangat menyampaikan argumennya. Aku tersenyum. Inilah dunia kampus, pikirku. Tempat di mana ide-ide bertabrakan, dan setiap orang berusaha membuktikan kebenarannya.

Namun, tak jauh dari mereka, ada sepasang mahasiswa yang duduk mesra, tak peduli dengan sekelilingnya. Mereka berciuman dengan bebas, seolah tak ada yang melihat. Aku merasa tidak nyaman. Sebagai seorang muslim, aku tahu ini bukanlah hal yang dibenarkan. Perang batin pun terjadi dalam diriku. Haruskah aku menegur mereka? Atau membiarkan saja, karena ini bukan urusanku?

Hatiku berdebat. *“Engkau adalah umat muslim. Bukankah kewajibanmu untuk mengingatkan mereka?”* Tapi di sisi lain, suara lain berbisik, *“Jangan mencampuri urusan orang lain. Ini bukan urusanmu.”* Aku terdiam sejenak, mencerna pertarungan dalam diriku. Akhirnya, keyakinanku menang. Aku harus mengingatkan mereka. Ini bukan tentang agama, tapi tentang perilaku yang tidak terpuji.

Dengan langkah mantap, aku mendekati mereka. *“Assalamualaikum, Kak,”* sapaku lembut.

Mereka terkejut, memisahkan diri secepat kilat. *“Iya, loe siapa ya?”* tanya si lelaki, suaranya setengah kesal.

*“Maaf sebelumnya, Kak. Apakah kakak muslim?”* tanyaku, mencoba menjaga sopan santun.

*“Iya, gue muslim. Kenapa?”*

*“Bukankah dalam ajaran Islam, kita dilarang berdua-duaan seperti ini? Ketiganya adalah setan,”* kataku, mencoba menjelaskan dengan tenang.

Namun, alih-alih menerima, si lelaki malah melotot. *“Udah loe jangan banyak bacot! Pergi lu dari sini, sebelum gue hajar!”* teriaknya, sambil memegang kerah bajuku dengan kasar. Aku terdorong ke belakang, jatuh ke tanah.

Mereka berdua pergi, masih bergandengan tangan, seolah tak peduli dengan teguranku. Aku bangkit, membersihkan debu dari bajuku. Hatiku bergejolak, tapi aku tak menyerah. Ini hanya awal. Aku berjanji pada diriku sendiri: aku akan terus menyerukan kebenaran di kampus ini. Aku tak ingin di akhirat nanti, aku termasuk orang yang merugi karena diam saat melihat kesalahan.

Ini adalah permulaan. Dan aku tak akan menyerah. Karena menyerah berarti kalah, dan kekalahan bukanlah pilihan.

---

Sudah hampir sebulan aku belajar di kampus pilihanku, Universitas Harapan Indonesia. Namun, semakin hari, aku semakin merasa bahwa kampus ini seperti gurun yang gersang dari nilai-nilai agama. Kampus ini mengajarkan ilmu dunia dengan begitu megah, tetapi ilmu akhirat seolah terlupakan. Tidak ada hijab yang membatasi laki-laki dan perempuan, tidak ada suara azan yang menggema saat waktu sholat tiba. Yang ada hanyalah paham hedonisme, di mana kebahagiaan duniawi menjadi tujuan utama. Hatiku hancur, menyesali pilihanku.

Ketika waktu Zhuhur tiba, aku menunggu suara azan yang tak kunjung datang. Hati ini seperti tersayat pisau tajam. Universitas yang mayoritas muslim ini, seolah hanya muslim di kartu pengenal saja. Mereka sibuk mengejar ilmu dunia, melupakan bahwa ada ilmu akhirat yang lebih penting. *“Ya Allah, apa yang terjadi dengan umat muslim di sini? Mengapa mereka melupakan perintah-Mu?”* bisikku dalam hati.

Aku bergegas menuju mushola kampus, berharap menemukan sedikit ketenangan. Namun, mushola itu kecil, tak sebanding dengan luasnya area kampus. Ukurannya hanya sepuluh kali lima belas meter, dan terlihat tak terurus. Sarang laba-laba menghiasi sudut-sudutnya, seolah menandakan bahwa tempat suci ini jarang dikunjungi. Aku menghela napas, lalu mengumandangkan azan meski tanpa speaker. Suaraku mungkin tak terdengar jauh, tapi setidaknya aku mencoba.

Setelah menunggu beberapa saat, tak ada seorang pun yang datang. Aku sholat sendirian, merasakan kesepian yang mendalam. Namun, di rakaat ketiga, tiba-tiba ada yang mencolekku dari belakang. Seorang mahasiswa bergabung, menjadi makmumku. Tak lama, dua orang lagi datang, menyusul sebagai masbuk. Setelah sholat, kami pun berkenalan. Meski baru beberapa menit mengenal, rasanya kami sudah seperti saudara. Kami berbincang tentang keadaan kampus yang memprihatinkan. Suara Allah hampir tak terdengar di sini. Bukan hanya aku, mereka pun merasa sedih.

Sejak saat itu, kami menjadi empat serangkai yang tak terpisahkan. Setiap hari, kami berkumpul di mushola setelah sholat berjamaah. Musholla yang terletak di dekat gerbang kampus ini menjadi tempat strategis bagi kami untuk bertemu, meski kami berasal dari fakultas yang berbeda.

Andi, sahabatku yang pertama, adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Politik. Posturnya tinggi dan agak gemuk, dengan kulit kecoklatan yang selalu terlihat cerah karena kebiasaannya menjaga wudhu. Dibesarkan di lingkungan pesantren, Andi memiliki wawasan keislaman yang luas, mulai dari fiqih hingga perkembangan dunia Islam kontemporer. Jiwa kepemimpinannya pun menonjol, tak heran dia pernah menjadi lurah pondok di pesantrennya.

Bintang, temanku yang kedua, adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi. Dijuluki ensiklopedi berjalan, dia memiliki kecepatan membaca yang luar biasa—500 kata per menit. Buku setebal 1000 halaman bisa dilahapnya dalam tiga jam, dan dia bisa menceritakan kembali ide-ide pokoknya dengan ringkas. Kurasa, dia bisa memenangkan acara kuis pengetahuan umum seperti *“Kuis Siapa Berani”* jika dia mau.

Ahmad, sahabat karibku yang ketiga, adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi. Kemampuannya dalam menganalisis masalah sangat akurat. Dia bisa memecahkan misteri dengan data yang minim, meski seringkali jalan pikirannya sulit dipahami. Ahmad adalah orang yang keras kepala, tak mudah menerima pendapat orang lain tanpa penjelasan yang logis.

Dan aku, Arya, mahasiswa Fakultas Kedokteran. Ketertarikanku pada dunia kedokteran bermula dari kematian ibuku karena kanker serviks lima belas tahun lalu. Ayahku, meski awalnya berharap aku mengambil ekonomi, akhirnya mengerti dan mendukung pilihanku.

Suatu hari, setelah sholat Dzuhur, kami duduk bersama di mushola. *“Aku merasa miris dengan keadaan di kampus kita ini,”* kata Andi, memecah keheningan. *“Saudara-saudara kita sepertinya tidak mengenal siapa Tuhan mereka. Apakah mereka tak takut azab Allah?”*

*“Menurutku, mereka bukannya tidak takut, mereka hanya tidak tahu,”* jawab Ahmad. *“Aku yakin jika ditanya tentang Islam, mereka akan bingung menjawabnya. Islam adalah kata yang asing bagi mereka.”*

*“Jika mereka asing, bagaimana jika kita memperkenalkan ajaran itu kepada mereka?”* usul Andi. *“Kita buat organisasi yang berorientasi pada dakwah.”*

*“Tak usah repot-repot membuat organisasi,”* sanggah Bintang. *“Itu hanya akan menimbulkan pertengkaran. Cukup kita berdakwah secara personal.”*

*“Bintang, ingat pesan Ali bin Abi Thalib,”* kataku, mencoba menengahi. *“Kebaikan yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi. Lihatlah keadaan umat Islam sekarang. Sudah saatnya kita membuat organisasi dakwah, mengubah kampus ini menjadi tempat yang Islami.”*

*“Aku setuju dengan Arya,”* sambut Andi. *“Kita buat organisasi yang akan menyuburkan kampus ini dari peradaban yang kering dan layu.”*

*“Baiklah, jika itu tujuannya, aku sepakat,”* akhirnya Bintang mengamini.

*“Allahu Akbar!”* seruku spontan, diikuti oleh ketiga sahabatku. Suara takbir kami menggema, seolah menjadi penyemangat bagi rencana kami.

*“Lalu, apa nama organisasinya?”* tanya Bintang.

*“Bagaimana kalau Majelis Jihad?”* usul Andi. *“Kita berjihad melawan kekufuran dan kezhaliman di lingkungan kita.”*

*“Tapi, nama itu mungkin terlalu kuat,”* sanggah Bintang. *“Banyak yang masih berpikir negatif tentang kata jihad. Mereka menganggapnya identik dengan terorisme.”*

*“Itulah yang diciptakan oleh mereka yang membenci Islam,”* jawab Andi dengan tegas. *“Mereka membuat jihad seolah sesuatu yang menakutkan. Padahal, jihad adalah perjuangan untuk kebenaran.”*

---


Tidak ada komentar: