Chapter 15 Kebangkitan Bangsa Barbar di Bawah Kabut Kelud
Di lereng Gunung Kelud yang terkutuk, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, berdiri sebuah desa yang telah jatuh ke dalam cengkeraman kegelapan. Desa itu bernama **Gundhuk Mör**, "Tanah Bernafas Hitam" dalam bahasa kuno. Udara di sana berbau belerang dan abu, dan langit senantiasa kelam, seolah matahari tak berani menatapnya langsung. Di tengah desa, para prajurit barbar—bertubuh kekar, bermata merah seperti bara—berbaris dalam formasi kacau, pedang-pedang bergerigi mereka menghunjam tanah, sementara sorak-sorai mereka menggema bagaikan teriakan makhluk neraka.
**Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasana yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Tubuhnya dibalut zirah hitam berukir rune kematian, dan di tangannya ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang konfor ditempa dalam lahar Gunung Kelud. Matanya—sepasang lubang gelap yang menyala merah—memantulkan kebencian yang tak terpadamkan. **"Pulau Jawa akan jatuh!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. **"Kali ini, keris sakti Mythopia akan menjadi milik kita. Dan dengan itu, Nusantara akan gemetar!"**
Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitam yang berdesis seperti ular. Tangannya memegang tongkat dari tulang naga yang telah punah, dan di ujungnya berputar bola api hitam—**Nyala Udûn**, api yang mencuri nyawa dan mengubah jiwa menjadi abu. **"Mereka yang menolak bergabung,"** bisiknya dengan suara mendesis, **"akan kujadikan tumbal untuk api abadi ini."**
Para jawara desa—pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman—kini dirantai oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, jiwa mereka dikendalikan oleh bisikan Ki Surya Dahana. Mereka dilatih dengan kejam: pedang mereka dicelupkan ke dalam racun *Morgul*, dan mantra-mantra gelap diajarkan untuk menghancurkan pertahanan magis kerajaan-kerajaan.
**Seratus musim yang lalu**, bangsa barbar ini hampir musnah dalam **Pertempuran Lembah Api**, di mana Raja Mythopia kala itu, **Almarhum Aldaron**, mengerahkan ksatria-ksatria cahaya dengan keris suci **Caladthil**, "Bintang yang Menembus Kegelapan". Kekalahan itu membakar dendam turun-temurun. **"Kali ini,"** pekik Sangar Mahadipa kepada pasukannya, **"kita tak akan salah memilih lawan. Mythopia akan kita hancurkan dari dalam!"**
Di balik kabut hitam, para pengintai barbar mengamati gerak-gerik Mythopia. Mereka tahu: keris suci itu kini dipegang oleh Isidore, sang penerus muda yang belum menguasai kekuatannya. **"Kelemahannya adalah ketakutannya,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya memperlihatkan bayangan Isidore yang sedang berlatih di Gunung Pamaton. **"Dan ketakutan adalah pintu menuju kekalahan."**
**"Persiapan kita hampir selesai,"** geram Sangar Mahadipa, meremas tengkorak musuh terakhirnya hingga hancur. **"Bersiaplah, Mythopia. Kegelapan yang kalian kira telah mati... baru saja bangkit."**
Chapter 16 Latihan Pewaris Tahta Mythopia
Di bawah langit yang dipenuhi awan kelabu, Isidore, sang pewaris tahta Mythopia, berdiri di tengah padang luas yang diterpa angin kencang. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang di udara dengan selendang keperakannya yang berkibar-kibar. **"Lari, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gemuruh badai. **"Rasakan kekuatan angin, dan jangan biarkan ia menyeretmu!"**
Isidore melesat, kakinya menapak tanah dengan susah payah. Angin berhembus kencang, mencoba menjatuhkannya, tetapi ia terus berlari, berjuang melawan kekuatan alam yang tak kenal ampun. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Bayu Anggana, matanya menyala biru. **"Ini adalah ujian untuk jiwamu. Jika kau bisa melawan angin, kau bisa melawan apa pun."**
---
**Di lereng Gunung Pamaton**, **Pangreksa**, sang Penguasa Es, telah menciptakan sebuah danau beku yang memancarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Permukaannya berkilau seperti kaca, dan di tengahnya, Isidore berdiri, tubuhnya menggigil. **"Masuklah,"** perintah Pangreksa, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Danau ini akan menguji ketahananmu. Jika kau bisa bertahan di sini, kau bisa bertahan di mana pun."**
Isidore melangkah ke dalam air yang membeku, napasnya membentuk kabut putih. Dinginnya menusuk seperti ribuan jarum, tetapi ia bertahan, memusatkan pikirannya pada keris suci yang ia genggam erat. **"Ingat, Isidore,"** bisik Pangreksa, **"dingin hanyalah ilusi. Yang sebenarnya kau lawan adalah ketakutanmu sendiri."**
---
**Di hutan purba**, **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, telah membangkitkan akar-akar pohon raksasa yang bergerak seperti ular naga. **"Hindari mereka, Isidore!"** serunya, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Jika kau tertangkap, kau akan tertarik ke dalam tanah, dan tak ada yang bisa menyelamatkanmu!"**
Isidore melompat dan berputar, menghindari akar-akar yang mencengkeram. Tubuhnya berkeringat, napasnya tersengal-sengal, tetapi ia terus bergerak. **"Ini bukan sekadar latihan fisik,"** bisik Rakajati, matanya yang seperti lubang gelap memancarkan cahaya kehijauan. **"Ini adalah ujian untuk kecerdasanmu. Jika kau bisa membaca gerakan alam, kau bisa membaca gerakan musuh."**
---
**Di puncak bukit yang sunyi**, **Raja Alam Wardhana** duduk bersila, cahaya kebiruannya memancar seperti rembulan. **"Meditasi, Isidore,"** katanya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Temukan kekuatan inti dalam dirimu. Itulah sumber kekuatan sejati."**
Isidore menutup matanya, mencoba memusatkan pikirannya. Namun, bayangan kegelapan terus mengganggu—mimpi buruk tentang bangsa barbar, tentang kehancuran Mythopia. **"Jangan melawan ketakutanmu,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Terimalah, dan kau akan menemukan kekuatan untuk mengatasinya."**
---
**Di padang rumput yang luas**, **Ksatria Cheon Myeong**, sang Pelindung Raja, mengajari Isidore bela diri tingkat tinggi. Pedangnya berkilauan seperti kilat, dan gerakannya seperti tarian angin. **"Pertahananmu harus sekuat seranganmu,"** katanya, menangkis serangan Isidore dengan mudah. **"Dan seranganmu harus secepat pikiranmu."**
Isidore mengangguk, tubuhnya lelah tetapi tekadnya tak pernah padam. **"Aku akan belajar, Guru,"** katanya, suaranya penuh hormat. **"Aku akan menjadi kuat, untuk Mythopia."**
---
**Di tengah latihan yang melelahkan itu**, Bayu Anggana tiba-tiba menghentikan angin. Matanya yang biru pucat menyipit, seolah mendengar sesuatu. **"Ada mata-mata,"** bisiknya, suaranya seperti desiran dedaunan. **"Suku barbar mengintai kita."**
Dengan gerakan cepat, Bayu Anggana mengangkat tangannya. Angin berubah menjadi pisau tajam yang melesat ke arah semak-semak. Terdengar jeritan, dan kemudian—keheningan. **"Mereka tak akan mengganggu kita lagi,"** katanya, wajahnya tegas. **"Tapi ini hanya awal, Isidore. Mereka akan kembali, dan kau harus siap."**
*"Kau telah melangkah jauh, Isidore,"** kata Bayu Anggana, memandangnya dengan bangga. **"Tapi perjalananmu baru saja dimulai. Mythopia membutuhkanmu—bukan hanya sebagai pewaris, tetapi sebagai pelindung."**
Isidore mengangguk, matanya berkilau dengan tekad yang baru. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**
---
Chapter 17 Pencapaian dan Persiapan Menuju Gunung Lawu
Setelah satu bulan penuh pelatihan keras di bawah bimbingan para ksatria legendaris Mythopia, tubuh Isidore telah berubah. Luka dan lebam menghiasi kulitnya seperti medali perang, sementara otot-ototnya yang kini kekar menegaskan kekuatan yang telah ia peroleh. Setiap langkahnya penuh keyakinan, setiap gerakannya penuh presisi. Namun, di balik fisik yang kuat, jiwanya juga telah ditempa menjadi baja—siap menghadapi tantangan yang lebih besar.
Di penghujung pelatihan, para ksatria memberikan hadiah sebagai tanda pengakuan atas usahanya.
**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, mengulurkan tangannya yang berakar ke arah Isidore. Di telapaknya, terbaring sebuah buah durian ajaib—kulitnya berwarna merah tua seperti darah naga, dan aromanya memancarkan keharuman yang menenangkan jiwa. **"Ini adalah *Durian Mór*, buah yang hanya tumbuh sekali dalam seratus musim,"** kata Rakajati, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Makanlah, dan kau akan merasakan kekuatan bumi menyatu dengan darahmu. Luka-lukamu akan sembuh, dan stamina tubuhmu akan menjadi perkasa."**
Isidore menggigit buah itu, dan seketika rasa manis-segar mengalir di lidahnya, diikuti oleh panas yang merambat ke seluruh tubuh. Luka-lukanya mengering, lebam-lebamnya menghilang, dan tenaganya pulih sepenuhnya. **"Terima kasih, Rakajati,"** katanya, matanya berkilau penuh syukur.
**Pangreksa**, sang Penguasa Es, melangkah maju. Di tangannya, tergantung sebuah kalung kristal es yang berkilauan seperti bintang jatuh. **"Ini adalah *Kalung Nenya*, penjaga fokus dan ketenangan,"** katanya, suaranya seperti gemuruh gletser. **"Kenakanlah, dan kau tak akan pernah kehilangan arah, bahkan di tengah badai sekalipun."**
Isidore mengenakan kalung itu, dan seketika, pikirannya menjadi jernih seperti air danau di pagi hari. **"Aku bisa merasakan kekuatannya,"** bisiknya, memegang kristal itu dengan penuh hormat.
**Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, menghidangkan makanan yang telah ia siapkan dengan penuh cinta: daging sapi bakar yang empuk, dibumbui rempah-rempah kuno, dan nasi singkong yang harumnya memenuhi udara. **"Makanlah, Isidore,"** katanya, suaranya seperti desiran angin musim semi. **"Makanan ini akan memberimu mimpi indah, dan esok hari, kau akan bangun dengan semangat baru."**
Isidore menyantap hidangan itu dengan lahap, dan ketika malam tiba, ia tertidur dengan nyenyak—tanpa mimpi buruk, tanpa bayangan kegelapan.
---
**Keesokan harinya**, Isidore bangun dengan tubuh yang segar dan jiwa yang siap. **"Kau telah mencapai level tertinggi dalam pelatihanmu,"** kata Raja Alam Wardhana, cahaya kebiruannya memancar seperti fajar pertama. **"Tapi perjalanan kita belum selesai. Kini, kita harus menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**
**Gunung Lawu**, gunung berapi yang legendaris, dikenal sebagai tempat di mana api abadi menyala. Di sanalah Bhra Anuraga, ksatria yang tubuhnya menyala seperti bara, menjaga rahasia kekuatan api Mythopia. **"Dia adalah ksatria terkuat di antara kita,"** kata Pangreksa, suaranya penuh hormat. **"Dan dia tak akan mudah menerimamu, Isidore. Kau harus membuktikan dirimu."**
Dengan keris suci di pinggang, kalung es di leher, dan tekad yang membara, Isidore mengangguk. **"Aku siap,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**
---
**"Mari kita berangkat,"** kata Bayu Anggana, angin berhembus membawa kabar bahwa perjalanan mereka telah dipersiapkan oleh alam sendiri. **"Gunung Lawu menunggu, dan Bhra Anuraga tak akan membiarkan kita menunggu terlalu lama."**
Dengan langkah pasti, Isidore dan para ksatria melangkah menuju Gunung Lawu, siap menghadapi api abadi dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
Chapter 18 Kemarahan di Gunung Kelud
Di puncak Gunung Kelud, di mana kabut hitam abadi menyelimuti lembah-lembah seperti selubung duka, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran Tak Terkalahkan, duduk di atas singgasananya yang terbuat dari tengkorak musuh-musuhnya. Wajahnya yang kasar dan penuh bekas luka berkerut dalam kemarahan yang membara. Di tangannya, ia menggenggam **Gada Nalarka**, senjata legendaris yang ditempa dalam lahar gunung. Tiba-tiba, dengan gerakan kasar, ia membanting gada itu ke tanah.
**"Mereka telah membunuh mata-mataku!"** geramnya, suaranya menggelegar seperti letusan gunung. Tanah di bawahnya retak, mengeluarkan asap hitam yang berbau belerang. **"Dan kini, Isidore—anak itu—telah menjadi ksatria aura? Tidak! Aku tak akan membiarkan Mythopia bangkit kembali!"**
Di sampingnya, **Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, berdiri dengan jubah hitamnya yang berdesis seperti ular. Di tangannya, bola api hitam **Nyala Udûn** berputar-putar, memancarkan cahaya kehijauan yang menyeramkan. **"Tenang, Sangar,"** bisiknya, suaranya seperti desisan angin malam. **"Aku masih bisa melihatnya. Isidore sedang menuju Gunung Lawu, tempat tinggal Bhra Anuraga, sang Penguasa Api."**
Matanya yang merah menyala memandang ke dalam bola api, dan di dalamnya terlihat bayangan Isidore—tubuhnya kini kekar, langkahnya penuh keyakinan, dan keris suci di pinggangnya memancarkan cahaya keemasan. **"Dia telah menjadi kuat,"** lanjut Ki Surya Dahana, **"tapi kekuatannya belum sebanding dengan jawara-jawara kita."**
Sangar Mahadipa menggeram, matanya menyala seperti bara. **"Kirim mereka! Kirim semua jawara desa yang telah kau kendalikan dengan ilmu hitammu! Aku ingin tahu seberapa kuat mereka—dan seberapa lemah Isidore!"**
Ki Surya Dahana mengangguk, dan dengan gerakan tangannya, bola api hitam itu melesat ke langit, membawa pesan kepada para jawara desa yang telah menjadi kaki tangannya. Mereka adalah pemuda-pemuda kuat yang dahulu membela kehormatan kampung halaman, tetapi kini jiwa mereka telah dikendalikan oleh mantra hitam. Mata mereka kosong, tubuh mereka kebal terhadap senjata biasa, dan kematian tak lagi memiliki arti bagi mereka.
**"Mereka akan menghadang Isidore di Gunung Lawu,"** bisik Ki Surya Dahana, senyum tipis mengembang di wajahnya yang pucat. **"Dan ketika keris suci itu jatuh ke tangan kita, Mythopia akan hancur, dan Nusantara akan menjadi milik kita."**
Sangar Mahadipa tertawa, suaranya seperti gemuruh gunung yang siap meletus. **"Keris sakti Mythopia akan menjadi milikku! Dan dengan itu, tak ada yang bisa menghentikan kita!"**
---
**"Mythopia akan jatuh,"** bisik Ki Surya Dahana, bola api hitamnya berputar semakin cepat. **"Dan kegelapan akan menyelimuti Nusantara selamanya."**
Di kejauhan, di lereng Gunung Lawu, Isidore dan para ksatria Mythopia terus melangkah, tak menyadari bahwa bahaya telah mengintai di balik kabut hitam.
Chapter 19 Panggilan Kegelapan di Bawah Langit Kelam
Di puncak Gunung Kelud, di mana kabut hitam abadi menyelimuti bumi bagai selubung maut, **Sangar Mahadipa**, sang Tiran yang Hitam Hati, berdiri di atas singgasananya yang terbuat dari tulang dan abu. Tangannya yang bersisik mengangkat **Gada Nalarka**, senjata yang memancarkan asap belerang, lalu ia memberi isyarat. Seorang pengawal setia—wajahnya tertutup topeng besi berkarat—meniup **Terompet Morn**, alat perang kuno yang suaranya mengoyak langit.
Suara terompet itu bergema, dalam dan mengerikan, seperti ratapan makhluk yang terkutuk. Burung-burung gagak hitam berhamburan dari pepohonan mati, membentuk awan gelap yang mengitari markas. Sayap mereka mengepakkan ketakutan, dan kukur mereka terdengar seperti kutukan.
**Ki Surya Dahana**, sang Peramal Ilmu Hitam, melangkah maju dengan jubahnya yang berdesis. Di tangannya, ia memegang **Cawan Udûn**, wadah berisi racun kuno yang menggelegak seperti lahar. **"Ikuti burung gagak!"** pekiknya, suaranya menusuk jiwa. **"Mereka akan memandu kalian ke Isidore! Serang dia dan yang menyertainya! Senjata kalian telah kusirami racun *Morgul*—tak ada yang selamat dari lukanya! Dan ingat, kalian kebal! Kematian tak lagi berkuasa atas kalian!"**
Para jawara desa—tubuh mereka kini dikendalikan oleh mantra hitam, mata mereka kosong bagai cermin gelap—berkumpul. Pedang, kapak, dan panah mereka berkilauan cairan kehijauan yang mematikan. Kulit mereka dipenuhi tato rune kematian, dan napas mereka berbau busuk seperti bangkai.
**"Cepat!"** geram Sangar Mahadipa, membanting gadanya hingga tanah bergetar. **"Jangan biarkan Isidore mencapai Gunung Lawu! Hancurkan dia, dan bawa keris saktinya kepadaku!"**
Para jawara itu melesat, bergerak seperti arwah yang dikuasai kegelapan. Mereka melompati dahan-dahan pohon yang patah, melintasi ngarai dalam yang dipenuhi kabut jahat, dan mendaki bukit terjal tanpa jeda. Kaki mereka tak menyentuh tanah sepenuhnya—seolah angin hitam mengangkat mereka. Tak ada letih, tak ada ragu, hanya ketaatan buta pada perintah sang Tiran.
Di kejauhan, burung-burung gagak berputar membentuk lingkaran setan, menunjukkan arah. Langit di atas Gunung Lawu mulai mendung, seolah alam sendiri merasakan kedatangan malapetaka.
---
**"Mereka takkan selamat,"** bisik Ki Surya Dahana, matanya menyipit menatap bayangan Isidore di bola api hitamnya. **"Kegelapan akan menelan mereka, dan keris itu... akhirnya akan menjadi milik kita."**
Sangar Mahadipa tertawa, suaranya menggemuruh memenuhi lembah. **"Mythopia akan menjadi abu, dan aku akan menjadi Raja Kegelapan yang sejati!"**
Sementara itu, di lereng Gunung Lawu, Isidore tiba-tiba berhenti. Kalung es di lehernya berdenyut dingin—peringatan pertama dari bahaya yang mendekat.
Chapter 20 Pertempuran di Lereng Gunung Lawu
Angin panas berhembus dari kawah Gunung Lawu, membawa napas api purba yang seolah dihembuskan oleh naga yang terlelap di dalam perut bumi. Isidore dan para ksatria Mythopia berhenti, merasakan getaran jahat yang menggeliat di udara. **"Ada yang mendekat,"** bisik **Bayu Anggana**, selendang keperakannya berkibar liar. **"Angin membawa bisikan darah dan racun."**
Dengan gerakan cepat, Bayu Anggana mengangkat tangannya. Angin berputar-putar membentuk perisai transparan yang mengelilingi mereka, sebuah *tempest-born barrier* yang sanggup menahan serangan paling ganas. **"Aku akan mengintai dari atas,"** katanya, lalu melesat ke langit seperti anak panah yang ditembakkan dari busur Valar.
**Pangreksa**, sang Penguasa Es, menghentakkan kakinya ke tanah. Lapisan es segera menyelimuti tubuhnya, membentuk zirah kristal yang berkilauan di bawah sinar matahari. Di tangannya, muncul **Pedang Nenheled**, bilah es murni yang memancarkan hawa dingin maut. **"Bersiaplah,"** gumannya, sambil menyentuh tanah dengan ujung pedangnya. Retakan es segera menjalar, menciptakan perangkap tersembunyi yang siap menghancurkan siapa pun yang menginjaknya.
**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, menempelkan telinganya ke bumi. Suara akar-akar purba berbisik kepadanya dalam bahasa yang hanya dipahami oleh penjaga hutan. **"Mereka datang,"** katanya, suaranya seperti gesekan ranting kering. **"Segerombolan manusia yang kakinya tak menyentuh tanah. Tapi pohon-pohon... pohon-pohon mulai menghalangi jalan mereka."**
**Ksatria Cheon Myeong** menoleh ke Isidore, matanya tajam bagai kilat. **"Meditasi, Isidore!"** perintahnya. **"Temukan kekuatan inti dalam dirimu. Auraramu harus bersinar seperti bintang di tengah kegelapan!"**
Isidore menutup mata, menggenggam keris suci **Caladthil** erat-erat. Pikirannya menyelam ke dalam lautan tenaga dalam, di mana cahaya kebiruan Raja Alam Wardhana dan nyala merah Bhra Anuraga bertaut. Tiba-tiba, aura keemasannya meledak, menyinari lereng gunung bagai fajar kedua. Keris pendek di tangannya memanjang, berubah menjadi **pedang cahaya** yang berpendar seperti bulan purnama.
**"Laa... ini kekuatan darah Mythopia,"** gumannya, tubuhnya melayang di udara, dikelilingi oleh lingkaran cahaya suci. Gerakannya kini secepat angin timur, gesit dan tak terbendung.
---
**Di kejauhan**, para jawara desa yang dikendalikan mantra hitam terhambat oleh hutan yang hidup. Dahan-dahan pohon menjulur seperti tangan raksasa, mencoba mencengkeram mereka. **"Lawanlah, kalian bodoh!"** teriak Ki Surya Dahana dari balik bola api hitamnya. **"Mereka hanya pohon!"**
Tapi pohon-pohon itu bukan sembarang pohon. Mereka adalah **pohon Huorn**, makhluk purba yang bangkit oleh kemarahan Rakajati. Akar-akar mereka melesat dari tanah, menjerat kaki para jawara dan menarik mereka ke dalam kegelapan bumi.
**"Tak ada waktu!"** pekik Sangar Mahadipa dari markasnya. **"Loloskan diri kalian!"**
Para jawara yang tersisa melompati jebakan es Pangreksa, tubuh mereka berdarah tapi tak merasa sakit. Senjata mereka, berlumur racun *Morgul*, berkilau kehijauan. **"Serang!"** teriak pemimpin mereka, seorang jawara bertubuh raksasa dengan mata merah menyala.
---
**Isidore membuka mata.**
**"Siap,"** katanya, suaranya menggema seperti gong perang kuno.
Pedang cahayanya menyala terang, memotong kegelapan.
Pertempuran pun dimulai.
---
**"Untuk Mythopia!"** teriak Isidore, pedang cahayanya menari di udara, memotong senjata racun para jawara.
Di langit, Bayu Anggana mengerahkan angin tornado.
Di tanah, Pangreksa membekukan musuh yang tersisa.
Dan di hutan, Rakajati memimpin pohon-pohon Huorn untuk mengubur kegelapan.
Sementara itu, di puncak Gunung Lawu, asap tebal mulai mengepul.
**Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, membuka matanya—dua bara merah yang menyala-nyala.
**"Sudah waktunya,"** gumannya, suaranya seperti letusan gunung.
**"Sang Pewaris telah tiba."**
Chapter 21 Pertempuran di Lereng Gunung Lawu
Akar-akar purba yang menjulur dari perut bumi, dihidupkan oleh kemarahan Rakajati, mendadak layu dan mengering seperti musim kemarau abadi. **Pedang-pedang terkutuk** para jawara desa, berlumur racun *Morgul*, merobek-robek akar itu seolah memotong nyawa hutan itu sendiri. Para jawara keluar dari tanah dengan gerakan kaku, mata mereka kosong dan tubuh mereka tertutup luka-luka yang tak berdarah—buah dari mantra hitam Ki Surya Dahana.
**"Mereka bukan lagi manusia,"** geram Rakajati, suaranya seperti gemuruh akar yang terluka. **"Mereka boneka kegelapan!"**
Para jawara yang terjebak dalam jebakan es Pangreksa pun membebaskan diri. **Pedang racun** mereka menghujam balok-balok es, memecahkannya dengan dentuman keras. Es suci itu meleleh menjadi air keruh, seolah menangis atas kekalahan sementara.
Isidore, dengan keris **Caladthil** yang kini menjelma pedang cahaya keemasan, melesat bagai anak panah Valar. Tusukannya tepat menembus perut seorang jawara, lalu tebasan kilatnya memotong lengan dan kaki yang lain. Darah hitam mengalir, tapi para jawara hanya tertawa—suara hampa yang menggetarkan jiwa. **"Mereka tak merasa sakit!"** seru Ksatria Cheon Myeong, pedangnya beradu dengan senjata racun hingga patah.
**"Pedang mereka takkan sanggup melukaimu, Isidore!"** teriak Raja Alam Wardhana dari alam pikiran. **"Auraramu adalah perisai terkuat!"**
Benar saja, ketika seorang jawara menusukkan pedang ke dada Isidore, bilah itu hancur berantakan menyentuh aura keemasan yang menyelimuti tubuhnya. Namun, luka-luka para jawara seketika pulih—daging tumbuh kembali, tulang menyambung—seolah kematian tak berkuasa di sini.
Pertempuran dahsyat itu menggetarkan lereng Gunung Lawu hingga ke puncaknya. **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api yang selama berabad-abad bertapa dalam lahar, membuka matanya. Dua bola merah menyala seperti bintang neraka. **"Siapa yang berani mengganggu ketenanganku?!"** suaranya menggelegar, menggetarkan langit.
Dia melesat turun seperti meteor, tubuhnya terbungkus api abadi yang menyala-nyala. **"Kalian tamu tak diundang!"** pekiknya, mengangkat tangan. Hujan api seketika turun dari langit, menghujani para jawara desa. Api itu bukan sembarang api—ia adalah **Nyala Ancalagon**, api yang pernah membakar sayap naga hitam di Zaman Kegelapan.
Para jawara menjerit, tubuh mereka terbakar dalam sekejap. Racun *Morgul* menguap menjadi asap hijau, dan daging mereka hangus menjadi abu. Pangreksa tak menyia-nyiakan kesempatan. **Pedang Nenheled**-nya menghujam tanah, membekukan sisa-sisa tubuh para jawara yang mencoba kabur. Es dan api bertemu—tubuh mereka pecah berkeping-keping seperti kaca yang dihantam batu.
Isidore, dengan ketenangan seorang raja sejati, mengangkat keris **Caladthil**. Aura keemasannya membentuk pedang cahaya raksasa yang melesat seperti panah cahaya. **"Untuk Mythopia!"** teriaknya. Pedang itu memotong sisa para jawara, membelah mereka menjadi dua—abu dan debu beterbangan, tertiup angin Bayu Anggana yang membawa mereka ke jurang kelupaan.
---
**"Kau,"** kata Bhra Anuraga tiba-tiba, memandang Isidore dengan mata merah yang meredup. **"Darah Aldaron mengalir dalam dirimu. Aku mengenali cahaya itu."**
Isidore menganggap hormat. **"Aku datang untuk meminta bantuanmu, Ksatria Api. Mythopia membutuhkan kekuatanmu."**
Bhra Anuraga mengerang, api di tubuhnya meredup menjadi bara. **"Kau telah membuktikan diri di medan perang. Tapi Gunung Lawu hanya permulaan. Masih ada kegelapan lebih besar yang menanti..."**
Di kejauhan, di puncak Gunung Kelud, Sangar Mahadipa menggeram melihat bola api hitamnya pecah berantakan. **"Ini belum berakhir,"** desisnya. **"Kau mungkin memenangkan pertempuran, Isidore... tapi perang baru saja dimulai."**
Dan angin berbisik, membawa janji pertumpahan darah ke seluruh Nusantara.
Chapter 22 Pertemuan dengan Bhra Anuraga, Sang Penguasa Api
Di puncak Gunung Lawu, di mana asap belerang menari-nari di udara dan batu-batu vulkanik berkilau seperti permata hitam, **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, berdiri tegak. Tubuhnya yang tinggi dan kekar dipenuhi oleh bekas luka pertempuran, sementara rambut peraknya yang panjang terbakar oleh api abadi yang menyala-nyala di sekelilingnya. Usianya telah mencapai seratus musim, namun matanya—dua bara merah yang menyala—masih memancarkan kekuatan yang tak tertandingi.
**"Aku telah lama menunggu kedatanganmu, Isidore,"** katanya, suaranya dalam dan berwibawa, seperti gemuruh gunung berapi yang tertidur. **"Darah Aldaron, raja terdahulu Mythopia, mengalir dalam dirimu. Kau memiliki kekuatan untuk membangkitkan potensi ksatria hingga batas tertinggi—namun kau belum menyadarinya."**
Isidore memandang Bhra Anuraga dengan penuh hormat. **"Aku datang untuk meminta bantuanmu, Ksatria Api. Mythopia membutuhkan kekuatanmu."**
Bhra Anuraga mengangguk perlahan, api di tubuhnya meredup menjadi bara yang hangat. **"Ikutlah aku ke puncak,"** ajaknya, sambil melangkah menuju gua tempat tinggalnya.
Gua itu bukanlah gua biasa. Dinding-dindingnya halus dan berkilau, diukir oleh tangan api yang telah membentuknya selama berabad-abad. Batu-batu vulkanik yang menghiasi ruangan dipahat dengan gambar-gambar kuno—pertempuran epik, raja-raja legendaris, dan ksatria-ksatria yang gagah berani. Di tengah ruangan, sebuah meja batu dipenuhi hidangan: **daging domba empuk yang dibalut rempah wangi**, dan **nasi putih yang dimasak dalam tembikar kuno**, mengeluarkan aroma yang menggugah selera.
**"Makanlah,"** kata Bhra Anuraga, suaranya lembut namun tegas. **"Kekuatanmu akan kau butuhkan untuk perjalanan yang lebih berat."**
Saat Isidore menyantap hidangan itu, Bhra Anuraga mulai bercerita. **"Pada masa lalu, Mythopia memiliki seratus ksatria dan satu juta prajurit. Mereka adalah pasukan terhebat yang pernah ada, tak terkalahkan dalam setiap pertempuran. Bahkan ketika melawan Kerajaan Pirang—yang ahli dalam menggunakan binatang sebagai senjata—Mythopia tetap menang. Ksatria-ksatria kita terkenal bukan hanya karena kekuatan tempur mereka, tetapi juga karena kekuatan magis yang tak tertandingi."**
Isidore mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil merasakan energi dari makanan itu mengalir ke seluruh tubuhnya.
**"Namun, masa damai tiba,"** lanjut Bhra Anuraga. **"Kekaisaran Majapahit menginginkan aliansi, dan Mythopia setia melayani mereka. Kami mundur ke dalam kabut mistis, meninggalkan dunia manusia. Tapi kini, kegelapan kembali mengancam. Suku barbar telah bangkit, dan mereka mengusik ketenangan Nusantara. Saatnya Mythopia muncul kembali."**
Bhra Anuraga memandang Isidore dengan mata yang penuh keyakinan. **"Kau adalah harapan terakhir kita, Isidore. Darah Aldaron mengalir dalam dirimu, dan kau memiliki kekuatan untuk membangkitkan Mythopia dari tidur panjangnya."**
---
**"Aku akan mengajarimu, Isidore,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala kembali. **"Tapi ingat, kekuatan sejati bukan hanya tentang fisik atau magis. Ini tentang jiwa yang tak tergoyahkan, tentang tekad yang membara seperti api abadi ini."**
Isidore mengangguk, matanya berkilau dengan tekad yang baru. **"Aku siap, Bhra Anuraga. Untuk Mythopia, dan untuk semua yang kucintai."**
Dan di puncak Gunung Lawu, api abadi menyala lebih terang dari sebelumnya, menandakan dimulainya babak baru dalam sejarah Mythopia.
Chapter 23 Kebangkitan Kekuatan Ksatria Sepuh
Di dalam gua api Gunung Lawu, di mana dinding batu berkilauan seperti permata hitam yang dipoles oleh nyala abadi, **Bhra Anuraga** duduk di hadapan Isidore. Api di tubuhnya meredup menjadi bara yang hangat, dan matanya yang merah menyala memancarkan kebijaksanaan yang dalam. **"Sangar Mahadipa,"** katanya, suaranya seperti gemuruh gunung berapi yang tertidur, **"telah menculik banyak warga desa—terutama pemuda dan anak laki-laki—untuk dijadikan pengikutnya. Mereka berpusat di Gunung Kelud, di mana Ki Surya Dahana, sang Peramal Ilmu Hitam, menjalankan ritual sesat untuk menjadikan Sangar Mahadipa sebagai dewa mereka."**
Isidore mendengarkan dengan serius, hatinya dipenuhi kemarahan yang membara. **"Desa-desa yang menolak bekerja sama dengan mereka akan diracuni,"** lanjut Bhra Anuraga, suaranya penuh kepedihan. **"Aku sangat geram dengan kejahatan mereka, tapi kekuatanku belum pulih sepenuhnya. Namun, ada harapan. Kau, Isidore, memiliki kekuatan untuk membangkitkan potensi ksatria-ksatria sepuh ini."**
**Raja Alam Wardhana**, yang melayang di udara dengan aura kebiruannya yang memancar, mengangguk perlahan. **"Memang terlalu dini untuk menguasai aura pembangkit tenaga,"** katanya, suaranya seperti nyanyian bintang-bintang. **"Tapi aku telah melihatmu, Isidore. Kau telah menguasai teknik aura dengan baik. Mungkin ini saatnya untuk mencoba."**
Para ksatria pun membentuk lingkaran di sekitar Isidore. **Rakajati**, sang Ksatria Kayu, menancapkan tongkat kayunya ke lantai gua. **Pangreksa**, sang Penguasa Es, mengeluarkan pedang esnya yang berkilauan. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang di udara dengan selendang keperakannya yang berkibar-kibar. Dan **Bhra Anuraga**, sang Penguasa Api, duduk bersila, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya.
Isidore duduk di tengah lingkaran, keris suci **Caladthil** di pangkuannya. Ia menutup mata, memasuki meditasi yang dalam. **"Fokus,"** bisik Raja Alam Wardhana. **"Temukan titik sempurna dalam dirimu."**
Seketika, sinar terang memancar dari keris suci itu, berwarna putih murni seperti cahaya bintang pertama. Sinar itu melebar, menyentuh setiap ksatria dalam lingkaran.
**Rakajati** merasakan perubahan dalam dirinya. Akar-akar purba melesat dari lantai gua, menutup pintu masuk dan membentuk lingkaran pelindung. **"Aku merasakan kekuatan bumi mengalir dalam diriku,"** gumannya, suaranya seperti gemuruh akar yang bergerak.
**Pangreksa** mengalami fluktuasi energi yang hebat. Es di sekelilingnya mencair dan membeku kembali, sementara pedang esnya berkilauan lebih terang dari sebelumnya. **"Mana-ku tidak stabil,"** katanya, wajahnya tegang.
Rakajati mengulurkan akar-akarnya, menyalurkan kekuatan bumi kepada **Bayu Anggana**. Angin berhembus kencang, membawa energi itu ke **Bhra Anuraga**, yang tubuhnya mulai berubah. Api di sekelilingnya menyala lebih terang, dan wajahnya yang tua kembali muda, dipenuhi kekuatan yang tak tertandingi.
Terakhir, energi itu mengalir ke **Isidore**. Ia merasakan kekuatan yang luar biasa—seperti gabungan dari bumi, es, angin, dan api—menyatu dalam dirinya. **"Ini... ini luar biasa,"** bisiknya, matanya berkilau.
Namun, fluktuasi energi Pangreksa semakin tak terkendali. Es mulai menyebar, hampir membekukan seluruh gua. **"Tolong!"** seru Pangreksa, suaranya penuh kepanikan.
**Raja Alam Wardhana** segera turun tangan. Dengan sisa kekuatannya, ia menyalurkan esensi kebiruan ke Pangreksa, menstabilkan energinya. **"Tenang, Pangreksa,"** bisiknya. **"Kau aman sekarang."**
Ketika energi akhirnya stabil, semua ksatria merasakan perubahan yang luar biasa. **Bhra Anuraga** kini tampak seperti pemuda berusia dua puluh musim, tubuhnya dipenuhi kekuatan api abadi. **Rakajati** berdiri tegak, akar-akarnya mengendur dan mengeluarkan bunga mawar yang harum semerbak. **Pangreksa** dan **Bayu Anggana** juga kembali muda, kekuatan mereka mencapai puncaknya.
Di tengah lingkaran, **Isidore** membuka matanya. **"Aku... aku merasa berbeda,"** katanya, suaranya penuh kekaguman. **"Ini adalah kekuatan warisan Mythopia."**
Rakajati mengulurkan tangannya, dan sebuah buah durian masak muncul di tangannya. **"Makanlah,"** katanya, suaranya lembut. **"Ini adalah hadiah dari bumi, tanda bahwa kita telah berhasil."**
---
**"Kita telah bangkit,"** kata Bhra Anuraga, api di tubuhnya menyala lebih terang dari sebelumnya. **"Dan kini, saatnya kita menghadapi kegelapan yang mengancam Nusantara."**
Isidore mengangguk, keris sucinya berkilauan di tangannya. **"Untuk Mythopia,"** katanya, suaranya penuh keyakinan. **"Dan untuk semua yang kucintai."**
Dan di puncak Gunung Lawu, api abadi menyala lebih terang dari sebelumnya, menandakan dimulainya babak baru dalam sejarah Mythopia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar