03/09/25

Season 3 Kisah Pandika dari kerajaan cakram


Setelah berhari-hari menyusuri jalur pesisir, akhirnya tampaklah di cakrawala Pelabuhan Jepara, mutiara terbesar di pesisir utara Majapahit. Dari kejauhan, layar-layar putih kapal asing menjulang bagaikan hutan yang tumbuh di lautan, dan suara gong serta terompet pelabuhan menyambut kapal-kapal yang masuk ke dermaga.

Jepara tidak sekadar sebuah pelabuhan, melainkan jantung dagang Majapahit. Jalanan menuju dermaga dipenuhi pedagang dari berbagai bangsa: orang Gujarat dengan jubah panjang dan sorban warna-warni; saudagar Tiongkok dengan kotak-kotak porselen berisi keramik berkilau; pelaut Arab yang membawa rempah dari Maluku; hingga pedagang Jawa sendiri yang menawar keras demi menjaga harga tetap tinggi.

Gerobak rombongan Pandika melintas di antara keramaian itu. Tidak seorang pun pejabat pelabuhan berani mendekat untuk meminta upeti. Para petugas hanya menunduk hormat, sebab mereka mengenali tanda kebangsawanan pada Dyah Ratnaswari — putri dari garis keturunan ksatria Majapahit. Nama keluarganya saja sudah cukup untuk membuat para pejabat menyingkir, seolah jalan terbuka lapang tanpa halangan.

Si Maung, duduk gagah di atas gerobak, mengaum kecil, membuat beberapa orang asing mundur dengan wajah pucat, menyangka sang pemuda membawa peliharaan gaib. Pandika sendiri diam-diam merasa lega, sebab kehadiran Dyah Ratnaswari memberinya perlindungan yang lebih besar daripada pedangnya sendiri.

Namun di tengah hiruk pikuk perdagangan itu, kabar-kabar mulai berbisik di antara para pedagang dan pelaut.

“Kapal dari Tiongkok membawa berita, Kaisar sedang memperluas pengaruhnya ke lautan selatan.”
“Dari barat, orang-orang asing berkulit pucat mulai tampak di Samudra Hindia, kapal-kapal mereka lebih besar dari jung kita.”
“Ada pula desas-desus bahwa negeri-negeri seberang lautan mulai iri pada kekayaan rempah Majapahit.”

Bisik-bisik itu, meski lirih, beredar cepat, laksana angin yang membawa aroma laut. Pandika mendengarkan dengan seksama, dadanya berdesir oleh firasat. Ia tahu bahwa perjalanan mereka bukan sekadar pengawalan dagang; mereka berada di tengah pusaran zaman yang mulai berubah.

Dyah Ratnaswari menoleh pada Pandika, matanya tajam namun teduh.
“Kelak engkau akan melihat sendiri, Pandika. Majapahit bukan hanya kerajaan besar, ia juga dikelilingi ancaman dari segala penjuru. Maka ksatria sejati tidak hanya berjuang dengan pedang, tetapi juga dengan hati yang teguh.”

Pandika menunduk hormat, lalu menggenggam pedangnya erat. Di pelabuhan Jepara yang megah itu, ia merasakan — mungkin inilah awal dari perjalanan yang akan menguji tidak hanya tenaganya, tetapi juga jiwa dan kesetiaannya.


Setelah segala urusan di Jepara terselesaikan, para pedagang memutuskan mengambil jalur laut, sebab itu adalah jalan tercepat menuju Trowulan. Sebuah jung besar Majapahit, berhias ukiran naga emas di haluannya, disewa untuk mengangkut rombongan beserta rempah-rempah mereka.


Angin laut bertiup kencang, layar-layar putih menjulang tinggi, dan ombak berdebur menghantam lambung kapal. Pandika, yang belum pernah menjejak kapal sebelumnya, merasakan perutnya bergolak. Wajahnya pucat, tubuhnya limbung, dan akhirnya ia tersungkur di sisi kapal, memuntahkan isi perutnya ke laut lepas.


“Wahai Pandika, engkau seorang ksatria, namun kalah oleh goyangan laut,” canda salah satu pelaut sambil tertawa lebar.


Si Maung, dengan tenangnya duduk di atas geladak, seolah menikmati semilir angin asin. “Aku selalu tahu, Pandika,” ujarnya sambil menjilat cakarnya, “bahwa laut lebih perkasa daripada pedangmu.”


Dyah Ratnasari menatap Pandika dengan iba, lalu memberinya kendi berisi air jahe hangat. “Minumlah ini. Laut memang menguji kesabaran dan perut lebih dulu sebelum menguji keberanian,” katanya lembut.


Hari-hari di atas laut panjang dan penuh tantangan. Ombak mengguncang, angin malam menusuk tulang, dan kabut kadang menutup pandangan. Namun kapal tetap melaju, dibimbing oleh bintang-bintang yang dipahami para nakhoda Jawa.


Setelah beberapa hari berlayar di sepanjang pesisir, tibalah mereka di muara Sungai Bengawan Solo. Air asin bercampur tawar, dan kapal perlahan masuk ke sungai besar yang bagai naga raksasa berliku menuju jantung pulau.


Di sepanjang tepian sungai, desa-desa ramai berdiri, anak-anak kecil melambai pada kapal yang lewat, dan perahu-perahu kecil penuh ikan menepi memberi jalan. Udara berubah lebih lembap dan tenang, namun Pandika masih berbaring lemah, tubuhnya belum terbiasa dengan guncangan air.


“Bertahanlah, Pandika,” kata Dyah Ratnasari, “sebentar lagi kita akan tiba di Trowulan. Saat itu kau akan berjalan lagi di tanah kokoh.”


Dan di kejauhan, ketika senja merona di langit barat, mereka melihat kabut tipis menyingkap bayangan tembok tinggi kota agung Trowulan, pusat dari Majapahit yang megah.


Setelah berhari-hari berlayar dan menyusuri Bengawan Solo yang perkasa, tibalah rombongan itu di sebuah dermaga besar, di mana air sungai yang luas berkilauan seperti perak di bawah sinar matahari. Dari sana, tampak bayangan tembok merah bata menjulang, bagaikan benteng raksasa yang melindungi jantung kejayaan Majapahit.


Trowulan berdiri dengan megahnya, ibukota sebuah kerajaan yang menguasai samudra dan daratan. Jalan-jalan lebar terbentang lurus, dipenuhi pedagang dari negeri jauh: Gujarat, Champa, Tiongkok, bahkan Arab, masing-masing menawarkan kain sutra, keramik, rempah, dan logam mulia. Gapura-gapura besar berdiri kokoh, dihiasi relief tentang kemenangan Majapahit dalam perang.


Ketika rombongan turun dari kapal, para pedagang menunduk hormat kepada Pandika. “Wahai anak muda,” ucap seorang saudagar tua, “tanpa keberanianmu, mungkin kami takkan sampai dengan selamat.” Ia lalu menyerahkan sebuah plakat kayu berukir—lambang persatuan pedagang dari pesisir utara. “Terimalah ini sebagai tanda persaudaraan. Di manapun kau berjalan, para pedagang akan mengenalmu sebagai pelindung dagangan dan sahabat mereka.”


Pandika menerima dengan tangan gemetar, matanya berbinar penuh syukur. “Aku hanyalah pengembara biasa,” jawabnya rendah hati. “Namun aku berjanji menjaga kepercayaan ini dengan segenap hidupku.”


Sementara itu, Dyah Ratnasari segera disambut oleh utusan kerajaan. Seorang prajurit berpakaian kebesaran menunduk hormat. “Paduka Dyah, keluarga istana telah menantikan kedatanganmu. Mari, kami akan mengantarkanmu.” Ratnasari tersenyum, wajahnya bercahaya di tengah keramaian, dan mengikuti rombongan menuju keraton agung.


Adapun Pandika, yang baru saja hendak berpamitan, tiba-tiba dicegat oleh seorang abdi dalem yang berwajah bijak. “Wahai pemuda,” katanya, “Sri Baginda ingin engkau datang menghadap. Ada perkara besar yang mungkin bersangkut dengan perjalananmu.”


Si Maung, yang sejak tadi berbaring malas di pundak Pandika, berdesis pelan, “Lihatlah, Pandika. Takdir mulai membuka pintunya. Mungkin jawaban atas pencarianmu akan kau temukan di dalam tembok merah itu.”


Dengan hati berdebar, Pandika melangkah menyusuri jalan batu menuju gerbang keraton Trowulan. Bayangan gapura raksasa dan atap bertingkat yang menjulang menandai awal dari perjumpaannya dengan rahasia yang telah lama dicari: kisah tentang ksatria agung, Prabu Galang Siwah, yang hilang tanpa jejak.

---


Di bawah langit senja yang mulai berjelaga emas, Pandika menapaki tangga batu menuju balairung agung istana Majapahit. Gerbang raksasa berlapis bata merah berdiri bagaikan penjaga abadi, sementara di kedua sisi, obor tembaga menyala, menyiramkan cahaya keemasan pada dinding yang dihias relief kisah para dewa dan raja. Di dalamnya, pilar-pilar tinggi dari kayu jati hitam menopang atap menjulang, seolah langit sendiri tunduk di bawah kemegahan Majapahit.


Dyah Ratnasari berjalan di depan, langkahnya mantap namun lembut, hingga mereka tiba di hadapan seorang pria tegap berusia matang yang duduk di singgasana rendah berukir emas. Ia mengenakan busana kebesaran merah marun, mahkota sederhana namun bercahaya bagaikan fajar. Sorot matanya tajam, namun dalamnya menyimpan kebijaksanaan laut yang tak bertepi.


“Selamat datang, Putriku Ratnasari,” ucapnya, suaranya bergema di ruangan. “Dan engkau, pemuda pengembara… engkau pasti Pandika, yang namanya telah kudengar dari para pengawal pelabuhan dan pedagang yang datang bersama kalian.”


Pandika menundukkan kepala dengan hormat, menempatkan tangan di dada. “Ampun, Paduka. Hamba hanyalah seorang rakyat jelata, calon ksatria dari kerajaan yang tiada termasyhur. Kehormatan untuk berdiri di hadapan Sri Baginda melebihi layak bagi diri hamba.”


Raja—ayah Ratnasari—tersenyum tipis, lalu memberi isyarat. Para pelayan datang membawa dulang perak berisi buah, daging panggang, dan minuman rempah harum. “Namun engkau telah menempuh perjalanan jauh, menjaga para saudagar kami dari bahaya. Di hadapan Majapahit, keberanian dan kejujuran lebih berharga dari garis darah. Maka duduklah, makanlah, seperti ksatria yang pantas dihormati.”


Pandika, dengan hati yang berdebar, menuruti undangan itu. Si Maung melompat ringan ke sisi kakinya, dan seorang pelayan bahkan membawa semangkuk ikan bakar untuk sang kucing mistis, menimbulkan senyum di bibir Dyah Ratnasari.


Setelah beberapa saat, sang raja mencondongkan tubuhnya. “Anakku menyebut bahwa engkau mencari seorang ksatria besar, Prabu Galang Siwah. Katakan, bagaimana engkau mengenalnya?”


Pandika menegakkan tubuh, menatap hormat. “Paduka, hamba sendiri belum pernah melihat sosoknya. Namun, di perjalanan, seorang dari bangsa peri menitip salam, pesan rindu, dan harapan agar bila hamba bertemu dengannya di bumi fana, pesan itu disampaikan. Itulah sebabnya hamba menelusuri jejaknya.”


Raja mengerutkan dahi, matanya berkilat bagai baja yang mengingat masa lampau. “Prabu Galang Siwah,” gumamnya perlahan, “adalah ksatria yang dahulu memimpin bala Majapahit dalam banyak perang, sebelum lenyap tanpa jejak di rimba selatan. Tak banyak yang berani menyebut namanya lagi… dan engkau datang membawa pesan dari dunia lain. Sungguh takdir yang aneh, namun mungkin bukan tanpa arti.”


Ia menatap Pandika lekat-lekat, seolah ingin menimbang ruh di balik mata pemuda desa itu. Lalu senyum lembut terbit di wajahnya. “Baiklah. Majapahit tidak akan menghalangi langkahmu. Lanjutkan pencarianmu. Mungkin jalan yang kautempuh adalah jalan para dewa sendiri.”


Raja menoleh kepada seorang abdi dalem. “Bawakan padanya tanda jalan. Sampaikan pula, bila ia menghendaki, Majapahit menyimpan banyak tugas dan misi bagi mereka yang berani. Di alun-alun kerajaan, papan pengumuman menanti para ksatria dan pengembara: dari yang mudah hingga yang paling sukar. Setiap misi membawa ganjaran setimpal—emas, tanah, bahkan kehormatan di hadapan tahta.”


Pandika menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Paduka. Hamba akan mempertimbangkan tawaran itu, dan semoga budi baik Majapahit akan selalu terjaga dalam ingatan hamba.”


Raja mengangkat tangannya, memberi salam restu. “Pergilah, Pandika. Semoga angin dan para leluhur menuntun langkahmu. Barangkali di papan pengumuman itu, takdir yang kau cari telah menunggumu.”

---


Pagi merekah di atas kota Trowulan bagaikan lembar emas yang terbentang. Burung-burung jalak menari di udara, dan dari kejauhan, atap-atap bata merah istana memantulkan cahaya mentari muda. Pandika melangkah keluar dari penginapan istana yang harum kayu cendana, Si Maung setia berjalan di sisi, sementara Dyah Ratnasari memilih tetap tinggal sejenak bersama dayang-dayang istana.


Alun-alun Majapahit telah penuh sesak. Pedagang kain dari timur menata gulungan sutra, para pandai besi memamerkan pedang dan tombak, dan musik gamelan mengalun lirih di antara kerumunan. Di sisi utara, papan pengumuman besar terbuat dari kayu jati berdiri megah, dipaku dengan gulungan-gulungan lontar yang ditulis rapi, setiap gulungan memuat tanda dan stempel resmi kerajaan.


Pandika mendekat, matanya menyapu deretan misi yang terpampang:


Mencari Binatang Peliharaan yang Hilang — Hadiah: 5 keping tembaga. Seorang anak bangsawan kehilangan burung perkutut kesayangan di taman belakang istana.


Membantu Berjualan di Pasar Sore — Hadiah: 5 keping tembaga. Seorang janda pedagang memerlukan tangan tambahan untuk mengangkut dan menimbang rempah.


Mencari Orang Hilang di Lereng Merbabu — Hadiah: sekarung beras dan berkat keluarga. Seorang petani dari lereng utara memohon bantuan menemukan putra lelakinya yang hilang di hutan gunung.



Pandika terdiam, pandangannya tertarik pada gulungan ketiga. Kata-kata itu, meski sederhana, menyalakan getaran halus dalam jiwanya—panggilan tugas yang lebih besar dari sekadar upah.


Ia mencabut gulungan itu dengan hati-hati, kemudian menoleh pada Si Maung. “Kau mendengar, sahabat? Anak yang hilang di rimba Merbabu… itu bukan sekadar kerja mencari kepingan tembaga. Ada sesuatu yang lebih di baliknya.”


Si Maung hanya mengeong rendah, matanya menyala bagai bara, seolah memahami.


Tak lama, seorang lelaki paruh baya mendekat. Pakaiannya dari kain lusuh, wajahnya menua sebelum waktunya. “Tuan muda… apakah engkau yang mengambil gulungan itu?” suaranya parau, mata penuh harap.


“Aku yang mengambilnya,” jawab Pandika dengan anggukan hormat. “Namaku Pandika. Apakah engkau ayah dari anak yang hilang itu?”


Lelaki itu menunduk dalam-dalam, seolah memberi hormat pada ksatria sejati. “Benar, Tuan. Aku Jayanata, petani padi dari kaki gunung Merbabu. Putraku, Arga, hilang dua malam lalu. Ia kerap bermain di rimba di kaki gunung, namun kali ini tak kembali. Aku mencari ke segala penjuru, namun hutan itu lebat dan sunyi, seolah menelan jejaknya.”


Pandika menatapnya dengan mata yang menegaskan tekad. “Jangan gentar, Pak Jayanata. Aku akan menelusuri hutan itu. Jika anakmu masih berada di sana, aku akan menemukannya.”


Wajah lelaki itu bergetar antara syukur dan air mata. “Majapahit memberkatimu, Tuan. Jika engkau berhasil, sekarung beras dan doa keluarga kami akan menjadi milikmu, namun lebih dari itu, kau akan menyelamatkan nyawa darah dagingku.”


Pandika menepuk bahu petani itu, merasakan beban misi mulai menyatu dengan jalannya sendiri. “Beras dan upah bukan yang kucari, Pak Jayanata. Kehidupan seorang anak jauh lebih berharga dari harta mana pun.”


Langit Trowulan kini semakin biru, dan dari kejauhan puncak Merbabu tampak bagai bayangan raksasa yang diselimuti awan tipis—tempat misteri dan bahaya menunggu. Si Maung mendesis pelan, seakan mengingatkan bahwa rimba kuno tak hanya menyimpan pepohonan, tetapi juga rahasia yang mungkin tak semua manusia diizinkan untuk mengetahui.


---


Senja merangkak turun di langit Trowulan, ketika Pandika berdiri di tepi hutan yang mengarah ke lereng Merbabu. Kabut tipis turun dari puncak, seperti jubah dewa yang menutupi gunung purba itu. Di sisinya, Si Maung menatap penuh arti; cahaya bulan muda memantul di matanya yang keemasan.


“Apakah kau siap, sahabat?” bisik Pandika.


Tanpa jawaban, tubuh Si Maung mulai memanjang, bulu harimau berkilau bagai bara sebelum berubah perlahan. Otot-ototnya menggembung, cakarnya mengeras, dan dalam sekejap ia menjelma menjadi serigala raksasa, setinggi pundak seorang pria. Napasnya bagai hembusan badai malam.


Pandika melompat ke punggungnya. “Tunjukkan jalan, ingatlah bau anak itu.”


Si Maung mengendus sejenak, lalu melesat bagai anak panah. Hutan bergeser menjadi bayangan—pohon-pohon jati dan mahoni seperti tiang-tiang katedral kuno, daunnya bergetar oleh kecepatan lari sang serigala.


Tak lama, mereka tiba di sebuah celah lembah, di mana aroma manusia dan besi menyengat udara. Di bawah naungan akar beringin yang menjuntai, tampak sangkar-sangkar kayu kasar. Di dalamnya, anak-anak meringkuk, mata mereka lebar oleh ketakutan. Di antara mereka, Pandika mengenali kain lusuh milik putra petani yang hilang.


Namun bukan hanya itu—anak-anak lain, mungkin enam atau tujuh jiwa, terperangkap bersama.


Dari balik kegelapan, terdengar suara langkah berat dan bisikan doa terbalik: para penculik, para pemuja ilmu hitam. Wajah mereka terlukis jelaga, dan lambang bulan terbalik tertoreh di lengan. Mereka berkumpul mengelilingi api, merapal mantera yang menggetarkan tanah, menyiapkan anak-anak itu menjadi prajurit kegelapan.


Pandika merasakan darahnya mendidih. Ia menunggu hingga malam matang dan kabut tebal turun seperti tirai. Ketika seluruh perkemahan tertidur, ia bergerak secepat bayangan. Kunci sangkar dipatahkan satu per satu tanpa suara, dan anak-anak dibangunkan dengan sentuhan lembut.


“Jangan takut,” bisik Pandika, suaranya bagai bisikan angin malam. “Kalian akan pulang. Pegang erat, dan percayalah pada hewan yang kalian lihat.”


Si Maung menunduk, tubuhnya kini membesar lagi, bulu serigala berkilat perak. Anak-anak, meski gemetar, menaiki punggungnya. Air mata mereka jatuh, bercampur antara ketakutan dan rasa syukur.


“Berpeganglah erat. Kalian sudah selamat,” ujar Pandika.


Dengan langkah yang nyaris tak terdengar, Si Maung melesat ke dalam kabut, membawa anak-anak itu jauh dari sarang gelap itu.


Begitu mereka hilang di balik pepohonan, Pandika mengenakan zirah perak dan tamengnya. Api kemarahan menyala di matanya. Ia kembali ke perkemahan para penculik.


Ia tidak datang seperti bayangan—ia datang seperti badai. Pedangnya berkelebat, menghantam tiang-tiang kayu, meruntuhkan sangkar-sangkar, menyalakan kepanikan. Para penculik terbangun, bingung, mata mereka mencari musuh di tengah kabut pekat.


“Tunjukkan dirimu!” teriak salah satu dari mereka.


Yang mereka dapatkan hanyalah bunyi angin—lalu dentum keras. Sebuah batu, dilempar Pandika, menghantam kepala pemimpin mereka. Darah memercik, dan lelaki itu terjatuh pingsan. Yang lain berteriak, namun tak melihat musuh, hanya kabut yang seakan hidup.


Satu per satu mereka dilumpuhkan, tangan mereka diikat dengan rotan, tak sempat mengangkat senjata.


Menjelang fajar, Pandika berdiri di tengah puing perkemahan, napasnya mantap. Di kakinya, para penculik yang sesat terbaring tak berdaya. Tanpa sepatah kata, ia mengangkat pemimpin mereka ke punggung kuda yang ia temukan, sementara yang lain diseret dengan tali.


Ketika matahari pertama menembus puncak Merbabu, Pandika menuntun tawanan-tawanan itu keluar hutan, menuju kota Trowulan—ke pengadilan raja dan hukum yang akan menanti mereka.


Di kejauhan, dari balik kabut yang memudar, samar terdengar suara anak-anak yang telah diselamatkan, kini jauh di rumah mereka masing-masing. Tangis bahagia dan doa mereka mengejar Pandika, bagai anugerah yang lebih berharga daripada emas atau gelar apa pun.



---



Tidak ada komentar: