12/08/25

season 2 kisah pandika dari kerajaan cakram

---

Misi Ketiga: Menuju Mata Air Terlarang

Di bawah rindang pohon raksasa yang akar-akarnya menjalar bagaikan urat bumi, Pandika berbaring bersandar, membiarkan lelah merayapi raganya. Embusan angin malam membawa aroma tanah lembap, sementara cahaya rembulan menyusup di antara celah dedaunan, menorehkan kilau pucat di wajahnya yang letih.

Namun ketenangan itu terputus ketika suara dalam, sedikit serak namun tegas, memanggil dari samping.
"Sudah cukup kau terlelap, Pandika. Waktumu di sini terlalu lama. Bangun, kita harus pergi," ujar Si Maung, matanya berkilat seperti bara di kegelapan.

Pandika mengerang pelan, lalu duduk dengan wajah menahan nyeri.
"Aduh… badanku sakit semua," keluhnya sambil menatap lengan yang tergores dalam. Dari luka itu, cairan keruh merembes perlahan.
"Luka ini… mengeluarkan nanah. Sepertinya cakarnya mengandung racun."

Si Maung mendengus pendek, lalu menatap jauh ke utara.
"Jika begitu, kita tak punya banyak waktu. Aku akan membawamu ke Gunung Rinjani. Di sana, di puncak yang diselimuti awan abadi, mengalir air suci bangsa peri. Hanya air itulah yang mampu menawar racun ini."

Pandika menatapnya, kebingungan bercampur keraguan.
"Aku bahkan tak tahu di mana letaknya. Aku belum pernah ke sana."

Sekilas senyum nakal terlukis di wajah Si Maung.
"Kau bisa naik ke pundakku."

Pandika terbahak, meski nyerinya membuat tawa itu terpotong.
"Kau bercanda? Tubuhmu sekecil itu mau kutunggangi? Nanti kau remuk."

"Pokoknya naik saja," balas Si Maung, matanya menyipit seolah tak mau dibantah. "Kau ini bawel sekali."

Menghela napas, Pandika pun mencoba menuruti kemauan sahabatnya itu. Ia berdiri dengan langkah berat, lalu dengan gaya jenaka seperti hendak menaiki seekor kuda, ia mengangkat kaki. Namun sebelum ia sempat menapak, tubuh Si Maung bergetar—bulunya berdiri, matanya menyala seperti purnama, dan cahaya perak menyelubungi seluruh sosoknya.

Dalam sekejap, sang kucing mungil itu menjelma menjadi seekor serigala raksasa—bahunya setinggi dada Pandika, taringnya bagaikan bilah gading, dan bulunya berkilau seakan ditempa dari cahaya fajar.

Si Maung menundukkan tubuhnya.
"Naiklah, Pandika. Malam ini, kita akan menembus hutan purba menuju tanah terlarang."


---


---

Perjalanan ke Segara Anak

Bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busur dewa, Si Maung melesat menembus hutan pinus dan jati. Nafasnya berembus seperti kabut tipis di pagi buta, sementara tapak kakinya nyaris tak meninggalkan jejak. Sesekali, tubuhnya lenyap ke dalam bayangan, seolah ia tak lebih dari hembusan angin yang berlari di antara batang-batang pohon. Ada kalanya ia melompat ke cabang-cabang raksasa, berlari di atasnya seperti seekor roh penjaga hutan.

Pandika, yang bertengger di punggung sang makhluk, berpegangan erat pada bulu lehernya yang tebal. Kecepatan lari Si Maung membuat dunia di sekeliling mereka menjadi garis-garis kabur — hutan, sungai, bahkan laut pun mereka seberangi, sebab kaki Si Maung mampu berlari di atas permukaan air seperti menjejak kaca yang tenang.

Saat mereka mencapai bukit berpasir, langkah Si Maung melambat. “Sebentar lagi,” ujarnya, suaranya berat namun lembut, “kita akan tiba di Danau Segara Anak.”

“Apakah itu tempat mata air suci yang dijaga bangsa peri?” tanya Pandika, matanya menatap puncak gunung yang diselimuti awan.

“Iya, bisa dibilang seperti itu,” jawab Si Maung singkat.

Namun, keheningan yang menyelimuti tempat itu membuat Pandika heran. “Di manakah para peri? Mengapa sepi sekali di sini?”

“Lebih baik kau istirahat. Tidurlah… perjalananmu panjang,” kata Si Maung.

Kelelahan menguasai Pandika. Ia merebahkan diri di tepi danau, di mana air memantulkan cahaya bulan laksana cermin perak. Mimpi pun datang — ia bermain lompat tali bersama bidadari yang tertawa lembut di bawah cahaya bintang.

Namun, kabut mulai turun dari hutan, menyelimuti tepian air. Dari dalam kabut itu, muncul rombongan peri. Mereka cantik dan anggun, tetapi di mata mereka berkilat sesuatu yang dingin. Laksmiranindya Kirana, sang peri berambut seputih embun, mendekat sambil membawa tali emas. Dengan gerakan halus namun tegas, ia mengikat tubuh Pandika yang tertidur lelap.

Peri Wulanratih Sekarwangi menatap Si Maung dengan senyum penuh rahasia. “Terima kasih, wahai pembawa persembahan. Usahamu tidak sia-sia.”

Cempakalirna Dewimaya menjilat bibirnya. “Aku sudah tak sabar mencicipi daging darah bangsawan ini.”

Namun Nirwasitasari Kalacandra mengangkat tangannya. “Tunggu. Ia terluka… cakar racun telah mengenainya. Biarkan kita mengobatinya. Setelah ia gemuk, barulah kita santap.”

Si Maung menunduk. “Dia bukan bangsawan, tapi calon ksatria dari Kerajaan Cakram.”

Kalyana Mahindrawari mengernyit, suaranya tajam seperti ujung tombak. “Calon ksatria? Dari kerajaan tak ternama? Aku mengira kau membawa anak raja, atau setidaknya bangsawan. Ini—hanya seorang petani!”

Pertengkaran mereka memecah keheningan hutan, hingga Pandika terbangun. Namun tubuhnya tak mampu bergerak; tali emas peri telah membelenggunya.


---

Di Antara Peri dan Bayangan Mimpi

Pandika terjaga, namun pikirannya terombang-ambing antara sadar dan mimpi. Dunia di sekelilingnya bagaikan lukisan hidup — kabut perak melayang di udara, aroma bunga liar memenuhi napas, dan di hadapannya berdiri para wanita jelita bermahkota cahaya. Namun, tubuhnya terikat tali emas yang dingin, memantulkan sinar bulan.

Dengan suara yang sedikit gemetar namun penuh hormat, ia berkata,
“Mohon maaf… apakah kalian bangsa peri? Aku Pandika, hanya rakyat jelata, mengembara demi menunaikan misi sebagai calon prajurit Kerajaan Cakram.”

Kalyana Mahindrawari, peri bermata laksana batu nilam, memandangnya dengan raut bingung. “Rakyat jelata? Calon prajurit yang bahkan belum diangkat? Oh, Maung… apakah kau sekali lagi menangkap orang yang keliru?”

Sebelum Si Maung sempat menjawab, dari balik kabut muncullah seorang perempuan dengan mahkota halus seperti anyaman bintang, memegang tongkat berujung kristal biru. Matanya memancarkan kebijaksanaan yang menembus jiwa. Dialah Safiranindya Parameswara, Ratu Peri dan penjaga rahasia gunung.

Dengan suara yang lembut namun berwibawa, ia berkata,
“Lepaskan ikatan itu. Ia bukan mangsa, melainkan seorang pengembara yang tersesat.”

Tali emas pun longgar, jatuh ke tanah seperti ular berkilau. Pandika segera bersujud, menundukkan kepala hingga menyentuh tanah berlumut.
“Hamba berterima kasih, Ratu yang mulia. Aku datang mencari air suci untuk mengobati tanganku… racun dari cakar monster telah meresap ke dalam darahku.”

Safiranindya menatapnya lama, seakan membaca riwayat hidupnya dari sorot mata. Kemudian ia memberi perintah pada para peri pengikutnya,
“Bawalah ia ke mata air yang tersembunyi di jantung hutan. Biarkan air mancur ajaib itu membersihkan lukanya, agar ia dapat melanjutkan perjalanannya.”

Namun bisik-bisik segera pecah di antara para peri. Beberapa memperdebatkan di mana Pandika akan beristirahat, sebab jarang sekali lelaki diizinkan tinggal di wilayah mereka.

Ratu Safiranindya mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan itu.
“Ia akan beristirahat di rumahku. Dan lebih dari itu…” ia menatap Pandika dengan tatapan yang dalam dan misterius, “…ia akan menjadi penabur benih masa depan bangsaku.”

Tak seorang pun berani membantah. Udara terasa lebih berat, dan Pandika menyadari bahwa tak semua keputusan para peri adalah anugerah — sebagian adalah takdir yang sulit dielakkan.

---

Malam di Istana Kabut

Sore merayap turun ke lembah, menumpahkan warna emas dan ungu di permukaan Danau Segara Anak. Kabut tipis mulai berkumpul di permukaan air, seperti roh-roh kuno yang bangkit dari tidur panjangnya. Dari kejauhan, Pandika melihat bayangan sebuah istana yang tak dibangun dari batu, melainkan dari cahaya dan kabut yang menari. Pilar-pilarnya terbuat dari pohon hidup berbalut lumut perak, sementara atapnya menjulang seperti sayap kupu-kupu raksasa yang membeku di udara.

Safiranindya Parameswara memimpin langkah, gaunnya menyapu tanah tanpa suara, meninggalkan jejak aroma melati liar. Si Maung berjalan di belakang Pandika, seolah memastikan ia tidak lari—atau mungkin memastikan ia tidak hilang.

Ketika Pandika melangkah ke dalam istana, udara berubah: hangat, harum, namun berat seperti di dalam mimpi. Lantai berkilau bagaikan air, dan di atasnya mengambang bunga-bunga bercahaya yang tak pernah layu.

Para peri berbaris di sisi lorong, memandangi Pandika dengan tatapan bercampur ingin tahu dan waspada. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, seakan kata-kata tak layak diucapkan di hadapan tamu yang akan menjadi bagian dari takdir bangsanya.

Ratu membawanya ke sebuah ruangan bundar di puncak menara. Dari jendela terbuka, bulan purnama tampak begitu dekat, seolah ia hanya perlu mengulurkan tangan untuk meraihnya. Di tengah ruangan berdiri sebuah ranjang yang terbuat dari anyaman daun berlapis sutra tipis, memantulkan cahaya perak bulan.

“Di sinilah engkau akan beristirahat malam ini,” ujar sang Ratu, suaranya lembut namun membawa sesuatu yang tidak dapat Pandika tolak.
Pandika mencoba berbicara, namun kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ada perasaan aneh—antara kehormatan, rasa takut, dan sebuah kesadaran bahwa ia kini berada di luar kendali nasibnya sendiri.

Safiranindya mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh perban di tangan Pandika.
“Air suci akan menyembuhkanmu… namun darahmu akan menyembuhkan sesuatu yang lebih besar di bangsaku.”
Mata Pandika menatap matanya, mencari jawaban, namun yang ia temukan hanyalah kedalaman tak terukur—seperti langit malam tanpa bintang.

Di luar, angin pegunungan membawa suara nyanyian lembut para peri, lagu kuno yang berbicara tentang pengorbanan dan kelahiran kembali. Pandika menyadari bahwa malam itu tidak hanya akan menguji tubuhnya… tetapi juga jiwanya.


---
---

Ritual di Mata Air Bintang

Fajar belum tiba ketika Pandika terbangun. Udara di kamarnya dipenuhi aroma segar dedaunan basah dan wangi bunga yang tidak pernah ia kenal. Safiranindya Parameswara berdiri di ambang pintu, jubahnya berkilau oleh cahaya bintang yang terakhir sebelum fajar.

“Sudah saatnya,” katanya singkat.

Pandika mengikuti sang Ratu menuruni lorong-lorong istana kabut. Tidak ada suara langkah, hanya gema napas mereka di udara dingin. Mereka keluar melalui gerbang belakang, menuju sebuah jalur batu yang diapit pepohonan tinggi. Di antara daun-daun gelap, kunang-kunang hijau berkumpul, membentuk lingkaran cahaya yang memandu jalan.

Akhirnya mereka tiba di sebuah gua terbuka. Di dalamnya, sebuah kolam kecil memantulkan cahaya langit yang penuh bintang—padahal mereka berada di bawah tanah. Airnya berkilau seperti cairan perak, dan di tengahnya mengalir sebuah mata air kecil, bening dan murni.

“Inilah Mata Air Bintang,” ujar sang Ratu, suaranya bergetar dengan hormat. “Satu tetesnya dapat menyembuhkan racun terburuk. Namun, agar air ini mau menerima perintah, ia harus mengenal jiwamu.”

Para peri muncul dari bayangan, masing-masing membawa kendi kristal. Mereka mulai melantunkan nyanyian kuno, suara mereka bergema lembut di langit-langit gua seperti doa yang telah diucapkan ribuan kali.

Safiranindya menatap Pandika, matanya setajam cahaya bulan. “Berdirilah di tengah kolam. Biarkan air menyentuh lukamu.”

Pandika melangkah masuk. Airnya sedingin es, namun entah mengapa terasa menenangkan. Saat air menyentuh tangannya yang bernanah, cahaya biru lembut mulai menyebar, menelan rasa sakit yang selama ini ia tahan.

Namun tiba-tiba, nyanyian para peri berubah nada—dari lembut menjadi berat, hampir menyerupai mantra pengikat. Air di sekeliling Pandika beriak tanpa angin. Dari dasar kolam, muncul pusaran cahaya, merayap ke atas tubuhnya.

Safiranindya mendekat ke tepi kolam. “Air ini tak hanya menyembuhkan, Pandika. Ia akan menandai dirimu—agar darahmu dan takdirmu menjadi bagian dari bangsa kami.”

Pandika mencoba bergerak, namun tubuhnya berat, seakan air itu sendiri menahannya. Dari pusaran, muncul bayangan wajah-wajah peri kuno, memandangnya dengan tatapan yang mengukur nilai jiwanya.

Dalam hati, Pandika bertanya-tanya… apakah ini benar-benar penyembuhan—atau awal dari ikatan yang tidak akan pernah bisa ia lepaskan?

---

Tanda dari Mata Air Bintang

Pusaran cahaya itu semakin kuat, membungkus Pandika seperti jubah hidup. Air yang semula dingin kini menghangat, seolah darah bumi sendiri mengalir di sekelilingnya. Dari kejauhan, dentang lonceng perak terdengar—padahal tak ada satu pun lonceng di gua itu.

Safiranindya mengangkat tongkatnya, ujungnya memancarkan cahaya putih keperakan. “Wahai Mata Air yang lahir sebelum cahaya pertama, kenalilah dia. Tautkan nadinya pada nadimu, agar langkahnya menyusuri jejak para penjelajah abadi.”

Air mendidih tanpa panas, lalu tiba-tiba merayap naik seperti tangan tak kasat mata, menempel di dada Pandika. Rasa hangat itu berubah menjadi nyeri yang menusuk. Pandika ingin berteriak, namun suaranya tenggelam di dalam gema mantra para peri.

Di balik kelopak matanya yang terpejam, gelap berubah menjadi hamparan cahaya. Pandika melihat dirinya berdiri di padang luas di bawah langit merah darah. Di kejauhan, sebuah kota berkubah emas terbakar, dan seekor naga raksasa berputar-putar di udara, sayapnya menutupi matahari.

Lalu, sosok-sosok muncul dari kabut—wajah-wajah yang belum pernah ia kenal namun terasa akrab: seorang perempuan berpedang dengan mata seperti malam tanpa bintang, seorang anak kecil memegang obor yang tak padam meski diterpa badai, dan di tengah mereka… dirinya sendiri, mengenakan zirah perak dengan lambang yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Namun bayangan itu retak seperti kaca, dan dari celahnya mengalir darah, bercampur dengan bisikan: “Takdirmu bukan milikmu seorang. Ia akan menuntut harga yang tak ingin kau bayar.”

Tiba-tiba cahaya sirna. Pandika terhuyung, namun Safiranindya menahannya dengan satu sentuhan di bahu. Di tempat nyerinya tadi, kini terukir sebuah tanda bercahaya: lingkaran dengan bintang bersudut tujuh di tengahnya.

“Itu adalah Tanda Perjanjian,” kata sang Ratu pelan. “Mulai hari ini, engkau bukan lagi hanya anak manusia. Air telah mengenalimu, dan kau tak akan pernah bisa mengingkarinya.”

Pandika menatap tanda itu, antara takjub dan takut. Ia merasakan kekuatan baru berdenyut di nadinya… namun di baliknya, ada sesuatu yang berat, seperti pintu besar yang baru saja terbuka—dan tidak akan pernah tertutup lagi.



Perpisahan dari Lembah Peri

Hari-hari di lembah bangsa peri mengalir bagaikan arus bening yang tak berbunyi. Pandika hampir lupa akan dentang waktu di luar sana; hutan yang melindungi negeri ini seperti menahan nafas dunia luar. Namun di lubuk hatinya, ia tahu—misinya belum usai.

Maka ia pun menghadap Sang Ratu Safiranindya untuk memohon izin berangkat. Namun sebelum ia sempat mengucapkan salam perpisahan, sang Ratu menatapnya dengan mata yang memantulkan cahaya bintang, lalu bersuara lembut namun sarat beban masa silam.

“Pandika,” ucapnya, “dahulu, sebelum kakimu menginjak tanah ini, pernah datang seorang ksatria agung. Namanya Prabu Galang Siwah, penguasa seni tempur yang tiada tanding, dan pengendali magis setara para bijak tertua. Di setiap pertempuran, ia selalu berada di garda terdepan; banyak musuhnya yang gugur di ujung pedang dan sorot matanya. Namun pada akhirnya, rasa lelah merayapi jiwanya, dan ia memilih menetap di sini, jauh dari bau darah dan pekik perang.”

Ratu menghela nafas panjang, seakan ingatan itu menorehkan luka yang belum sembuh.
“Namun tak lama, datanglah seorang bangsawan dari kerajaan yang tak dikenal. Entah apa yang dibisikkan padanya, Prabu Galang pergi tanpa sepatah kata, lenyap dari mata kami… dan hingga kini, ia tak pernah kembali. Jika engkau menemuinya di luar sana, sampaikanlah pesan ini—bahwa aku masih menunggu.”

Pandika menunduk, hormat pada kisah itu. “Ampun, Paduka Ratu, hamba tak dapat tinggal lebih lama. Misi hamba memanggil, dan jalan yang telah kupilih harus kutempuh hingga akhir.”

Sang Ratu bangkit dari singgasananya. Dari peti perak berukir daun telinga rusa, ia mengeluarkan sebilah pedang. Bilahnya berkilau bagai cahaya bulan di puncak salju, dan pada gagangnya terukir huruf-huruf kuno bangsa peri.

“Terimalah Linduparama,” kata Safiranindya, “pusaka dari leluhur kami, yang pernah menempa senjata para pahlawan di zaman purba. Semoga bilah ini menjadi perisai dan penuntunmu, hingga kau dapat kembali dengan selamat.”

Dengan penuh hormat, Pandika menerima pedang itu, merasakan getaran halus mengalir dari gagangnya ke nadinya.

Di bawah naungan pepohonan raksasa, Si Maung telah menanti. Ia akan menjadi penuntun Pandika keluar dari negeri yang tersembunyi ini, kembali ke jalan panjang yang penuh bayang-bayang dan misteri.

Maka, dengan satu salam terakhir, Pandika meninggalkan lembah peri—membawa pedang yang berkilau, pesan seorang ratu, dan takdir yang kini semakin berat di pundaknya.


Jalan Keluar dari Lembah yang Terlindung

Kabut pagi masih bergelayut di pucuk pohon ketika Pandika menoleh terakhir kalinya ke arah lembah bangsa peri. Dari kejauhan, ia melihat bayangan Sang Ratu Safiranindya berdiri di ambang gerbang kristal, jubahnya berkibar perlahan bagai sayap angin. Di sampingnya, peri-peri pengawal berdiri diam seperti patung giok, sementara sinar matahari pertama menyinari menara-menara berukir batu zamrud.

Si Maung—kini dalam wujud serigala besar dengan bulu hitam berkilat—menundukkan kepala, memberi isyarat agar Pandika naik ke punggungnya. Tanpa suara, mereka bergerak menembus jalan setapak yang membelah hutan purba.

Pohon-pohon di sini jauh lebih tua dari segala yang pernah Pandika lihat; batangnya lebar, kulitnya berlapis lumut keperakan, dan dari cabang-cabangnya menggantung akar-akar bercahaya bagai benang bintang. Udara terasa berat, seolah mengandung bisik-bisik dari zaman sebelum manusia pertama dilahirkan.

Namun perjalanan keluar tidaklah mudah. Jalan itu dijaga oleh Gerbang Cahaya, sebuah pusaran cahaya keemasan yang hanya akan terbuka bagi mereka yang diizinkan para penjaga hutan. Dari kegelapan pepohonan, muncullah sosok-sosok tinggi berjubah hijau tua, wajahnya tertutup topeng daun. Suara mereka terdengar seperti hembusan angin di dedaunan.

> “Kau membawa pedang leluhur kami,” kata salah satu penjaga, matanya memancarkan cahaya samar. “Maka kau akan diizinkan lewat… namun ingatlah, dunia di luar sini tidak mengenal belas kasihan seperti yang kau temui di lembah ini.”



Gerbang Cahaya bergetar, memekarkan lingkaran cahaya yang menelan kabut dan bayang-bayang. Begitu mereka melangkah masuk, Pandika merasakan hembusan udara dingin dan berat di dadanya—tanda bahwa mereka telah meninggalkan perlindungan magis bangsa peri.

Di luar, dunia tampak asing dan kelam. Lautan hutan berganti menjadi tebing curam, dan di bawah sana terbentang lembah berbatu yang dikuasai bayangan mendung. Dari kejauhan, Pandika dapat melihat kilatan petir yang membelah langit—sebuah pertanda bahwa badai besar sedang menunggu di arah perjalanan mereka.

Si Maung menoleh sekilas. “Kita sudah keluar… tapi ingat, ini baru permulaan.”

Maka mereka pun melanjutkan langkah, meninggalkan cahaya lembah peri, menuju dunia yang kini terasa jauh lebih sunyi—namun penuh dengan janji petualangan yang belum terungkap.


---
---

Di Kedai Pawon Adirenggo

Di jantung Kerajaan Apsari—sebuah negeri yang makmur oleh rempah-rempah dan hasil bumi—terdapat sebuah desa kecil bernama Salak. Di desa itu, para petani dan pedagang hidup dalam kesejahteraan, terutama setelah musim panen tiba. Udara sore hari dipenuhi aroma cengkeh, pala, dan kayu manis yang terbawa angin dari gudang-gudang penyimpanan.

Di tepi jalan desa berdirilah sebuah kedai makan sederhana namun masyhur: Pawon Adirenggo Nyi Saras. Atap ilalangnya menjulang, dan dari tungku tanah liat mengepul asap wangi yang menggoda siapa pun yang lewat. Kedai itu hari ini dipenuhi pengunjung; bangku-bangku kayu penuh oleh para petani yang baru saja menjual hasil panennya, kantung-kantung koin tembaga bergemerincing di pinggang mereka.

Nyi Saras sendiri, seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah, berkeliling sambil mengantar pesanan. Tangannya cekatan, membawakan piring-piring berisi lalapan hijau segar, urap berbumbu kelapa, jukut sayuran hangat, serta ikan dan ayam bakar yang masih berasap, dipadu dengan minuman tuak manis dan es dawet yang dingin menyegarkan.

Di salah satu meja, duduklah seorang tamu asing. Pakaian perjalanannya usang oleh debu jalan, namun di pinggangnya tergantung sebuah pedang indah yang berkilau redup, seolah menyimpan kisah lama dari jauh. Di samping kakinya meringkuk seekor kucing hitam gemuk dengan mata kuning menyala—terlihat jinak, namun penuh rahasia. Di hadapannya tersaji hidangan semeja penuh, dan ia makan dengan tenang, seakan perjalanan panjangnya belum cukup untuk meredakan lapar.

Tak jauh dari situ, pintu kedai berderit terbuka. Masuklah seorang wanita muda berparas ayu, wajahnya tersembunyi di balik cadar tipis dan topi lebar. Di sampingnya berjalan seorang pendekar tegap, sorot matanya tajam, geraknya ringan namun menyiratkan kekuatan seorang ahli kanuragan. Mereka mengambil tempat di kursi dekat pemuda asing dan kucingnya, seolah sengaja memilih posisi itu.

Sementara itu, di sudut lain kedai, sekelompok pedagang tengah berbincang hangat. Suara mereka berbaur dengan denting gelas dan riuh para pengunjung.

> “Musim ini rempah melimpah, harga naik di pelabuhan,” ujar seorang pedagang berjanggut. “Tapi jalanan tak lagi aman. Bandit-bandit dari utara makin sering menyerang pedagang yang berjalan tanpa pengawalan.”



Seorang pedagang lain menunduk, wajahnya cemas. “Aku butuh pengawal untuk kafilahku… mungkin pemuda asing itu,” katanya, menuding halus ke arah pria dengan kucing hitam. “Lihatlah pedangnya. Bukan pedang orang biasa. Barangkali dia seorang pendekar.”

Riuh kedai perlahan mereda, seakan udara ikut memperhatikan kehadiran sang tamu misterius. Pedang di pinggangnya, kucing hitam di sisinya, dan tatapannya yang dalam membuat para pengunjung bertanya-tanya: siapakah sebenarnya orang itu, dan apa maksud kedatangannya di negeri yang damai ini?


---

Pertemuan di Kedai Pawon Adirenggo

Suasana kedai semakin padat, suara obrolan dan dentingan mangkuk berpadu dengan aroma rempah yang memenuhi udara. Pandika duduk tenang, menepuk lembut kepala Si Maung yang asyik menjilati kakinya di bawah meja. Pandika makan dengan sederhana, meski hidangan di hadapannya melimpah; ia tampak lebih seperti seorang pengembara yang bersyukur atas sesuap nasi ketimbang bangsawan yang memamerkan kelimpahan.

Beberapa pedagang yang duduk di sudut akhirnya bangkit dan menghampiri mejanya. Mereka menunduk singkat sebagai tanda hormat—bukan hormat pada gelar, sebab mereka belum mengenalnya, melainkan pada aura wibawa yang terpancar dari dirinya.

“Maafkan keberanian kami, Tuan,” ujar seorang pedagang berjanggut tebal, suaranya bergetar namun penuh harap. “Kami dengar jalanan menuju pelabuhan kerap diganggu gerombolan perampok. Kafilah kami membawa rempah dari panen musim ini, dan kami membutuhkan seorang pelindung. Pedang di pinggang Tuan menandakan bukan sembarang pengelana… apakah Tuan sudi menjadi pengawal kami?”

Pandika meletakkan cangkir tuaknya, menatap mereka dengan mata yang jernih. “Aku hanyalah seorang pengembara dari Kerajaan Cakram,” ujarnya lirih namun tegas. “Bukan ksatria ternama, bukan pula pendekar yang diagungkan. Namun bila niat kalian tulus dan jalan kalian benar, aku akan mempertimbangkannya.”

Sebelum para pedagang sempat menjawab, wanita bercadar yang tadi duduk bersama seorang pendekar tegap bangkit dari tempatnya. Gerakannya anggun, dan suara lembut namun berwibawa terdengar di seluruh kedai.

“Bukan sembarang pengembara, kulihat,” katanya, menatap Pandika dengan mata bening yang menyembul dari balik cadarnya. “Di setiap helai langkahmu tampak jejak seorang yang pernah berlatih dalam seni perang dan ketabahan. Namaku Dyah Ratnaswari, putri dari seorang ksatria Majapahit. Aku dalam perjalanan menuju tanah leluhurku, ditemani pengawal setia, Ki Wijangga.”

Pendekar tegap di sampingnya menunduk hormat.

Dyah Ratnaswari menatap Pandika lebih dalam. “Jika engkau memang benar seorang dari Cakram, maka takdir mungkin telah menuntun langkah kita untuk bertemu di sini. Jalan menuju Majapahit pun tak bebas dari bahaya. Barangkali, bila engkau bersedia, kita dapat berjalan bersama.”

Kedai hening sejenak. Semua mata tertuju pada Pandika, pemuda asing dengan kucing hitam di sisinya. Si Maung mendongak, matanya berkilau bagai bara api, seolah memahami beban pilihan yang akan diambil tuannya.

Pandika tersenyum samar. “Barangkali takdir memang menghendaki demikian,” ujarnya, seraya menggenggam gagang pedangnya. “Bila jalan kita searah, maka kita akan berjalan bersama—menjaga kafilah para pedagang, dan barangkali… menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar tujuan perjalanan.”

Suasana kedai kembali riuh, namun kini berbalut rasa takjub. Pertemuan itu, meski sederhana, terasa seperti awal dari sebuah kisah besar yang akan tercatat dalam ingatan banyak orang.
---

Perjalanan Menuju Majapahit

Pandika menerima permintaan para pedagang tanpa meminta upah, sebab dalam hatinya ia tahu—ia belum layak menyandang nama ksatria di tanah kelahirannya. Maka ia menganggap perjalanan ini sebagai jalan pembuktian dirinya. Para pedagang pun bersorak lega, sebab mereka percaya kini kafilah rempah mereka akan lebih terjaga.

Rombongan pun berangkat. Gerobak-gerobak besar berisi karung rempah ditarik oleh kerbau-kerbau yang sabar, roda-rodanya berderit menyusuri jalan berbatu. Di sisi rombongan itu, Dyah Ratnasari memilih berjalan kaki, meski kudanya dibawa oleh Ki Wijangga. Ia melangkah dengan tenang di samping Pandika, seolah ingin berbagi jalan dan nasib dengan pemuda asing itu.

Si Maung berjalan di depan mereka, sesekali mengendus tanah, sesekali melompat ke semak, seakan tahu dirinya kini bukan sekadar seekor kucing, melainkan penjaga kecil bagi perjalanan besar.

Dalam heningnya langkah, Pandika akhirnya membuka percakapan, suaranya dalam dan tenang.
“Aku sedang mencari seorang pendekar,” katanya. “Namanya Prabu Galang Siwah. Pernahkah kisanak mendengar nama itu?”

Dyah Ratnasari tersentak, matanya terbelalak di balik cadar tipisnya. “Prabu Galang Siwah…?” bisiknya, lirih namun penuh takjub. “Bagaimana engkau tahu nama itu? Dia adalah kakak dari ayahku—seorang ksatria agung Majapahit yang menghilang sejak ekspedisi ke tanah Melayu. Tak seorang pun mendengar kabarnya lagi, seakan ditelan bumi.”

Ia menatap Pandika dengan penuh selidik. “Apa hubunganmu dengannya? Apakah engkau mengenalnya?”

Pandika menggeleng perlahan. “Aku tak pernah mengenalnya. Namun aku membawa sebuah amanat… ada yang menitip pesan untuk menemukannya, bila ia masih hidup di jagat raya ini.”

Dyah Ratnasari menunduk, hatinya bergetar oleh ingatan pada kisah keluarganya yang hilang. Namun sebelum ia sempat menanggapi, Si Maung menggeram pelan, bulu-bulunya berdiri tegak.

Pandika menoleh ke arah hutan lebat di sekitar Gunung Salak. Awan tipis menggantung rendah di antara pepohonan, dan suara burung-burung mendadak sirna. Keheningan itu bukan pertanda baik.

Dyah Ratnasari menggenggam erat sarung pedangnya. “Hutan di Gunung Salak ini,” katanya dengan nada waspada, “terkenal menjadi sarang kelompok perampok. Kita harus berhati-hati.”

Ia mengangkat dagunya, sorot matanya berani. “Namun jangan takut, Pandika. Meski aku seorang perempuan, aku telah ditempa dalam seni bela diri sejak kecil. Jika bahaya menghadang, aku takkan bersembunyi.”

Pandika menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar, penuh hormat. “Keberanianmu, Ratnasari, tak kalah dengan para ksatria lelaki. Semoga benar kata-katamu, sebab aku merasa perjalanan ini baru saja membuka tabir dari ujian yang lebih berat.”

Dan seakan mengamini kata-kata Pandika, dari kejauhan terdengar sahutan samar—teriakan kasar, berpadu dengan gemerisik langkah kaki yang berat di semak belukar.
---

Perkemahan di Kabut Gunung Salak

Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan diselubungi kabut putih pekat. Pohon-pohon besar berdiri seperti bayangan raksasa yang bisu, sementara jalan di depan nyaris lenyap tertutup kabut. Roda gerobak berdecit, kerbau mendengus resah, dan tak seorang pun berani berjalan terlalu jauh dari rombongan.

Akhirnya Pandika mengangkat tangan, memberi tanda untuk berhenti. Suaranya terdengar mantap, meski udara dingin menusuk hingga ke tulang.
“Lebih bijak bila kita berkemah di sini malam ini. Kabut ini terlalu tebal, langkah kita hanya akan menjerumuskan ke bahaya.”

Para pedagang mengangguk lega meski wajah mereka pucat. Mereka segera menurunkan muatan, mengikat kerbau agar tak berkeliaran, dan mulai mendirikan tenda seadanya dari kain dan bambu yang dibawa. Bau rempah dari karung-karung yang tersimpan samar tercium, berpadu dengan aroma lembab tanah hutan.

Namun malam di hutan Gunung Salak bukan malam yang ramah. Dari kejauhan terdengar suara pekikan monyet, meraung panjang dan mendadak terputus. Menyusul kemudian lolongan nyaring—seekor harimau mengaum, membuat bulu kuduk setiap orang berdiri. Lalu hening, disusul oleh suara burung hantu yang melengking panjang, menambah mencekamnya suasana.

Si Maung, yang biasanya setia di sisi Pandika, kali ini melompat ringan ke batang pohon tinggi dan menghilang di antara cabang-cabang. Dari sana matanya yang berkilau tampak mengawasi, seakan mencari perlindungan sekaligus berjaga-jaga dari atas.

Dyah Ratnasari menoleh ke Pandika, matanya sedikit khawatir. “Hutan ini seakan hidup… penuh mata yang mengintai.”

Pandika menyalakan obor, nyalanya menembus kabut dengan cahaya kuning redup. “Hutan memang penuh roh—entah roh hewan, entah roh manusia yang tersesat di sini. Jangan khawatir. Selama kita tetap waspada, kabut hanya akan menjadi tirai, bukan maut.”

Para pedagang duduk melingkar, membuka bekal nasi dan lauk sederhana. Mereka makan dengan cepat, seakan setiap suap hanya untuk mengusir rasa takut. Tenda-tenda kecil berdiri, dan di tengah perkemahan api unggun dinyalakan. Nyala api menari-nari, membelah kabut, seakan menjadi satu-satunya pelindung di antara dunia manusia dan kegelapan hutan.

Namun, jauh di balik kabut, samar-samar terdengar bunyi lain—gemerisik ranting patah, langkah-langkah yang berat, dan bisikan rendah seperti suara manusia yang berunding di balik tirai kabut.

Pandika meraih pedangnya, menatap ke dalam pekatnya malam. “Tidurlah dengan mata terbuka,” ucapnya lirih. “Aku merasa kita tidak sendirian di sini.”

---

Pertemuan Si Maung dengan Si Belang dan Bayangan di Utara

Di ketinggian pohon, Si Maung bergerak lincah bagai bayangan malam. Tiba-tiba dari balik kabut terdengar derap langkah berat, dan muncullah seekor harimau belang raksasa, matanya menyala bak bara dalam gelap. Kedua makhluk itu saling menatap, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai sesama penguasa hutan.

Si Maung menundukkan kepala sedikit, tanda hormat, dan Si Belang menjawab dengan tiga kali auman panjang yang menggema di lembah. Gema itu mengguncang dedaunan, menghalau monyet-monyet yang menjerit ketakutan, burung-burung malam pun terbang bertaburan, hingga hutan menjadi lebih tenang.

Namun, ketenteraman itu tak bertahan lama. Di salah satu pohon tua, berayunlah sesosok bayangan ganjil: makhluk berambut panjang, berbusana putih lusuh, dengan wajah pucat menakutkan. Ia tidak terusir oleh auman Si Belang. Malah bergelayut dengan mata menyala, seakan menantang.

Si Maung menggeram rendah, bulu-bulunya berdiri. Ia segera turun menemui Pandika.
“Tuanku,” bisiknya lirih, “ada makhluk halus yang bergelayut di atas pohon. Ia bukan dari dunia fana, dan ia tidak mau pergi. Namun bukan itu yang paling ku cemaskan. Di utara, aku mencium bau manusia—manusia hidup, yang datang dengan niat busuk. Mereka sedang mengendap-endap menuju kita.”

Pandika mendengarkan dengan wajah tenang namun sorot mata tajam. Perlahan ia membuka tasnya, mengeluarkan zirah besi yang berkilau samar di bawah cahaya api unggun. Suara logam beradu terdengar lirih saat ia mengenakan pelindungnya.
“Yang ku takutkan bukan roh,” ujarnya pelan. “Roh hanya menakutkan. Tetapi manusia hidup bisa lebih kejam daripada bayangan gaib.”

Seketika tubuh Pandika seolah lenyap bersama kabut, Si Maung melompat ke punggungnya. Mereka bergerak bagai angin, tanpa suara, hingga tiba di dekat sekelompok pengintai. Dari balik kabut, suara Pandika terdengar bergema, tegas namun tanpa wujud:

“Satu guru, satu ilmu. Jangan mengganggu kami. Bila tak segera pergi, darahmulah yang lebih dahulu akan tumpah.”

Para pengintai saling menoleh, wajah mereka pucat. Pemimpin mereka, seorang bertubuh besar dengan sorot mata liar, maju selangkah. Dialah Singa Lodra, perampok yang namanya ditakuti para pedagang di jalur selatan.
“Siapa kau?! Keluar dan hadapilah aku!” teriaknya.

Tak ada jawaban, hanya hening. Hingga tiba-tiba, dari kabut, kilatan baja menyambar. Pedang Pandika menghantam kepala Singa Lodra dengan pukulan datar, dan tubuh sang pemimpin roboh tak sadarkan diri.

Kengerian segera menyebar di kalangan anak buahnya. Mereka menjerit, melepaskan senjata, lalu berlarian kocar-kacir ke dalam kabut, seakan bayangan hutan sendiri mengejar mereka.

Pandika berdiri di atas tubuh Singa Lodra yang terkapar, pedangnya berkilau oleh cahaya api unggun yang redup. Si Maung mendesis puas, sementara kabut seakan menutup kembali rahasia hutan yang barusan terbuka.

---

Singa Lodra yang Tertawan

Tubuh Singa Lodra, bagai karung daging yang tak berdaya, diikat kuat dengan rotan hutan yang liat. Pandika menyeretnya tanpa belas kasihan, langkahnya mantap meski tanah becek oleh kabut embun. Di kejauhan, raungan singkat terdengar: Si Maung tengah mengejar para perampok yang melarikan diri. Beberapa di antaranya jatuh tersungkur dengan kaki berdarah, bekas taring tajam sang penguasa rimba. Mereka yang lolos pun akan berjalan timpang sepanjang sisa hidupnya, sebagai tanda bahwa hutan tidak pernah lupa kepada pengkhianat.

Dengan ayunan ringan, Pandika melemparkan tubuh pemimpin perampok itu ke dekat api unggun, hingga bara menyembur percikan kecil. Para pedagang yang sedang menggigil segera mengenal wajahnya.
“Itu… itu dia!” seru salah seorang dengan mata membelalak. “Singa Lodra! Kepala perampok yang selama ini menjarah jalur dagang kami! Kepalanya dihargai mahal, dan barangsiapa yang menangkapnya akan diganjar gelar terhormat oleh Sang Raja!”

Kegembiraan bercampur ketakutan terlihat di wajah mereka.

Dyah Ratnasari yang baru saja bangkit dari tidurnya tertegun. Selimut Pandika hanya menyisakan tas perlengkapan; ia mengira pemuda itu masih terlelap. Kini ia berdiri di hadapannya, zirahnya berkilau samar, nafasnya tenang seperti baru kembali dari perjalanan panjang.
“Bagaimana dengan kawanan perampok yang lain?” tanyanya, suaranya setengah cemas.

Pandika menatapnya singkat, lalu menancapkan pedangnya ke tanah lembap.
“Mereka telah tercerai-berai. Yang berlari akan membawa luka di kakinya; yang sembunyi akan selalu dihantui rasa takut. Tak seorang pun akan kembali dalam waktu dekat. Hutan telah menghukum mereka.”

Ia menarik nafas panjang, menatap ke arah jalan yang tertutup kabut. “Sepertinya gangguan sudah sirna. Bagaimana jika kita melanjutkan perjalanan?”

Seorang pedagang mengangguk cepat, wajahnya serius namun penuh kelegaan.
“Baiklah, aku setuju. Terlalu lama kita berhenti di sini, rempah-rempah yang kami bawa bisa rusak oleh lembab. Mutunya akan turun, dan kerugian menanti kami.”

Api unggun bergemuruh lirih, seakan mengamini keputusan itu. Di balik kabut, Si Maung mengaum rendah, tanda bahwa jalan telah aman untuk sementara.

---

Perjalanan Menuju Kerajaan Sunda

Perjalanan menuju Trowulan akan memakan waktu panjang, nyaris sebulan penuh bila ditempuh dengan langkah kaki yang lambat. Di tengah kabut pagi yang mulai menipis, seorang pedagang angkat bicara, suaranya tenang namun penuh pertimbangan.
“Namun, kita kini tak jauh dari batas Kerajaan Sunda. Tidakkah lebih bijak bila kita singgah terlebih dahulu di sana, sebelum menempuh jalan panjang ke timur?”

Pandika menoleh, matanya redup diterpa cahaya lembut matahari. Ia menarik nafas panjang lalu berkata, “Aku tak keberatan, meski uangku telah habis untuk santapan di kedai semalam.”

Pedagang itu tersenyum dan menundukkan kepala. “Jangan resah akan hal itu, kawan muda. Selama engkau mengawal kami, biarlah segala keperluan menjadi tanggungan kami.”

Dyah Ratnasari pun mengangguk, wajahnya berseri bagai bunga yang merekah di embun pagi.
“Sudah lama aku mendambakan sebuah penginapan. Setidaknya, untuk menyegarkan tubuh dan membersihkan wajah dari debu perjalanan.”

Maka rombongan pun berbelok menuju tanah Sunda. Pandika tertegun ketika matanya menangkap pemandangan yang asing baginya. Rumah-rumah panggung menjulang rapi di tepi Sungai Cisadane, terbuat dari kayu dan bambu, dengan atap kayu nipah yang tersusun rapi. Bayangan rumah-rumah itu terpantul di air yang berkilauan, sementara perahu-perahu kecil hilir mudik membawa hasil bumi. Suasana kota perbatasan terasa damai, namun penuh wibawa.

Para pedagang segera memberi saran bijak. “Wahai Pandika, bukankah lebih terhormat bila engkau menyerahkan tawananmu, Singa Lodra, kepada Maharaja Linggajaya sendiri? Nama baikmu akan sampai ke telinga raja.”

Pandika mengangguk, dan rombongan pun menuju istana kerajaan.

Tembok pertahanan berdiri kokoh, dibangun dari batu besar yang disusun tanpa cela, seolah dijaga oleh tangan para dewa. Di gerbang agung yang menjulang, sekelompok prajurit bersenjata tombak berdiri tegak, mata mereka tajam seperti elang.

Salah satu maju selangkah, suaranya bergema di antara dinding batu.
“Apakah gerangan maksud kedatanganmu ke istana, kisanak?”

Pandika melangkah ke depan, tubuhnya tegap, lalu menunjuk tawanan yang diikat kuat dengan rotan.
“Aku hendak menyerahkan orang ini—Singa Lodra, kepala perampok yang selama ini menjadi duri di jalanan hutan.”

Para prajurit memandang lekat, lalu saling berbisik dengan wajah terkejut. Segera mereka mengucapkan salam hormat.
“Selamat kepadamu, pemuda gagah. Engkau telah menangkap buronan pertama di kerajaan kami. Tiada lagi pengkhianat yang lebih ditakuti selain dirinya. Silakan masuk, bertemulah dengan Sri Maharaja Linggajaya. Ia pasti akan mendengar kabar ini dengan penuh suka cita.”

Maka pintu gerbang pun terbuka, dan jalan menuju singgasana raja terbentang di hadapan Pandika.

---

Audiensi di Istana Sunda

Maka terbukalah gerbang istana, dan Pandika bersama rombongannya dipandu oleh para prajurit melalui jalan berlapis batu hitam yang mengkilap bagai permukaan cermin setelah hujan. Tiang-tiang kayu jati menjulang tinggi menopang balairung, dihiasi ukiran halus berupa naga dan burung garuda. Cahaya obor dan pelita berkilauan, menari di permukaan emas yang menghias dinding.

Di ujung balairung berdiri singgasana megah, berlapis kain sutra hijau dan emas. Di atasnya, dengan tubuh tegap dan wajah berwibawa, duduk Maharaja Linggajaya. Jubahnya putih bersulam benang emas, dan mahkota kecil bertatahkan permata menghiasi kepalanya. Tatapan matanya tajam, namun penuh kebijaksanaan.

Para prajurit mendorong tubuh Singa Lodra ke hadapan raja. Tubuh sang perampok terikat kuat, wajahnya penuh noda tanah dan luka. Suara gemuruh terdengar ketika para bangsawan yang hadir berbisik di antara mereka—sebuah keheranan dan kekaguman akan pemuda asing yang berhasil menaklukkan musuh yang begitu ditakuti.

Maharaja Linggajaya bersuara, dalam, dan bergema di seluruh balairung:
“Siapakah engkau, pemuda gagah, yang berani menyeret ke hadapanku perampok yang selama ini menjadi duri di jalanan hutan kami?”

Pandika menunduk dalam hormat, kemudian menjawab dengan tenang,
“Hamba hanyalah seorang pengembara yang menempuh jalan panjang menuju Trowulan. Namun tak layaklah hamba membiarkan kejahatan berjalan di hadapan mata. Maka Singa Lodra kutangkap, agar tanah Sunda bebas dari terornya.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Lalu Maharaja bangkit dari singgasananya, suaranya lantang bagai guntur.
“Bangkitlah, pemuda! Engkau bukan lagi pengembara tanpa nama. Mulai hari ini, engkau kusebut Ksatria Pandika—seorang yang terhormat di hadapan Sunda dan Majapahit.”

Sorak-sorai bergema, para bangsawan bertepuk tangan, dan para prajurit menghentakkan tombak mereka ke lantai sebagai tanda penghormatan.

Seorang bendahara kerajaan membawa sebuah peti besar, dipenuhi kepingan emas dan perak.
“Terimalah hadiah ini,” ujar sang raja, “serta sebidang tanah di perbatasan sebagai tanda kebesaran namamu. Engkau akan dikenang sebagai sahabat Sunda.”

Namun Maharaja belum selesai. Ia menoleh ke arah dayang-dayang yang berdiri di sisi balairung, lalu memberi isyarat. Seorang wanita muda yang cantik jelita melangkah maju, wajahnya bagai bulan purnama, matanya bening penuh keanggunan.
“Bahkan lebih dari itu,” kata raja, “bila engkau berkenan, ia akan menjadi selirmu, agar darahmu dan darah Sunda menyatu dalam ikatan mulia.”

Sejenak Pandika terdiam. Suasana balairung menahan nafas, menanti jawabannya. Lalu ia melangkah maju, menunduk hormat, dan berkata dengan suara lembut namun tegas:
“Hamba menerima segala anugerah dengan kerendahan hati. Namun, maafkanlah, wahai Maharaja, hamba tak bisa menerima seorang wanita dengan jalan demikian. Jalan pengembaraanku belumlah usai, dan hatiku tak patut diikat hingga tugas itu selesai.”

Balairung terdiam sesaat, namun kemudian Maharaja tertawa panjang, suara gembira yang menggema di setiap pilar.
“Engkau benar-benar seorang ksatria sejati, Pandika! Tidak tamak pada emas, tidak pula pada keindahan dunia. Makin teguhlah hatiku bahwa Sunda dan Majapahit kelak akan disatukan oleh jiwa-jiwa mulia sepertimu.”

Maka Pandika pun meninggalkan balairung dengan gelar baru—Ksatria Terhormat Sunda—membawa nama yang kini disanjung, namun tetap dengan hati rendah dan langkah ringan seorang pengembara.

---

Malam di Penginapan Raja

Malam itu, di bawah langit Sunda yang bertabur bintang, Pandika dan rombongannya beristirahat di sebuah penginapan yang megah, tak jauh dari istana. Bangunannya dari kayu jati tua, dipahat halus dengan ukiran awan dan naga, atapnya tinggi menjulang, dan halaman dalamnya dipenuhi lampion yang berayun tertiup angin malam.

Karena perintah Maharaja, seluruh perhatian dicurahkan pada mereka. Makanan dihidangkan dengan penuh kemewahan: nasi harum ditanak dengan santan, ayam panggang berlumur madu, sayuran segar dari ladang kerajaan, dan sup hangat yang beraroma rempah.

Di salah satu sudut, si Maung duduk dengan tenang, namun matanya berbinar seperti anak kecil ketika pelayan menghidangkan ikan bakar utuh, dagingnya empuk dan berlemak. Ia melahap dengan rakus, sesekali mengeluarkan dengkuran puas, lalu berguling kekenyangan di lantai kayu, membuat semua orang tertawa kecil.

Dyah Ratnasari, wajahnya berseri-seri, baru saja kembali dari pemandian air panas. Rambutnya yang panjang terurai basah, pipinya bersemu merah, dan matanya berbinar bagai bunga yang baru merekah.
“Ah, Pandika,” katanya sambil duduk di dekat perapian, “air panas di penginapan ini bagaikan anugerah dewa. Semua lelah perjalanan seakan sirna. Betapa beruntungnya kita disambut dengan kemurahan hati seperti ini.”

Pandika tersenyum tipis, namun tangannya sibuk menyimpan hadiah emas dan perak dari Maharaja. Ia membuka sebuah tas yang tampak sederhana, terbuat dari kain biru tua bersulam bintang keperakan—tas itu pemberian Ratu Peri di hutan purba. Anehnya, berapa pun banyak benda dimasukkan ke dalamnya, tas itu tetap ringan, seolah tak berbeban. Cahaya samar memancar setiap kali mulut tas terbuka, seolah menyimpan kedalaman yang tak terhingga.

“Emas ini berat nilainya,” ucap Pandika lirih, “namun tidak boleh menjerat jiwa. Kita masih punya perjalanan panjang ke Trowulan, dan banyak bahaya yang menanti.”

Dyah menatapnya lama, lalu berkata dengan lembut, “Namun aku melihat engkau tetap sama, Pandika. Bahkan ketika emas dan tanah ditawarkan, hatimu tidak berubah. Itu membuatku yakin, aku berjalan bersama seorang ksatria sejati.”

Pandika menunduk, tak ingin menanggapi dengan kata-kata, namun dalam hatinya ada getaran yang tak bisa ia sembunyikan.

Tiba-tiba, si Maung yang kekenyangan mendongak, menjilat kumisnya yang basah minyak ikan, lalu bergumam dengan suara berat namun santai,
“Kalau perjalanan selalu begini—ikan bakar, tempat tidur hangat, dan emas berlimpah—aku rela jadi pengawalmu seumur hidup, Pandika.”

Gelak tawa pecah di ruangan itu, mencairkan segala beban hati. Malam di penginapan pun berlalu dengan damai—sebuah jeda singkat sebelum langkah mereka kembali menempuh jalan panjang yang penuh misteri.

---

Fajar baru saja merekah ketika rombongan itu bersiap meninggalkan penginapan kerajaan. Embun masih melekat di dedaunan, dan udara pagi membawa kesejukan yang menenangkan. Pedati besar berisi rempah-rempah kembali ditarik kerbau, sementara para pedagang menata barang dagangan mereka dengan hati-hati.

“Perjalanan menuju Trowulan akan panjang,” ujar salah seorang pedagang yang dituakan. “Kita mesti melintasi tanah Priangan dan Galuh, wilayah yang masih berada di bawah panji Kerajaan Sunda. Setelah itu, jalan membawa kita ke Brebes dan Tegal—daerah yang selalu diperebutkan antara Majapahit dan Sunda. Dari sana kita akan menempuh jalur pesisir utara, melewati kota-kota pelabuhan Majapahit: Tegal, Pekalongan, dan Jepara. Jalan itu lebih lapang, datar, dan ramai oleh arus niaga. Sedangkan jalur pedalaman, meski lebih singkat, adalah medan berat yang menembus Mataram dan lembah Kedu, melintasi pula sungai besar Bengawan Solo.”

Pandika, yang kini tampak lebih tegap setelah istirahat semalam, mengangguk perlahan. “Kalau begitu jalur pesisir sajalah yang kita tempuh. Biar panjang, asal pasti. Aku tak ingin membebani kalian dengan bahaya yang tak perlu.”

Pedagang itu tersenyum lega. “Tepat kata tuan. Pesisir lebih bersahabat bagi pedati kami, dan barang dagangan tak akan cepat rusak oleh kelembaban lembah.”

“Baiklah,” seru Pandika sambil meraih tas zirahnya, “maka marilah kita berangkat. Tubuh ini telah pulih, dan semangatku menyala kembali. Jangan kita sia-siakan pagi yang cerah ini.”

Dengan demikian, rombongan itu pun bergerak meninggalkan istana Sunda, menyusuri jalanan berliku yang perlahan terbuka menuju timur, di bawah sinar matahari yang mulai menanjak.
---

Tanah Priangan terbentang bagai hamparan hijau yang tak berujung. Gunung-gunung menjulang di kejauhan, puncaknya diselubungi kabut putih yang berarak bagaikan layar kapal di samudra langit. Hutan bambu tumbuh rapat di sepanjang jalan, batangnya berdesir ditiup angin, menghasilkan suara lirih menyerupai bisikan rahasia dari zaman purba.

Rombongan Pandika menapaki jalan setapak yang membelah persawahan berundak. Air jernih mengalir dari mata-mata air gunung, dituntun petani dengan parit kecil menuju petak-petak sawah. Ratusan burung bangau berdiri di pematang, seakan menjadi penjaga sunyi tanah yang subur itu.

Di setiap desa yang mereka lalui, rakyat Sunda menyambut dengan ramah. Rumah-rumah panggung dari kayu berdiri rapi, atap nipahnya berkilau ditimpa cahaya matahari pagi. Anak-anak berlari di jalan, tertawa riang sambil membawa layang-layang dari daun lontar. Perempuan desa menumbuk padi di lesung, irama ketukan kayu bergema bersahut-sahutan bagai nyanyian sederhana yang mengiringi kerja.

Ketika malam tiba, mereka beristirahat di kaki bukit yang diselimuti kabut tipis. Dari kejauhan, terdengar gamelan bambu dipetik di rumah-rumah desa, nada-nadanya mengalun sendu, bercampur dengan suara serangga malam. Si Maung duduk tenang di sisi Pandika, matanya berkilat mengamati gelap hutan yang mengintai.

Priangan bukan sekadar tanah perlintasan, melainkan negeri yang hidup, berdenyut dengan nyanyian alam dan keramahan manusia. Dan meskipun perjalanan masih panjang, hati rombongan menjadi ringan, seolah kekuatan gunung-gunung itu sendiri menuntun langkah mereka menuju timur.
---

Tanah Galuh terbentang lebih liar dan lebih sunyi dibanding Priangan. Hutan jati tua menjulang di kiri-kanan jalan, batangnya kokoh bagaikan tiang-tiang kuil purba yang tak tersentuh waktu. Jalanan tanah merah membentang berliku, kadang mendaki perbukitan, kadang turun menyeberangi sungai dangkal yang berarus deras.

Di tengah perjalanan, gerobak para pedagang berguncang keras saat roda kayu menghantam bebatuan besar. Suara kayu pecah terdengar, dan gerobak pun berhenti, miring tak berdaya di jalan sempit. Para pedagang bergotong royong memperbaikinya. Mereka menebang pohon muda, memahat kayunya dengan parang, lalu menggantikan bagian roda yang patah. Keringat menetes deras di bawah terik matahari, namun semangat kerja bersama membuat beban terasa lebih ringan.

Belum sempat lega, malapetaka lain datang. Seekor kerbau penarik gerobak jatuh terhuyung, tubuhnya gemetar, napasnya berat, dan matanya sayu. Penyakit telah merenggut tenaganya. Para pedagang mengelilinginya dengan wajah muram; kerbau itu telah setia menemani perjalanan jauh. Akhirnya diputuskan ia disembelih, dagingnya dibagikan untuk bekal, sementara kulitnya digantung di gerobak untuk dijual di pelabuhan kelak.

Sebagai pengganti, seekor kuda dibeli dari seorang petani Galuh yang kebetulan lewat. Hewan itu gagah, bulunya coklat kemerahan, matanya tajam dan penuh tenaga. Dengan kuda sebagai penarik baru, gerobak kembali bergerak, kali ini lebih cepat, meski jejak kehilangan masih terbayang di hati rombongan.

Di malam hari, mereka beristirahat di pinggir sungai Citanduy. Api unggun menyala, memantulkan cahaya ke wajah Pandika dan Dyah Ratnaswari yang termenung, mendengar suara si Maung menderam pelan, seakan turut merasakan duka atas kerbau yang gugur. Namun bintang-bintang bertebaran di atas langit Galuh, meneguhkan tekad mereka bahwa setiap kehilangan hanyalah bagian dari jalan panjang menuju tujuan.

---

Langkah rombongan akhirnya membawa mereka ke tanah perbatasan, di mana angin dari laut utara bertiup kencang, membawa serta bau asin samudra bercampur debu kering dari ladang-ladang yang jarang disentuh bajak. Wilayah Brebes dan Tegal kini bukan sekadar tanah, melainkan luka yang tak kunjung sembuh, karena dua kerajaan besar, Sunda dan Majapahit, sama-sama menancapkan klaim kuasanya di sini.

Di jalan berlapis debu itu, rombongan dihentikan oleh sekelompok prajurit bersenjata tombak panjang dan panji-panji Majapahit yang berkibar keras diterpa angin. Wajah mereka keras, tatapan penuh curiga. Pemimpin pasukan itu maju selangkah, suaranya bergema lantang:

“Berhenti! Katakan siapa kalian, dan atas izin siapa hendak melintasi tanah Majapahit?”

Ketegangan seketika menyelimuti udara. Para pedagang saling berpandangan, sementara kereta berhenti berderit, dan hewan penariknya mengentak gelisah. Pandika menggenggam erat gagang pedangnya, siap berjaga bila keadaan memburuk. Namun sebelum pertikaian pecah, Dyah Ratnaswari melangkah maju dengan penuh wibawa. Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah plakat berukir emas dengan lambang Garuda Majapahit, tanda sah kewenangan bangsawan.

Dengan tenang ia mengangkat plakat itu tinggi agar terlihat jelas oleh para prajurit.
“Aku Dyah Ratnaswari, putri dari seorang ksatria Majapahit. Atas hak dan titah yang diwariskan padaku, aku menuntut jalan terbuka bagi rombongan ini.”

Sejenak hening. Angin berdesir, panji-panji Majapahit berderak, dan wajah para prajurit tampak terbelah antara kecurigaan dan kewajiban untuk tunduk pada tanda kerajaan. Akhirnya, pemimpin prajurit itu menundukkan kepala dengan hormat.

“Jika benar engkau pewaris darah Majapahit, maka jalan ini terbuka bagi kalian. Namun ingatlah, tanah ini selalu diawasi. Jangan sekali-kali kalian menyimpang.”

Rombongan pun diizinkan masuk. Para pedagang menarik napas lega, sementara Pandika melirik Dyah Ratnaswari dengan kagum. Dalam dirinya, ia mulai memahami bahwa gadis bangsawan itu bukan sekadar pengikut dalam perjalanan, melainkan kunci yang menjaga mereka dari bahaya politik yang tak kasat mata.

Di balik semua itu, si Maung berdiri tegak di sisi Pandika, bulu punggungnya berdiri, seolah memahami bahwa ancaman di tanah perebutan ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar perampok di jalanan.
---

Rombongan itu pun bergerak menyusuri jalur pesisir utara, tanah yang kaya akan denyut perdagangan dan aroma samudra. Jalanan di sini lebih datar dibanding pedalaman, namun riuhnya kehidupan menjadikannya sebuah dunia yang berbeda.

Seiring roda gerobak berderit di atas tanah berpasir, dari kejauhan mulai tampak atap-atap pelabuhan Tegal yang menjulang dengan bendera-bendera warna-warni. Bau rempah tercium kuat di udara — kayu manis, pala, cengkih, dan lada bercampur dengan aroma ikan asin yang dijemur di tepi dermaga.

Di pelabuhan, kapal-kapal asing berlabuh dengan gagah: perahu jung dari Tiongkok dengan layar lebar berwarna merah, kapal-kapal Gujarat dengan ukiran kayu indah di haluannya, dan perahu-perahu Arab yang lambungnya hitam legam mengkilap. Para saudagar berteriak menawarkan dagangan mereka dalam berbagai bahasa, bercampur dalam satu simfoni kacau yang justru menjadi bukti kejayaan perdagangan Majapahit.

Pandika menatap takjub pada keramaian itu. Baginya, dunia seakan terbuka lebih luas dari yang pernah ia bayangkan di desa kecil tempat ia dilahirkan. Dyah Ratnaswari tampak anggun di antara kerumunan, seolah keberadaannya menarik perhatian para pedagang asing yang jarang melihat darah bangsawan berjalan di tengah pasar.

Si Maung, meski perutnya sudah kenyang sejak jamuan di Sunda, tetap mengendus-endus ke arah pasar ikan, matanya tajam menyorot ke sebuah tong berisi ikan segar yang dipikul seorang nelayan. Beberapa anak kecil menunjuk ke arahnya dengan wajah terpesona, belum pernah mereka lihat seekor harimau berjalan jinak di sisi manusia.

Ketika rombongan melanjutkan perjalanan menuju Pekalongan dan kemudian Jepara, mereka melewati jalan yang kian ramai oleh pedati rempah dan gerobak penuh kain sutra. Di tepian jalan, berdiri rumah-rumah panggung para saudagar, tinggi dan megah, dihiasi ukiran khas Jawa yang menggambarkan naga dan burung garuda.

Namun di balik segala kemewahan perdagangan itu, Pandika merasakan sesuatu: semakin ramai jalan, semakin besar pula bahaya dari para bajingan dan perampok yang mengincar kafilah dagang. Pandika menggenggam erat pedangnya, sedangkan Dyah Ratnaswari menatap lurus ke depan, seolah tahu bahwa jalan menuju Trowulan bukan hanya jalan dagang, melainkan jalan ujian.


---






































01/08/25

Season 7 kerajaan mythopia

---

Chapter 44 Di Tepi Bengawan Solo

Di lembah timur yang rimbun, tatkala matahari menggantung tinggi di langit, sinarnya yang menyengat tersembunyi di balik rindangnya dahan-dahan pohon tua yang tumbuh menjulang di tepi Bengawan Solo. Di antara bebatuan yang dilicinkan oleh aliran zaman, mengalirlah sungai jernih bak kaca, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan dedaunan yang menari ditiup angin lembut musim panas.

Di sanalah, di tempat yang tersembunyi dari mata manusia biasa, tiga putri dari istana Majapahit sedang mandi dan bermain air. Mereka adalah bunga terakhir dari zaman keemasan:
Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, putri bungsu dari Prabu Kertawardhana yang agung;
Lembayung Ardhani, pemilik suara selembut sutra dan pandangan secerah senja;
dan Pujeng Rarasati, gadis periang dengan tawa yang mampu menyembuhkan luka hati.

Mereka tertawa ringan, saling memercikkan air seperti masa masih kanak-kanak, jauh dari beban mahkota dan sumpah darah kerajaan. Namun tak jauh dari sana, di balik semak dan pohon, berdirilah para pengawal bersenjata. Di antara mereka, berdiri tegak Rakai Jaya Langgana, seorang ksatria muda berselimut diam dan rahasia. Cintanya kepada sang Putri bagaikan api yang tersimpan dalam perisai — hangat namun tak pernah menyala terang.

Tiba-tiba, di sela desiran angin dan riak air, suara Dyah Sekar mengalun lembut, namun membawa nada gelisah:

> “Pernahkah kalian dengar,” katanya sambil membasuh rambut hitam legamnya,
“bahwa para begundal kegelapan dari Sinabung telah kembali menodai perbatasan timur? Kekaisaran kita, yang lelah oleh bayangan lama, kini telah mengeluarkan sayembara. Siapa pun yang sanggup membawa mereka ke keadilan akan diberi gelar dan tanah di seberang lautan.”



Lembayung menoleh, tatapannya penuh rasa ingin tahu.

> “Katanya ada seorang pendekar yang sudah menjawab tantangan itu,” ujarnya, “Namanya Pandika. Seorang diri ia berangkat, berasal dari Kerajaan Cakram, negeri kecil yang tak banyak dikenal.”



Pujeng Rarasati menambahkan sambil tertawa kecil,

> “Mereka bilang Pandika membawa pesan dari para tetua. Ia mencari raja muda yang hilang dari Mythopia. Seorang pemuda bernama Isidore.”



Putri Sekar mengangkat wajahnya, mata hitam legamnya menatap ke langit seakan mencoba membaca takdir.

> “Isidore…” bisiknya, “Konon ia memiliki wajah tampan dan kulit sawo matang seperti tanah tempat nenek moyang kita berpijak. Namun apa yang bisa kulihat dari raut wajah jika hatinya belum kukenal?”



Tak ada yang menjawab. Hanya desir angin dan gumaman air yang menjawab pertanyaan sang Putri, dan di kejauhan, Rakai Jaya Langgana mengepalkan tangan di balik semak — sebab ia tahu, takdir sedang bergerak, dan kisah besar tengah menanti untuk ditulis dalam kitab para leluhur.


---

Chapter 45 Keajaiban di Bengawan Solo

Nun jauh di jantung tanah timur, kala bayang-bayang siang mulai memendek dan daun-daun berdesir dalam bisikan angin dari pegunungan Lawu, mengalir sebuah sungai tua yang dikenal dalam tembang dan dongeng para tetua — Bengawan Solo.

Ia bukan sungai biasa. Ia adalah arteri dari bumi tua, mengalir sejak zaman para raja belum menjejak tanah, sejak para dewa menanam bintang di langit dan memberi nama bagi segala pohon dan batu. Bengawan Solo mengalir tenang, memeluk batu-batu tua yang dilicinkan oleh ribuan musim, dan menyanyi dengan suara air yang tak pernah bosan memuja waktu.

Pada sebuah tikungan tersembunyi, di mana pepohonan berakar dari zaman purba dan bunga liar tumbuh tanpa takut, di sanalah airnya paling jernih — sebening kaca cermin para peramal, memantulkan langit yang luas dan daun-daun yang bergoyang seperti tirai surga.

Di tempat inilah, kala dunia diam dan hanya burung-burung hutan yang bersuara, para putri dari istana Majapahit kerap datang untuk mandi. Dan ketika kaki mereka yang halus menyentuh airnya, seolah sungai itu sendiri berdebar dalam diam — air menghangat dengan kelembutan, dan bebatuan bersinar seperti baru dilahirkan kembali dari perut bumi.

Sang putri utama, Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, turun pertama kali, diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Air menyambut mereka seperti saudara lama, merangkul tubuh-tubuh muda mereka dengan gemetar lembut, dan seolah menghafal setiap langkah, tawa, dan hela nafas mereka.

Lalu terjadilah keajaiban kecil yang tidak tertulis dalam kitab para pendeta namun disampaikan turun-temurun oleh para leluhur penjaga tanah: setiap kali para putri selesai mandi, air Bengawan Solo berubah harum. Tidak tajam seperti minyak wangi, tapi lembut dan sukar dijelaskan — seperti wangi bunga tanjung yang mekar malam hari, seperti kenangan masa kecil yang hangat dan jauh.

Harum itu bertahan hingga malam. Bahkan para nelayan yang berlabuh di hulu bertanya-tanya siapa yang telah berjalan di atas air dan meninggalkan jejak surga. Dan para tetua desa berkata, "Itu bukan jejak manusia biasa — itu jejak para putri darah raja, yang mandi bukan hanya dengan tubuh, melainkan dengan cahaya dalam jiwa."


---
Chapter 46 Pertanda di Sungai Bengawan

Di balik pepohonan yang menaungi aliran suci Bengawan Solo, dalam bayang-bayang hening di mana cahaya siang menari melalui dedaunan, berdirilah Paman Hanggara — tua, tegap, dan bermata tajam seperti elang yang telah menyaksikan banyak zaman berlalu.

Ia memandang ke arah seorang pemuda yang duduk menyendiri di sisi timur sungai, tangannya menggenggam gagang keris tanpa suara, matanya tertuju ke permukaan air yang berkilau diterpa cahaya. Dialah Rakai Jaya Langgana, pengawal utama sang putri.

> “Nak Jaya...” kata Paman Hanggara perlahan, suaranya dalam dan bergetar oleh rasa sayang yang dibungkus kekhawatiran, “engkau telah memasuki usia di mana lelaki harus berpikir tentang garis keturunan. Jangan kau habiskan hidupmu dalam bayang-bayang yang tak bisa kau capai.”



Rakai menunduk, napasnya berat.

> “Ampun, Paman,” katanya lirih, “jika hati ini telah keliru. Aku memang menyimpan rasa pada sang Putri... namun kupastikan rasa itu takkan pernah keluar dari tempatnya. Cukup bagiku berdiri di sisinya sebagai perisai, bukan sebagai pasangan.”



Hanggara menatapnya lama, lalu menghela napas dan memalingkan wajah, seakan memahami, namun tak bisa menyetujui sepenuhnya.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan di barat, muncullah Wirya Nagapati, prajurit bayangan yang langkahnya lebih sunyi dari desir angin. Jubahnya hitam, dan matanya bersinar bagai bara api dalam kegelapan.

> “Waktumu habis, Putri-putri Istana,” bisiknya dengan suara serak namun jelas. “Hutan telah bicara... Jejak mistis tercium di utara. Ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang tak menyukai kehadiran darah kerajaan di tempat ini.”



Hanggara tak membuang waktu. Ia membawa jari ke bibir dan meniup sebuah siulan panjang — tidak keras, tapi merdu dan dalam. Suara itu menggema pelan seperti nada dari seruling zaman tua, menjalar ke sela-sela daun dan menyentuh telinga mereka yang tahu artinya.

Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, yang tengah membasuh rambutnya dengan air jeruk purut dan bunga tanjung, menoleh pelan.

> “Siulan Paman terdengar lebih cepat dari biasanya,” ucapnya dengan dahi berkerut, “seolah pagi ini ingin berakhir sebelum waktunya. Mungkinkah ada gangguan yang mengintai dari kejauhan?”



Ia berdiri, anggun dan tenang, namun tatapannya tajam — seperti seorang ratu yang tahu kapan harus memerintah dan kapan harus berlari dari bahaya.

Di atas cabang pohon tinggi, tersembunyi di balik dedaunan lebat, Sasi Anglingrat — pengawal rahasia istana — tengah berjaga. Matanya yang tajam menangkap bayangan gelap yang merayap seperti asap dari arah utara. Kabut hitam itu tidak berasal dari bumi, dan tidak pula milik langit.

Ia menghela napas, lalu melompat turun dengan gesit seperti bayangan seekor kijang malam. Tanpa berkata-kata, ia berlari ke arah pasukan dan rekan-rekannya. Pertanda buruk telah datang. Dan waktu takkan memberi mereka banyak kesempatan.


---
---

Chapter 47 Wangkara, Bayangan yang Membelah

Untuk pertama kalinya, Sasi Anglingrat, penjaga rahasia dari Majapahit, menyaksikan wujud yang tak bisa dijelaskan oleh kitab perang maupun bisikan para pendeta hutan. Ia berdiri diam, napasnya tertahan, saat dari balik kabut yang merayap turun dari langit, muncul sosok yang menyerupai manusia namun tak sepenuhnya nyata.

Separuh tubuhnya kabut, separuh lainnya tampak seperti manusia yang telah ditinggalkan cahaya kehidupan. Kabut itu berdenyut perlahan, mengelilingi sosok tersebut, dan setiap kali ia bergerak, tanah di sekitarnya seperti kehilangan warna dan suara.

> “Wangkara...” bisik Sasi, matanya menyipit, “makhluk dari bayang-bayang utara, yang dikisahkan dalam gulungan lontar-lontar tertua, namun tak pernah dipercaya sepenuhnya.”



Ia memberi isyarat kepada pasukan untuk mundur. Gerak jarinya cepat namun jelas: berkumpul, diam, lalu mundur perlahan. Dirinya sendiri tetap berdiri di depan, seolah bayang-bayang pohon telah bersatu dengan tubuhnya.

Dengan satu gerakan anggun, Sasi Anglingrat mencabut dua bilah pedang pendek dari punggungnya — pusaka berlapis mantra yang hanya ia sendiri yang mampu memanggil kekuatannya.

Tanpa ragu, ia melemparkan bilah pertama ke arah Wangkara. Pedang itu melesat seperti kilat — namun saat menyentuh tubuh kabut makhluk itu, bilah tersebut melintas seakan hanya menembus udara. Tak ada luka. Tak ada suara. Hanya kehampaan.

Sasi mengatupkan rahang, lalu melangkah maju.

> “Jika tidak bisa dengan jarak jauh,” ucapnya dalam hati, “maka akan kuhadapi dengan nafas dan nadi.”



Ia mencengkeram pedang kedua dengan kedua tangan. Saat menebas, ia mengalirkan bukan hanya tenaga, tapi juga keyakinan, karena hanya keyakinan yang bisa menembus dunia bayangan. Namun ketika bilah itu menyayat tubuh Wangkara, makhluk itu terbelah menjadi dua, dan kedua bagian itu hidup — bergerak sendiri dengan wajah yang sama kosongnya.

Dari arah utara, Wirya Nagapati datang bagai angin malam. Jubahnya mengepul, dan di tangannya terhunus keris warisan leluhur — bilah sakti yang dipercaya dapat melukai roh dan jin. Ia menerjang Wangkara dengan teriakan keras, menebas tubuh makhluk itu.

Namun hasilnya tak berbeda. Setiap tebasan hanya menggandakan jumlah musuh. Dari satu, menjadi dua. Dari dua, menjadi empat. Dan kabut semakin menebal, mengaburkan pandangan, merampas harapan.

> “Mundur!” seru Wirya dengan suara yang menggema seperti guntur di pegunungan, “Wangkara bukan untuk kita hadapi di sini. Makhluk ini bukan untuk dibunuh... melainkan untuk dijauhi.”



Dengan keberanian mereka, Sasi dan Wirya menahan gelombang kabut yang terus mendekat, menciptakan waktu dan ruang yang cukup bagi para putri dan pasukan pengawal untuk mundur ke sisi selatan. Dyah Sekar, yang telah berselimut kain tipis dan rambutnya masih basah oleh air Bengawan, dituntun oleh Rakai Jaya Langgana menuju kuda-kuda yang telah disiapkan di balik pohon.

Di belakang mereka, kabut terus bergulung seperti ombak senja yang menelan hutan. Dan bayangan Wangkara masih berdiri, diam, tanpa suara — namun tak ada satu pun yang berani menatapnya dua kali.

---
---

Chapter 48 Pertemuan di Bukit Halilintar

Tanpa jeda, tanpa keluh, Pandika, sang pengembara dari Cakram, menunggang kudanya melintasi hutan lebat, sabana luas, dan lembah-lembah berkabut hingga akhirnya tiba di hadapan Bukit Halilintar — sebuah dataran tinggi yang diselimuti awan kelabu dan gelegar petir di kejauhan, seperti panggung dunia bagi kejadian-kejadian besar yang ditakdirkan.

Kudanya — seekor kuda istimewa berdarah Dewa Angin — meringkik pelan, tubuhnya penuh peluh namun matanya tetap bersinar jernih. Pandika turun perlahan, menepuk lembut leher hewan setianya.

> “Terima kasih, sahabatku,” katanya lirih. “Kau telah menuntunku sejauh ini. Kini saatnya kau beristirahat... makanlah rerumputan yang tumbuh di tanah suci ini. Takkan ada binatang buas mengganggumu.”



Tak jauh dari sana, tersembunyi di dalam lekuk gua kuno di jantung bukit, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, membuka matanya. Ia duduk bersila di atas batu, dikelilingi lingkaran cahaya redup dari api biru yang menyala tanpa bahan bakar.

> “Ada kekuatan mendekat,” ujarnya lirih, “kekuatan yang bukan dari kegelapan... tapi juga bukan dari tanah ini.”



Dari balik bayangan, muncullah Rakajati, penjaga hutan yang setia, suaranya tenang seperti suara pohon tua yang berbicara di malam sunyi.

> “Dia hanyalah seorang pengembara,” ujarnya, “tapi kebaikan mengalir dalam darahnya. Biarlah aku yang membawanya kemari.”



Dalam sekejap, tubuh Rakajati menyatu dengan batang pohon, menghilang ke dalam kulit kayu seperti roh penjaga rimba. Dan ketika ia muncul kembali, dedaunan bergetar seolah alam turut menunduk menyambutnya. Ia berdiri di hadapan Pandika, yang terkejut dan tanpa pikir panjang mengangkat kedua tangannya dalam sikap bertahan, tinjunya terkepal namun tak menyerang.

Rakajati hanya tersenyum.

> “Tenanglah, wahai pengembara. Aku bukan musuhmu,” ucapnya.
“Mohon maaf jika kedatanganku mengejutkan,” balas Pandika, merendah. “Namaku Pandika, dari negeri Cakram. Aku datang untuk mencari Tuan Isidore. Ada keperluan mendesak... kami membutuhkan bantuannya untuk menumpas gerombolan kegelapan yang kini bersarang di puncak Gunung Sinabung.”



Rakajati diam sejenak, seperti menimbang jawaban dari suara angin dan getaran tanah.

> “Sayang sekali, kami tak sedang berada di tempat yang tetap,” jawabnya akhirnya. “Kami sedang bersiap melakukan perjalanan menuju Sungai Bengawan Solo — untuk sebuah pertemuan yang tak bisa ditunda. Mungkin... beberapa hari lagi sebelum kami bisa menghadap ke utara.”



Pandika menunduk dalam-dalam, lalu berkata dengan ketulusan yang bersinar dalam matanya:

> “Jika berkenan, izinkan aku ikut serta dalam perjalanan itu. Aku bersumpah demi tanah kelahiranku, aku takkan menjadi beban ataupun penghalang.”



Rakajati menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan.

> “Kalau begitu, bersiaplah. Ikuti langkahku. Kau akan bertemu dengan Isidore... dan nasib akan menguji kita bersama.”



Lalu mereka melangkah perlahan menyusuri lereng bukit, kabut tipis menyelimuti langkah mereka, dan di kejauhan, guruh masih bersuara — seperti gendang langit yang tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah takdir dunia.


---
Chapter 49 Pertemuan Dua Takdir: Pandika dan Isidore

Di dalam gua yang diterangi cahaya samar dari batu-batu berpendar, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, duduk di atas singgasana batu yang dipahat alam sendiri. Aura kebangsawanan menyatu dengan ketenangan seorang bijak, namun matanya menyiratkan bahwa ia telah menyaksikan banyak hal—lebih dari yang seharusnya ditanggung oleh seorang muda.

Seorang pengembara menghampiri dengan langkah ringan namun penuh keyakinan. Ia membungkuk dalam penghormatan, lalu berkata:

> “Perkenalkan diriku, Pandika, dari Kerajaan Cakram. Aku telah diberitahu oleh Rakajati bahwa engkau hendak menuju Sungai Bengawan Solo. Bila berkenan, ijinkan aku menyertai perjalananmu. Aku bersumpah atas kehormatanku, aku takkan menjadi beban.”



Isidore menatapnya sejenak, menilai bukan wajah, tapi jiwa di baliknya. Lalu ia mengangguk tenang.

> “Boleh saja, Pandika. Jalan kami terbuka bagi mereka yang membawa terang dan keberanian.”



Pangreksa, sang penjaga pusaka kerajaan, yang berdiri tak jauh dari situ, memperhatikan pedang yang tergantung di pinggang Pandika. Matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.

> “Pedangmu... sungguh langka. Itu bukan buatan manusia biasa.”



Pandika menyentuh gagang senjatanya dengan penuh hormat.

> “Benar. Senjata ini diberikan oleh seorang peri hutan—mereka yang hidup tersembunyi di antara akar dan kabut, pelindung tanah dan daun.”



Rakajati mengangkat alis, suaranya mengandung kekaguman.

> “Peri... mereka sangat sulit ditemukan. Bahkan aku, yang hidup di antara pepohonan, tak pernah melihat wujud mereka selama ratusan purnama. Kau benar-benar beruntung.”



Bhra Anuraga, sang pendeta muda yang selalu haus akan kisah dan makna di baliknya, bersandar pada tongkat kayunya.

> “Jika engkau berkenan, ceritakanlah. Bagaimana perjumpaan itu terjadi?”



Pandika mengangguk, lalu mulai bertutur:

> “Aku sedang dalam perjalanan menyelesaikan misi yang dipercayakan oleh rajaku, Agus Marto, raja dari tanah Cakram. Untuk membuktikan kelayakanku sebagai seorang ksatria, aku ditugaskan menyelesaikan banyak tantangan yang tersebar di kerajaan-kerajaan dunia lama. Dalam satu perjalanan di hutan utara, aku terluka parah saat melawan makhluk bayangan. Saat itulah seorang peri datang—ia menyembuhkanku, lalu memberiku pedang ini sebagai penuntun dalam kegelapan.”



Pangreksa menepuk pundaknya pelan.

> “Semoga perjalananmu membawa keberhasilan. Dunia memerlukan ksatria yang bersumpah atas keadilan, bukan hanya kekuatan.”



Rakajati tersenyum, namun matanya penuh harap.

> “Sudah lama aku merindukan kehadiran para peri. Setelah misi ini selesai, kau harus mengantarku kepada mereka. Hatiku ingin melihat mereka sekali lagi, sebelum usia menutup mataku.”



Pandika membalas dengan hormat:

> “Bila takdir mengizinkan, aku yakin mereka akan sangat senang bertemu denganmu, Rakajati.”



Tiba-tiba, udara di dalam gua bergetar halus, seperti kabut tipis yang berdesir di antara bintang. Raja Alam Wardana, roh leluhur dari dunia tersembunyi, muncul dalam pantulan air suci yang mengalir di dinding batu.

> “Isidore...” suaranya dalam dan menggema seperti nyanyian bumi,
“Ketahuilah bahwa pengembara ini—Pandika—bukanlah orang biasa. Di dalam darahnya mengalir kekuatan dari bangsa peri yang lama hilang dari dunia ini. Bila kelak gelap menutupi matamu dan jalanmu terputus, dialah cahaya yang akan menyelamatkanmu.”



Isidore menunduk perlahan, dan dalam hatinya ia tahu: pertemuan ini bukan kebetulan. Takdir telah menyulam benang mereka dalam satu jalinan besar yang belum tersingkap seluruhnya.


---


---

Chapter 50 Perjalanan Menuju Bengawan Solo

"Sayangnya," ujar Surya Wikrama dengan nada berat, matanya menatap ke arah barat, "di dekat Bengawan Solo tiada batu loncatan yang dapat membawa kita ke sana dengan cepat. Mohon bantuanmu, kakanda Rakajati, agar perjalanan ini tak memakan waktu terlalu lama."

Rakajati mengangguk perlahan, lalu berkata dengan tenang namun penuh wibawa,
"Baiklah… namun aku memerlukan tenagamu, Surya Wikrama, untuk menerangi jalan di akar-akar tua yang akan kita lalui."

Ia kemudian menancapkan tongkatnya ke batang pohon raksasa yang menjulang, tua dan lapuk namun penuh kekuatan purba. Suara retakan terdengar, lalu batang pohon itu perlahan terbelah, memperlihatkan lorong gelap yang melingkar turun ke perut bumi, dipenuhi urat-urat akar yang mengalirkan cahaya samar hijau.

"Apakah kita akan masuk ke sana?" tanya Pandika, suaranya setengah ragu, setengah takjub.

"Kau aman bersama kami," jawab Isidore, matanya berkilau di tengah remang. "Ikuti kami, dan jangan tertinggal."

Surya Wikrama melangkah ke depan, pedangnya terhunus, memancarkan cahaya keemasan yang membasuh dinding akar dengan kilau hangat. Bau tanah basah dan resin tua memenuhi udara. Akar-akar besar seolah bergerak perlahan, membimbing langkah mereka menuruni lorong berliku hingga akhirnya mereka keluar di tepi Bengawan Solo.

Namun, ketenangan sungai itu ternodai. Kabut kelam menggantung rendah di atas air, berputar-putar bagai napas makhluk purba.

"Wangkara…" bisik Surya Wikrama dengan nada waspada. "Jarang sekali mereka muncul di siang hari. Mereka tidak akan menyerang, namun kabut ini… terlalu lama menghirupnya akan menjerat mata kita dalam ilusi."

"Bagaimana kita mengusirnya?" tanya Isidore.

Bhra Anuraga menatap ke arah kabut, wajahnya tegang. "Aku kira… ada seseorang yang mengarahkan mereka kemari." Ia menarik napas panjang. "Kita harus menghidupkan aura kita masing-masing."

Maka Surya Wikrama melangkah maju, mengangkat pedangnya tinggi, dan darinya memancar sinar emas bagaikan matahari fajar. Isidore menutup matanya sejenak, lalu dari tubuhnya mengalir cahaya kebiruan, lembut namun teguh seperti air yang menolak dibelah. Bhra Anuraga menyalakan aura kemerahan laksana bara api yang tak padam. Pangreksa memancarkan kilau perak yang menusuk kabut seperti bilah dingin. Guntur Wisesa menggetarkan udara dengan kilat yang berkilau di sekelilingnya.

Namun Pandika—dari dirinya terpancar cahaya putih murni, seolah hutan peri sendiri memberinya kekuatan. Sinar itu menyilaukan, mengusir rasa dingin yang menyusup dari kabut. Wangkara, makhluk bayangan yang gelisah, meringis tanpa suara, tubuh mereka berbalik, melayang kembali ke rimba lebat tempat kegelapan mereka bersemayam.

Akhirnya, Bengawan Solo kembali sunyi. Airnya berkilau diterpa cahaya, seakan mengucapkan terima kasih.


---

Chapter 51 Pertemuan di Tepi Bengawan Solo

Dari seberang sungai, Putri Majapahit, Dyah Sekar Tanjung, menatap dengan mata terbelalak. Di langit senja, cahaya-cahaya aneh mekar bagai bunga surga: emas, biru, perak, dan putih. Mula-mula redup bagaikan kunang-kunang di rerumputan, namun perlahan kian terang hingga menyilaukan mata.

“Cahaya apakah itu?” bisik Lembayung, dayang setia, seraya menundukkan kepala.

“Putri, sebaiknya kita lekas pergi,” ujar Paman Hanggara, wajahnya suram, tangan menggenggam gagang keris. “Tanda-tanda semacam itu jarang membawa kebaikan.”

Namun sebelum ia sempat berbalik, Pujeng Rarasati, pengiring lain, berseru, “Lihatlah, kabut itu telah sirna! Wangkara sudah pergi, putri. Alam kembali bernapas bebas.”

Dyah Sekar Tanjung berdiri tegak, sorot matanya penuh keberanian. “Tidak, paman. Aku ingin tahu, siapakah ksatria yang mengusir kegelapan itu. Bawalah aku ke sana.”

“Titah tuan putri, kami laksanakan,” jawab para penjaga bayangan, suara mereka serempak bagai gaung lembah. Mereka melangkah lebih dulu, berlari ringan di antara pepohonan, untuk mendahului dan menyampaikan maksud tuan putri.

Rakai Jaya Hanggana, bertubuh besar bak pohon jati, berjalan paling depan, dadanya membentang melindungi putri. Di belakangnya, para prajurit membentuk formasi tembok, tombak mereka berkilau oleh pantulan cahaya sungai.

Tak lama kemudian, penjaga bayangan yang tiba terlebih dahulu menunduk hormat di hadapan para ksatria asing. “Hamba Sasi Anglirat. Ijinkan kami berkenalan dengan tuan-tuan ksatria yang gagah berani ini.”

Pangreksa, yang berdiri tenang dengan tatapan lembut namun penuh wibawa, menjawab, “Tidak perlu sungkan. Kami hanyalah pengembara yang lewat. Perkenalkan, aku Pangreksa, dan inilah sahabat-sahabatku.”

Sasi Anglirat kembali menunduk. “Mohon kiranya tuan berkenan menunggu sebentar. Tuan putri kami ingin mengucapkan terima kasih atas jasa agung kalian.”

Isidore menoleh sejenak pada rekan-rekannya, lalu menjawab dengan senyum samar, “Baiklah. Kami pun tak sedang dikejar waktu. Bengawan ini indah, dan kami ingin sejenak menikmati kedamaiannya.”

“Bagaimana,” sela Surya Wikrama sambil melepaskan sabuk pedangnya, “sementara menunggu, aku masakkan ikan jendil untuk kita semua?”

Sebelum ada yang sempat menanggapi, ia melangkah ke tepi sungai. Dengan satu gerakan tangannya yang penuh wibawa, air sungai beriak, dan ikan-ikan meloncat sendiri, jatuh ke tangannya bagaikan tunduk pada kehendak sang ksatria.

Para pengawal bayangan terdiam, mata mereka membelalak. Salah satu berbisik lirih, “Sungguh, ini bukan manusia biasa. Ada darah para dewa dalam dirinya.”

---

Chapter 52 Adegan Pertemuan di Bengawan Solo

Asap tipis dari ikan jendil yang dipanggang perlahan menari-nari di udara. Aroma gurihnya terbawa angin, menyentuh hidung Lembayung.

“Siapakah yang sedang membakar ikan di saat perutku meronta lapar?” serunya, separuh bercanda, separuh sungguh.

Pujeng Rarasati tersenyum, menoleh pada putri. “Sepertinya ksatria itu tahu bagaimana membaca suasana. Barangkali inilah pertanda pertemuan baik.”

Rombongan pun tiba di tepi sungai, di mana para ksatria duduk dengan wajah bersahaja. Api unggun menyala redup, di atasnya ikan-ikan menguning dengan harum menawan.

Dyah Sekar Tanjung melangkah anggun ke depan. Suaranya jernih, penuh wibawa kerajaan.
“Aku Dyah Sekar Tanjung, putri dari tanah Majapahit. Atas nama keluarga dan negeriku, hatur sembah terima kasih, sebab tuan-tuan ksatria telah mengusir kabut jahat beserta para wangkara.”

Para ksatria berdiri memberi hormat. Satu per satu mereka memperkenalkan diri: Surya Wikrama dengan tatapannya yang bercahaya, Pangreksa dengan suaranya yang kokoh, Bhra Anuraga yang berapi-api, hingga akhirnya Isidore, yang melangkah terakhir.

“Izinkan hamba memperkenalkan diri,” ucap Isidore, suaranya dalam dan tenang, namun mengandung getaran yang menyentuh hati. “Isidore, pengembara dari negeri jauh. Tiada maksud lain selain berjalan di jalan takdir yang ditunjukkan semesta.”

Tatapan Dyah Sekar Tanjung bertemu dengan tatapan Isidore. Ada kilau aneh di sana: kagum, penasaran, dan sesuatu yang lebih dalam, meski tak terucap.

Isidore tersenyum lembut. “Putri, bila berkenan, duduklah bersama kami. Api ini hangat, dan ikan sungai ini lebih lezat bila disantap ramai-ramai.”

Dyah Sekar tersenyum samar, lalu berkata, “Baiklah, ksatria. Undanganmu kuterima. Jarang aku dapati sambutan seindah ini di tengah hutan.”

Mereka pun duduk berdekatan. Di antara percakapan ringan dan tawa kecil, Dyah Sekar memberanikan diri bertanya, suaranya lirih, seakan hanya untuk Isidore.

“Ksatria Isidore… berapakah usiamu, bila tak berkeberatan menjawab?”

Isidore menatap nyala api sejenak sebelum menjawab. “Tahun-tahun bagiku telah banyak terlewati. Namun usia, putri, hanyalah angka. Yang lebih berarti adalah perjalanan hati.”

Dyah Sekar tersenyum, lalu menunduk, menyembunyikan rona wajahnya. “Dan apakah dalam perjalanan hatimu… telah ada seseorang yang menanti?”

Isidore menoleh padanya, menatap dalam-dalam, namun dengan kelembutan yang membuat jantung sang putri bergetar. “Belum, putri. Hatiku masih berjalan, belum berlabuh. Namun… kadang semesta mempertemukan dua jiwa pada waktu yang tepat, walau mereka masih terikat pada jalan masing-masing.”

Dyah Sekar terdiam, jemarinya meremas ujung selendang. Ada kata yang ingin keluar, tapi tertahan oleh adab dan tugas sebagai putri kerajaan.

Isidore lalu menundukkan kepala hormat. “Masih ada tanggungan yang harus kuselesaikan. Namun bila jalan takdir berkenan, aku akan kembali. Dan bila aku kembali… semoga kita dapat bercakap lebih dari sekadar tentang nama dan asal.”

Dyah Sekar Tanjung menatapnya dengan mata berbinar, suaranya setengah bisikan, “Aku akan menanti.”

Api unggun berderak, ikan matang disajikan, dan di bawah cahaya Bengawan Solo yang berkilau, tumbuhlah benih perasaan yang belum sempat mekar—namun janji dalam hati telah terucap di antara mereka.


---
Chapter 53 Senja di Bengawan Solo

Tatkala sang surya condong ke barat, langit berwarna tembaga dan lembayung, Paman Hanggara berdiri tegap dengan wajah penuh wibawa. Ia mengucapkan perpisahan kepada para ksatria dengan suara yang dalam,
“Wahai Isidore dan para sahabat yang berhati gagah, Majapahit selalu terbuka bagimu. Datanglah suatu hari, maka istana akan menyambutmu dengan segala kemuliaannya.”

Putri Dyah Sekar Tanjung pun maju selangkah, langkahnya selembut desir angin senja. Dari tangannya yang halus, ia mengulurkan sebuah hiasan berbentuk kupu-kupu, ditempa dari emas murni dan bertabur permata, berkilau seperti sayap cahaya kala sore.
“Terimalah ini, ksatria Isidore, tanda kenangan dari pertemuan kita. Semoga ia menjadi pengingat, bahwa di Majapahit ada seorang putri yang menanti doa keselamatan bagimu.”

Isidore menerima dengan penuh hormat, lalu mengeluarkan sebuah gelang dari kayu hutan purba. Kayu itu beraroma harum, seperti wangi dupa yang membelai jiwa. Ia menyerahkannya dengan tatapan tulus,
“Dan terimalah dari tanganku yang sederhana ini, putri. Gelang ini terbuat dari kayu suci yang selalu mengingatkan pada keseimbangan. Semoga aromanya senantiasa menenangkan hatimu, sebagaimana pertemuan ini menenangkan hatiku.”

Sejenak hening, lalu rombongan prajurit bersama sang putri berangkat, langkah mereka perlahan hilang dalam kabut senja, meninggalkan para ksatria dalam keheningan penuh makna.


---

Gua Sagara Putra

“Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan,” ujar Rakajati, sorot matanya tajam menembus belantara. “Ada seorang ksatria yang tertidur menanti kita.”

Ia menunjuk sebuah gua purba di tepi hutan, tak jauh dari arus Bengawan Solo. Mulut gua itu tertutup oleh pintu batu raksasa, dihiasi pahatan naga dan ombak, seakan samudra sendiri membisikkan rahasianya di sana.

Surya Wikrama maju ke depan. Dengan tangan tegak ia membentuk segel, dan cahaya suci memancar dari telapak tangannya. Sinar itu merambat, menyusuri retakan ukiran batu, hingga pintu gua bergetar dan terbuka perlahan, mengeluarkan suara dalam bagaikan gemuruh lautan.

“Masuklah,” katanya. “Inilah tempat persemayaman Sagara Putra, pengendali samudra.”

Mereka melangkah ke dalam, dan pandangan Pandika seketika terpesona. Dinding gua berhiaskan ornamen indah, kilauan kristal dan relief gelombang laut yang seakan hidup, memantulkan cahaya pelita. Dan di ruang terdalam, di bawah derasnya air terjun yang jatuh dari celah batu, seorang ksatria agung duduk bersila, tubuhnya diselubungi lumut dan kabut waktu: Sagara Putra.

Maka dimulailah pemanggilan. Surya Wikrama mengangkat tangan, memanggil jiwa sahabatnya dari alam roh. Guntur Wisesa berdiri di sampingnya, mengeluarkan aura petir yang menyambar lembut, menyinari ruangan dengan cahaya kilat. Bayu Anggana mengibaskan tangan, dan angin murni berhembus, mengusir kelelawar serta udara busuk yang lama bersarang di gua. Bhra Anuraga memanggil bara api, menghangatkan batu-batu yang dingin dan memurnikan udara lembap. Rakajati menundukkan kepala, akar-akar bumi menjalar, membersihkan lumut yang melilit tubuh Sagara Putra.

Perlahan, mata sang ksatria terbuka. Air terjun yang membasuh tubuhnya tampak berkilau, seolah ikut menyambut kebangkitannya. Ia menoleh, dan mendapati sahabat-sahabat lamanya telah menunggu dengan sabar.

“Saudaraku…” ucap Sagara Putra dengan suara serupa gemuruh ombak, “kalian telah datang. Waktuku tertidur telah berakhir. Kini, bersama kalian, aku akan berjalan kembali di jalan takdir.”

---

Chapter 54 Upacara Penyambutan Sagara Putra

Di ruang gua yang berkilau oleh gemerlap kristal dan jatuhnya air terjun, para ksatria berdiri membentuk lingkaran mengelilingi Sagara Putra. Api suci Bhra Anuraga berpendar di sisi, cahaya petir Guntur Wisesa menari di udara, dan angin Bayu Anggana membawa harum dupa yang mereka bakar sebagai tanda persaudaraan.

Surya Wikrama mengangkat tangannya, suaranya bergema di dinding gua:

“Wahai Sagara Putra, pengendali samudra yang agung, kami menyambut kebangkitanmu. Persaudaraan Mythopia belum musnah, dan hari ini engkau kembali menjadi tiang penyangga takdir.”

Mereka kemudian mengulurkan senjata mereka ke tengah lingkaran—pedang, tombak, tongkat, dan panah—membentuk bintang cahaya. Pandika meletakkan tangannya di atas, tanda sumpah setia.

Sagara Putra bangkit dari duduknya. Air yang jatuh dari rambutnya berkilau bagai mutiara. Ia menunduk hormat pada saudara-saudaranya, lalu mengangkat kedua tangannya, sehingga air terjun di belakangnya bergemuruh lebih dahsyat, seakan samudra ikut bersumpah.

“Bersama kalian aku hidup kembali. Demi bumi, demi langit, dan demi jiwa-jiwa yang gugur, kita akan menunaikan perjanjian lama. Mythopia tidak akan runtuh.”

Sorak doa persaudaraan memenuhi gua. Aura cahaya, angin, api, air, tanah, dan petir berbaur, menciptakan sinar pelangi yang menari di udara—tanda sumpah ksatria yang abadi.


---
Chapter 55 Kilas Balik: Perang Melawan Mahluk Mistis

Setelah upacara itu, Sagara Putra duduk bersila, dan dengan suara berat ia membuka kisah lama, kisah yang hanya diceritakan dalam bisikan-bisikan leluhur.

“Seratus tahun yang lalu, bumi ini diguncang oleh bencana. Dari perut gunung purba di dataran tinggi Dieng, bangkitlah Lelakut Gunung—raksasa dari batu dan lava, setinggi puncak gunung itu sendiri. Tubuhnya dipenuhi retakan merah membara, dan dari mulutnya dimuntahkan lahar yang menghanguskan hutan dan desa. Langit saat itu gelap, matahari tertutup asap, dan bumi bergetar di bawah pijakannya.”

Para ksatria Mythopia berkumpul dan menyerang dengan segala kekuatan. Panah petir ditembakkan, pedang suci beradu, sihir purba dipanggil. Namun raksasa itu tidak roboh. Setiap tebasan hanya menjatuhkan serpihan batu, namun tubuhnya kembali mengeras dengan api baru.

“Dan ketika kami mulai kelelahan,” lanjut Sagara Putra, suaranya bergetar, “muncul lagi malapetaka kedua: Gendrawani Api, seorang raksasi bertangan delapan, rambutnya menyala laksana obor, dan tiap tangannya menggenggam senjata maut. Ia meraung, dan suaranya memecahkan batu-batu puncak Dieng. Ratusan prajurit roboh, desa-desa dilalap api, sungai-sungai mendidih oleh panasnya.”

Banyak ksatria gugur hari itu. Ahli strategi kami, dengan air mata, memerintahkan mundur agar rakyat tidak seluruhnya binasa. Tetapi—”

Ia terdiam sejenak, menundukkan kepala, lalu melanjutkan,
“—di antara kami ada satu yang tidak mundur. Seorang ksatria dari Majapahit. Ia membawa pedang dan tongkat sihir. Seorang diri ia berdiri di tengah amukan api, menebas, menusuk, melantunkan mantra dengan membabi buta. Dari pedangnya lahir cahaya, dari tongkatnya mengalir gelombang sihir, menahan raksasi dan Lelakut Gunung agar kami bisa selamat. Tetapi setelah itu… tiada yang tahu nasibnya. Apakah ia gugur bersama kobaran api, atau masih hidup, berkelana di alam yang tak terjangkau manusia.”

Keheningan panjang menyelimuti gua. Hanya suara air terjun yang terdengar, laksana tangisan bumi mengingat perang itu.

“Karena itu,” Sagara Putra mengakhiri, “kita harus bersiap. Sebab bencana itu bisa saja bangkit lagi, dan sumpah kita hari ini adalah perisai terakhir bagi dunia.”