---
Bab I: Mimpi Sang Pemuda dari Lembah
Mentari pagi perlahan merekah di ufuk timur, menyingkap tirai kabut yang menggantung lembut di lereng-lereng bukit nan hijau, jauh di tepian barat Kerajaan Cakram. Embun masih bergelayut di ujung dedaunan, dan angin lembut berhembus membawa harum tanah basah dan wangi rumput liar yang bermekaran. Di antara hamparan sawah yang luas bagai permadani zamrud, tampak seorang pemuda tengah menekuni gerakan-gerakan yang memadukan kekuatan dan keluwesan, bagaikan daun yang menari dalam badai.
Dialah Pandika, putra dari tanah desa yang sederhana, namun dalam jiwanya berkobar bara impian. Rambut ikalnya yang hitam legam menari bersama angin pagi, dan tangannya yang keras oleh kerja sawah menggenggam sebatang kayu—pengganti pedang yang belum mampu ia miliki. Setiap ayunan, setiap langkahnya, adalah penggalan dari mimpi yang tak pernah padam: menjadi seorang pendekar sejati.
"Pandika! Masih saja kau berlatih seakan dunia menantimu berperang?" suara itu datang dari kejauhan, menggetarkan ketenangan pagi. Seorang wanita paruh baya, dengan langkah yang mantap dan keranjang penuh sayuran di lengannya, mendekat sambil menggeleng perlahan.
Itulah Sari, ibunda Pandika—wanita yang hatinya sekuat karang dan matanya memandang dunia dengan campuran kasih dan keprihatinan.
Pandika menghentikan gerakannya. Nafasnya berat, peluh membasahi dahinya. Namun dalam matanya, terbit cahaya tak tergoyahkan.
"Ibu, ini bukan sekadar mimpi. Suatu hari nanti, aku akan menjadi prajurit yang berdiri di garda depan Kerajaan Cakram."
Sari menghela napas panjang, seperti seseorang yang telah lama menyimpan beban di dadanya.
"Anakku… Raja Agus Marto lebih gemar berpesta di istana daripada melatih pasukan di lapangan. Di negeri ini, keberanian tak lagi mendapat tempat, dan pedang tak lagi diasah. Untuk apa kau bersusah payah menempuh jalan yang tak dihiraukan?"
Namun Pandika hanya tersenyum, lembut namun penuh tekad.
"Bukan untuk pengakuan aku berlatih, Ibu. Tapi untuk kehormatan. Karena suatu hari, badai akan datang. Dan saat itu tiba, negeri ini memerlukan tangan-tangan yang tak gentar, jiwa-jiwa yang tak mudah padam."
Ibunya memandangnya lama, dan dalam tatapannya ada sesuatu yang tak ia ucapkan: harapan dan ketakutan bercampur jadi satu.
"Kalau begitu, berlatihlah, Nak. Tapi jangan lupakan sawah kita yang menanti tanganmu. Impian tak akan tumbuh di tanah yang tak digarap."
Sari pun berlalu, langkahnya bergema lembut di tanah basah. Pandika kembali menyesuaikan kuda-kudanya, kini dengan semangat yang membara. Ia mencoba gerakan yang lebih berani—melompat, memutar tubuhnya di udara, memukulkan batang kayu seperti senjata nyata. Tubuhnya penuh luka dan memar, namun semangatnya tak pernah runtuh.
Dalam benaknya, ia melihat sebuah arena luas, dikelilingi oleh prajurit dari negeri-negeri jauh, pedang beradu, dan sorak peperangan menggema. Dan di sana, di tengah-tengah itu semua, berdirilah ia—anak desa dari lembah Cakram—membawa harapan yang telah lama tertidur.
---
Bentangan Megah Kerajaan Cakram
Di jantung tanah Cakram, berdirilah istana megah yang menjulang bak benteng zaman purba. Menara-menara tinggi menantang langit, berbalut batu pualam kelabu yang memantulkan cahaya mentari bagai bara surga yang meredup. Meski agung dalam rupa, namun hawa yang menyelimutinya kelam, seolah bayangan mendung menggantung abadi di atas menara-menara itu.
Di dalam balairung istana, yang pilar-pilarnya menjulang dan lantainya berkilau bak permukaan danau hitam, duduklah Raja Agus Marto di atas takhta besi berukir naga berkepala dua—warisan leluhur yang kini tampak lebih sebagai simbol kekuasaan rapuh daripada kebesaran sejati.
Sang raja, pria bertubuh besar dengan rambut yang mulai memutih di pelipis, memandangi para penasihatnya dengan sorot mata yang gelap dan tak bersahabat. Wajahnya selalu muram, seolah marah pada dunia yang enggan tunduk padanya.
"Sampai kapan kita harus menanggung aib ini?" hardiknya, suaranya menggema seperti gelegar petir di langit yang mendung. "Dalam tiap pertempuran, pasukan kita dikalahkan. Satu demi satu... kerajaan tetangga mulai menertawakan nama Cakram. Apakah para prajuritku hanya tahu cara lari dan bersembunyi?"
Balairung terdiam. Suasana menjadi berat seperti udara sebelum badai. Para penasihat menunduk, namun satu di antara mereka—tua, berjanggut perak dan berjubah biru—akhirnya mengangkat wajahnya dengan perlahan.
"Paduka Raja, barangkali... bila latihan militer ditingkatkan, bila para ksatria diberikan pelatihan yang layak, maka—"
Namun kata-katanya dipotong oleh gelombang amarah.
"Latihan?" ujar sang raja dengan tawa dingin yang tak membawa sukacita. "Itu hanya buang-buang waktu dan harta kerajaan. Bajingan berpakaian zirah tak akan membawa kejayaan! Dunia kini menuntut kelicikan, bukan keberanian. Diplomasi... atau cara lain yang lebih licin! Itu yang kita perlukan."
Ucapan itu menggantung di udara, mengendap seperti kabut beracun. Para penasihat saling memandang—tak ada yang berani menjawab, tak ada yang cukup berani menentang. Mereka tahu, di istana ini, pertentangan bisa berakhir dengan pengasingan... atau lebih buruk.
Di luar jendela-jendela kaca patri, langit perlahan mendung, seakan langit pun turut murung menyaksikan kejatuhan semangat dari seorang raja yang telah melupakan kehormatan senjata dan jiwa para pejuangnya.
---
Pertemuan di Tengah Pasar
Pada suatu sore yang berkilau lembut di bawah sinar keemasan mentari, Pandika, pemuda dari desa di pinggir negeri, melangkah menuju pasar kerajaan—suatu tempat yang baginya penuh dengan cerita dan harapan. Ia ingin menyaksikan sendiri denyut jantung pusat Kerajaan Cakram, dan di sela langkahnya yang tegap, tersembunyi pula niat untuk mencari jalan masuk ke dalam barisan prajurit sang raja.
Pasar itu ramai dan riuh, bagaikan lautan warna dan suara. Kanopi-kanopi kain membentang di atas kepala, menyaring cahaya matahari menjadi berkas-berkas lembut. Pedagang menjajakan rempah dan kain, alat tempa dan buah dari tanah subur, sementara musik tabuh dan nyanyian pengamen jalanan mengalun lembut di antara celoteh manusia.
Namun ketenteraman itu seketika pecah oleh jeritan yang tajam, menusuk udara seperti panah dari busur perang.
“Tolong! Ada pencuri!”
Tanpa ragu, Pandika menerobos kerumunan, mengikuti suara itu. Di sebuah lorong sempit yang diapit oleh kios rempah dan kain sutra, ia melihat seorang pria bertopeng tengah mencengkeram tas milik seorang wanita muda yang terjatuh. Pandika bergerak seperti angin pegunungan yang menghempas dedaunan—cepat, tak terbendung. Dalam satu gerakan terlatih, ia menjatuhkan si pencuri ke tanah berbatu, dan pria itu, tak ingin tertangkap, segera bangkit dan lari ke arah bayang-bayang.
Wanita muda itu terduduk, napasnya memburu, matanya terbelalak karena syok. Gaunnya berlapis kain halus, berbordir perak halus yang hanya dikenakan kaum bangsawan. Namun wajahnya tak menampakkan kesombongan, melainkan rasa terima kasih yang tulus.
“Terima kasih, Tuan…” ucapnya, suaranya sehalus embun pagi.
Pandika menundukkan kepala sedikit, seraya berkata dengan rendah hati,
“Tak perlu disebut, Nona. Namaku Pandika.”
Wanita itu berdiri perlahan, debu di gaunnya tak sanggup mengurangi wibawa alaminya.
“Aku Nayla,” jawabnya. Sorot matanya lembut, namun pandangannya tajam, seolah menilai lebih dari sekadar penampilan luar. “Kau sangat terampil. Apakah kau seorang prajurit kerajaan?”
Pandika menggeleng, sedikit ragu, namun suaranya mantap.
“Belum. Tapi aku berharap kelak dapat menjadi salah satunya.”
Senyum Nayla terbit seperti cahaya dari lentera malam.
“Kalau begitu, jangan padamkan harapanmu, Pandika. Kerajaan ini membutuhkan orang-orang yang berani bertindak bahkan ketika tak ada yang menyuruh.”
Ia berkata demikian, namun dalam nada suaranya terkandung beban yang tak tampak oleh mata awam—sebuah kesedihan atau mungkin rahasia yang dalam.
Pandika memandangnya sejenak, merasa seolah pertemuan itu bukan kebetulan, melainkan bagian dari sesuatu yang lebih besar—benang takdir yang tengah dijalin oleh tangan-tangan waktu.
Apa yang tak ia ketahui adalah bahwa Nayla bukan sembarang wanita—melainkan putri dari garis darah bangsawan tua, yang namanya disebut dalam bisik-bisik ruang perundingan dan bayang-bayang istana. Dan pertemuan mereka, sekilas tampak sederhana, namun akan mengguncang nasib kerajaan di hari-hari mendatang.
Malam tiba, Pandika kembali ke desanya. Di langit, bintang-bintang bersinar terang, seolah memberinya harapan baru. Ia tidak tahu bahwa pertemuannya dengan Nayla akan mengubah hidupnya selamanya. Di kejauhan, suara genderang kerajaan terdengar, mengingatkan semua orang bahwa Kerajaan Cakram masih dalam bahaya.
Tapi Pandika tidak takut. Ia siap menghadapi apa pun untuk mewujudkan mimpinya.
---
---
Bab Kedua: Ujian Pertama
Pagi menjelang dengan kabut tipis menggantung di atas halaman berbatu Istana Cakram, laksana tirai halus yang enggan tersingkap. Matahari belum sepenuhnya naik, namun sinarnya mulai menelusup di antara menara-menara tinggi, memantulkan cahaya keemasan pada gerbang logam yang menjulang tegak bagai penjaga abadi waktu.
Pandika berdiri di hadapan gerbang agung itu—seorang pemuda dari desa, dengan pakaian sederhana, kaki berdebu, dan sebilah tongkat kayu yang terikat di punggungnya. Tak ada baju zirah, tak ada lambang kebesaran, hanya tekad yang memancar dari sorot matanya.
Dadanya bergemuruh oleh harap dan gentar yang berpadu, namun kakinya tidak mundur satu jengkal pun.
Dari sisi gerbang, muncul seorang prajurit penjaga—berzirah kulit hitam dan membawa tombak panjang yang ujungnya berkilau. Ia menatap Pandika dengan mata menyipit, bibirnya melengkung dengan cemooh.
"Siapa kau, anak muda? Apa maksud kedatanganmu di istana pagi-pagi begini?" tanyanya dengan nada kasar, seolah kehadiran pemuda itu adalah gangguan bagi tatanan kerajaan.
Pandika membungkukkan tubuh sedikit, sebagai bentuk hormat.
"Namaku Pandika, hamba dari desa Lereng Timur. Aku datang untuk mengajukan diri sebagai calon prajurit kerajaan."
Penjaga itu tertawa—suara tawanya keras, menggema di antara tembok-tembok batu.
"Kau? Dengan tongkat kayu dan baju petani? Ini bukan gelanggang anak-anak, Nak. Pergi sebelum kau menyesal."
Namun Pandika tidak bergeming. Suaranya tetap teguh, seperti batu yang menahan ombak.
"Aku tidak datang untuk main-main. Aku hanya meminta satu hal: kesempatan untuk membuktikan bahwa aku layak."
Penjaga itu hendak menyahut lagi, namun sebelum kata-kata cemooh keluar dari mulutnya, terdengar suara lain—lembut, tenang, namun sarat kekuasaan yang tidak dapat disangkal.
"Biarkan ia masuk."
Seketika para penjaga berdiri lebih tegak. Dari belakang Pandika, muncullah seorang wanita muda dengan langkah ringan dan tatapan teduh. Gaunnya terbuat dari sutra ungu dan perak yang menyapu lantai batu, dan pada dadanya tergantung lambang keluarga tertua di Kerajaan Cakram—Putri Nayla.
Ia menatap Pandika, lalu mengalihkan pandangannya kepada para penjaga.
"Ia berada di bawah jaminanku. Jika ingin menjadi prajurit, maka biarkan ia mengikuti ujiannya seperti yang lain."
Salah satu penjaga buru-buru membungkuk.
"Ampun, Putri Nayla. Kami tidak tahu—"
"Tidak perlu meminta maaf," ucap Nayla lembut.
"Namun jangan pernah halangi seseorang yang membawa keberanian sejati."
Ia kembali memandang Pandika, matanya bersinar seolah melihat jauh ke dalam takdir.
"Semoga jalanmu kuat dan langkahmu benar. Di depanmu, ujian tak hanya menunggu, tapi juga menimbang."
Dan dengan demikian, Pandika melangkah melewati gerbang istana—bukan sebagai seorang prajurit, belum. Tapi sebagai seseorang yang telah menembus dinding pertama dari dunia besar yang tertutup rapat bagi mereka yang lahir tanpa nama.
Ujian pertama belum dimulai, namun sejarah telah mencatat langkahnya.
---
Bayang-Bayang di Barak Besi
Berkat kata-kata Putri Nayla—yang bagi sebagian adalah hukum, dan bagi sebagian lain adalah sumber kecemburuan—Pandika diterima sebagai calon prajurit dan diberi tempat di Barak Besi, tempat para pemuda dari seluruh penjuru negeri ditempa menjadi pelindung kerajaan.
Namun kehadirannya membawa riak dalam air yang tampak tenang. Bagi sebagian prajurit muda yang telah bertahun-tahun menempuh latihan berat, masuknya seorang anak desa—tanpa nama, tanpa gelar, tanpa warisan darah—terasa seperti penghinaan terhadap jalur kehormatan yang mereka tempuh.
"Lihatlah, petani itu," bisik seorang pemuda kepada kawannya di antara kerumunan barak. Suaranya rendah, namun penuh racun. "Datang dari lumpur dan berharap mengenakan zirah emas."
"Dia pasti dibantu seseorang. Atau menyogok penjaga. Mana mungkin dia lulus ujian hanya dengan tongkat kayu dan muka bodoh itu?"
Pandika mendengar, namun tidak menanggapi. Ia tahu bahwa bukan telinga yang harus menjawab fitnah, melainkan perbuatan. Maka ia mengalihkan pikirannya pada latihan, pada tubuhnya yang harus dikeraskan, dan pada tekad yang ia genggam sejak pagi pertama ia melihat matahari terbit di atas sawah desanya.
Namun bisikan iri itu tak sekadar kata-kata. Suatu malam, ketika bulan menggantung redup di langit dan barak telah sunyi, Pandika masih bertahan di halaman pelatihan, berlatih ayunan dan kuda-kuda di bawah cahaya obor. Keringat mengalir di wajahnya, namun pikirannya jernih.
Dari bayang-bayang muncul suara langkah. Bukan satu, melainkan banyak.
“Masih bermain dengan tongkatmu, petani?”
Suara itu berat dan kasar, milik seorang pria bertubuh besar, dengan dada lapang dan bahu selebar pintu gerbang. Namanya Raka, dan ia dikenal sebagai calon prajurit paling kuat di barak itu—berani, keras kepala, dan tak menyukai pesaing yang muncul dari bawah.
Di belakang Raka, empat orang prajurit muda lainnya berdiri seperti bayang-bayang yang mengikuti pemimpin mereka.
Pandika menoleh, wajahnya tidak menunjukkan rasa takut, hanya kelelahan dan keteguhan.
“Aku hanya berlatih.”
Raka menyeringai, lalu melangkah maju.
“Atau mungkin kau sedang menunggu Putri Nayla datang memujimu lagi? Apa kau pikir kau istimewa hanya karena dilirik oleh darah bangsawan?”
Pandika menarik napas perlahan. Suaranya tenang, namun dalam.
“Aku tidak datang ke sini untuk kemegahan. Aku datang untuk membuktikan diriku.”
Raka tertawa, lalu dengan gerakan tiba-tiba, mendorong Pandika dengan bahunya yang besar. Pandika terhuyung, namun tidak jatuh.
“Buktikan dirimu di ladang. Tempatmu di sana, bukan di antara para ksatria. Kami yang menempuh jalan ini dengan darah dan luka. Kau hanya bayang-bayang dari perlindungan istana.”
Pandika memandang mereka satu per satu, lalu menunduk pelan. Ia tidak membalas. Sebab ia tahu: bila ia melawan, maka akan dikatakan ia sombong. Bila ia membela diri, maka akan dianggap menghina tatanan. Maka ia diam, membiarkan kehormatan tetap tinggal di dalam hatinya, tak ternoda oleh provokasi.
Namun malam itu, di bawah cahaya bulan yang sayup, angin membawa bisik takdir yang tak dapat ditahan: konflik telah ditanam, dan kelak akan tumbuh menjadi ujian sejati.
---
Sidang Raja dan Ujian Takdir
Kegaduhan yang bergemuruh dari Barak Besi—bisik-bisik penuh iri, kecaman tersembunyi, dan cemooh yang dilemparkan bagai anak panah tanpa tuan—akhirnya mencapai telinga Raja Agus Marto, penguasa tertinggi Kerajaan Cakram. Dan ketika kata-kata itu—bahwa seorang anak desa masuk ke barisan prajurit tanpa melalui jalur resmi—diberitakan kepadanya, kemurkaan sang raja pun membubung laksana badai yang pecah di puncak gunung.
"Panggil semua. Adakan sidang. Panggil pemuda bernama Pandika itu segera!"
Maka berkumpullah seluruh jajaran bangsawan, para panglima, dan menteri kerajaan di Balairung Adiraja, ruang pengadilan yang agung dan senyap, tempat segala keputusan raja berlaku sebagai hukum mutlak. Pilar-pilar batu menjulang tinggi, dan langit-langitnya dihiasi lambang para leluhur Cakram yang seolah mengamati jalannya sidang dari dunia yang tak terlihat.
Di tengah ruangan, duduklah Pandika, sendirian, sebagai tertuduh. Di kursi tertinggi yang beratap singgasana naga perak, Raja Agus Marto duduk dengan wajah gelap bagai langit sebelum hujan badai. Jubah kerajaannya menjuntai, dan mahkota baja tua berkilau dingin di atas kepalanya.
“Pandika dari desa Lereng Timur, jawab dengan jujur di hadapan seluruh rakyat dan takhta ini: benarkah engkau masuk ke dalam jajaran calon prajurit kerajaan melalui jalan yang kotor?”
Pandika hendak membuka mulutnya, namun sebelum sepatah kata pun terucap, terdengar langkah anggun mendekat. Putri Nayla—berbalut jubah bangsawan berwarna langit senja, berdiri tegak di hadapan raja dan hadirin.
“Paduka Raja, kesalahan bukan pada dirinya. Akulah yang memberinya izin untuk masuk ke barak. Sebagai bangsawan, aku memiliki hak untuk menunjuk siapa yang kuanggap layak diberi kesempatan.”
Ruangan berbisik—beberapa terkejut, beberapa marah, dan banyak yang diam karena tak ingin melawan darah kerajaan.
Raja Agus Marto menatap Nayla, namun ia tidak menegur. Justru ia berdiri, mengangkat suaranya agar terdengar oleh semua.
“Jika begitu, maka biarlah ujian yang menentukan apakah anak desa ini pantas memakai lambang Cakram di dadanya. Bukan kata-kata, bukan hubungan darah, bukan jaminan bangsawan.”
Ia memutar tubuhnya, menatap langsung ke mata Pandika.
“Dengarlah, Pandika dari Lereng Timur. Bila engkau ingin menjadi prajurit... bukan, bukan sekadar prajurit... tetapi seorang ksatria sejati di kerajaan ini, maka kau harus menempuh empat ujian, masing-masing setara dengan maut.”
Suara raja bergema di ruangan megah itu, dan semua hadirin menunduk mendengar tantangan yang menggetarkan hati:
1. Mengambil Bunga Emas dari Puncak Gunung Api
Sebuah bunga langka yang tumbuh hanya di lereng kawah gunung berapi aktif. Banyak yang telah mencoba memetiknya. Tak satu pun kembali.
2. Mengalahkan Makhluk Penjaga Hutan Terlarang
Hutan tua di sebelah timur kerajaan, tempat yang bahkan burung enggan bernyanyi. Di sanalah bersemayam makhluk mistis penjaga harta yang tak ternilai.
3. Membawa Air Suci dari Mata Air Terlarang
Terletak di lembah ilusi, mata air ini dijaga oleh bayang-bayang dan jebakan yang menguji bukan hanya tubuh, tetapi juga pikiran dan hati.
4. Menyelesaikan Misi Kekaisaran Majapahit
Sebuah perintah rahasia dari tanah leluhur, sebuah tugas diplomatik dan berbahaya yang menuntut kebijaksanaan dan keberanian melebihi perang.
Suasana hening.
Bahkan para prajurit senior pun saling pandang dengan wajah tegang, sebab ujian semacam ini bukan hanya berat—tetapi nyaris mustahil.
Putri Nayla melangkah ke sisi Pandika, suaranya lirih namun penuh rasa:
“Kau tak harus menerima ini. Aku... aku bisa membantumu mencari jalan lain. Jalan yang lebih aman.”
Namun Pandika hanya tersenyum, senyum sederhana yang menyimpan nyala api besar.
“Terima kasih, Nayla. Tapi aku datang ke sini bukan untuk meminta pertolongan. Aku datang untuk membuktikan. Aku akan menempuh ujian ini, seberat apa pun. Karena kehormatan tidak dibeli dengan nama—melainkan dibangun oleh tindakan.”
Dan pada saat itu, di hadapan takhta, di antara para bangsawan dan prajurit, dan di bawah langit tinggi istana tua, takdir Pandika pun diukir. Ia bukan lagi sekadar pemuda desa. Ia adalah penantang takdir, yang akan menempuh jalan penuh bahaya untuk mengangkat dirinya bukan hanya sebagai prajurit—tetapi sebagai legenda.
---
Malam Purnama dan Langkah Pertama
Malam turun perlahan di atas Kerajaan Cakram, membalut menara dan puncak istana dalam kabut perak yang diterangi cahaya bulan purnama. Angin berembus lembut membawa bisikan dari gunung jauh, seakan dunia pun menahan napas menanti langkah pertama dari seorang pemuda yang hendak menantang takdirnya.
Di kamar sederhana di dalam barak timur, Pandika tengah bersiap. Tubuhnya tegap, namun wajahnya tenang—seperti danau di malam hari, yang di bawah permukaannya menyimpan arus deras keberanian.
Pintu diketuk pelan.
Putri Nayla masuk, membawa sesuatu dalam pelukannya: sebuah pedang bergagang emas tua, zirah baja yang dihiasi lambang Cakram, dan baju pelindung anti senjata buatan tangan para pandai besi istana.
Ia meletakkannya satu per satu di hadapan Pandika, dan menatapnya dengan mata yang menyimpan seribu kekhawatiran.
"Ini perlengkapan bagi seorang ksatria sejati," ucapnya lirih. "Ambillah. Semoga benda-benda ini melindungimu dalam jalanmu yang kelam."
Ia terdiam sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara yang nyaris seperti bisikan angin malam.
"Tetapi Pandika... bila di tengah jalan kau merasa tak mampu, jika ketakutan mulai menggerogoti hatimu... lebih baik kau mundur sekarang. Tidak ada yang akan menyalahkanmu."
Pandika menatapnya, lalu mengambil pedang itu. Kilatan logam memantulkan sinar bulan yang menyusup dari celah jendela.
"Aku tidak akan mundur, Nayla." Suaranya tenang, namun penuh keyakinan. "Ini jalanku. Cita-citaku bukan sekadar menjadi prajurit—aku ingin menjadi ksatria, bukan hanya untuk diriku, tapi untuk semua yang mempercayai aku."
Ia mengenakan zirah itu perlahan, seakan setiap potongan baja yang melekat adalah sumpah yang ia ikatkan pada dirinya sendiri.
---
Di tempat lain, di balkon tertinggi Istana Cakram, Raja Agus Marto duduk seorang diri. Angin malam menyapu jubah kebesarannya, dan di kejauhan, gunung berapi yang menjadi tujuan ujian pertama tampak berdiri sunyi, namun penuh ancaman.
Asap tipis naik dari kawahnya, merah membara di dasar langit malam.
"Kita akan lihat," gumam sang raja tanpa menoleh, "apakah pemuda desa itu benar-benar istimewa... atau hanya pengkhayal yang terlalu berani menantang nasib."
---
Sementara itu, di menara kediamannya, Putri Nayla berlutut di depan altar kecil tempat ia biasa berdoa. Tangan mungilnya mengepal, dan bibirnya merapal doa dalam bahasa lama yang diajarkan ibunya.
“Lindungilah dia, wahai para Penjaga Cahaya. Bimbinglah langkahnya dalam kegelapan.”
Di luar menara, angin malam membawa suara-suara yang tak bisa dimengerti, suara dari hutan dan gunung yang memanggil. Petualangan Pandika belum benar-benar dimulai—tetapi dunia telah bergeser.
Takdir telah menulis baris pertamanya.
---
Ujian Pertama: Bunga Emas di Puncak Gunung Berapi
Perjalanan menuju gunung berapi dimulai saat bintang-bintang masih menggantung tinggi di langit timur. Pandika melangkah sendirian melewati padang tandus dan batu-batu hitam yang menguapkan panas. Semakin dekat ia ke kaki Gunung Merapi Agung, semakin berat udara terasa di dadanya. Tanah bergemeretak di bawah langkah kakinya, seolah gunung itu sendiri mengamati dan menguji keberanian sang penantang.
Kabut belerang menyesakkan paru-parunya, dan sinar matahari pagi tidak lagi terasa hangat, melainkan menyengat seperti bara.
Saat mencapai lereng tengah, terdengarlah bunyi bergemuruh aneh—seperti kerikil yang saling berbenturan. Dari balik celah bebatuan, muncul makhluk-makhluk kecil berbentuk batu hidup, berukuran setengah tubuh manusia. Mata mereka bersinar merah seperti bara, dan tubuh mereka memijar panas.
Makhluk Lereng, demikian mereka dikenal dalam cerita rakyat. Penjaga jalur rahasia menuju puncak, mereka hidup dari panas bumi dan menyerang siapa pun yang melangkah terlalu dekat.
Tanpa peringatan, mereka mulai melemparkan batu-batu merah menyala. Pandika segera mengangkat tameng—pantulan logamnya membelokkan sebagian serangan, namun satu lemparan menghantam bahunya, membuatnya terhuyung.
"Tidak bisa seperti ini," gumamnya, darah menetes dari pelipisnya. Ia tahu, melawan jumlah sebanyak itu akan sia-sia. Ia harus menemukan celah.
Ia memejamkan mata sejenak, mengingat pelajaran dari gurunya: “Cepat lebih dari kuat. Tepat lebih dari besar.”
Maka ia membuka matanya, dan mulai bergerak—bukan untuk bertarung, tapi menari di antara serangan. Tubuhnya melesat, melompat, memutar, menghindari lemparan demi lemparan. Pedangnya—yang kini bersinar biru terang, seperti api langit—memecahkan batu yang terlalu dekat. Debu panas mengepul, namun Pandika tak berhenti.
Akhirnya, ia lolos dari kepungan makhluk batu, napasnya tersengal dan tubuhnya dilumuri debu hitam dan luka.
---
Puncak gunung menyambutnya dengan pemandangan menakjubkan dan mengerikan. Di tengah lingkaran lava mendidih, tumbuh Bunga Emas—tumbuhan langka bercahaya keemasan, kelopaknya seperti sinar matahari yang dibekukan dalam bentuk bunga. Aromanya halus namun terasa menyentuh jiwa.
Namun antara dia dan bunga itu terdapat jurang sempit yang dipenuhi gas beracun, berkilauan dalam warna hijau dan ungu yang menyesatkan.
Pandika tahu, satu kesalahan di udara berarti kematian.
Ia mengikatkan kain di wajahnya, mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan melompat. Di tengah udara, kabut gas menyelimutinya—matanya berkunang, tubuhnya limbung. Dunia berputar dan napasnya membakar dari dalam.
Namun dengan satu tangan yang gemetar, ia berhasil meraih tepi batu tempat Bunga Emas tumbuh.
Dengan sisa tenaga, ia menarik dirinya dan menggapai bunga itu. Saat tangannya menyentuh kelopaknya, bunga itu bersinar lebih terang—seakan mengenal siapa yang pantas memetiknya.
Pandika berdiri di puncak gunung berapi, memegang Bunga Emas di tangan, dan langit terbuka seakan menyambut sang pemuda yang lolos dari ujian pertama.
Ujian ini baru permulaan. Tapi Pandika kini tahu satu hal: keberaniannya bukan sekadar harapan, tapi kenyataan.
Pertemuan dengan Si Maung
Langkah-langkah Pandika menuruni lereng gunung begitu berat, seolah tanah menarik tubuhnya kembali ke puncak. Udara panas menyengat, dan luka-luka di tubuhnya mulai terasa perih. Pandangannya mulai kabur. Tubuhnya limbung. Jika bukan karena tekadnya yang menyala seperti bara, mungkin ia sudah tumbang di jalan berbatu itu.
Di tengah keheningan, terdengar suara lembut dari semak-semak.
"Kau terlihat seperti membutuhkan bantuan."
Pandika segera mengangkat kepalanya. Napasnya terengah. Dari balik dedaunan, muncullah sosok yang tak biasa—seekor makhluk mungil seukuran kucing hutan. Namun bukan kucing biasa.
Tubuhnya diselimuti bulu perak yang berkilau seperti cahaya bulan, dan matanya bersinar seperti dua permata hijau zamrud. Langkahnya ringan, anggun, dan ekornya bergerak perlahan seperti asap tipis.
"Siapa... siapa kau?" tanya Pandika, masih setengah sadar.
Makhluk itu duduk di atas batu, membasuh wajahnya sejenak dengan kaki depannya sebelum menatap Pandika dengan wibawa yang mengejutkan.
"Aku adalah penjaga spiritual hutan ini. Kau boleh memanggilku... Si Maung."
Pandika nyaris tak percaya. Dalam legenda rakyat desanya, Si Maung adalah roh penjaga hutan purba, penuntun para penjelajah terpilih yang berada di ambang keputusasaan.
"Kenapa kau membantuku?"
Makhluk itu tersenyum samar.
"Karena kau berbeda. Aku melihatnya dari cara kau bertarung, dari bagaimana kau menahan rasa sakitmu dan tetap berjalan. Kau punya cahaya dalam dirimu yang jarang kulihat. Kau tidak menyerah."
Pandika mengangguk pelan.
"Terima kasih. Tapi ini baru permulaan. Aku masih punya dua ujian lagi."
Si Maung mendekat lalu melompat ringan ke bahu Pandika, bulunya terasa dingin dan menyegarkan, seperti embun pagi.
"Kalau begitu, biarkan aku ikut. Hutan di seberang lembah itu adalah tempat ujianmu berikutnya. Aku tahu jalannya, dan lebih dari itu... aku bisa membuatmu menghilang dari pandangan musuh. Kemampuanku akan membantumu bertahan."
Pandika tersenyum, untuk pertama kalinya sejak ia meninggalkan rumah. Bukan karena ujian telah usai, tapi karena ia tahu... sekarang, ia tidak lagi sendirian.
Dengan langkah pelan tapi pasti, Pandika melanjutkan perjalanan menembus kabut menuju hutan terlarang, bersama Si Maung di sisinya.
---
Ujian Kedua: Mengalahkan Makhluk Penjaga Hutan
Kabut tebal menyelimuti jalan setapak di hutan terlarang. Pepohonan menjulang tinggi seolah menutup langit, dan cahaya matahari hanya mampu menembus dalam bentuk garis-garis tipis. Setiap langkah Pandika disertai bisikan-bisikan aneh yang menggema di antara pepohonan, seperti suara makhluk yang mengintai dari balik kegelapan.
Si Maung berjalan di sampingnya dengan langkah ringan, namun matanya awas.
"Tetap waspada. Kita mendekati pusat kekuatan penjaga hutan ini."
Tak lama kemudian, tanah di depan mereka bergetar. Dari balik semak dan bayangan, muncul seekor harimau raksasa—lebih besar dari kereta kuda, dengan bulu hitam legam dan mata merah menyala seperti bara neraka. Nafasnya menghembuskan udara panas, dan setiap gerakannya membuat ranting dan daun luruh dari pohon.
"Itu dia..." bisik Si Maung. "Makhluk penjaga hutan. Kau harus menghadapinya sendirian. Ini ujian keberanian dan jiwa."
Pandika menelan ludah. Tubuhnya lelah, namun jiwanya menyala. Ia mencabut pedangnya—Kilau Bulan—yang langsung memancarkan cahaya biru lembut.
Tanpa aba-aba, makhluk itu menerjang. Kecepatannya luar biasa. Cakarnya menggores tanah, meninggalkan bekas bak terbelah. Pandika menghindar dengan susah payah, tamengnya nyaris lepas saat menahan hantaman pertama.
"Ia terlalu cepat!" teriak Pandika, mundur selangkah.
"Gunakan aku!" seru Si Maung, lalu melompat ke pundaknya dan membisikkan mantra.
Dalam sekejap, tubuh Pandika memudar—menghilang dari pandangan. Makhluk penjaga berhenti sejenak, kebingungan. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Dengan cepat, Pandika melesat dari sisi kanan dan menebaskan Kilau Bulan, melukai pundak sang penjaga.
Makhluk itu meraung keras, mengguncang hutan. Luka itu membuatnya lebih buas. Ia menyerang bertubi-tubi, dan dalam satu kesempatan, cakarnya nyaris menyentuh wajah Pandika.
Tubuh Pandika gemetar. Tenaganya mulai menipis. Napasnya tersengal. Di titik antara bertahan dan tumbang, suara Si Maung kembali terdengar, lembut namun tegas.
"Kau sudah cukup jauh, Pandika. Tapi jika kau ingin lolos, kau harus percaya... bahwa cahaya itu berasal dari dalam dirimu."
Si Maung menempelkan dahinya ke gagang Kilau Bulan. Seketika, pedang itu berubah—berkilau lebih terang, memancarkan ledakan cahaya putih keperakan yang menembus kegelapan hutan.
Pandika mengangkat pedang tinggi-tinggi, lalu menerjang.
Dengan satu tebasan terakhir yang dipandu cahaya, kilatan energi menembus dada makhluk penjaga. Harimau raksasa itu meraung pilu, sebelum berubah menjadi ribuan kelopak bunga hitam yang perlahan beterbangan ke langit dan lenyap dalam cahaya pagi.
Hutan menjadi hening.
Pandika berdiri terhuyung, lututnya nyaris roboh. Si Maung melompat ke pundaknya dan menjilat luka kecil di lengannya.
"Kau telah lulus ujian ini, Pandika. Dan kau membuatnya dengan cahaya hatimu sendiri."
Di kejauhan, sinar mentari pertama mulai menembus kanopi hutan. Ujian kedua telah berakhir. Tapi ujian terakhir... masih menanti.
Adegan Penutup: Cahaya di Antara Kegelapan
Langit malam menggantung sunyi di atas hutan yang baru saja tenang dari amarah sang penjaga. Aroma tanah basah dan daun yang berguguran menyelimuti udara, menyisakan kesan damai setelah pertarungan dahsyat.
Pandika duduk bersandar di batang pohon tua, napasnya masih berat, dadanya naik turun perlahan. Peluh membasahi wajahnya, namun sorot matanya memancarkan keteguhan yang tak tergoyahkan.
Si Maung duduk di sampingnya, menjilati cakarnya yang bersih, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun matanya terus memperhatikan Pandika dengan penuh rasa hormat.
"Kau hebat, Pandika," ujar Si Maung dengan nada tenang namun dalam. "Tapi ujian terakhir akan jauh lebih sulit dari yang sudah kau hadapi."
Pandika menatap langit gelap yang ditaburi bintang. Angin malam berhembus lembut, membawa dingin yang mengendap di tulang.
"Aku tahu," jawabnya lirih, tetapi jelas. "Tapi... denganmu di sisiku, aku merasa lebih siap. Lebih berani."
Si Maung tersenyum kecil, mata peraknya memantulkan sinar rembulan.
"Itu karena hatimu mulai mengenal cahaya, Pandika. Bukan dari pedangmu, tapi dari keberanianmu menghadapi kegelapan."
Keduanya terdiam sejenak. Di kejauhan, bulan bulat sempurna menggantung tinggi, bersinar terang seolah mengawasi mereka, memberkati setiap luka, setiap langkah yang telah ditempuh.
Pandika memejamkan mata. Letih, namun hatinya damai.
"Mari kita istirahat," kata Si Maung sambil menggeliat malas. "Besok, kita hadapi ujian yang sesungguhnya—ujian dari dalam dirimu sendiri."
Angin kembali berdesir, mengusap lembut wajah Pandika yang mulai terlelap.
Petualangan belum usai. Namun malam ini, untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, ia merasa siap menghadapi dirinya sendiri.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar