01/08/25

Season 7 kerajaan mythopia

---

Chapter 44 Di Tepi Bengawan Solo

Di lembah timur yang rimbun, tatkala matahari menggantung tinggi di langit, sinarnya yang menyengat tersembunyi di balik rindangnya dahan-dahan pohon tua yang tumbuh menjulang di tepi Bengawan Solo. Di antara bebatuan yang dilicinkan oleh aliran zaman, mengalirlah sungai jernih bak kaca, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan dedaunan yang menari ditiup angin lembut musim panas.

Di sanalah, di tempat yang tersembunyi dari mata manusia biasa, tiga putri dari istana Majapahit sedang mandi dan bermain air. Mereka adalah bunga terakhir dari zaman keemasan:
Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, putri bungsu dari Prabu Kertawardhana yang agung;
Lembayung Ardhani, pemilik suara selembut sutra dan pandangan secerah senja;
dan Pujeng Rarasati, gadis periang dengan tawa yang mampu menyembuhkan luka hati.

Mereka tertawa ringan, saling memercikkan air seperti masa masih kanak-kanak, jauh dari beban mahkota dan sumpah darah kerajaan. Namun tak jauh dari sana, di balik semak dan pohon, berdirilah para pengawal bersenjata. Di antara mereka, berdiri tegak Rakai Jaya Langgana, seorang ksatria muda berselimut diam dan rahasia. Cintanya kepada sang Putri bagaikan api yang tersimpan dalam perisai — hangat namun tak pernah menyala terang.

Tiba-tiba, di sela desiran angin dan riak air, suara Dyah Sekar mengalun lembut, namun membawa nada gelisah:

> “Pernahkah kalian dengar,” katanya sambil membasuh rambut hitam legamnya,
“bahwa para begundal kegelapan dari Sinabung telah kembali menodai perbatasan timur? Kekaisaran kita, yang lelah oleh bayangan lama, kini telah mengeluarkan sayembara. Siapa pun yang sanggup membawa mereka ke keadilan akan diberi gelar dan tanah di seberang lautan.”



Lembayung menoleh, tatapannya penuh rasa ingin tahu.

> “Katanya ada seorang pendekar yang sudah menjawab tantangan itu,” ujarnya, “Namanya Pandika. Seorang diri ia berangkat, berasal dari Kerajaan Cakram, negeri kecil yang tak banyak dikenal.”



Pujeng Rarasati menambahkan sambil tertawa kecil,

> “Mereka bilang Pandika membawa pesan dari para tetua. Ia mencari raja muda yang hilang dari Mythopia. Seorang pemuda bernama Isidore.”



Putri Sekar mengangkat wajahnya, mata hitam legamnya menatap ke langit seakan mencoba membaca takdir.

> “Isidore…” bisiknya, “Konon ia memiliki wajah tampan dan kulit sawo matang seperti tanah tempat nenek moyang kita berpijak. Namun apa yang bisa kulihat dari raut wajah jika hatinya belum kukenal?”



Tak ada yang menjawab. Hanya desir angin dan gumaman air yang menjawab pertanyaan sang Putri, dan di kejauhan, Rakai Jaya Langgana mengepalkan tangan di balik semak — sebab ia tahu, takdir sedang bergerak, dan kisah besar tengah menanti untuk ditulis dalam kitab para leluhur.


---

Chapter 45 Keajaiban di Bengawan Solo

Nun jauh di jantung tanah timur, kala bayang-bayang siang mulai memendek dan daun-daun berdesir dalam bisikan angin dari pegunungan Lawu, mengalir sebuah sungai tua yang dikenal dalam tembang dan dongeng para tetua — Bengawan Solo.

Ia bukan sungai biasa. Ia adalah arteri dari bumi tua, mengalir sejak zaman para raja belum menjejak tanah, sejak para dewa menanam bintang di langit dan memberi nama bagi segala pohon dan batu. Bengawan Solo mengalir tenang, memeluk batu-batu tua yang dilicinkan oleh ribuan musim, dan menyanyi dengan suara air yang tak pernah bosan memuja waktu.

Pada sebuah tikungan tersembunyi, di mana pepohonan berakar dari zaman purba dan bunga liar tumbuh tanpa takut, di sanalah airnya paling jernih — sebening kaca cermin para peramal, memantulkan langit yang luas dan daun-daun yang bergoyang seperti tirai surga.

Di tempat inilah, kala dunia diam dan hanya burung-burung hutan yang bersuara, para putri dari istana Majapahit kerap datang untuk mandi. Dan ketika kaki mereka yang halus menyentuh airnya, seolah sungai itu sendiri berdebar dalam diam — air menghangat dengan kelembutan, dan bebatuan bersinar seperti baru dilahirkan kembali dari perut bumi.

Sang putri utama, Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, turun pertama kali, diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Air menyambut mereka seperti saudara lama, merangkul tubuh-tubuh muda mereka dengan gemetar lembut, dan seolah menghafal setiap langkah, tawa, dan hela nafas mereka.

Lalu terjadilah keajaiban kecil yang tidak tertulis dalam kitab para pendeta namun disampaikan turun-temurun oleh para leluhur penjaga tanah: setiap kali para putri selesai mandi, air Bengawan Solo berubah harum. Tidak tajam seperti minyak wangi, tapi lembut dan sukar dijelaskan — seperti wangi bunga tanjung yang mekar malam hari, seperti kenangan masa kecil yang hangat dan jauh.

Harum itu bertahan hingga malam. Bahkan para nelayan yang berlabuh di hulu bertanya-tanya siapa yang telah berjalan di atas air dan meninggalkan jejak surga. Dan para tetua desa berkata, "Itu bukan jejak manusia biasa — itu jejak para putri darah raja, yang mandi bukan hanya dengan tubuh, melainkan dengan cahaya dalam jiwa."


---
Chapter 46 Pertanda di Sungai Bengawan

Di balik pepohonan yang menaungi aliran suci Bengawan Solo, dalam bayang-bayang hening di mana cahaya siang menari melalui dedaunan, berdirilah Paman Hanggara — tua, tegap, dan bermata tajam seperti elang yang telah menyaksikan banyak zaman berlalu.

Ia memandang ke arah seorang pemuda yang duduk menyendiri di sisi timur sungai, tangannya menggenggam gagang keris tanpa suara, matanya tertuju ke permukaan air yang berkilau diterpa cahaya. Dialah Rakai Jaya Langgana, pengawal utama sang putri.

> “Nak Jaya...” kata Paman Hanggara perlahan, suaranya dalam dan bergetar oleh rasa sayang yang dibungkus kekhawatiran, “engkau telah memasuki usia di mana lelaki harus berpikir tentang garis keturunan. Jangan kau habiskan hidupmu dalam bayang-bayang yang tak bisa kau capai.”



Rakai menunduk, napasnya berat.

> “Ampun, Paman,” katanya lirih, “jika hati ini telah keliru. Aku memang menyimpan rasa pada sang Putri... namun kupastikan rasa itu takkan pernah keluar dari tempatnya. Cukup bagiku berdiri di sisinya sebagai perisai, bukan sebagai pasangan.”



Hanggara menatapnya lama, lalu menghela napas dan memalingkan wajah, seakan memahami, namun tak bisa menyetujui sepenuhnya.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan di barat, muncullah Wirya Nagapati, prajurit bayangan yang langkahnya lebih sunyi dari desir angin. Jubahnya hitam, dan matanya bersinar bagai bara api dalam kegelapan.

> “Waktumu habis, Putri-putri Istana,” bisiknya dengan suara serak namun jelas. “Hutan telah bicara... Jejak mistis tercium di utara. Ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang tak menyukai kehadiran darah kerajaan di tempat ini.”



Hanggara tak membuang waktu. Ia membawa jari ke bibir dan meniup sebuah siulan panjang — tidak keras, tapi merdu dan dalam. Suara itu menggema pelan seperti nada dari seruling zaman tua, menjalar ke sela-sela daun dan menyentuh telinga mereka yang tahu artinya.

Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, yang tengah membasuh rambutnya dengan air jeruk purut dan bunga tanjung, menoleh pelan.

> “Siulan Paman terdengar lebih cepat dari biasanya,” ucapnya dengan dahi berkerut, “seolah pagi ini ingin berakhir sebelum waktunya. Mungkinkah ada gangguan yang mengintai dari kejauhan?”



Ia berdiri, anggun dan tenang, namun tatapannya tajam — seperti seorang ratu yang tahu kapan harus memerintah dan kapan harus berlari dari bahaya.

Di atas cabang pohon tinggi, tersembunyi di balik dedaunan lebat, Sasi Anglingrat — pengawal rahasia istana — tengah berjaga. Matanya yang tajam menangkap bayangan gelap yang merayap seperti asap dari arah utara. Kabut hitam itu tidak berasal dari bumi, dan tidak pula milik langit.

Ia menghela napas, lalu melompat turun dengan gesit seperti bayangan seekor kijang malam. Tanpa berkata-kata, ia berlari ke arah pasukan dan rekan-rekannya. Pertanda buruk telah datang. Dan waktu takkan memberi mereka banyak kesempatan.


---
---

Chapter 47 Wangkara, Bayangan yang Membelah

Untuk pertama kalinya, Sasi Anglingrat, penjaga rahasia dari Majapahit, menyaksikan wujud yang tak bisa dijelaskan oleh kitab perang maupun bisikan para pendeta hutan. Ia berdiri diam, napasnya tertahan, saat dari balik kabut yang merayap turun dari langit, muncul sosok yang menyerupai manusia namun tak sepenuhnya nyata.

Separuh tubuhnya kabut, separuh lainnya tampak seperti manusia yang telah ditinggalkan cahaya kehidupan. Kabut itu berdenyut perlahan, mengelilingi sosok tersebut, dan setiap kali ia bergerak, tanah di sekitarnya seperti kehilangan warna dan suara.

> “Wangkara...” bisik Sasi, matanya menyipit, “makhluk dari bayang-bayang utara, yang dikisahkan dalam gulungan lontar-lontar tertua, namun tak pernah dipercaya sepenuhnya.”



Ia memberi isyarat kepada pasukan untuk mundur. Gerak jarinya cepat namun jelas: berkumpul, diam, lalu mundur perlahan. Dirinya sendiri tetap berdiri di depan, seolah bayang-bayang pohon telah bersatu dengan tubuhnya.

Dengan satu gerakan anggun, Sasi Anglingrat mencabut dua bilah pedang pendek dari punggungnya — pusaka berlapis mantra yang hanya ia sendiri yang mampu memanggil kekuatannya.

Tanpa ragu, ia melemparkan bilah pertama ke arah Wangkara. Pedang itu melesat seperti kilat — namun saat menyentuh tubuh kabut makhluk itu, bilah tersebut melintas seakan hanya menembus udara. Tak ada luka. Tak ada suara. Hanya kehampaan.

Sasi mengatupkan rahang, lalu melangkah maju.

> “Jika tidak bisa dengan jarak jauh,” ucapnya dalam hati, “maka akan kuhadapi dengan nafas dan nadi.”



Ia mencengkeram pedang kedua dengan kedua tangan. Saat menebas, ia mengalirkan bukan hanya tenaga, tapi juga keyakinan, karena hanya keyakinan yang bisa menembus dunia bayangan. Namun ketika bilah itu menyayat tubuh Wangkara, makhluk itu terbelah menjadi dua, dan kedua bagian itu hidup — bergerak sendiri dengan wajah yang sama kosongnya.

Dari arah utara, Wirya Nagapati datang bagai angin malam. Jubahnya mengepul, dan di tangannya terhunus keris warisan leluhur — bilah sakti yang dipercaya dapat melukai roh dan jin. Ia menerjang Wangkara dengan teriakan keras, menebas tubuh makhluk itu.

Namun hasilnya tak berbeda. Setiap tebasan hanya menggandakan jumlah musuh. Dari satu, menjadi dua. Dari dua, menjadi empat. Dan kabut semakin menebal, mengaburkan pandangan, merampas harapan.

> “Mundur!” seru Wirya dengan suara yang menggema seperti guntur di pegunungan, “Wangkara bukan untuk kita hadapi di sini. Makhluk ini bukan untuk dibunuh... melainkan untuk dijauhi.”



Dengan keberanian mereka, Sasi dan Wirya menahan gelombang kabut yang terus mendekat, menciptakan waktu dan ruang yang cukup bagi para putri dan pasukan pengawal untuk mundur ke sisi selatan. Dyah Sekar, yang telah berselimut kain tipis dan rambutnya masih basah oleh air Bengawan, dituntun oleh Rakai Jaya Langgana menuju kuda-kuda yang telah disiapkan di balik pohon.

Di belakang mereka, kabut terus bergulung seperti ombak senja yang menelan hutan. Dan bayangan Wangkara masih berdiri, diam, tanpa suara — namun tak ada satu pun yang berani menatapnya dua kali.

---
---

Chapter 48 Pertemuan di Bukit Halilintar

Tanpa jeda, tanpa keluh, Pandika, sang pengembara dari Cakram, menunggang kudanya melintasi hutan lebat, sabana luas, dan lembah-lembah berkabut hingga akhirnya tiba di hadapan Bukit Halilintar — sebuah dataran tinggi yang diselimuti awan kelabu dan gelegar petir di kejauhan, seperti panggung dunia bagi kejadian-kejadian besar yang ditakdirkan.

Kudanya — seekor kuda istimewa berdarah Dewa Angin — meringkik pelan, tubuhnya penuh peluh namun matanya tetap bersinar jernih. Pandika turun perlahan, menepuk lembut leher hewan setianya.

> “Terima kasih, sahabatku,” katanya lirih. “Kau telah menuntunku sejauh ini. Kini saatnya kau beristirahat... makanlah rerumputan yang tumbuh di tanah suci ini. Takkan ada binatang buas mengganggumu.”



Tak jauh dari sana, tersembunyi di dalam lekuk gua kuno di jantung bukit, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, membuka matanya. Ia duduk bersila di atas batu, dikelilingi lingkaran cahaya redup dari api biru yang menyala tanpa bahan bakar.

> “Ada kekuatan mendekat,” ujarnya lirih, “kekuatan yang bukan dari kegelapan... tapi juga bukan dari tanah ini.”



Dari balik bayangan, muncullah Rakajati, penjaga hutan yang setia, suaranya tenang seperti suara pohon tua yang berbicara di malam sunyi.

> “Dia hanyalah seorang pengembara,” ujarnya, “tapi kebaikan mengalir dalam darahnya. Biarlah aku yang membawanya kemari.”



Dalam sekejap, tubuh Rakajati menyatu dengan batang pohon, menghilang ke dalam kulit kayu seperti roh penjaga rimba. Dan ketika ia muncul kembali, dedaunan bergetar seolah alam turut menunduk menyambutnya. Ia berdiri di hadapan Pandika, yang terkejut dan tanpa pikir panjang mengangkat kedua tangannya dalam sikap bertahan, tinjunya terkepal namun tak menyerang.

Rakajati hanya tersenyum.

> “Tenanglah, wahai pengembara. Aku bukan musuhmu,” ucapnya.
“Mohon maaf jika kedatanganku mengejutkan,” balas Pandika, merendah. “Namaku Pandika, dari negeri Cakram. Aku datang untuk mencari Tuan Isidore. Ada keperluan mendesak... kami membutuhkan bantuannya untuk menumpas gerombolan kegelapan yang kini bersarang di puncak Gunung Sinabung.”



Rakajati diam sejenak, seperti menimbang jawaban dari suara angin dan getaran tanah.

> “Sayang sekali, kami tak sedang berada di tempat yang tetap,” jawabnya akhirnya. “Kami sedang bersiap melakukan perjalanan menuju Sungai Bengawan Solo — untuk sebuah pertemuan yang tak bisa ditunda. Mungkin... beberapa hari lagi sebelum kami bisa menghadap ke utara.”



Pandika menunduk dalam-dalam, lalu berkata dengan ketulusan yang bersinar dalam matanya:

> “Jika berkenan, izinkan aku ikut serta dalam perjalanan itu. Aku bersumpah demi tanah kelahiranku, aku takkan menjadi beban ataupun penghalang.”



Rakajati menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan.

> “Kalau begitu, bersiaplah. Ikuti langkahku. Kau akan bertemu dengan Isidore... dan nasib akan menguji kita bersama.”



Lalu mereka melangkah perlahan menyusuri lereng bukit, kabut tipis menyelimuti langkah mereka, dan di kejauhan, guruh masih bersuara — seperti gendang langit yang tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah takdir dunia.


---
Chapter 49 Pertemuan Dua Takdir: Pandika dan Isidore

Di dalam gua yang diterangi cahaya samar dari batu-batu berpendar, Isidore, sang Raja Muda dari Mythopia, duduk di atas singgasana batu yang dipahat alam sendiri. Aura kebangsawanan menyatu dengan ketenangan seorang bijak, namun matanya menyiratkan bahwa ia telah menyaksikan banyak hal—lebih dari yang seharusnya ditanggung oleh seorang muda.

Seorang pengembara menghampiri dengan langkah ringan namun penuh keyakinan. Ia membungkuk dalam penghormatan, lalu berkata:

> “Perkenalkan diriku, Pandika, dari Kerajaan Cakram. Aku telah diberitahu oleh Rakajati bahwa engkau hendak menuju Sungai Bengawan Solo. Bila berkenan, ijinkan aku menyertai perjalananmu. Aku bersumpah atas kehormatanku, aku takkan menjadi beban.”



Isidore menatapnya sejenak, menilai bukan wajah, tapi jiwa di baliknya. Lalu ia mengangguk tenang.

> “Boleh saja, Pandika. Jalan kami terbuka bagi mereka yang membawa terang dan keberanian.”



Pangreksa, sang penjaga pusaka kerajaan, yang berdiri tak jauh dari situ, memperhatikan pedang yang tergantung di pinggang Pandika. Matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.

> “Pedangmu... sungguh langka. Itu bukan buatan manusia biasa.”



Pandika menyentuh gagang senjatanya dengan penuh hormat.

> “Benar. Senjata ini diberikan oleh seorang peri hutan—mereka yang hidup tersembunyi di antara akar dan kabut, pelindung tanah dan daun.”



Rakajati mengangkat alis, suaranya mengandung kekaguman.

> “Peri... mereka sangat sulit ditemukan. Bahkan aku, yang hidup di antara pepohonan, tak pernah melihat wujud mereka selama ratusan purnama. Kau benar-benar beruntung.”



Bhra Anuraga, sang pendeta muda yang selalu haus akan kisah dan makna di baliknya, bersandar pada tongkat kayunya.

> “Jika engkau berkenan, ceritakanlah. Bagaimana perjumpaan itu terjadi?”



Pandika mengangguk, lalu mulai bertutur:

> “Aku sedang dalam perjalanan menyelesaikan misi yang dipercayakan oleh rajaku, Agus Marto, raja dari tanah Cakram. Untuk membuktikan kelayakanku sebagai seorang ksatria, aku ditugaskan menyelesaikan banyak tantangan yang tersebar di kerajaan-kerajaan dunia lama. Dalam satu perjalanan di hutan utara, aku terluka parah saat melawan makhluk bayangan. Saat itulah seorang peri datang—ia menyembuhkanku, lalu memberiku pedang ini sebagai penuntun dalam kegelapan.”



Pangreksa menepuk pundaknya pelan.

> “Semoga perjalananmu membawa keberhasilan. Dunia memerlukan ksatria yang bersumpah atas keadilan, bukan hanya kekuatan.”



Rakajati tersenyum, namun matanya penuh harap.

> “Sudah lama aku merindukan kehadiran para peri. Setelah misi ini selesai, kau harus mengantarku kepada mereka. Hatiku ingin melihat mereka sekali lagi, sebelum usia menutup mataku.”



Pandika membalas dengan hormat:

> “Bila takdir mengizinkan, aku yakin mereka akan sangat senang bertemu denganmu, Rakajati.”



Tiba-tiba, udara di dalam gua bergetar halus, seperti kabut tipis yang berdesir di antara bintang. Raja Alam Wardana, roh leluhur dari dunia tersembunyi, muncul dalam pantulan air suci yang mengalir di dinding batu.

> “Isidore...” suaranya dalam dan menggema seperti nyanyian bumi,
“Ketahuilah bahwa pengembara ini—Pandika—bukanlah orang biasa. Di dalam darahnya mengalir kekuatan dari bangsa peri yang lama hilang dari dunia ini. Bila kelak gelap menutupi matamu dan jalanmu terputus, dialah cahaya yang akan menyelamatkanmu.”



Isidore menunduk perlahan, dan dalam hatinya ia tahu: pertemuan ini bukan kebetulan. Takdir telah menyulam benang mereka dalam satu jalinan besar yang belum tersingkap seluruhnya.


---


---

Chapter 50 Perjalanan Menuju Bengawan Solo

"Sayangnya," ujar Surya Wikrama dengan nada berat, matanya menatap ke arah barat, "di dekat Bengawan Solo tiada batu loncatan yang dapat membawa kita ke sana dengan cepat. Mohon bantuanmu, kakanda Rakajati, agar perjalanan ini tak memakan waktu terlalu lama."

Rakajati mengangguk perlahan, lalu berkata dengan tenang namun penuh wibawa,
"Baiklah… namun aku memerlukan tenagamu, Surya Wikrama, untuk menerangi jalan di akar-akar tua yang akan kita lalui."

Ia kemudian menancapkan tongkatnya ke batang pohon raksasa yang menjulang, tua dan lapuk namun penuh kekuatan purba. Suara retakan terdengar, lalu batang pohon itu perlahan terbelah, memperlihatkan lorong gelap yang melingkar turun ke perut bumi, dipenuhi urat-urat akar yang mengalirkan cahaya samar hijau.

"Apakah kita akan masuk ke sana?" tanya Pandika, suaranya setengah ragu, setengah takjub.

"Kau aman bersama kami," jawab Isidore, matanya berkilau di tengah remang. "Ikuti kami, dan jangan tertinggal."

Surya Wikrama melangkah ke depan, pedangnya terhunus, memancarkan cahaya keemasan yang membasuh dinding akar dengan kilau hangat. Bau tanah basah dan resin tua memenuhi udara. Akar-akar besar seolah bergerak perlahan, membimbing langkah mereka menuruni lorong berliku hingga akhirnya mereka keluar di tepi Bengawan Solo.

Namun, ketenangan sungai itu ternodai. Kabut kelam menggantung rendah di atas air, berputar-putar bagai napas makhluk purba.

"Wangkara…" bisik Surya Wikrama dengan nada waspada. "Jarang sekali mereka muncul di siang hari. Mereka tidak akan menyerang, namun kabut ini… terlalu lama menghirupnya akan menjerat mata kita dalam ilusi."

"Bagaimana kita mengusirnya?" tanya Isidore.

Bhra Anuraga menatap ke arah kabut, wajahnya tegang. "Aku kira… ada seseorang yang mengarahkan mereka kemari." Ia menarik napas panjang. "Kita harus menghidupkan aura kita masing-masing."

Maka Surya Wikrama melangkah maju, mengangkat pedangnya tinggi, dan darinya memancar sinar emas bagaikan matahari fajar. Isidore menutup matanya sejenak, lalu dari tubuhnya mengalir cahaya kebiruan, lembut namun teguh seperti air yang menolak dibelah. Bhra Anuraga menyalakan aura kemerahan laksana bara api yang tak padam. Pangreksa memancarkan kilau perak yang menusuk kabut seperti bilah dingin. Guntur Wisesa menggetarkan udara dengan kilat yang berkilau di sekelilingnya.

Namun Pandika—dari dirinya terpancar cahaya putih murni, seolah hutan peri sendiri memberinya kekuatan. Sinar itu menyilaukan, mengusir rasa dingin yang menyusup dari kabut. Wangkara, makhluk bayangan yang gelisah, meringis tanpa suara, tubuh mereka berbalik, melayang kembali ke rimba lebat tempat kegelapan mereka bersemayam.

Akhirnya, Bengawan Solo kembali sunyi. Airnya berkilau diterpa cahaya, seakan mengucapkan terima kasih.


---

Chapter 51 Pertemuan di Tepi Bengawan Solo

Dari seberang sungai, Putri Majapahit, Dyah Sekar Tanjung, menatap dengan mata terbelalak. Di langit senja, cahaya-cahaya aneh mekar bagai bunga surga: emas, biru, perak, dan putih. Mula-mula redup bagaikan kunang-kunang di rerumputan, namun perlahan kian terang hingga menyilaukan mata.

“Cahaya apakah itu?” bisik Lembayung, dayang setia, seraya menundukkan kepala.

“Putri, sebaiknya kita lekas pergi,” ujar Paman Hanggara, wajahnya suram, tangan menggenggam gagang keris. “Tanda-tanda semacam itu jarang membawa kebaikan.”

Namun sebelum ia sempat berbalik, Pujeng Rarasati, pengiring lain, berseru, “Lihatlah, kabut itu telah sirna! Wangkara sudah pergi, putri. Alam kembali bernapas bebas.”

Dyah Sekar Tanjung berdiri tegak, sorot matanya penuh keberanian. “Tidak, paman. Aku ingin tahu, siapakah ksatria yang mengusir kegelapan itu. Bawalah aku ke sana.”

“Titah tuan putri, kami laksanakan,” jawab para penjaga bayangan, suara mereka serempak bagai gaung lembah. Mereka melangkah lebih dulu, berlari ringan di antara pepohonan, untuk mendahului dan menyampaikan maksud tuan putri.

Rakai Jaya Hanggana, bertubuh besar bak pohon jati, berjalan paling depan, dadanya membentang melindungi putri. Di belakangnya, para prajurit membentuk formasi tembok, tombak mereka berkilau oleh pantulan cahaya sungai.

Tak lama kemudian, penjaga bayangan yang tiba terlebih dahulu menunduk hormat di hadapan para ksatria asing. “Hamba Sasi Anglirat. Ijinkan kami berkenalan dengan tuan-tuan ksatria yang gagah berani ini.”

Pangreksa, yang berdiri tenang dengan tatapan lembut namun penuh wibawa, menjawab, “Tidak perlu sungkan. Kami hanyalah pengembara yang lewat. Perkenalkan, aku Pangreksa, dan inilah sahabat-sahabatku.”

Sasi Anglirat kembali menunduk. “Mohon kiranya tuan berkenan menunggu sebentar. Tuan putri kami ingin mengucapkan terima kasih atas jasa agung kalian.”

Isidore menoleh sejenak pada rekan-rekannya, lalu menjawab dengan senyum samar, “Baiklah. Kami pun tak sedang dikejar waktu. Bengawan ini indah, dan kami ingin sejenak menikmati kedamaiannya.”

“Bagaimana,” sela Surya Wikrama sambil melepaskan sabuk pedangnya, “sementara menunggu, aku masakkan ikan jendil untuk kita semua?”

Sebelum ada yang sempat menanggapi, ia melangkah ke tepi sungai. Dengan satu gerakan tangannya yang penuh wibawa, air sungai beriak, dan ikan-ikan meloncat sendiri, jatuh ke tangannya bagaikan tunduk pada kehendak sang ksatria.

Para pengawal bayangan terdiam, mata mereka membelalak. Salah satu berbisik lirih, “Sungguh, ini bukan manusia biasa. Ada darah para dewa dalam dirinya.”

---

Chapter 52 Adegan Pertemuan di Bengawan Solo

Asap tipis dari ikan jendil yang dipanggang perlahan menari-nari di udara. Aroma gurihnya terbawa angin, menyentuh hidung Lembayung.

“Siapakah yang sedang membakar ikan di saat perutku meronta lapar?” serunya, separuh bercanda, separuh sungguh.

Pujeng Rarasati tersenyum, menoleh pada putri. “Sepertinya ksatria itu tahu bagaimana membaca suasana. Barangkali inilah pertanda pertemuan baik.”

Rombongan pun tiba di tepi sungai, di mana para ksatria duduk dengan wajah bersahaja. Api unggun menyala redup, di atasnya ikan-ikan menguning dengan harum menawan.

Dyah Sekar Tanjung melangkah anggun ke depan. Suaranya jernih, penuh wibawa kerajaan.
“Aku Dyah Sekar Tanjung, putri dari tanah Majapahit. Atas nama keluarga dan negeriku, hatur sembah terima kasih, sebab tuan-tuan ksatria telah mengusir kabut jahat beserta para wangkara.”

Para ksatria berdiri memberi hormat. Satu per satu mereka memperkenalkan diri: Surya Wikrama dengan tatapannya yang bercahaya, Pangreksa dengan suaranya yang kokoh, Bhra Anuraga yang berapi-api, hingga akhirnya Isidore, yang melangkah terakhir.

“Izinkan hamba memperkenalkan diri,” ucap Isidore, suaranya dalam dan tenang, namun mengandung getaran yang menyentuh hati. “Isidore, pengembara dari negeri jauh. Tiada maksud lain selain berjalan di jalan takdir yang ditunjukkan semesta.”

Tatapan Dyah Sekar Tanjung bertemu dengan tatapan Isidore. Ada kilau aneh di sana: kagum, penasaran, dan sesuatu yang lebih dalam, meski tak terucap.

Isidore tersenyum lembut. “Putri, bila berkenan, duduklah bersama kami. Api ini hangat, dan ikan sungai ini lebih lezat bila disantap ramai-ramai.”

Dyah Sekar tersenyum samar, lalu berkata, “Baiklah, ksatria. Undanganmu kuterima. Jarang aku dapati sambutan seindah ini di tengah hutan.”

Mereka pun duduk berdekatan. Di antara percakapan ringan dan tawa kecil, Dyah Sekar memberanikan diri bertanya, suaranya lirih, seakan hanya untuk Isidore.

“Ksatria Isidore… berapakah usiamu, bila tak berkeberatan menjawab?”

Isidore menatap nyala api sejenak sebelum menjawab. “Tahun-tahun bagiku telah banyak terlewati. Namun usia, putri, hanyalah angka. Yang lebih berarti adalah perjalanan hati.”

Dyah Sekar tersenyum, lalu menunduk, menyembunyikan rona wajahnya. “Dan apakah dalam perjalanan hatimu… telah ada seseorang yang menanti?”

Isidore menoleh padanya, menatap dalam-dalam, namun dengan kelembutan yang membuat jantung sang putri bergetar. “Belum, putri. Hatiku masih berjalan, belum berlabuh. Namun… kadang semesta mempertemukan dua jiwa pada waktu yang tepat, walau mereka masih terikat pada jalan masing-masing.”

Dyah Sekar terdiam, jemarinya meremas ujung selendang. Ada kata yang ingin keluar, tapi tertahan oleh adab dan tugas sebagai putri kerajaan.

Isidore lalu menundukkan kepala hormat. “Masih ada tanggungan yang harus kuselesaikan. Namun bila jalan takdir berkenan, aku akan kembali. Dan bila aku kembali… semoga kita dapat bercakap lebih dari sekadar tentang nama dan asal.”

Dyah Sekar Tanjung menatapnya dengan mata berbinar, suaranya setengah bisikan, “Aku akan menanti.”

Api unggun berderak, ikan matang disajikan, dan di bawah cahaya Bengawan Solo yang berkilau, tumbuhlah benih perasaan yang belum sempat mekar—namun janji dalam hati telah terucap di antara mereka.


---
Chapter 53 Senja di Bengawan Solo

Tatkala sang surya condong ke barat, langit berwarna tembaga dan lembayung, Paman Hanggara berdiri tegap dengan wajah penuh wibawa. Ia mengucapkan perpisahan kepada para ksatria dengan suara yang dalam,
“Wahai Isidore dan para sahabat yang berhati gagah, Majapahit selalu terbuka bagimu. Datanglah suatu hari, maka istana akan menyambutmu dengan segala kemuliaannya.”

Putri Dyah Sekar Tanjung pun maju selangkah, langkahnya selembut desir angin senja. Dari tangannya yang halus, ia mengulurkan sebuah hiasan berbentuk kupu-kupu, ditempa dari emas murni dan bertabur permata, berkilau seperti sayap cahaya kala sore.
“Terimalah ini, ksatria Isidore, tanda kenangan dari pertemuan kita. Semoga ia menjadi pengingat, bahwa di Majapahit ada seorang putri yang menanti doa keselamatan bagimu.”

Isidore menerima dengan penuh hormat, lalu mengeluarkan sebuah gelang dari kayu hutan purba. Kayu itu beraroma harum, seperti wangi dupa yang membelai jiwa. Ia menyerahkannya dengan tatapan tulus,
“Dan terimalah dari tanganku yang sederhana ini, putri. Gelang ini terbuat dari kayu suci yang selalu mengingatkan pada keseimbangan. Semoga aromanya senantiasa menenangkan hatimu, sebagaimana pertemuan ini menenangkan hatiku.”

Sejenak hening, lalu rombongan prajurit bersama sang putri berangkat, langkah mereka perlahan hilang dalam kabut senja, meninggalkan para ksatria dalam keheningan penuh makna.


---

Gua Sagara Putra

“Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan,” ujar Rakajati, sorot matanya tajam menembus belantara. “Ada seorang ksatria yang tertidur menanti kita.”

Ia menunjuk sebuah gua purba di tepi hutan, tak jauh dari arus Bengawan Solo. Mulut gua itu tertutup oleh pintu batu raksasa, dihiasi pahatan naga dan ombak, seakan samudra sendiri membisikkan rahasianya di sana.

Surya Wikrama maju ke depan. Dengan tangan tegak ia membentuk segel, dan cahaya suci memancar dari telapak tangannya. Sinar itu merambat, menyusuri retakan ukiran batu, hingga pintu gua bergetar dan terbuka perlahan, mengeluarkan suara dalam bagaikan gemuruh lautan.

“Masuklah,” katanya. “Inilah tempat persemayaman Sagara Putra, pengendali samudra.”

Mereka melangkah ke dalam, dan pandangan Pandika seketika terpesona. Dinding gua berhiaskan ornamen indah, kilauan kristal dan relief gelombang laut yang seakan hidup, memantulkan cahaya pelita. Dan di ruang terdalam, di bawah derasnya air terjun yang jatuh dari celah batu, seorang ksatria agung duduk bersila, tubuhnya diselubungi lumut dan kabut waktu: Sagara Putra.

Maka dimulailah pemanggilan. Surya Wikrama mengangkat tangan, memanggil jiwa sahabatnya dari alam roh. Guntur Wisesa berdiri di sampingnya, mengeluarkan aura petir yang menyambar lembut, menyinari ruangan dengan cahaya kilat. Bayu Anggana mengibaskan tangan, dan angin murni berhembus, mengusir kelelawar serta udara busuk yang lama bersarang di gua. Bhra Anuraga memanggil bara api, menghangatkan batu-batu yang dingin dan memurnikan udara lembap. Rakajati menundukkan kepala, akar-akar bumi menjalar, membersihkan lumut yang melilit tubuh Sagara Putra.

Perlahan, mata sang ksatria terbuka. Air terjun yang membasuh tubuhnya tampak berkilau, seolah ikut menyambut kebangkitannya. Ia menoleh, dan mendapati sahabat-sahabat lamanya telah menunggu dengan sabar.

“Saudaraku…” ucap Sagara Putra dengan suara serupa gemuruh ombak, “kalian telah datang. Waktuku tertidur telah berakhir. Kini, bersama kalian, aku akan berjalan kembali di jalan takdir.”

---

Chapter 54 Upacara Penyambutan Sagara Putra

Di ruang gua yang berkilau oleh gemerlap kristal dan jatuhnya air terjun, para ksatria berdiri membentuk lingkaran mengelilingi Sagara Putra. Api suci Bhra Anuraga berpendar di sisi, cahaya petir Guntur Wisesa menari di udara, dan angin Bayu Anggana membawa harum dupa yang mereka bakar sebagai tanda persaudaraan.

Surya Wikrama mengangkat tangannya, suaranya bergema di dinding gua:

“Wahai Sagara Putra, pengendali samudra yang agung, kami menyambut kebangkitanmu. Persaudaraan Mythopia belum musnah, dan hari ini engkau kembali menjadi tiang penyangga takdir.”

Mereka kemudian mengulurkan senjata mereka ke tengah lingkaran—pedang, tombak, tongkat, dan panah—membentuk bintang cahaya. Pandika meletakkan tangannya di atas, tanda sumpah setia.

Sagara Putra bangkit dari duduknya. Air yang jatuh dari rambutnya berkilau bagai mutiara. Ia menunduk hormat pada saudara-saudaranya, lalu mengangkat kedua tangannya, sehingga air terjun di belakangnya bergemuruh lebih dahsyat, seakan samudra ikut bersumpah.

“Bersama kalian aku hidup kembali. Demi bumi, demi langit, dan demi jiwa-jiwa yang gugur, kita akan menunaikan perjanjian lama. Mythopia tidak akan runtuh.”

Sorak doa persaudaraan memenuhi gua. Aura cahaya, angin, api, air, tanah, dan petir berbaur, menciptakan sinar pelangi yang menari di udara—tanda sumpah ksatria yang abadi.


---
Chapter 55 Kilas Balik: Perang Melawan Mahluk Mistis

Setelah upacara itu, Sagara Putra duduk bersila, dan dengan suara berat ia membuka kisah lama, kisah yang hanya diceritakan dalam bisikan-bisikan leluhur.

“Seratus tahun yang lalu, bumi ini diguncang oleh bencana. Dari perut gunung purba di dataran tinggi Dieng, bangkitlah Lelakut Gunung—raksasa dari batu dan lava, setinggi puncak gunung itu sendiri. Tubuhnya dipenuhi retakan merah membara, dan dari mulutnya dimuntahkan lahar yang menghanguskan hutan dan desa. Langit saat itu gelap, matahari tertutup asap, dan bumi bergetar di bawah pijakannya.”

Para ksatria Mythopia berkumpul dan menyerang dengan segala kekuatan. Panah petir ditembakkan, pedang suci beradu, sihir purba dipanggil. Namun raksasa itu tidak roboh. Setiap tebasan hanya menjatuhkan serpihan batu, namun tubuhnya kembali mengeras dengan api baru.

“Dan ketika kami mulai kelelahan,” lanjut Sagara Putra, suaranya bergetar, “muncul lagi malapetaka kedua: Gendrawani Api, seorang raksasi bertangan delapan, rambutnya menyala laksana obor, dan tiap tangannya menggenggam senjata maut. Ia meraung, dan suaranya memecahkan batu-batu puncak Dieng. Ratusan prajurit roboh, desa-desa dilalap api, sungai-sungai mendidih oleh panasnya.”

Banyak ksatria gugur hari itu. Ahli strategi kami, dengan air mata, memerintahkan mundur agar rakyat tidak seluruhnya binasa. Tetapi—”

Ia terdiam sejenak, menundukkan kepala, lalu melanjutkan,
“—di antara kami ada satu yang tidak mundur. Seorang ksatria dari Majapahit. Ia membawa pedang dan tongkat sihir. Seorang diri ia berdiri di tengah amukan api, menebas, menusuk, melantunkan mantra dengan membabi buta. Dari pedangnya lahir cahaya, dari tongkatnya mengalir gelombang sihir, menahan raksasi dan Lelakut Gunung agar kami bisa selamat. Tetapi setelah itu… tiada yang tahu nasibnya. Apakah ia gugur bersama kobaran api, atau masih hidup, berkelana di alam yang tak terjangkau manusia.”

Keheningan panjang menyelimuti gua. Hanya suara air terjun yang terdengar, laksana tangisan bumi mengingat perang itu.

“Karena itu,” Sagara Putra mengakhiri, “kita harus bersiap. Sebab bencana itu bisa saja bangkit lagi, dan sumpah kita hari ini adalah perisai terakhir bagi dunia.”














Kost Premium Income 62 juta/bulan - Siap Panen Cuan



---

🏡 KOST PREMIUM INCOME 62 JUTA/BULAN – SIAP PANEN CUAN! 💸

🔥 Dijual Cepat – Lokasi Super Strategis di BINTARO SEKTOR 3A
📍 Jl. Mutiara Raya, Pondok Ranji, Tangerang Selatan

✨ Cocok untuk INVESTOR yang ingin passive income instan!


---

💎 FASILITAS SUPER LENGKAP
🛏 31+1 kamar | 🛁 31+1 kamar mandi
🏠 Luas Bangunan: 450 m² | Luas Tanah: 210 m²
🧾 SHM – Sertifikat Hak Milik
🔐 Smart Door Lock + CCTV 24 jam
🌬 AC + Water Heater + Smart TV Tiap Kamar
🍽 Dapur Bersama + Dispenser + Microwave
🪑 Meja, Lemari, Kasur, Bantal & Guling
💡 Token listrik mandiri per kamar


---

🚀 LOKASI EMAS
✅ 2 menit ke STAN (11.000 mahasiswa aktif)
✅ 6 menit ke RS Mitra Keluarga
✅ 9 menit ke Stasiun Pondok Ranji
✅ 11 menit ke Bintaro Jaya XChange Mall
✅ 12 menit ke Tol Pondok Ranji


---

💰 POTENSI CUAN: 62 JUTA/BLN
🏦 Unit selalu penuh! Dikelilingi ribuan mahasiswa, dokter, dan pekerja!


---

📞 Harga Spesial: Rp 8,5 M – Masih Bisa Nego!
⏳ Jangan sampai telat… properti seperti ini jarang muncul!

🟢 Langsung survei, lihat unit, bawa pulang cuan!

Cp: M. Irvan 081317943160
Bila laku komisinya cuma 2.5 % sebagian buat Jumat barokah dan sembako buat Ojol 
---



01/07/25

season 3 Jatmika dan portal waktu

---

Bulan baru telah tiba, dan PT. Sinar Ultraviolet memasuki fase yang belum pernah mereka alami sebelumnya: stabilitas. Bukan sekadar keberhasilan dalam satu malam, tapi sebuah sistem yang mulai berjalan dengan sendirinya—seolah gravitasi teknologi yang mereka temukan menarik semua hal ke dalam orbitnya.

Divisi produksi tidak mengenal jeda. Mesin-mesin pencetak prototipe artefak lampu beroperasi nyaris tanpa henti, memproduksi dengan presisi dan ketelitian. Setiap lampu replika yang selesai dirakit bukan sekadar suvenir teknologi, tapi simbol harapan—bahwa cahaya bisa membuka jalan ke tempat lain, mungkin bahkan ke masa lalu.

Sementara itu, tim pemasaran dibanjiri permintaan. Laman pemesanan daring mencatat angka yang terus naik. Tak ada ruang kosong di kalender kunjungan. Beberapa bahkan harus menunggu dua bulan ke depan.

Departemen SDM bekerja dalam keheningan yang sibuk, memilah dan menilai ratusan pelamar. Mereka merancang pelatihan intensif bagi 100 karyawan baru, bukan sekadar mengenalkan prosedur kerja, tapi juga menyuntikkan etika baru: bahwa mereka bekerja dengan teknologi yang melintasi batas waktu dan ruang.

Di ruang lain, departemen keuangan merilis laporan yang selama ini hanya menjadi target ambisius—untuk pertama kalinya, saldo rekening perusahaan menunjukkan surplus. Sebuah titik balik. Perusahaan kini mampu membiayai operasional, membayar gaji, dan bahkan merencanakan ekspansi jangka panjang.

Divisi operasional, tanpa menunggu terlalu lama, segera menyusun blueprint kantor baru di Jakarta. Sebuah keputusan strategis yang akan membuka akses lebih luas bagi pelanggan dari luar negeri.

Jatmika, yang kini secara resmi menjadi koordinator teleportasi global, menunjuk John sebagai asistennya. Kepercayaan itu tidak hanya karena kedekatan pribadi, tetapi karena John terbukti efisien dan berpikiran sistematis. Bersama-sama mereka merancang modul pelatihan, menyusun jadwal kunjungan, dan mengelola operasional harian dengan ketepatan waktu nyaris militer.

Hari ini adalah ujian besar pertama mereka.

Sepuluh rombongan dari Tiongkok tiba di pelataran gedung menggunakan bus Big Bird. Masing-masing peserta telah membayar untuk akses penuh ke seratus titik teleport—total transaksi lebih dari satu miliar rupiah.

Untungnya, Pak Toni sudah memprediksi kebutuhan ini. Beberapa bulan sebelumnya, ia memesan 500 set baju astronot tambahan, dan karena kebijakan vendor, mereka menerima bonus 600 unit ekstra. Ketepatan waktu dan perhitungan jangka panjangnya menjadi penyelamat hari itu.

Masalah bahasa tidak sempat berkembang menjadi kendala. Jatmika telah memesan perangkat kacamata pintar dengan fitur penerjemah otomatis berbasis AI, serta menyewa dua puluh mahasiswa terbaik dari universitas unggulan sebagai penerjemah pendukung. Transmisi komunikasi berjalan nyaris tanpa friksi, seolah semua telah dirancang sebelumnya oleh tangan yang tak terlihat.

Rombongan tamu terkesima. Bagi mereka, teleportasi bukan sekadar teknologi—melainkan pengalaman spiritual. Sesuatu yang menggabungkan rasa ingin tahu kuno dengan pencapaian manusia modern.

Seorang delegasi bertanya melalui translator, “Apakah ada titik teleportasi di wilayah Tiongkok?”

Jatmika tersenyum, lalu mengangguk.
“Tentu saja ada,” jawabnya. “Dan bukan hanya satu. Kami menemukan tiga titik aktif. Salah satunya bahkan terletak di kawasan pegunungan dekat provinsi Sichuan.”

Wajah-wajah di hadapannya berbinar. Mereka tidak hanya membeli akses—mereka membeli harapan bahwa sejarah bisa disentuh kembali. Bahwa mungkin, mereka juga akan menemukan artefak yang tersimpan diam di tanah mereka sendiri.

Di langit sore, cahaya bulan baru memantul di kaca gedung laboratorium. Sebuah awal baru sedang didefinisikan, tidak hanya oleh cahaya, tapi oleh arah yang kini mereka pilih.


---

---

Jatmika membagi rombongan tur menjadi sepuluh kelompok, masing-masing beranggotakan lima puluh orang. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang pemandu terlatih serta dibekali satu penerjemah khusus. Perjalanan mereka bukanlah sekadar wisata, melainkan ekspedisi lintas ruang dan budaya — sebuah upaya mengenali kembali fragmen teknologi kuno yang tersembunyi di dalam goa-goa teleportasi.

Jatmika memimpin Kelompok Satu. John ditugaskan untuk Kelompok Dua. Sementara itu, Billy, Fahmi, Sherly, Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal masing-masing bertanggung jawab atas kelompok berikutnya — sepuluh pemimpin, sepuluh arah, sepuluh portal waktu yang aktif.

Di laboratorium pusat, Ny. Tien mengatur jalannya aktivasi teleportasi. Ia menghitung kebutuhan energi dalam satuan mega-watt, menyeimbangkan suplai arus ke setiap titik artefak, memastikan tidak ada satu pun kelompok yang terlempar ke lokasi yang salah.

Bola-bola listrik mulai terbentuk di atas lantai logam berukir, mengambang di udara seolah medan gravitasi diputar ulang. Artefak lampu menyala perlahan, dari kuning hangat hingga keemasan menyilaukan. Kemudian, satu demi satu, sambaran energi mengenai lingkaran setiap kelompok—dan mereka pun menghilang dari laboratorium, seperti dijemput oleh hukum fisika yang belum tercatat.

Dengan kalkulasi yang tepat, Ny. Tien menjadwalkan siklus perpindahan setiap tiga puluh menit sekali, menggeser tiap kelompok ke titik teleportasi berikutnya. Ia mengamati monitor dengan intensitas tenang—seolah ia sedang menjaga gerbang antara dimensi.

Kelompok Jatmika tiba di sebuah gua kuno yang dipenuhi ukiran simbolik pada dindingnya. Ia segera mengenali motif yang telah ia pelajari selama bertahun-tahun: garis-garis cahaya, bentuk segitiga simetris, dan lambang heliks ganda. Tempat ini, ia yakini, adalah situs peninggalan Surya Wikrama—salah satu ksatria legendaris dari masa Mythopia yang menguasai unsur cahaya.

Namun ada satu simbol yang selama ini tak mampu ia pecahkan—aksara bergaya piktograf yang tampak seperti kunci, namun tanpa gembok. Sampai seorang peserta dari rombongan—seorang profesor muda dari Provinsi Anhui, Tiongkok—melangkah maju.

Ia mengamati simbol tersebut dalam diam, lalu berbisik dalam bahasa Mandarin klasik,
“Ini adalah aksara Han kuno... artinya segel, atau perintah tertutup.”

“Bagaimana cara membukanya?” tanya Jatmika, hati-hati.

“Sesuai prinsip dualisme, Anda tak bisa membuka segel dengan membacanya,” jawabnya. “Anda harus menulis lawan katanya… bukan pada dinding, tetapi pada elemen yang bersifat hidup: batu pasir magnetik.”

Jatmika menatap batu di sisi kanan gua—batu dengan urat halus berwarna hitam yang bereaksi pada logam. Ia mengangguk.

Peserta itu mengambil sebilah kayu kecil, lalu dengan tenang menggambar satu simbol—sebuah karakter antitesis dari simbol awal—pada permukaan batu tersebut.

Sejenak tak terjadi apa-apa. Lalu lantai gua bergetar. Rangkaian mekanisme kuno aktif, seolah baru dibangunkan dari tidur ribuan tahun. Bongkahan batu bergerak secara teratur, dan perlahan-lahan, sebuah pintu terbuka ke arah luar, mengalirkan cahaya matahari sore dari celahnya.

Jatmika menahan napas, bukan karena keterkejutan, tapi karena kesadaran bahwa mereka baru saja menyentuh sesuatu yang bukan hanya teknologi, tapi warisan pemikiran.

“Tien,” ucapnya pelan melalui mikrofon, “tolong salin karakter ini ke dalam basis data. Simpan dalam semua format. Ini bisa jadi kunci untuk membuka gua lainnya.”

Dan untuk pertama kalinya sejak proyek teleportasi dimulai, Jatmika tidak hanya melihat sistem bekerja, tapi melihat sejarah itu sendiri menjawab kembali.


---
---

Para peserta diizinkan keluar dari gua untuk menyerap udara segar dan menikmati panorama pegunungan yang menjulang sunyi. Di kejauhan, awan melayang perlahan seolah terbuat dari sutra yang dilipat angin, dan suara burung hantu dari balik hutan memberi nuansa purba yang tak tersentuh waktu.

Jatmika memberi instruksi singkat.
“Lima belas menit. Setelah itu, semua kembali ke titik pertemuan.”

Ia lalu melangkah mendekati salah satu peserta yang tampak mencatat simbol-simbol pada dinding gua ke dalam buku kulit tebal. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Prof. Wen Shuyuan, seorang pakar sejarah dari Universitas Xiamen yang telah menghabiskan tiga dekade hidupnya mempelajari arkeologi Asia Timur.

"Struktur mekanik gua ini luar biasa," ucapnya pelan. "Seperti fusi antara pemahaman kuno tentang energi dan prinsip medan elektromagnetik modern."

Jatmika mengangguk, lalu berkata,
"Perusahaan kami berencana membangun kantor cabang di setiap negara. Saya ingin mengusulkan: bagaimana jika Anda menjadi penanggung jawab pengembangan dan riset kami di Tiongkok?"

Prof. Wen tampak berpikir sejenak. Jatmika menambahkan,
"Sebagai kepala cabang, Anda juga akan mendapatkan akses penuh terhadap sistem teleportasi—termasuk jaringan simbol dan mekanisme aktivasi. Dan... jika Anda mengenal seorang investor yang bersedia mendukung pembangunan fisik kantor kami di sana, itu akan sangat membantu."

Wen Shuyuan tersenyum samar. “Saya pernah berulang kali ditawari dana oleh seorang kolektor yang ingin mendanai yayasan saya. Mereka ingin membuktikan bahwa legenda kuno adalah catatan sejarah, bukan mitos.”
Ia menatap langit, lalu melanjutkan, “Apakah satu triliun rupiah cukup sebagai investasi awal?”

Jatmika menatapnya dalam diam, lalu menjawab,
“Dengan jumlah itu, kami bisa membangun kantor, merekrut tim penuh, dan membiayai riset lintas negara. Saya kira, ini awal yang sangat baik.”

Dari mikrofon di telinganya, suara Ny. Tien terdengar lembut namun tegas:
“Waktu tersisa lima menit. Siapkan evakuasi dari gua.”

Jatmika segera berjalan ke arah peserta, menyampaikan pengumuman dengan suara yang jelas. Ia lalu berpaling pada Prof. Wen,
“Sebelum kita kembali… bisakah Anda bantu menutup pintu gua seperti sebelumnya?”

Wen Shuyuan mengangguk, mengambil tongkat tipis dari lantai, lalu menulis lambang kuno di batu pasir magnetik: segel penutup dalam Aksara Han Tua. Tak lama kemudian, mekanisme gua bereaksi. Batu-batu mulai bergerak, saling bertautan membentuk formasi tertutup. Pintu gua menutup rapat, seperti rahasia yang tak ingin ditemukan dua kali.

Ny. Tien segera memulai proses teleportasi lanjutan. Dalam waktu singkat, seluruh peserta berpindah dari satu titik ke titik berikutnya. Beberapa menunjukkan tanda-tanda kelelahan ringan—detak jantung meningkat, reaksi pupil menurun, sinyal saraf menurun stabil.

Sistem otomatis mendeteksi ambang batas toleransi fisik mereka, dan dengan protokol keselamatan kelas satu, seluruh peserta ditarik kembali menuju laboratorium pusat.

Di sana, suara mesin perlahan mereda. Para peserta kembali dalam kondisi utuh, beberapa terduduk lelah namun tersenyum—seolah baru saja melihat kembali dunia seperti yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.


---
---


Sebelum proses teleportasi selesai, Jatmika telah mempersiapkan sebuah jamuan sederhana namun berkesan—prasmanan dengan cita rasa khas Indonesia. Di ruang makan berpanel kaca, uap sate ayam dan tongseng menyatu dengan aroma nasi goreng dan wedang jahe yang mengepul hangat. Kerak telor digoreng langsung di atas tungku kecil, sementara bakso disajikan dalam mangkuk-mangkuk uap seperti di warung tenda malam hari.

Sebuah keheningan kagum sesaat menyelimuti peserta dari Tiongkok ketika mereka diperbolehkan mengambil makanan. Beberapa mencoba menebak bahan dari setiap sajian melalui rasa dan tekstur. Mereka yang selesai makan memilih untuk pindah ke aula besar—bukan karena ruangan sempit, tetapi karena percakapan dan tawa semakin ramai.

Tak lama, kelompok John tiba. Wajahnya tampak tegang, kontras dengan suasana makan siang yang ceria.

“Jatmika,” katanya pelan tapi tegas. “Kami terpaksa kembali lebih cepat.”

Jatmika berhenti sejenak dari melayani tamu, lalu menoleh.
“Ada apa?”

“Seorang peserta... membuka helmnya sendiri di dalam gua,” kata John. “Dia panik. Tidak bisa bernapas. Kami tidak bisa melanjutkan teleportasi.”

Jatmika mengangguk, menginternalisasi informasi itu dengan cepat.
“Kalau dia merasa dirugikan, kita bisa fasilitasi pengembalian dana penuh,” ucapnya, tenang.

“Tidak perlu,” kata John. “Keadaannya sudah stabil. Tapi orang tuanya… mereka memaksa memberi saya sejumlah uang, mungkin sebagai bentuk... suap agar saya tidak bicara.”

“Berapa?” tanya Jatmika.

“Saya tidak tahu pasti. Dalam mata uang Tiongkok. Jumlahnya... tidak kecil.”

Mereka saling diam sejenak. Dalam dunia di mana teknologi bisa melintasi ruang dalam satu denyut listrik, konsekuensi manusia tetap tak terhindarkan—emosi, ketakutan, dan harga diri.

“Catat kejadian ini ke dalam log keamanan,” kata Jatmika. “Bukan untuk menghukum siapa pun, tapi untuk pembelajaran.”

John mengangguk.

Sementara itu, Jatmika berjalan pelan menuju meja bagian operasional, mencari salah satu penerjemah. Ia memanggil staf senior, kemudian menunjuk ke arah Prof. Wen Shuyuan yang sedang berbincang dengan beberapa delegasi.

“Segera siapkan draf kerja sama. Pak Toni sudah menyetujui pembukaan kantor cabang di luar negeri,” katanya. “Tapi tekankan satu hal—pusat kendali teleportasi tetap di Indonesia. Kantor di negara lain hanya akan berfungsi sebagai pos transit.”

Ia menatap para peserta yang masih makan dan tertawa, lalu melanjutkan,
“Kita mungkin telah membuka pintu ke masa depan. Tapi setiap langkah harus tetap diawasi oleh tangan manusia yang memahami risikonya.”

Di sudut ruangan, wedang jahe terus mengepul. Aroma rempah tetap bertahan, bahkan ketika teknologi dan sejarah terus berputar di sekitarnya.


---

---

Pak Toni tiba di laboratorium dengan langkah mantap, membawa serta atmosfer penghargaan dan keseriusan. Ia menghampiri Profesor Wen Shuyuan yang tengah memeriksa salinan kontrak kerja sama. Mereka berjabat tangan dengan hormat, dan dengan bahasa yang sederhana namun tulus, Pak Toni berkata, “Terima kasih, Profesor, atas kepercayaan Anda pada perusahaan kecil kami.”

Wen Shuyuan membalas dengan anggukan bijak. “Kecil bukan berarti tak besar pengaruhnya. Saya percaya pada teknologi yang lahir dari keterbukaan terhadap masa lalu,” ujarnya.

Kontrak pun disepakati sepenuhnya. Klausul-klausul yang diajukan PT. Sinar Ultraviolet diterima tanpa revisi: penyediaan lahan dan fasilitas di Tiongkok, kelengkapan legalitas kantor cabang, peran aktif sebagai penghubung dengan investor, regulator, dan akademisi, serta komitmen penuh pada kerahasiaan dan keamanan teknologi teleportasi. Setiap penemuan baru wajib dilaporkan secara berkala—bukan hanya sebagai bentuk akuntabilitas, tetapi juga sebagai tanggung jawab terhadap sejarah itu sendiri.

Sebagai kepala cabang, Wen Shuyuan akan menerima bagian dari pendapatan teleportasi, bukan sekadar sebagai imbalan kerja, tetapi sebagai bagian dari simbiosis pengetahuan dan kepercayaan.

Sambil tersenyum, Profesor Wen menambahkan satu bentuk keramahan pribadi: “Jika suatu saat Anda, Pak Toni, atau Jatmika ingin mengunjungi Tiongkok, Anda boleh tinggal di mana pun yang saya miliki. Anggap saja itu bentuk kecil dari sambutan saya.”

Sementara percakapan itu berlangsung, Jatmika mengakses terminal kontrol untuk memeriksa status tim yang masih berada di luar laboratorium. Nama Billy muncul dalam daftar yang belum kembali. Ia meminta konfirmasi pada Ny. Tien, yang segera memberi laporan: “Satu peserta dari tim Billy mengalami kelelahan fisik. Saya akan melakukan pemulangan manual sekarang.”

Di dalam ruang teleportasi yang disterilkan, artefak lampu kembali memancarkan cahaya keemasan. Bola-bola listrik bermunculan, seolah menganyam geometri waktu dan ruang. Suara statis meningkat, lalu dengan satu kilatan petir yang tajam namun bersih, seluruh anggota tim Billy muncul di tengah lingkaran energi.

Jatmika segera masuk ke ruang pemulihan, memeriksa satu per satu peserta dengan senter dan sensor biometrik. Tak ada tanda-tanda bahaya. Namun seperti prosedur biasa, ia bertanya, “Apakah ada kejadian yang perlu dicatat selama di gua?”

Seorang pemandu dari tim Billy menjawab, “Ada seorang peserta yang menyentuh batu biru yang menonjol dari dinding. Ia mencoba mencabutnya, mungkin mengira itu artefak. Tapi batu itu licin, dan ia kehilangan pijakan. Terjatuh dari ketinggian dua meter. Pergelangan kakinya terkilir.”

“Apakah sudah ditangani?”

“Sudah. Ia menerima perawatan dasar, dan kini tampak pulih. Ia bahkan bersikeras tidak mau merepotkan tim medis.”

Jatmika mencatat laporan itu. Dalam benaknya, insiden itu bukan sekadar kecelakaan, melainkan sinyal bahwa gua-gua teleportasi mungkin memiliki mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti—mekanisme yang bukan hanya merespons alat, tapi juga niat.

Ia memandang artefak lampu yang kini telah padam, menyadari bahwa setiap kilatan bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga momentum sejarah yang sedang bergerak maju.


---
---

Tim pendamping dari kelompok Fahmi, Sherly, Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal belum juga kembali ke laboratorium. Sebagian besar telah berhasil dipulangkan, namun tujuh kelompok masih tertahan di titik teleportasi mereka masing-masing. Di ruang kendali, Ny. Tien melaporkan progres dan menatap layar monitor dengan ekspresi serius. “Tim Fahmi masih aktif di titik 50,” ucapnya.

Tanpa ragu, Jatmika menjawab, “Kirim saya ke lokasi mereka.”

Dengan seberkas cahaya keemasan dan suara petir yang menggelegar, tubuh Jatmika menghilang dari ruangan.

Ia tiba di koordinat titik 50, sebuah gua yang terletak di kawasan Nevados Ojos del Salado, Chili—gunung berapi tertinggi yang masih aktif di permukaan bumi. Dingin dan hening menyelimuti suasana, namun tak lama suara percakapan ramai terdengar dari lorong bagian dalam gua. Ia melangkah lebih dalam dan menemukan pemandangan yang tak kalah mencengangkan: ukiran di dinding menggambarkan seratus ksatria dalam posisi bersujud kepada Raja Alam Wardana—penguasa pertama kerajaan Mythopia, sebagaimana tercatat dalam teks-teks kuno yang belum seluruhnya diterjemahkan.

Artefak lampu di gua ini pun berbeda. Lebih besar, tersusun dari mineral berstruktur kristalin dan batuan jamrud yang tampak seperti menyimpan energi dalam lapisan geologisnya sendiri. Sebuah teknologi kuno yang seolah berasal dari masa yang belum dikenali sejarah.

Jatmika mendekati kerumunan peserta. Kebanyakan dari mereka bukan hanya pengunjung biasa, melainkan akademisi lintas disiplin: arkeolog, ahli sejarah kuno, dan pakar linguistik dari berbagai negara.

“Fahmi, kenapa belum kembali?” tanyanya dengan nada ramah.

Fahmi mendekat, wajahnya dipenuhi semangat namun juga keraguan. “Mereka sangat antusias. Beberapa mencoba menelusuri ruang-ruang gua lebih dalam, mencari pusat energi teleportasi. Tapi kami belum menemukannya. Gua ini menyimpan banyak teka-teki.”

Jatmika mengangguk. “Saya akan coba membuka pintunya.”

Ia berjongkok dan mulai menggambar segel kuno di lantai batu berpasir magnet, mengikuti metode yang sebelumnya berhasil di titik lain. Garis-garis simetris terbentuk, tapi tidak terjadi apa pun. Tidak ada suara, tidak ada pergerakan mekanis. Hening.

Beberapa peserta yang memperhatikan dari kejauhan mulai tertawa pelan. Salah satu dari mereka, seorang profesor dari Universitas Osaka, mendekat dan menunjuk pada satu bagian.

“Anda lupa satu titik di ujung segel,” katanya sambil tersenyum.

Satu titik. Detail sekecil itu. Jatmika menarik napas pelan, lalu menambahkan titik tersebut.

Hampir seketika, gemuruh lembut terdengar dari kedalaman gua. Batu-batu perlahan bergerak, menciptakan celah dan lorong menuju cahaya. Pintu keluar gua terbuka, dan cahaya dari langit Andes yang dingin menyinari wajah-wajah peserta.

Sorak gembira terdengar dari seluruh penjuru gua. Beberapa dari mereka bahkan memeluk satu sama lain—bukan hanya karena pintu terbuka, tapi karena menyaksikan langsung bahwa sejarah bukan hanya tulisan mati, melainkan perangkat aktif yang masih bisa berfungsi, bahkan bereaksi.

Namun, di tengah kegembiraan itu, ada satu kenyataan yang luput dari perhatian mereka. Gua ini berada di kawasan gunung api aktif. Walau tak menunjukkan gejala erupsi, tetap ada risiko tersembunyi. Beberapa peserta, setelah menyadari hal ini, memilih untuk segera kembali ke dalam gua.

Tanpa perlu aba-aba, tim dengan cepat bersiap untuk kembali.

Setelah satu per satu peserta kembali ke titik teleportasi, Ny. Tien mengaktifkan sistem pemulangan. Dalam pancaran cahaya keemasan yang membelah udara, seluruh tim dan peserta ditarik kembali ke laboratorium pusat.

Di ruang pemulihan, Jatmika kembali memeriksa kondisi peserta. Tak ada yang terluka, tak ada insiden serius, namun dalam pikirannya, ada satu pelajaran yang terus berulang: bahwa bahkan teknologi yang paling mutakhir sekalipun masih tunduk pada detail-detail kecil—titik pada segel, perubahan suhu, atau tempat yang salah di waktu yang nyaris tepat.

Dan dalam titik-titik kecil itulah sejarah, kesalahan, dan kemajuan terus berulang.


---
---

“Fahmi, kau sudah bekerja dengan baik. Sekarang saatnya istirahat dan nikmati jamuan makan bersama rombongan,” ujar Jatmika sambil menepuk bahu asistennya.

Setelah memastikan timnya dalam keadaan baik, ia menoleh ke arah Ny. Tien di ruang kendali.

“Ny. Tien, kirim saya ke titik selanjutnya. Tim Sherly belum kembali.”

“Baik. Koordinat terkunci. Lokasi: Gunung Monte Pissis, Argentina. Titik ke-60.”

Dalam sepersekian detik, cahaya kuning keemasan muncul, membungkus tubuh Jatmika. Dengan semburat listrik statis di udara dan dengung resonan dari ruang hampa, ia menghilang.

Ketika Jatmika tiba, suhu di sekelilingnya lebih rendah dari biasanya. Ia berdiri di bibir sebuah gua yang tampak terbentuk dari perpaduan proses vulkanik dan mekanisme yang tidak sepenuhnya alami. Struktur lorong gua melingkar, seperti terancang oleh logika yang menggabungkan estetika dengan fungsi.

Ia mulai berjalan, mengikuti jejak langkah yang samar di debu gua. Lorong itu seakan-akan memutar dirinya, memisahkan waktu luar dan waktu dalam. Setelah beberapa menit berjalan, ia tiba di sebuah ruangan besar.

Ruangan itu... luar biasa.

Di tengahnya berdiri sebuah meja batu bundar, tidak seperti meja kerajaan dalam sejarah manusia—tetapi lebih menyerupai dewan waktu, tempat keputusan tidak dibuat untuk hari ini, melainkan untuk berabad-abad ke depan. Di tengah meja tertanam sebuah permata berkilau, dengan bias warna yang sulit dijelaskan—bukan hanya merah, tapi merah yang seakan hidup. Di sekelilingnya, berdiri kursi-kursi batu dengan sandaran yang tinggi, masing-masing dihiasi batu ruby seukuran kepalan tangan.

Di atas setiap kursi, terasa seolah ada bayangan tak kasatmata. Sejarah. Atau mungkin... ingatan.

Para peserta dari tim Sherly sedang berkumpul di sekeliling meja, berdiskusi dengan penuh semangat tentang keajaiban kerajaan Mythopia. Bagi mereka, ini bukan sekadar eksplorasi ilmiah, melainkan penemuan yang menyentuh batas antara mitos dan realitas. Kerajaan yang tidak tercatat di buku sejarah manapun, namun hadir begitu nyata di hadapan mereka.

Jatmika mendekati Sherly.

“Bagaimana kalian bisa menemukan ruangan ini?” tanyanya pelan.

Sherly menoleh, matanya masih penuh takjub.

“Seseorang dalam tim berhasil memecahkan pola ukiran di artefak dinding. Gambar itu seperti teka-teki simbolik—begitu disusun dengan benar, dindingnya bergeser, dan pintu ini terbuka.”

Ia lalu berbisik, hampir seperti anak kecil yang sedang curhat.

“Meja itu... kau tahu kan, betapa mahalnya jika dijual?”

Jatmika tersenyum lebar, memainkan candanya dengan nada serius.

“Air liurku saja hampir menetes, melihat batu ruby sebesar itu di sandaran kursi. Tapi setiap batu yang kita ambil bisa jadi satu kunci yang hilang. Mungkin batu itu tidak hanya berharga secara materi.”

Sherly mengangguk. Ia paham.

“Sudah saatnya kita kembali,” ujar Jatmika. “Kita terlalu lama di sini. Tempat ini… bukan hanya gua. Ini warisan. Dan warisan bukan untuk dimiliki, tapi untuk dijaga.”

Sherly memanggil timnya. Dengan enggan, mereka meninggalkan kursi dan meja batu yang seperti menunggu sesi dewan selanjutnya. Jatmika menekan komunikator di pergelangan tangannya.

“Ny. Tien, lokasi aman. Siap untuk pemulangan.”

Beberapa detik kemudian, ruang gua dipenuhi kilatan emas. Suara listrik menyambar ringan, dan para peserta satu per satu menghilang dari tempat itu, kembali ke laboratorium pusat.

Gua kembali sunyi.

Dan Jatmika tahu, di balik kesunyian itu, sejarah masih menunggu untuk ditemukan—bukan untuk dijual, tapi untuk dimengerti.


---

---
Laboratorium pusat perlahan mulai lengang, namun layar holografik di ruang kendali masih menampilkan lima titik yang aktif. Kelompok Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal belum kembali.

"Masih ada lima kelompok lagi, Ny. Tien?" tanya Jatmika sambil mengenakan baju astronot dengan emblem perusahaan di dada.

"Ya. Titik terakhir menunjukkan stabil, tapi tidak bergerak ke arah portal pulang. Kemungkinan mereka terlalu fokus dengan apa pun yang mereka temukan," jawab Ny. Tien.

Jatmika mengangguk pelan. “Kirim saya ke titik Sharon dulu. Kita jemput mereka satu per satu.”

Dengan cahaya keemasan dan ledakan elektromagnetik kecil, tubuh Jatmika lenyap dari ruang kendali.


---

Ia tiba di dalam gua yang terletak di kawasan Altai, Mongolia. Cahaya redup dari artefak lampu memantulkan kilatan merah dari sesuatu yang besar dan berkarat.

Sharon sedang berdiri dengan helm terbuka, berbicara dengan peserta dari Tiongkok yang menunjuk ke arah dinding batu.

“Sharon,” panggil Jatmika.

Sharon menoleh. “Pak Jatmika! Anda harus lihat ini. Mereka menemukan zirah besi tua. Ukurannya sangat tidak biasa, hampir dua meter tingginya.”

Jatmika mendekat. Di sana, dalam pelukan batu dan lumut, tergeletak setelan zirah penuh dengan ornamen berbentuk spiral dan pola-pola geometris. Di sampingnya, pedang besar dengan bilah berwarna abu kehijauan tertancap separuh ke lantai gua.

“Apakah ini senjata manusia?” tanya Jatmika setengah kepada Sharon, setengah kepada dirinya sendiri.

“Saya tidak yakin. Tapi menurut peserta dari tim kami, ukiran pada zirah ini mirip simbol yang pernah ditemukan di Dinasti Xia, tapi dengan struktur logam yang jauh lebih maju,” jawab Sharon.

Seorang peserta dari Beijing mendekat. “Kami menyebut ini ‘besi yang tak mungkin’. Logam seperti ini tak bisa ditempa dengan teknologi saat itu. Tapi benda ini ada, lengkap, dan nyata.”

Jatmika memandangi zirah itu sekali lagi. Di kepalanya muncul pertanyaan: apakah teknologi masa lalu lebih kompleks dari yang selama ini diyakini, atau apakah sejarah telah kehilangan terlalu banyak fragmen untuk didekonstruksi secara linier?

“Waktu kita terbatas. Catat dan dokumentasikan dengan pemindai, kita harus kembali.”

Sharon mengangguk. Jatmika memberi sinyal ke Ny. Tien. Dalam kilatan cahaya, mereka semua menghilang.


---

Titik kedua: Lembah Nubra, Himalaya Barat.

Lisa dan timnya sedang berkumpul di sekitar sebuah batang kayu berukir yang berdiri tegak di tengah ruangan batu. Di ujung tongkat itu tertanam batu merah delima yang berdenyut pelan, seolah menyimpan napas.

“Tongkat ini beresonansi dengan artefak lampu saat kami mendekatkannya. Saya rasa ini adalah alat pengarah... atau semacam kunci,” kata Lisa sambil menunjuk fluktuasi medan magnetik di layar tablet transparannya.

“Apakah ada teks?” tanya Jatmika.

“Satu kalimat. Ditulis dalam bahasa Sanskrit kuno: ‘Yang membawa cahaya, biarlah ia mengarahkan jalan raja.’”

“Batu ini menyimpan energi. Seperti artefak, tapi lebih terfokus. Mungkin dulu digunakan untuk memanipulasi sistem teleportasi.”

Lisa memutar tongkat itu ke arah dinding. Sekilas, artefak lampu menyala lebih terang.

Jatmika menghela napas. “Hebat. Tapi kita harus pulang. Waktunya hampir habis.”


---

Titik ketiga: Guiana Highlands, Amerika Selatan.

Aska duduk bersila di depan sebuah altar batu. Di atas altar, tergeletak pedang dengan bilah tipis, melengkung seperti sabit. Cahaya dari artefak memantulkan kilau ungu dari sisi bilahnya.

“Ini bukan hanya senjata,” kata Aska tanpa menoleh. “Ini... instrumen musik. Kami coba mengetukkan pelan ke batu, dan menghasilkan resonansi seperti suara dawai.”

Peserta lain mengangguk. “Pedang ini tampaknya punya dua fungsi: membelah udara dan membelah suara. Salah satu peserta mencatat notasi musik di dinding yang sepertinya berhubungan.”

Jatmika mengangkat pedang itu pelan. Pedangnya ringan—nyaris tidak berbobot. Ia memikirkan sejarah bukan hanya sebagai kumpulan data, tetapi sebagai simfoni yang tercatat dalam benda-benda.

“Kita harus kembali,” katanya.


---

Titik keempat: Gua bawah tanah di Kepulauan Faroe.

Hafiez dan timnya tengah membuka sebuah lemari batu. Di dalamnya: puluhan senjata. Namun tak satu pun terbuat dari logam yang dikenal. Ada bilah seperti kaca yang tak bisa dipatahkan, dan tombak kayu dengan inti bercahaya dari dalam.

“Senjata... atau simbol kekuasaan?” tanya Jatmika.

“Saya rasa keduanya. Tapi bukan untuk perang. Mereka terlalu halus. Mungkin ini... tanda hierarki,” jawab Hafiez.

“Ambil dokumentasi. Simpan koordinat. Kita harus pulang.”


---

Titik kelima: Terowongan berlapis kristal di bawah Laut Hitam.

Novrizal berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh artefak melayang yang berpendar.

“Mereka aktif ketika kami bernyanyi,” ucap Novrizal pelan. “Salah satu peserta membaca puisi kuno, dan tiba-tiba semua artefak ini bergetar. Mereka... merespons suara manusia.”

Jatmika mendekat. “Apakah ini semacam sistem keamanan atau komunikasi?”

“Entahlah. Tapi saya tahu satu hal: kita baru menyentuh permukaan sejarah ini.”


---

Kembali di laboratorium, seluruh tim telah berkumpul. Artefak-artefak tercatat, data terkumpul. Di layar holografik, jam sistem menunjukkan 00:00. Batas waktu telah habis.

Ny. Tien mematikan sistem teleportasi untuk hari itu.

Jatmika berdiri diam di tengah ruangan, menyerap keheningan yang kini memenuhi laboratorium.

Mereka semua membawa pulang lebih dari sekadar temuan. Mereka membawa pulang pertanyaan—pertanyaan tentang siapa yang menciptakan semua itu, untuk siapa, dan mengapa mereka memilih untuk meninggalkannya.

Teknologi teleportasi telah membuka pintu. Tapi yang ada di baliknya bukan hanya tempat baru. Melainkan sejarah yang hidup, menunggu untuk dibaca kembali.


---
.
---

Evaluasi Setelah Teleportasi: Sebuah Laporan Tak Lengkap

Di tengah aroma sate ayam, wedang jahe yang masih mengepul, dan riuh rendah percakapan dari berbagai bahasa, para pemandu dan peserta duduk melingkar dalam suasana yang tak sepenuhnya santai. Mereka sedang menyantap makan siang, namun di balik sendok dan gelas, ada kesadaran kolektif: sesuatu telah berubah. Bukan hanya tentang apa yang telah ditemukan, melainkan tentang apa yang belum mereka mengerti.

Jatmika berdiri perlahan, menyampaikan pengumuman dengan suara yang tenang tapi cukup untuk menghentikan percakapan.

“Dari total seratus titik teleportasi yang telah diprogram, kita hanya berhasil menjangkau titik ke-64. Sisanya, tiga puluh enam titik, akan dijadwalkan ulang sebulan mendatang. Ini bukan keputusan sepihak, melainkan hasil dari kalkulasi sistem teleportasi yang saat ini mulai menunjukkan gejala kelebihan muatan.”

Ny. Tien menambahkan, sambil memproyeksikan grafik data ke layar lengkung transparan di atas meja makan: deteksi kelelahan neurologis ringan pada mayoritas peserta, fluktuasi sinaptik selama proses teleport, dan pembentukan residu energi tak dikenal di titik-titik teleport tertentu.

"Teleportasi ditunda, bukan dihentikan," ujar Ny. Tien singkat, seolah mengingatkan bahwa bahkan mesin pun butuh istirahat.

Namun, kabar baik pun hadir, menyusup di antara jeda logika dan kelelahan fisik. Perusahaan, yang awalnya hanya digerakkan oleh idealisme sekelompok ilmuwan Indonesia, kini mendapatkan suntikan investasi sebesar 1 triliun rupiah. Dana itu akan digunakan untuk mendirikan kantor cabang di berbagai negara. Tapi lebih dari sekadar ekspansi bisnis, kantor-kantor ini akan menjadi simpul distribusi dari artefak paling misterius yang mereka miliki: lampu teleportasi.

“Dan ternyata,” kata Jatmika sambil menyesap wedang jahe, “lampu itu bukan sekadar perangkat perpindahan spasial.”

Ia memandang ke arah Novrizal, yang mengangguk pelan sebelum menjelaskan.

“Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—baik dari struktur material maupun dari sumber tenaganya. Beberapa peserta dari Tiongkok menduga teknologi ini bukan berasal dari bumi. Dan jika benar, maka ini bukan lagi eksplorasi, tapi perbatasan baru dari pemahaman umat manusia.”

Sementara itu, diskusi berkembang dari ruang logika ke ruang mitologi.

Billy mengungkapkan: “Beberapa peserta mendapati peti mati yang diduga tempat peristirahatan para ksatria Mythopia. Ada tameng suci. Ada keris Raja Isidore. Tapi... apa yang mereka jaga?”

“Dan lebih penting lagi, apa yang mengalahkan mereka,” ujar Sharon, dengan nada yang setengah bercanda, setengah bertanya pada sejarah yang tak tercatat.

“Dalam kisah para peserta dari Tiongkok,” sambung Sherly, “disebut bahwa dahulu ada seratus ksatria Mythopia. Tak terkalahkan. Namun di akhir sejarah, hanya tersisa sepuluh. Yang lain hilang. Lenyan.”
Ia berhenti sejenak. “Mungkinkah mereka dikalahkan oleh kekuatan dari aliansi Majapahit sendiri? Atau oleh entitas yang bahkan tidak mengenal waktu seperti yang kita pahami?”

Di tengah percakapan serius itu, Hafiez menyuarakan keprihatinan yang lebih praktis. “Kalau teleportasi diundur sebulan penuh, bagaimana jika para peserta tidak menerima?”

Jatmika mengangguk, sudah memikirkan hal itu. “Kita siap mengembalikan dana mereka sepenuhnya. Tapi lebih penting dari semua itu: kita harus memastikan barang-barang berharga yang ditemukan tetap aman. Gua-gua itu bukan sekadar museum. Mereka adalah sistem yang hidup. Dan seperti semua sistem yang hidup—ia bisa rusak, atau lebih buruk lagi, ia bisa dilukai.”

Ia menatap semua yang hadir, suaranya lebih rendah kali ini.

“Ada ruangan-ruangan yang belum kita buka. Ada segel yang belum kita baca. Mungkin ada kebenaran yang belum siap diungkap. Tapi kalau kita tidak berhati-hati, bisa jadi bukan hanya penemuan yang hilang. Tapi juga kepercayaan.”

Di luar jendela laboratorium, langit berwarna jingga keemasan. Senja. Waktu transisi. Batas antara terang dan gelap.

Sama seperti teleportasi itu sendiri.


---