---
Bulan baru telah tiba, dan PT. Sinar Ultraviolet memasuki fase yang belum pernah mereka alami sebelumnya: stabilitas. Bukan sekadar keberhasilan dalam satu malam, tapi sebuah sistem yang mulai berjalan dengan sendirinya—seolah gravitasi teknologi yang mereka temukan menarik semua hal ke dalam orbitnya.
Divisi produksi tidak mengenal jeda. Mesin-mesin pencetak prototipe artefak lampu beroperasi nyaris tanpa henti, memproduksi dengan presisi dan ketelitian. Setiap lampu replika yang selesai dirakit bukan sekadar suvenir teknologi, tapi simbol harapan—bahwa cahaya bisa membuka jalan ke tempat lain, mungkin bahkan ke masa lalu.
Sementara itu, tim pemasaran dibanjiri permintaan. Laman pemesanan daring mencatat angka yang terus naik. Tak ada ruang kosong di kalender kunjungan. Beberapa bahkan harus menunggu dua bulan ke depan.
Departemen SDM bekerja dalam keheningan yang sibuk, memilah dan menilai ratusan pelamar. Mereka merancang pelatihan intensif bagi 100 karyawan baru, bukan sekadar mengenalkan prosedur kerja, tapi juga menyuntikkan etika baru: bahwa mereka bekerja dengan teknologi yang melintasi batas waktu dan ruang.
Di ruang lain, departemen keuangan merilis laporan yang selama ini hanya menjadi target ambisius—untuk pertama kalinya, saldo rekening perusahaan menunjukkan surplus. Sebuah titik balik. Perusahaan kini mampu membiayai operasional, membayar gaji, dan bahkan merencanakan ekspansi jangka panjang.
Divisi operasional, tanpa menunggu terlalu lama, segera menyusun blueprint kantor baru di Jakarta. Sebuah keputusan strategis yang akan membuka akses lebih luas bagi pelanggan dari luar negeri.
Jatmika, yang kini secara resmi menjadi koordinator teleportasi global, menunjuk John sebagai asistennya. Kepercayaan itu tidak hanya karena kedekatan pribadi, tetapi karena John terbukti efisien dan berpikiran sistematis. Bersama-sama mereka merancang modul pelatihan, menyusun jadwal kunjungan, dan mengelola operasional harian dengan ketepatan waktu nyaris militer.
Hari ini adalah ujian besar pertama mereka.
Sepuluh rombongan dari Tiongkok tiba di pelataran gedung menggunakan bus Big Bird. Masing-masing peserta telah membayar untuk akses penuh ke seratus titik teleport—total transaksi lebih dari satu miliar rupiah.
Untungnya, Pak Toni sudah memprediksi kebutuhan ini. Beberapa bulan sebelumnya, ia memesan 500 set baju astronot tambahan, dan karena kebijakan vendor, mereka menerima bonus 600 unit ekstra. Ketepatan waktu dan perhitungan jangka panjangnya menjadi penyelamat hari itu.
Masalah bahasa tidak sempat berkembang menjadi kendala. Jatmika telah memesan perangkat kacamata pintar dengan fitur penerjemah otomatis berbasis AI, serta menyewa dua puluh mahasiswa terbaik dari universitas unggulan sebagai penerjemah pendukung. Transmisi komunikasi berjalan nyaris tanpa friksi, seolah semua telah dirancang sebelumnya oleh tangan yang tak terlihat.
Rombongan tamu terkesima. Bagi mereka, teleportasi bukan sekadar teknologi—melainkan pengalaman spiritual. Sesuatu yang menggabungkan rasa ingin tahu kuno dengan pencapaian manusia modern.
Seorang delegasi bertanya melalui translator, “Apakah ada titik teleportasi di wilayah Tiongkok?”
Jatmika tersenyum, lalu mengangguk.
“Tentu saja ada,” jawabnya. “Dan bukan hanya satu. Kami menemukan tiga titik aktif. Salah satunya bahkan terletak di kawasan pegunungan dekat provinsi Sichuan.”
Wajah-wajah di hadapannya berbinar. Mereka tidak hanya membeli akses—mereka membeli harapan bahwa sejarah bisa disentuh kembali. Bahwa mungkin, mereka juga akan menemukan artefak yang tersimpan diam di tanah mereka sendiri.
Di langit sore, cahaya bulan baru memantul di kaca gedung laboratorium. Sebuah awal baru sedang didefinisikan, tidak hanya oleh cahaya, tapi oleh arah yang kini mereka pilih.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar