---
Chapter 44 Di Tepi Bengawan Solo
Di lembah timur yang rimbun, tatkala matahari menggantung tinggi di langit, sinarnya yang menyengat tersembunyi di balik rindangnya dahan-dahan pohon tua yang tumbuh menjulang di tepi Bengawan Solo. Di antara bebatuan yang dilicinkan oleh aliran zaman, mengalirlah sungai jernih bak kaca, memantulkan cahaya keemasan ke permukaan dedaunan yang menari ditiup angin lembut musim panas.
Di sanalah, di tempat yang tersembunyi dari mata manusia biasa, tiga putri dari istana Majapahit sedang mandi dan bermain air. Mereka adalah bunga terakhir dari zaman keemasan:
Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, putri bungsu dari Prabu Kertawardhana yang agung;
Lembayung Ardhani, pemilik suara selembut sutra dan pandangan secerah senja;
dan Pujeng Rarasati, gadis periang dengan tawa yang mampu menyembuhkan luka hati.
Mereka tertawa ringan, saling memercikkan air seperti masa masih kanak-kanak, jauh dari beban mahkota dan sumpah darah kerajaan. Namun tak jauh dari sana, di balik semak dan pohon, berdirilah para pengawal bersenjata. Di antara mereka, berdiri tegak Rakai Jaya Langgana, seorang ksatria muda berselimut diam dan rahasia. Cintanya kepada sang Putri bagaikan api yang tersimpan dalam perisai — hangat namun tak pernah menyala terang.
Tiba-tiba, di sela desiran angin dan riak air, suara Dyah Sekar mengalun lembut, namun membawa nada gelisah:
> “Pernahkah kalian dengar,” katanya sambil membasuh rambut hitam legamnya,
“bahwa para begundal kegelapan dari Sinabung telah kembali menodai perbatasan timur? Kekaisaran kita, yang lelah oleh bayangan lama, kini telah mengeluarkan sayembara. Siapa pun yang sanggup membawa mereka ke keadilan akan diberi gelar dan tanah di seberang lautan.”
Lembayung menoleh, tatapannya penuh rasa ingin tahu.
> “Katanya ada seorang pendekar yang sudah menjawab tantangan itu,” ujarnya, “Namanya Pandika. Seorang diri ia berangkat, berasal dari Kerajaan Cakram, negeri kecil yang tak banyak dikenal.”
Pujeng Rarasati menambahkan sambil tertawa kecil,
> “Mereka bilang Pandika membawa pesan dari para tetua. Ia mencari raja muda yang hilang dari Mythopia. Seorang pemuda bernama Isidore.”
Putri Sekar mengangkat wajahnya, mata hitam legamnya menatap ke langit seakan mencoba membaca takdir.
> “Isidore…” bisiknya, “Konon ia memiliki wajah tampan dan kulit sawo matang seperti tanah tempat nenek moyang kita berpijak. Namun apa yang bisa kulihat dari raut wajah jika hatinya belum kukenal?”
Tak ada yang menjawab. Hanya desir angin dan gumaman air yang menjawab pertanyaan sang Putri, dan di kejauhan, Rakai Jaya Langgana mengepalkan tangan di balik semak — sebab ia tahu, takdir sedang bergerak, dan kisah besar tengah menanti untuk ditulis dalam kitab para leluhur.
---
Chapter 45 Keajaiban di Bengawan Solo
Nun jauh di jantung tanah timur, kala bayang-bayang siang mulai memendek dan daun-daun berdesir dalam bisikan angin dari pegunungan Lawu, mengalir sebuah sungai tua yang dikenal dalam tembang dan dongeng para tetua — Bengawan Solo.
Ia bukan sungai biasa. Ia adalah arteri dari bumi tua, mengalir sejak zaman para raja belum menjejak tanah, sejak para dewa menanam bintang di langit dan memberi nama bagi segala pohon dan batu. Bengawan Solo mengalir tenang, memeluk batu-batu tua yang dilicinkan oleh ribuan musim, dan menyanyi dengan suara air yang tak pernah bosan memuja waktu.
Pada sebuah tikungan tersembunyi, di mana pepohonan berakar dari zaman purba dan bunga liar tumbuh tanpa takut, di sanalah airnya paling jernih — sebening kaca cermin para peramal, memantulkan langit yang luas dan daun-daun yang bergoyang seperti tirai surga.
Di tempat inilah, kala dunia diam dan hanya burung-burung hutan yang bersuara, para putri dari istana Majapahit kerap datang untuk mandi. Dan ketika kaki mereka yang halus menyentuh airnya, seolah sungai itu sendiri berdebar dalam diam — air menghangat dengan kelembutan, dan bebatuan bersinar seperti baru dilahirkan kembali dari perut bumi.
Sang putri utama, Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, turun pertama kali, diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Air menyambut mereka seperti saudara lama, merangkul tubuh-tubuh muda mereka dengan gemetar lembut, dan seolah menghafal setiap langkah, tawa, dan hela nafas mereka.
Lalu terjadilah keajaiban kecil yang tidak tertulis dalam kitab para pendeta namun disampaikan turun-temurun oleh para leluhur penjaga tanah: setiap kali para putri selesai mandi, air Bengawan Solo berubah harum. Tidak tajam seperti minyak wangi, tapi lembut dan sukar dijelaskan — seperti wangi bunga tanjung yang mekar malam hari, seperti kenangan masa kecil yang hangat dan jauh.
Harum itu bertahan hingga malam. Bahkan para nelayan yang berlabuh di hulu bertanya-tanya siapa yang telah berjalan di atas air dan meninggalkan jejak surga. Dan para tetua desa berkata, "Itu bukan jejak manusia biasa — itu jejak para putri darah raja, yang mandi bukan hanya dengan tubuh, melainkan dengan cahaya dalam jiwa."
---
Chapter 46 Pertanda di Sungai Bengawan
Di balik pepohonan yang menaungi aliran suci Bengawan Solo, dalam bayang-bayang hening di mana cahaya siang menari melalui dedaunan, berdirilah Paman Hanggara — tua, tegap, dan bermata tajam seperti elang yang telah menyaksikan banyak zaman berlalu.
Ia memandang ke arah seorang pemuda yang duduk menyendiri di sisi timur sungai, tangannya menggenggam gagang keris tanpa suara, matanya tertuju ke permukaan air yang berkilau diterpa cahaya. Dialah Rakai Jaya Langgana, pengawal utama sang putri.
> “Nak Jaya...” kata Paman Hanggara perlahan, suaranya dalam dan bergetar oleh rasa sayang yang dibungkus kekhawatiran, “engkau telah memasuki usia di mana lelaki harus berpikir tentang garis keturunan. Jangan kau habiskan hidupmu dalam bayang-bayang yang tak bisa kau capai.”
Rakai menunduk, napasnya berat.
> “Ampun, Paman,” katanya lirih, “jika hati ini telah keliru. Aku memang menyimpan rasa pada sang Putri... namun kupastikan rasa itu takkan pernah keluar dari tempatnya. Cukup bagiku berdiri di sisinya sebagai perisai, bukan sebagai pasangan.”
Hanggara menatapnya lama, lalu menghela napas dan memalingkan wajah, seakan memahami, namun tak bisa menyetujui sepenuhnya.
Tiba-tiba, dari balik pepohonan di barat, muncullah Wirya Nagapati, prajurit bayangan yang langkahnya lebih sunyi dari desir angin. Jubahnya hitam, dan matanya bersinar bagai bara api dalam kegelapan.
> “Waktumu habis, Putri-putri Istana,” bisiknya dengan suara serak namun jelas. “Hutan telah bicara... Jejak mistis tercium di utara. Ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang tak menyukai kehadiran darah kerajaan di tempat ini.”
Hanggara tak membuang waktu. Ia membawa jari ke bibir dan meniup sebuah siulan panjang — tidak keras, tapi merdu dan dalam. Suara itu menggema pelan seperti nada dari seruling zaman tua, menjalar ke sela-sela daun dan menyentuh telinga mereka yang tahu artinya.
Dyah Sekar Tanjung Adityaningrum, yang tengah membasuh rambutnya dengan air jeruk purut dan bunga tanjung, menoleh pelan.
> “Siulan Paman terdengar lebih cepat dari biasanya,” ucapnya dengan dahi berkerut, “seolah pagi ini ingin berakhir sebelum waktunya. Mungkinkah ada gangguan yang mengintai dari kejauhan?”
Ia berdiri, anggun dan tenang, namun tatapannya tajam — seperti seorang ratu yang tahu kapan harus memerintah dan kapan harus berlari dari bahaya.
Di atas cabang pohon tinggi, tersembunyi di balik dedaunan lebat, Sasi Anglingrat — pengawal rahasia istana — tengah berjaga. Matanya yang tajam menangkap bayangan gelap yang merayap seperti asap dari arah utara. Kabut hitam itu tidak berasal dari bumi, dan tidak pula milik langit.
Ia menghela napas, lalu melompat turun dengan gesit seperti bayangan seekor kijang malam. Tanpa berkata-kata, ia berlari ke arah pasukan dan rekan-rekannya. Pertanda buruk telah datang. Dan waktu takkan memberi mereka banyak kesempatan.
---
---
Wangkara, Bayangan yang Membelah
Untuk pertama kalinya, Sasi Anglingrat, penjaga rahasia dari Majapahit, menyaksikan wujud yang tak bisa dijelaskan oleh kitab perang maupun bisikan para pendeta hutan. Ia berdiri diam, napasnya tertahan, saat dari balik kabut yang merayap turun dari langit, muncul sosok yang menyerupai manusia namun tak sepenuhnya nyata.
Separuh tubuhnya kabut, separuh lainnya tampak seperti manusia yang telah ditinggalkan cahaya kehidupan. Kabut itu berdenyut perlahan, mengelilingi sosok tersebut, dan setiap kali ia bergerak, tanah di sekitarnya seperti kehilangan warna dan suara.
> “Wangkara...” bisik Sasi, matanya menyipit, “makhluk dari bayang-bayang utara, yang dikisahkan dalam gulungan lontar-lontar tertua, namun tak pernah dipercaya sepenuhnya.”
Ia memberi isyarat kepada pasukan untuk mundur. Gerak jarinya cepat namun jelas: berkumpul, diam, lalu mundur perlahan. Dirinya sendiri tetap berdiri di depan, seolah bayang-bayang pohon telah bersatu dengan tubuhnya.
Dengan satu gerakan anggun, Sasi Anglingrat mencabut dua bilah pedang pendek dari punggungnya — pusaka berlapis mantra yang hanya ia sendiri yang mampu memanggil kekuatannya.
Tanpa ragu, ia melemparkan bilah pertama ke arah Wangkara. Pedang itu melesat seperti kilat — namun saat menyentuh tubuh kabut makhluk itu, bilah tersebut melintas seakan hanya menembus udara. Tak ada luka. Tak ada suara. Hanya kehampaan.
Sasi mengatupkan rahang, lalu melangkah maju.
> “Jika tidak bisa dengan jarak jauh,” ucapnya dalam hati, “maka akan kuhadapi dengan nafas dan nadi.”
Ia mencengkeram pedang kedua dengan kedua tangan. Saat menebas, ia mengalirkan bukan hanya tenaga, tapi juga keyakinan, karena hanya keyakinan yang bisa menembus dunia bayangan. Namun ketika bilah itu menyayat tubuh Wangkara, makhluk itu terbelah menjadi dua, dan kedua bagian itu hidup — bergerak sendiri dengan wajah yang sama kosongnya.
Dari arah utara, Wirya Nagapati datang bagai angin malam. Jubahnya mengepul, dan di tangannya terhunus keris warisan leluhur — bilah sakti yang dipercaya dapat melukai roh dan jin. Ia menerjang Wangkara dengan teriakan keras, menebas tubuh makhluk itu.
Namun hasilnya tak berbeda. Setiap tebasan hanya menggandakan jumlah musuh. Dari satu, menjadi dua. Dari dua, menjadi empat. Dan kabut semakin menebal, mengaburkan pandangan, merampas harapan.
> “Mundur!” seru Wirya dengan suara yang menggema seperti guntur di pegunungan, “Wangkara bukan untuk kita hadapi di sini. Makhluk ini bukan untuk dibunuh... melainkan untuk dijauhi.”
Dengan keberanian mereka, Sasi dan Wirya menahan gelombang kabut yang terus mendekat, menciptakan waktu dan ruang yang cukup bagi para putri dan pasukan pengawal untuk mundur ke sisi selatan. Dyah Sekar, yang telah berselimut kain tipis dan rambutnya masih basah oleh air Bengawan, dituntun oleh Rakai Jaya Langgana menuju kuda-kuda yang telah disiapkan di balik pohon.
Di belakang mereka, kabut terus bergulung seperti ombak senja yang menelan hutan. Dan bayangan Wangkara masih berdiri, diam, tanpa suara — namun tak ada satu pun yang berani menatapnya dua kali.
---