02/05/25

season 2 jatmika dan portal waktu



Chapter 15 Lampu Jatmika

Jatmika berdiri di tengah ruang presentasi, di hadapannya sebuah artefak cahaya yang tidak biasa—sebuah lampu hasil rekonstruksi dari inspirasi peninggalan masa lalu. Bentuknya ramping, hampir seperti lentera kuno, namun bersinar dalam tiga spektrum warna yang tak lazim: emas, merah darah, dan ungu tua. Di dalam cahayanya, terselip pola-pola geometris yang jika diperhatikan lebih lama, menyerupai simbol kejayaan sebuah peradaban yang hilang.

“Lampu ini,” ujar Jatmika, suaranya datar namun mantap, “diciptakan untuk dua fungsi utama: penerangan dan pembacaan arah bintang. Cahaya merahnya menyaring gelombang cahaya gangguan, ungu membangun kontras langit, dan emas sebagai penyeimbang visual.”

Bagian teknisi mengangguk. “Tidak ada anomali. Strukturnya stabil, sirkuit cahaya terintegrasi dengan baik.”

Namun pertanyaan tidak berhenti di teknis.

“Bagaimana dengan biayanya?” tanya Kepala Keuangan.

Tim operasional dan keuangan saling bertukar pandang, lalu menatap pancaran cahaya dari lampu itu—seolah warna-warna yang terpancar membungkam nalar praktis mereka.

“Tak ada keberatan,” ujar bagian operasional. “Kita sarankan harga jual satu juta.”

Bagian pemasaran menyela, “Harga itu terlalu ambisius. Kita butuh angka yang lebih... bersahabat. Mungkin lima ratus ribu?”

“Kompromi,” ujar Kepala Keuangan. “Enam ratus ribu. Itu masih di bawah nilai keindahan yang dipancarkan.”

Jatmika mengangguk. “Enam ratus ribu. Kita mulai produksi.”

Sesaat setelah ia menutup catatan digitalnya, seorang sekretaris mengetuk dan berkata, “Pak Toni menunggu Anda. Jaket astronot dari Tiongkok sudah tiba.”

Jaket itu bukan sekadar perlengkapan pelindung. Dirancang dari material elastis, tahan api, dan anti-arus listrik, ia menyatu sempurna dengan tubuh Jatmika. Di dalamnya tertanam chip yang akan menjadi kunci dari eksperimen berikutnya.

“Nanti malam, saat bulan purnama,” kata Jatmika sambil menatap langit dari jendela kaca, “kita coba lagi teleportasi. Jika berhasil, ini bukan sekadar pencapaian teknologi. Ini akan menjadi lembaran baru dalam sejarah perusahaan. Mungkin juga sejarah manusia.”


---
Chapter 16 Eksperimen Kedua

Malam itu, bulan purnama menggantung rendah dan sempurna, seakan menunggu sesuatu terjadi. Udara terasa bersih, hampir tanpa gesekan, seolah alam pun memilih diam. Gedung perusahaan telah sunyi. Seluruh karyawan telah pulang. Hanya Toni dan Jatmika yang masih tinggal di ruang laboratorium, ditemani oleh keheningan dan bayangan panjang dari cahaya bulan yang menembus jendela kaca. Di kejauhan, dua petugas keamanan berjaga di gerbang, tidak menyadari bahwa sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah akan dimulai.

Di meja pusat, Toni menyusun peralatan terakhir. Di hadapan mereka: seperangkat alat yang tak terlihat luar biasa, namun menyimpan ide yang hampir melampaui batas kemungkinan.

“Komputer ini akan memantau tekanan darah dan suhu tubuh,” ujar Toni, tenang namun tidak bisa menyembunyikan ketegangannya. “Kita perlu memastikan tubuh tetap dalam ambang kestabilan saat proses berlangsung.”

Di sampingnya, sebuah layar menyala menampilkan antarmuka yang lembut namun kompleks. Program kecerdasan buatan itu bernama Nyonya Tien — bukan sekadar sistem pengatur, tapi entitas yang dirancang untuk membaca, menyesuaikan, dan memediasi antara tubuh manusia, kecepatan cahaya, serta medan elektromagnetik bumi dan satelit bulan.

“Dia yang akan membuka jalur,” kata Toni. “Dan memilih titik tujuan: koordinat di Gunung Lawu. Lebih tepatnya, di dalam gua yang tertandai dalam peta peninggalan kuno.”

Jatmika menatap artefak lampu yang digunakan sebagai jangkar — berbeda dari prototipe yang ia buat. Bentuknya lonjong, dan pada ujungnya terukir simbol-simbol yang belum berhasil diterjemahkan. Di antara cahaya bulan dan pantulan monitor, artefak itu tampak lebih hidup dari benda mati.

Toni menyambungkannya ke rangkaian utama. Hubungan antara komputer, artefak, dan sistem listrik membentuk satu kesatuan, seperti tubuh dengan sarafnya. Pada pukul 21.59, layar menunjukkan tanda kesiapan.

Nyonya Tien mulai menghitung. Di antara baris kode dan grafik, terdengar suara lembut, hampir menyerupai bisikan:
“Sinkronisasi stabil. Jalur transmisi dibuka. Titik tujuan: terkonfirmasi.”

Artefak lampu memancarkan cahaya emas, hangat namun asing. Ruangan berdenyut pelan, seperti menarik napas.

Jatmika menoleh pada Toni.
“Tapi... bagaimana kita kembali jika artefak lampu hanya ada di sini?”

Toni baru membuka mulut ketika dentuman listrik memotong udara — bukan seperti ledakan, tapi seperti realitas yang merekah.

Tubuh mereka bukan lagi tubuh, tapi informasi, data, cahaya.

Dan dalam sepersekian detik, mereka tidak lagi berada di laboratorium.

Mereka berdiri di dalam sebuah gua yang sunyi di lereng Gunung Lawu. Batu-batu di sekeliling mereka memantulkan gema napas pertama setelah transisi. Masih hidup. Masih utuh.

Tapi di antara udara dingin dan kegelapan yang membeku, ada satu kenyataan yang belum mereka pecahkan: artefak lampu tetap tinggal di laboratorium.

---

Chapter 17 Gua di Gunung Lawu

Ledakan cahaya emas memecah keheningan gua.

Kilatan listrik menyambar dinding-dinding batu purba, memantulkan bayangan yang tidak stabil. Seketika, kawanan kelelawar mengepakkan sayap mereka dalam kegelisahan naluriah, beterbangan melintasi langit-langit gua, menjauhi pusat fenomena.

Di titik itu, di mana batu dan cahaya bertabrakan, dua sosok muncul — perlahan, seperti disusun kembali dari partikel-partikel cahaya dan memori. Toni dan Jatmika berdiri, tubuh mereka masih bergetar oleh transisi yang tak kasat mata, namun jelas terasa dalam saraf.

Di hadapan mereka, satu artefak lampu lainnya — bukan milik laboratorium, bukan buatan manusia zaman sekarang — berdiri di atas landasan batu. Cahaya emasnya menyala pelan, namun dari ujung-ujungnya memancar simbol-simbol yang terus berubah bentuk. Tidak ada bahasa yang dapat menerjemahkan simbol-simbol itu secara langsung, tapi keduanya tahu bahwa pola itu bukan kebetulan.

“Artefak ini,” kata Toni perlahan, suaranya terpantul di lengkung gua, “aku menemukannya bertahun-tahun lalu. Tertutup batu dan tanah. Ada lukisan di dinding, warna-warna yang tidak seharusnya bertahan dalam waktu ribuan tahun... namun tetap jelas.”

Ia menunjuk salah satu sisi gua. Terlihat bayangan pudar—figur manusia terangkat oleh cahaya dari langit, menghilang dalam pancaran simbol.

“Awalnya aku kira ini hanya mitos. Sebuah dongeng kuno yang terlampau fantastis untuk dipercayai. Tapi saat aku mulai mengamati artefak ini… ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan secara logis. Reaksinya terhadap suhu. Kemampuannya menyimpan energi, seolah ia menyadari kehadiran kita.”

Ia menoleh ke Jatmika.

“Ini yang jadi titik awal obsesiku. Bagaimana jika ini bukan sekadar benda? Bagaimana jika... ini adalah warisan teknologi yang tertinggal? Bukan dari masa depan, bukan pula dari luar angkasa, tapi dari masa lalu yang tak tercatat.”

Jatmika menatap cahaya artefak itu. Ia tidak lagi merasa kagum seperti saat pertama kali menciptakan versi tiruannya. Ia merasa kecil. Seolah benda itu — dan semua yang mengelilinginya — telah lama menunggu untuk ditemukan kembali.



---
Chapter 18 Waktu yang Terbatas

Jatmika menggerakkan bahunya, jaket astronot itu terasa semakin berat, bukan oleh massa, tapi oleh suhu yang terus meningkat di dalam gua.

“Aku merasa gerah,” ujarnya pelan, suaranya teredam di balik helm. “Bisakah aku melepas ini sebentar?”

Toni, yang sedang memeriksa panel sinyal di pergelangan tangannya, segera menoleh. “Jangan,” katanya tegas. “Jaket itu bukan sekadar pelindung suhu. Lapisan dalamnya dilengkapi filter penangkal racun berbasis karbon aktif. Aku yakin gua ini memiliki sistem pertahanan… entah biologis, entah kimiawi.”

Jatmika mengerutkan alis. “Kamu berbicara seolah gua ini adalah mesin.”

Toni mengangguk. “Mungkin memang begitu.”

Ia melangkah ke dinding gua yang dihiasi lukisan purba. Terdapat gambar seorang raja mengangkat sebilah keris bercahaya, sementara para ksatria duduk mengelilingi meja batu. Tidak ada tulisan, hanya bentuk—namun dengan presisi yang mencurigakan. Keris itu dipahat dari batu kristal, dan meskipun usianya tak terhitung, permukaannya masih mampu memantulkan cahaya dengan kejernihan nyaris optik.

“Lihat,” kata Toni. “Pahatan ini… bukan buatan tangan biasa. Pantulan cahayanya terlalu presisi. Ada kemungkinan material ini mengandung struktur mikro yang belum kita pahami.”

Cahaya di dalam gua tidak datang dari senter atau alat bantu, tapi dari batu biru di sepanjang dinding. Cahaya itu lembut, menyebar merata, seolah gua memahami konsep iluminasi.

“Sayangnya,” lanjut Toni, “kamera tidak bisa dibawa ke sini. Medan elektromagnetik di sekeliling artefak mengganggu semua perangkat optik. Aku sudah mencoba beberapa kali. Semuanya gagal.”

Ia memandang kembali ke jaket Jatmika.

“Kita harus perbaiki desain jaket ini. Harus ada sistem pencatatan internal—visual, suhu, medan energi. Bukan hanya untuk perlindungan, tapi sebagai alat dokumentasi. Kita tidak boleh bergantung pada peralatan konvensional di tempat yang menolak konvensi.”

Jatmika menatap sekeliling. Meski berada di dalam gua, ia tidak merasa gelap. Batu-batu biru itu memberikan cukup cahaya untuk membaca, menatap, bahkan merenung.

Namun di belakang cahaya itu, ia bisa merasakan waktu bergerak. Perlahan tapi pasti, menuju batas enam puluh menit yang telah ditentukan oleh Nyonya Tien. Dan tak satu pun dari mereka tahu apa yang akan terjadi jika mereka belum siap saat waktu itu habis.


---

Chapter 19 Peta yang Hilang dari Waktu

“Kita masih punya waktu empat puluh menit sebelum Nyonya Tien menarik kita kembali,” kata Toni, suaranya tetap tenang namun ada ketegangan halus di dalamnya. “Aku akan menelusuri lebih dalam lagi. Mungkin masih ada artefak lain yang belum aktif.”

Jatmika mengangguk, lalu menghela napas pelan. Jaket astronot yang membungkus tubuhnya terasa semakin berat. Setiap langkah seperti ditahan oleh gravitasi ganda, seolah gua ini tidak hanya menarik massa tubuhnya, tetapi juga seluruh pikirannya.

“Lucu,” gumamnya sambil menatap ke bawah. “Baju ini dirancang untuk berjalan di ruang hampa… tapi sekarang aku memakainya di tempat paling sesak yang pernah kukunjungi.”

Keringat merembes dari pelipisnya, terperangkap di dalam lapisan jaket yang tak bersirkulasi. Panas di dalam gua tidak berasal dari api, tapi dari sesuatu yang lebih halus—radiasi energi yang belum dikenali, seperti kehangatan dari masa lalu yang tidak pernah mati.

Jatmika tiba-tiba teringat dirinya yang berusia sembilan tahun, menatap gambar satelit di ensiklopedia tua dan membayangkan dirinya melayang di atas bumi. Sekarang, ia memang menjadi seorang "astronot" — meski tanpa peluncuran, tanpa orbit, dan tanpa bintang. Hanya dirinya, terperangkap di dalam gua batu, dengan satu-satunya cahaya berasal dari sistem pencahayaan kuno yang tak bisa dijelaskan.

Toni menghentikan langkahnya. Di depannya, sebuah artefak lampu menyala perlahan, memancarkan proyeksi cahaya ke dinding batu.

Simbol-simbol membentuk garis, lengkungan, dan area yang luas. Sebuah peta—atau sesuatu yang menyerupainya.

“Apakah ini… peta dunia?” tanya Jatmika, mendekat.

Peta itu tidak sepenuhnya asing, namun ada yang ganjil. Benua-benua yang terlalu besar, garis pantai yang tidak sesuai, dan lautan yang jauh lebih sempit dari yang mereka kenal.

“Aku pikir... ini sebelum lempeng bumi bergerak,” katanya pelan. “Sebelum Kutub Utara mencair, sebelum garis-garis waktu ditetapkan seperti sekarang.”

Ia menelusuri garis-garis itu dengan matanya, dan sebuah pemikiran tumbuh di dalam dirinya: bahwa dunia seperti yang mereka kenal sekarang—adalah versi kedua. Versi yang dibentuk ulang, disusun ulang, dari reruntuhan dunia yang pernah lebih luas, lebih utuh.

Dan seseorang—atau sesuatu—telah menyimpannya dalam memori batu, menunggu untuk ditemukan kembali.


---
Chapter 20 Simbol yang Berulang

Cahaya dari artefak lampu memancar lembut ke dinding gua, memperjelas detail yang sebelumnya tersembunyi. Gambar-gambar mulai muncul dalam urutan yang saling terkait: gunung-gunung tinggi dengan bentuk khas, rumah-rumah kecil tersebar di lembah, sosok manusia, dan hewan yang tidak semuanya dikenali. Tapi ada satu pola yang konsisten—setiap puncak gunung disertai oleh simbol yang sama. Sebuah ukiran melingkar, sederhana namun mengandung struktur logis, seperti notasi dari bahasa yang terlupakan.

Jatmika menunjuk salah satunya. “Simbol ini... muncul di tiap gunung. Apa artinya?”

Toni mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari proyeksi. “Kemungkinannya besar—itu adalah titik teleportasi. Sama seperti gua ini. Ini bukan sekadar peta geografis. Ini adalah peta jaringan.”

“Jaringan?” ulang Jatmika.

“Tempat-tempat yang saling terhubung melalui teknologi teleportasi. Atau mungkin... ritual.” Toni menarik napas. “Aku belum pernah mencobanya. Kita tidak tahu di mana tepatnya gunung-gunung ini berada di dunia modern. Pergeseran benua, perubahan iklim, semua membuat lokasi aktual sulit ditentukan.”

Sebelum Jatmika bisa bertanya lebih jauh, suara sintetis tapi tenang terdengar di helm mereka.

“Waktu tinggal lima menit. Kembali ke titik penjemputan.”
— Nyonya Tien

Peringatan itu seperti detak jam yang mendadak terdengar terlalu keras. Toni memberi isyarat, dan mereka berjalan cepat kembali ke titik awal. Cahaya artefak mulai berdenyut. Tapi kali ini, denyut itu berubah menjadi kilatan listrik yang lebih kasar, tidak stabil.

Gelombang energi menyambar udara. Kilatan menyambar langit-langit gua dan mengenai segerombolan kelelawar, membakar mereka sekejap hingga jatuh berasap ke tanah.

Jatmika menoleh dengan cemas. “Apakah ini normal?”

Toni menggeleng, pelan namun tegas. “Seharusnya tidak. Tidak seperti ini sebelumnya. Mungkin resonansi dari artefak kedua mengacaukan sistem. Atau... kita melewati batas waktu optimal.”

Suaranya tertelan oleh dentuman berikutnya.

“Teleportasi dalam tiga detik,” ucap Nyonya Tien. Suaranya tetap stabil—tenang, seperti tidak menyadari betapa mudah semuanya bisa salah.

Cahaya emas meledak dari pusat artefak, bukan seperti semburan tapi seperti tarikan gravitasi. Dalam sekejap, tubuh mereka kehilangan berat—dan keberadaan—terseret masuk ke dalam kolom cahaya.

Lalu gelap.

Dan setelahnya, cahaya neon laboratorium menyambut mereka kembali. Ruang yang teratur, lantai bersih, dan suara ventilasi biasa. Semua tampak normal, tapi tubuh mereka masih membawa kejang aneh dari frekuensi gua. Jatmika duduk perlahan, menenangkan napasnya.

“Apapun yang terjadi tadi... tidak akan tercatat di sistem,” gumamnya.

Toni menatap artefak lampu yang kini diam di atas meja logam. “Mungkin, tapi ingatan kita mencatatnya.”

---

Chapter 21 Stabilisasi

Di dalam lab, suara mesin kembali mendominasi—datar, mekanis, menenangkan. Cahaya putih dari lampu neon menyapu kulit Jatmika dan Toni yang masih dibungkus setelan astronot. Nyonya Tien segera memulai prosedur pasca-teleportasi.

“Memulai pemindaian biologis.”

Sinar biru halus menyapu tubuh mereka. Prosesnya berlangsung dalam keheningan, hanya sesekali terdengar bunyi klik halus dari lengan pemindai. Hasilnya muncul dalam bentuk grafik dan angka di layar monitor.

“Tidak ditemukan jejak radiasi. Detak jantung dan suhu tubuh berada dalam rentang normal.”

Artefak lampu yang sebelumnya aktif kini padam, permukaannya kembali menjadi logam kusam tanpa kilau atau cahaya.

Toni menatap monitor lain. “Nyonya Tien, tolong catat bahwa kita mendeteksi jejak jaringan teleportasi lainnya, namun lokasinya belum bisa dipastikan.”

“Dicatat. Analisis lanjutan memerlukan waktu dan pasokan daya tinggi. Proses pencarian akan dimulai sekarang.”

“Gunakan saluran daya utama. Prioritaskan akurasi,” tambah Toni.

Sementara itu, Jatmika perlahan melepaskan helm dan membuka segel jaket astronotnya. Udara laboratorium menyentuh kulitnya seperti perayaan kecil—dingin, segar, dan bersih.

Ia mengembuskan napas panjang. “Rasanya seperti kembali menjadi manusia.”

Setelah beberapa saat hening, ia bertanya, “Kalau teleportasi ini bisa distabilkan… apakah bisa kita komersialkan? Sebagai sumber pemasukan untuk perusahaan?”

Toni menatap lantai sebentar, seolah menimbang sesuatu yang belum selesai dibentuk di pikirannya.

“Secara teori, bisa. Tapi komersialisasi teknologi seperti ini... membutuhkan lebih dari sekadar fungsi. Harus ada kepercayaan. Dan sistem yang bisa memetakan seluruh jaringan kuno itu. Kita bahkan belum tahu siapa yang membangunnya.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Tapi ya—dalam kondisi sekarang, kita butuh dana. Penjualan lampu menurun drastis. Kita butuh sesuatu yang bisa mengangkat kembali nama kita.”

Jatmika mengangguk. “Baik. Aku akan mulai menyusun strategi dan narasi pemasaran.”

Ia meraih tasnya, lalu menoleh sebelum keluar ruangan. “Aku pulang dulu. Aku butuh tidur yang panjang dan mimpi tanpa listrik.”

Toni tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum kecil sambil kembali duduk di depan konsol.

“Sementara itu, aku akan tetap di sini. Ada hal-hal yang belum bisa menunggu tidur.”

Dan dengan itu, Jatmika melangkah keluar. Pintu otomatis menutup perlahan di belakangnya, menyisakan Toni, artefak lampu, dan suara dengungan pelan dari Nyonya Tien yang terus bekerja mencari peta dunia yang hilang.


---

Chapter 22 Jeda

Jam menunjukkan pukul 23.30. Jalanan ibu kota mulai menipis dari hiruk pikuk. Cahaya lampu jalan merefleksikan dirinya pada aspal basah, membentuk pola acak yang sesekali terhapus oleh laju kendaraan berat. Truk-truk pengangkut logistik masih berlalu-lalang, suara mesinnya menggeram berat dalam gelap yang lapang.

Jatmika menyalakan motor listriknya—diam tapi bertenaga. Dengan gerakan terlatih, ia menembus arus malam, melaju hingga 100 km/jam. Refleksnya, yang terasah dari masa-masa panjang sebagai ojek daring, masih tajam. Ia menyalip kendaraan-kendaraan besar dengan pola zig-zag presisi, nyaris tanpa jeda, seperti algoritma yang menemukan celah optimal di antara data padat.

Dalam waktu kurang dari 40 menit, ia tiba di Kuningan. Rumahnya terletak di sudut yang tenang, di mana lampu-lampu sudah lebih banyak yang padam.

Warkop Indomie di sebelah rumahnya baru saja menutup order terakhir.

John, pemilik sekaligus koki tunggal malam itu, sedang menurunkan terpal plastik. Jatmika menghampiri dan membantu dengan gerakan yang tidak terburu-buru. Mereka tidak banyak bicara, hanya cukup dengan kebiasaan yang sudah berulang.

“Ramai malam ini?” tanya Jatmika, membuka percakapan sambil menggulung kabel lampu gantung.

“Alhamdulillah, ramai,” jawab John sambil tersenyum lelah. “Tapi aku mulai kewalahan. Boleh kalau kita nambah satu orang lagi?”

Jatmika menimbang sejenak, lalu menjawab tanpa keraguan, “Tambah dua sekalian.”

John menyahut cepat, “Siap, Bos.”

Percakapan itu berakhir begitu saja, tidak perlu perayaan. Ada rasa saling percaya yang tidak membutuhkan validasi.

Jatmika masuk ke rumahnya. Dinding-dinding menyambutnya dengan dingin AC yang masih menyala. Tanpa upacara, ia menuju kamar mandi. Suara air mengalir seperti menghapus sisa-sisa dunia lain dari kulitnya—dunia teleportasi, artefak, dan anomali listrik.

Begitu tubuhnya menyentuh kasur, kesadaran pun terputus. Tidak ada mimpi yang diingat. Hanya jeda. Dan di dunia yang terlalu sering menuntut jawaban, jeda semacam itu adalah bentuk kebebasan paling langka.


---

Chapter 23 Konstelasi

Pagi itu, langit menggantung rendah seperti lembaran logam tua. Suhu dingin menempel di kulit, dan udara membawa listrik statis dari badai yang menjelang. Petir sesekali mencabik awan, suaranya menggetarkan kaca-kaca jendela, seperti peringatan dari langit bahwa sesuatu besar tengah mendekat.

Jam menunjukkan pukul 04.30. Bunyi alarm dari ponsel membelah keheningan. Jatmika terbangun. Tidak terburu-buru, tidak pula lesu. Seperti biasa, ia menyalakan lampu kamar, mandi, lalu sholat Subuh—ritual yang menetapkan keteraturan dalam dunia yang makin tak terprediksi.

Pukul 05.00, ia sudah tiba di warung kecil di samping rumahnya. Warkop Indomie, tempat persinggahan logika dan lapar, tempat manusia kembali menjadi sederhana.

Namun pagi ini berbeda. Dua orang asing telah berdiri di depan warkop, membantu John membuka terpal dan menyiapkan peralatan masak.

“Saya Jatmika,” katanya sambil mengulurkan tangan.

“Kenedi,” jawab yang satu.

“Andi,” sambung yang lain.

“Selamat bekerja. Semoga rezeki hari ini mengalir seperti sungai penuh.” Ucapannya tulus, seperti mantra yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Langit mulai menumpahkan hujan. Petir memahat siluet kota. Jatmika mengenakan jas hujan barunya—dibeli semalam dari pedagang kaki lima—dan berangkat ke kantor dengan motor listriknya yang nyaris tanpa suara, tapi mengiris hujan seperti panah.

Sementara itu, jauh di dalam laboratorium yang masih sunyi, Nyonya Tien menyelesaikan tugasnya. Komputasi kuantumnya telah berhasil memetakan 100 titik teleportasi baru. Beberapa berada di wilayah pegunungan, beberapa di dasar laut, dan ada yang menantang hukum geopolitik—di luar negeri, wilayah yang kini membutuhkan izin lebih dari sekadar teknologi.

Bunyi alarm sistem membangunkan Toni yang tertidur di meja. Cahaya dari layar monitor menyorot matanya yang lelah namun menyala. “Berhasil,” gumamnya, setengah tidak percaya.

“Nyonya Tien,” katanya sambil merapikan rambutnya yang kusut, “buatkan peta dan denah lokasi lengkapnya.”

“Memulai pemodelan spasial… Akurasi 98,3%. Estimasi waktu penyelesaian: dua belas menit.”

Pukul 08.39, Jatmika tiba di kantor. Jas hujan yang melekat di tubuhnya masih meneteskan air, tapi tubuhnya tetap kering. Sebuah keberuntungan kecil yang tidak dia anggap sepele.

Ia segera menuju laboratorium.

Apa yang ia lihat membuatnya terdiam sejenak.

Di layar besar, titik-titik bercahaya tersebar seperti konstelasi rahasia—peta teleportasi dunia yang tersembunyi dari sejarah dan peta resmi.

“Satu ratus titik?” suaranya nyaris tidak terdengar.

Toni mengangguk. “Dan sebagian di antaranya berada di luar batas negara kita.”

Jatmika menatap layar dengan mata yang dipenuhi kemungkinan. “Aku harus mulai menyusun strategi. Ini bukan sekadar penemuan… ini akan mengubah peta perjalanan dunia.”


---
Chapter 24 Tiga bulan telah berlalu.
 Dalam rentang waktu itu, segala rencana awal untuk meluncurkan teleportasi ke publik harus ditangguhkan. Bukan karena kegagalan teknis, tetapi karena kebutuhan untuk memahami kedalaman dan kompleksitas sistem yang telah mereka temukan—sistem yang tidak diciptakan oleh tangan modern, melainkan warisan dari peradaban yang tidak tercatat.

Jatmika dan Toni, dua nama yang awalnya hanya tercatat dalam struktur organisasi perusahaan, kini perlahan menjadi arsitek dari sebuah revolusi. Mereka melakukan inspeksi satu per satu terhadap seratus titik teleportasi. Perjalanan itu bukan hanya soal jarak, tetapi juga soal keyakinan: bahwa teknologi ini dapat dipahami, dikendalikan, dan—pada akhirnya—dimanfaatkan secara massal.

Untuk setiap titik, Toni telah memesan seratus baju astronot dari Tiongkok. Keberuntungan logistik menghadiahi mereka tambahan lima puluh unit. Jaket-jaket itu bukan lagi simbol eksplorasi luar angkasa, melainkan lapisan perlindungan terhadap hal-hal yang belum dapat mereka prediksi: perubahan suhu mendadak, energi elektromagnetik yang melonjak, atau sisa-sisa sistem pertahanan kuno yang masih aktif.

Setiap gua teleportasi kini telah dilengkapi fasilitas modern: pendingin udara, sistem audio-visual, dan struktur penyangga yang dibangun tanpa mengganggu bentuk alami gua. Namun tetap, ada satu pertanyaan yang tak terjawab: siapa yang membangunnya? Ketika tidak ada jawaban historis, fiksi menjadi alat yang sah. Maka Jatmika menciptakan Mythopia, sebuah kerajaan yang tidak pernah ada, namun dipercaya cukup untuk menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Dalam dunia yang diatur oleh logika pasar dan narasi publik, kebenaran bisa bersifat fungsional.

Pak Toni, yang kini lebih banyak bekerja di malam hari, menambahkan daya listrik ke pusat kendali dan membeli sebuah generator industri. Teleportasi bukan hanya permainan cahaya dan simbol; ia adalah algoritma yang haus daya, stabilitas, dan sinkronisasi presisi tinggi.

Di sisi lain, Nyonya Tien, kecerdasan buatan yang menjadi tulang punggung sistem, telah diperbarui ke versi teranyar. Sekarang ia mampu melakukan perhitungan spasial dengan ketepatan 0,002 detik waktu absolut. Ia bukan hanya alat, tetapi penjaga tak kasat mata antara dunia lama dan dunia baru.

Departemen HRD telah membuka rekrutmen untuk penjaga di setiap titik gua. Mereka bukan sekadar satpam, tetapi penjaga ambang. Mereka tidak hanya menjaga pintu, melainkan memantau perbatasan antara apa yang telah kita ketahui dan kemungkinan yang masih tersembunyi.


---
Chapter 25 Satu juta surat lamaran membanjiri kotak masuk perusahaan—bukan spam, bukan kecelakaan algoritma, tetapi resonansi dari harapan kolektif. Mereka datang dari penjuru negeri, dari desa terpencil hingga pusat kota yang sibuk. Setiap CV bukan sekadar data pribadi; ia adalah narasi kecil tentang pencarian makna, tentang orang-orang yang ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Manajer HRD, Dian Sastro Wardoyo, awalnya mencoba memilah satu per satu, tetapi cepat menyadari bahwa sistem manual tidak mampu mengimbangi laju aspirasi manusia. Jatmika, dengan matanya yang selalu memandang jauh ke depan, menyarankan satu langkah taktis—undang saja semuanya. Dunia baru yang akan terbentuk dari teleportasi membutuhkan lebih dari sekadar teknisi dan ilmuwan; ia membutuhkan operator, pengatur lalu lintas ruang, pemandu transisi.

Tetapi kenyataan fiskal belum bisa menampung idealisme itu. Pemasukan dari penjualan artefak lampu masih belum menyentuh ambang keuntungan. Pak Toni, diam-diam, telah meminjam dana dalam jumlah besar dari institusi keuangan, menjadikan waktu sebagai taruhan: tiga bulan, cukup untuk menggaji gelombang pertama, dengan keyakinan bahwa masa depan akan menebus risiko ini.

Diah Pitaloka, yang menangani strukturisasi internal, menyarankan pendekatan modular: klasifikasi karyawan berdasarkan jenjang—fresh graduate, middle, senior. Itu bukan hanya soal gaji, tetapi tentang pemetaan tanggung jawab dan arsitektur organisasi yang mampu menopang sistem teleportasi yang kompleks.

Ada pula isu yang lebih manusiawi—kemampuan membaca dan berhitung dasar. Isu yang kecil, tapi bisa menjadi fatal dalam lingkungan kerja yang melibatkan koordinat spasial dan pemahaman instruksi otomatis. Dian, sebagai HRD, mengusulkan seleksi tambahan bagi lulusan baru: bukan untuk menyaring, tetapi untuk melatih agar mereka bisa tumbuh bersama teknologi, bukan tertinggal olehnya.

Jatmika mengangguk setuju. Besok pagi, bukan hanya mereka yang melamar yang akan diuji, tapi juga mereka yang memberi kesempatan. Karena ketika teknologi memungkinkan tubuh untuk berpindah dalam sekejap, pikiran dan etika harus dipersiapkan untuk ikut bergerak ke masa depan.
---

Jatmika melangkah masuk ke laboratorium. Cahaya lampu LED yang dingin memantul di lantai epoksi, menciptakan ilusi steril yang menenangkan. Tapi di sudut ruangan, Pak Toni berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya, memandangi monitor yang tak menampilkan pesan kesalahan—namun juga tidak memberi jaminan.

“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Jatmika, suara rendahnya mengganggu keheningan yang sarat tekanan.

Pak Toni menoleh dengan senyum yang mencoba menenangkan, namun tak sepenuhnya berhasil menutupi kegelisahannya. “Semua dalam kendali,” katanya pelan. “Hanya sedikit kekhawatiran soal pemadaman dari PLN. Genset cadangan sudah kami uji tiga kali, tapi tetap saja... sistem sekompleks ini bukan hanya tentang energi, tapi juga kesinambungan.”

Jatmika mengangguk pelan. Ia tahu, dalam eksperimen manusia dengan teleportasi, tak pernah ada yang benar-benar 'siap'. Karena lebih dari sekadar memindahkan tubuh, teknologi ini adalah ujian atas kemampuan manusia mengatur kepercayaan: pada listrik, pada sistem, pada satu sama lain.

“Wartawan sudah mulai berdatangan,” lanjut Toni. “Beberapa figur publik dan artis juga akan hadir. Aku khawatir bukan pada mereka, tapi pada apa yang mereka wakili: ekspektasi bahwa semua akan sempurna.”

Jatmika menatap layar di meja—grafik-grafik sistem, status jaringan satelit, log terakhir dari Nyonya Tien. Ia menarik napas dalam. “Hampir satu juta pelamar untuk posisi operator,” katanya. “Mereka akan memadati jalanan pagi ini. Antrian panjang bukan hanya soal logistik, Pak. Itu cermin dari rasa ingin tahu manusia yang tak terbendung.”

Pak Toni tersenyum tipis, kali ini lebih tulus. “Mungkin benar. Ini bukan sekadar peluncuran teknologi. Ini adalah pertanyaan terbuka yang kita ajukan kepada dunia: Apakah kita siap melampaui batas-batas lama kita?”

Di layar, jam digital menunjukkan pukul 07.53. Tujuh menit sebelum dunia berubah—atau setidaknya, berusaha.
---
Chapter 26 Pembukaan. Launching 
Peserta undangan mulai berdatangan dari berbagai penjuru kota. Mereka mengenakan kemeja putih, celana hitam, sebagian dengan jeans yang telah disetrika rapi, dan sepatu pantofel yang mengilap. Ada harapan di setiap langkah mereka—harapan akan masa depan yang tak lagi dibatasi oleh jarak.

Di sisi lain, barisan pencari kerja tiba dengan raut muka berbeda: tegang, penuh perhitungan. Mereka membawa map coklat, simbol keinginan untuk memasuki dunia kerja yang semakin asing, bahkan saat dunia fisik kini bisa dilampaui oleh cahaya.

Petugas keamanan tampak kewalahan membedakan antara peserta interview dan tamu undangan peluncuran teleportasi. Satu benda menjadi penentu nasib: map coklat atau surat undangan. Akhirnya, dua pintu disiapkan. Satu untuk mereka yang datang demi masa depan personalnya, satu lagi untuk mereka yang akan menyaksikan sejarah ditulis.

Pukul delapan tepat, aula utama PT Sinar Ultraviolet diterangi oleh cahaya yang seakan lebih tajam dari biasanya, seolah menyadari bahwa pagi ini adalah permulaan dari era baru. Seorang pembawa acara membuka acara dengan suara yang formal namun hangat.

“Para hadirin yang terhormat, selamat datang di PT Sinar Ultraviolet. Terima kasih atas kehadiran Anda dalam peluncuran sistem teleportasi pertama di dunia.”

Tepuk tangan mengalir seperti gelombang awal. Kemudian, dengan langkah tenang dan suara rendah namun tegas, Dian Sastro Wardoyo melanjutkan, “Perusahaan kami menggabungkan pengetahuan modern dengan warisan masa lalu—dengan satu tujuan: memahami kembali arti perpindahan, bukan hanya tubuh, tapi juga kesadaran manusia akan ruang.”

Lampu-lampu aula meredup perlahan. Di atas panggung, Pak Toni berdiri. Ia tak membawa catatan, hanya sebuah artefak lampu kecil di tangannya—seperti lentera dari masa silam.

“Terima kasih telah datang,” ucapnya. “Kami adalah perusahaan teknologi yang berangkat dari hal paling mendasar: lampu. Cahaya. Namun, beberapa tahun lalu, kami menemukan bahwa tidak semua lampu berasal dari kabel dan logika listrik. Beberapa berasal dari masa lalu yang belum kita mengerti.”

Ia menjelaskan, perlahan namun memikat, tentang artefak lampu yang ditemukan—lampu yang tak dapat dipahami secara konvensional. Bentuknya kuno, namun reaksinya terhadap energi sangat presisi. Penelusuran mereka membawa pada satu kesimpulan: artefak ini adalah peninggalan dari sebuah kerajaan yang tak tercatat dalam prasasti manapun—kerajaan Mythopia. Tidak ada teks, tidak ada sejarah tertulis. Hanya gambar, batu bercahaya, dan sistem yang tampaknya terhubung ke dunia yang lebih besar dari pemahaman manusia.

“Dengan bantuan sistem kecerdasan buatan yang kami kembangkan, Nyonya Tien, kami berhasil memetakan 100 titik teleportasi aktif,” lanjut Pak Toni. “Namun, ada batasan: teleportasi hanya bisa dilakukan di malam hari, saat bulan—seperti memberi restu—muncul di langit.”

Senyap sesaat menyelimuti ruangan. Lalu Pak Toni menambahkan, “Kami tidak mengkomersialkan keajaiban. Tapi energi memiliki harga. Maka kami menetapkan biaya Rp 1.000.000 untuk satu kali teleportasi. Biaya ini bukan harga keajaiban, tapi upaya kami menjaga stabilitas sistem ini tetap hidup.”

Ia memberi isyarat. Lampu aula meredup, digantikan layar lebar yang mulai menyala.

“Sekarang, mari kita lihat,” katanya pelan, “bagaimana dunia bisa berubah dalam satu kilatan cahaya.”

Sistem Nyonya Tien memutarkan video—rekaman visual perpindahan manusia yang bukan ilusi sulap, melainkan rekayasa dari ilmu pengetahuan dan warisan leluhur yang telah lama terlupakan.

Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, batasan jarak tidak hanya dilanggar. Ia dihapuskan—oleh cahaya, oleh tekad, dan oleh ingatan masa lalu yang akhirnya menyala kembali.

---

Setelah pemutaran video usai, suasana aula tetap penuh perhatian. Meski tepuk tangan sempat menggema, semua menyadari bahwa hari ini bukan sekadar peluncuran produk, tapi pergeseran paradigma tentang apa yang mungkin dilakukan oleh manusia.

Pak Toni kembali ke podium, kali ini dengan nada yang lebih ringan.

“Sedikit informasi tambahan,” katanya, “perusahaan kami memang bermula dari hal yang lebih membumi. Kami memproduksi lampu-lampu biasa—untuk rumah, kantor, hingga penerangan jalan. Dan sebagai bagian dari peluncuran ini, kami juga telah memproduksi replika artefak lampu. Tidak memiliki kemampuan teleportasi, tentu saja, tapi dapat menyala hingga 72 jam hanya dengan baterai biasa. Mungkin itu bisa menjadi pengingat, atau sekadar kenang-kenangan dari masa depan yang baru saja dimulai.”

Ia menatap ke barisan wartawan. “Kami membuka sesi tanya jawab.”

Seorang pria dari harian Poskota mengangkat tangan. “Apakah wartawan juga bisa mencoba teleport secara gratis?”

Pak Toni tersenyum tipis, seperti seseorang yang telah mengantisipasi pertanyaan itu.

“Tentu. Rekan kami, Jatmika, akan memandu Anda nanti malam. Tidak akan ada biaya apa pun. Kami percaya: pengalaman pertama seharusnya diberikan, bukan dijual.”

Wartawan lain, dari Cikarang Post, bertanya, “Jika boleh tahu, dari mana artefak ini ditemukan? Dan apakah betul ini teknologi dari masa lalu?”

Toni mengangguk pelan. “Pertanyaan bagus. Kami juga masih mencari jawabannya. Artefak ini ditemukan di dalam sebuah gua yang lokasinya tidak bisa kami buka saat ini. Tapi dari pola ukiran, peta, dan simbol yang kami pelajari, ada indikasi kuat bahwa teknologi ini sudah digunakan oleh sebuah peradaban yang telah lama hilang. Mungkin lebih tua dari catatan sejarah tertulis kita. Tapi karena kurangnya dokumentasi, kami masih dalam tahap spekulasi ilmiah.”

Dari barisan depan, wartawan perempuan dari Kompas Tivi berbicara, “Apakah teknologi ini sudah siap bersaing? Dan apakah hak patennya sudah didaftarkan?”

Pak Toni menjawab dengan singkat, “Kami siap bersaing. Dan ya, proses pendaftaran hak cipta dan perlindungan teknologi sedang berlangsung.”

Sesi tanya jawab ditutup oleh MC, yang kemudian mengumumkan bahwa Pak Toni harus bergeser ke ruang sebelah untuk pertemuan dengan para calon karyawan.

Di luar gedung perusahaan, antrean panjang mengular hingga ke jalan utama. Suara kendaraan bercampur dengan teriakan pedagang kaki lima yang entah dari mana muncul, membentuk pasar dadakan di sepanjang trotoar. Seolah-olah, peluncuran teleportasi bukan hanya menggerakkan tubuh manusia, tapi juga memicu perpindahan spontan ekonomi informal.

Di dalam ruangan perekrutan, para pelamar sudah memenuhi kursi. Mereka mulai mengisi formulir, menjalani tes psikologi, dan wawancara singkat bersama tim HRD dan Pak Toni sendiri. Wajah-wajah penuh harap, sebagian kelelahan karena antrean, tapi tetap menyala oleh kemungkinan baru yang ditawarkan hari ini.

Sementara itu, Jatmika menjalankan peran yang lebih sosial. Ia menyambut wartawan satu per satu, menjawab pertanyaan tambahan, dan memandu mereka berkeliling—dari laboratorium tempat Nyonya Tien bekerja dalam diamnya, hingga ruang produksi lampu-lampu yang kelak menjadi bagian dari sistem teleportasi atau sekadar penerangan rumah-rumah biasa.

Hari itu, batas antara sains, mitologi, dan pasar kerja menjadi kabur. Dan semuanya dimulai dari sebuah cahaya di ujung gua—cahaya yang menolak untuk hanya disebut sebagai "lampu."
---
Di antara ribuan pelamar yang memenuhi halaman kantor PT Sinar Ultraviolet, satu sosok tampak tidak asing. John—rekan Jatmika yang selama ini membantu mengelola warkop Indomie kecil di Kuningan—berdiri di antrean bersama para pencari kerja lainnya. Ia mengenakan kemeja yang disetrika seadanya dan celana hitam yang sedikit memudar warnanya. Tak ada map lamaran mewah atau portofolio digital; hanya secarik kertas dan harapan bahwa dirinya bisa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari warung dan mie instan.

Waktu menunjukkan pukul 12.00 siang. Matahari seperti bersekongkol dengan aspal untuk menguji daya tahan manusia. Terik menyengat langsung ke kulit dan wajah mereka yang berdiri berjam-jam dalam antrean yang tak kunjung menipis. Beberapa menyerah, menyeret langkah pulang dengan kekecewaan yang dibungkus alasan logis: haus, lelah, atau sekadar keyakinan bahwa peluang telah tertutup.

Namun sebagian lagi bertahan. Bukan karena mereka lebih kuat, melainkan karena mereka lebih tidak punya pilihan. Bagi mereka, pekerjaan bukan sekadar tujuan, melainkan kemungkinan akan hidup yang sedikit lebih stabil—mungkin cukup untuk membayar kos, atau menyambung kuliah adik di kampung.

Di dalam gedung, tim HRD bekerja seperti mesin yang baru saja disempurnakan. Lembar-lembar psikotes dibagikan dan dipindai secara otomatis oleh sistem yang dirancang Nyonya Tien. Hasilnya langsung dikirim ke panel evaluasi, sementara wawancara dilakukan oleh staf manusia, agar tetap ada sentuhan empati dalam proses seleksi.

Pak Toni sendiri turun tangan. Tidak semua peserta bisa bertemu langsung dengannya, tapi ada beberapa yang dipanggil ke ruangannya secara langsung. Ia tidak mencari pengalaman yang panjang atau gelar akademik yang mengesankan. Yang ia cari adalah kejernihan berpikir, kemauan belajar, dan satu lagi: rasa ingin tahu yang tidak bisa dibuat-buat.

Beberapa peserta diterima di tempat—bukan karena mereka sempurna, tetapi karena dalam diri mereka ada percikan yang sama seperti yang pernah ia lihat dalam dirinya dulu: keberanian untuk mempercayai hal yang belum terbukti, dan kesediaan untuk membangun masa depan dari reruntuhan masa lalu.

John masih menunggu gilirannya. Ia tidak tahu apakah ia akan diterima, tapi ia tahu satu hal: tak ada satu pun mie instan yang dimasaknya selama ini sia-sia. Karena dari sana ia belajar tentang pelayanan, ketekunan, dan bahwa kesabaran di tengah panas terik kadang bisa mengantarkan seseorang ke pintu-pintu yang tak terduga.


Pukul 15.30. Matahari telah condong ke barat, cahayanya mulai kehilangan ketajaman dan berubah menjadi rona keemasan yang menyelimuti antrean panjang di halaman kantor PT Sinar Ultraviolet. Para pelamar masih berdiri tegak, sebagian bersandar di pagar, sebagian lainnya duduk di trotoar, menggenggam map coklat seakan isinya dapat menentukan masa depan mereka.

Di tengah antrean yang mulai tampak letih, pengeras suara berbunyi. Suara Manajer HRD, tenang namun tegas, menggema di seluruh area:
“Bagi peserta yang belum dipanggil hingga saat ini, harap tinggalkan CV dan resume Anda di meja petugas keamanan. Tim kami akan melakukan seleksi lanjutan dan menghubungi melalui nomor telepon yang tercantum.”

Pengumuman itu menimbulkan gelombang kecil kelegaan sekaligus kekhawatiran. Beberapa langsung berjalan ke arah meja security dengan ekspresi tenang, yang lain diam beberapa saat, menimbang apakah meninggalkan lamaran berarti menyerahkan nasib pada ketidakpastian.

Di tengah kerumunan itu, John masih bertahan. Ia telah melewati wawancara dan kini berjalan pelan mengelilingi area kantor, mencari sosok Jatmika. Namun sahabatnya itu masih sibuk mendampingi para wartawan, yang tetap bertahan hingga matahari tenggelam, menanti demonstrasi langsung teleportasi malam ini.

Sementara itu, di dalam sistem pusat data perusahaan, Nyonya Tien—program kecerdasan buatan yang telah disempurnakan selama bertahun-tahun—telah menyelesaikan analisis psikotes seluruh peserta. Hasilnya menohok namun jujur: sekelompok kecil mendapatkan nilai sempurna, menunjukkan pola berpikir logis, intuisi spasial, dan kestabilan emosional yang luar biasa. Namun, ada pula peserta yang memperoleh nilai nol. Tidak karena mereka bodoh, tetapi karena mereka mungkin tidak terlatih untuk berpikir dalam pola-pola formal yang diminta oleh sistem.

Dari ribuan peserta, hanya seratus yang lolos melewati ambang penilaian. Seratus nama yang, bagi Nyonya Tien, memiliki kemungkinan terbesar untuk beradaptasi dan berkembang dalam sistem kerja perusahaan yang tidak biasa—yang menggabungkan teknologi masa depan dengan peninggalan masa lalu yang belum terpecahkan sepenuhnya.

Namun sistem, betapapun canggihnya, tidak selalu dapat menangkap seluruh potensi manusia. Dan di luar sistem, masih ada orang-orang seperti John yang menunggu tanpa kepastian, mempercayai bahwa kadang, koneksi personal bisa membuka pintu yang tidak bisa dibuka oleh skor angka.
---

Sore itu, langit tampak berat. Awan mendung menggantung di atas kota seperti lapisan logam cair, dan guntur bergemuruh dari kejauhan, mengisyaratkan bahwa hujan hanya menunggu waktu untuk turun. Tepat pukul 18.30, peserta yang sejak pagi menunggu di halaman kantor PT Sinar Ultraviolet mulai membubarkan diri. Di layar besar yang dipasang di aula, Nyonya Tien—AI yang menjadi jantung sistem perusahaan—telah menayangkan hasil psikotes: daftar mereka yang memperoleh nilai tertinggi, dan yang terendah. Tidak ada upacara atau tepuk tangan, hanya data yang mengalir dengan ketelitian digital, dan manusia-manusia yang menerimanya dengan berbagai macam ekspresi.

Di tempat lain, Jatmika berdiri di hadapan para wartawan yang telah ditunjuk untuk mengikuti teleportasi malam itu. Dengan nada netral yang mencerminkan kebiasaannya menyampaikan informasi tanpa membesar-besarkan, ia memberikan instruksi penting:

“Silakan kenakan pakaian astronot yang telah kami siapkan. Dan mohon tinggalkan seluruh alat elektronik. Kamera, ponsel, bahkan jam tangan digital.”

Salah satu wartawan mengangkat tangan, suaranya terdengar sedikit kecewa, “Bagaimana kami bisa merekam atau memotret interior gua jika semua perangkat kami dilarang masuk?”

Jatmika tidak langsung menjawab. Ia menatap langit sejenak, seolah memeriksa awan. Lalu ia menjelaskan, “Kami sudah memasang kamera internal yang terhubung langsung ke sistem laboratorium. Visualnya akan direkam dan bisa Anda akses nanti. Tapi di dalam gua, teknologi modern dapat mengganggu kestabilan sistem teleport. Ini bukan hanya soal protokol keamanan, tapi soal menghormati sesuatu yang belum sepenuhnya kita pahami.”

Ia menambahkan, bahwa jika cuaca membaik, sesi teleportasi pertama akan dimulai pukul 20.00.

Sementara itu, di ruang dalam, Pak Toni dan tim HRD telah merampungkan seleksi akhir dari ribuan pelamar. Seratus nama dengan nilai sempurna terpilih. Namun Jatmika, yang memegang kendali atas sistem dan memahami bahwa logika manusia tidak selamanya dapat direduksi ke dalam angka, meminta satu nama tambahan dimasukkan: John. Ia tidak menjelaskan alasannya, dan tidak perlu. Dalam dunia yang dikuasai sistem terotomatisasi, satu bentuk keberpihakan personal adalah pernyataan kecil tentang kemanusiaan.

Jumlah akhir menjadi seratus satu.

Dan di luar jendela, hujan pun mulai turun—perlahan tapi pasti, menandai malam yang akan datang dengan suara yang menenangkan.

---

Pukul 20.30, hujan berhenti secara perlahan, seolah alam memberi izin atas sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan cuaca semata. Langit pun membuka dirinya, dan bulan—penuh dan bercahaya tenang—tampak seperti pengamat diam dari atas sana. Di balik ketenangan langit, laboratorium mulai bergerak. Pak Toni baru saja kembali dari ruang HRD, menyelesaikan proses perekrutan karyawan baru yang jumlahnya tak sedikit.

“Ny. Tien, persiapkan proses teleportasi ke titik Gunung Lawu. Untuk 50 orang,” ujarnya, singkat.

Instruksi itu tidak memerlukan pengulangan. Sistem merespons dengan ketenangan khas mesin: efisien, tidak terburu-buru, dan tanpa emosi. Di ruang artefak, Jatmika telah mengumpulkan para wartawan yang terpilih. Mereka berdiri dalam lingkaran mengelilingi artefak lampu—sebuah objek kuno yang tampak terlalu sunyi untuk kekuatan sebesar itu.

Semua peserta telah mengenakan pakaian astronot yang disiapkan sebelumnya. Jatmika dan Pak Toni memeriksa pemasangan helm satu per satu. Ini bukan semata urusan prosedur keselamatan, tetapi bagian dari upaya manusia untuk tetap memegang kendali terhadap teknologi yang lebih tua dari pemahaman mereka.

Ny. Tien memberikan konfirmasi: Proses teleportasi siap.

Dalam hitungan detik, kilatan listrik mulai berpendar di sekitar tubuh peserta. Arus energi tak kasatmata membentuk medan bola yang berputar lambat, sesekali menyambar pakaian mereka dengan kilatan halus. Seseorang—mungkin karena reflek atau ketakutan—berteriak dan tampak ingin mundur.

“Tenang,” ujar Jatmika dengan suara rendah tapi mantap. “Pegang tangan satu sama lain. Jangan ada yang melepaskan. Ini normal. Ini hanya bagian dari proses.”

Rasa takut yang muncul tak bisa dihindari. Ketakutan itu bukan hanya pada panas listrik atau suara gemuruh, tapi pada ketidakpastian—bahwa tubuh mereka akan diurai dan dikirim ke tempat lain, melalui cara yang bahkan para ilmuwan belum sepenuhnya pahami.

Lampu artefak menyala, perlahan berubah dari putih lembut menjadi emas terang. Lalu, pada titik kulminasi energi, bola listrik menyambar semuanya dalam satu ledakan cahaya. Saat berikutnya, ruang artefak kosong, menyisakan keheningan seperti sesudah mimpi yang terlalu cepat berakhir.

Di sebuah gua di lereng Gunung Lawu, kilatan cahaya muncul dari dinding batu. Udara mendadak terasa padat, dan bau ozon menyebar. Satu demi satu, tubuh-tubuh manusia termaterialisasi kembali, dikelilingi sisa kilatan listrik yang menyusut pelan.

Jatmika menoleh pada para wartawan yang kini terdiam, entah karena kagum atau karena tubuh mereka masih menyesuaikan diri.

“Selamat datang di Gunung Lawu,” ucapnya. “Di sinilah semuanya bermula. Tempat pertama kami menemukan artefak ini. Tempat pertama yang memberi pertanyaan lebih banyak dari jawaban.”

Dan bulan pun tetap menyinari gua itu—seolah ikut menyaksikan langkah awal manusia menembus batas ruang, dengan cara yang nyaris tak bisa dijelaskan.


---
---

Suara gemuruh kilatan sudah reda. Gua Gunung Lawu kini hanya diterangi oleh lampu LED kecil yang tertanam di dinding batu, menyebarkan cahaya putih keabu-abuan. Aroma tanah basah bercampur ozon masih terasa. Para wartawan berdiri diam, tubuh mereka belum sepenuhnya terbiasa dengan perpindahan yang tidak memiliki jeda, tidak ada gerak—hanya hilang dari satu tempat, lalu muncul di tempat lain.

Jatmika menyalakan komlink internal dan berkata, “Silakan... jika ada yang ingin bertanya, sekarang waktunya.”

Seorang wartawan wanita dari Kompas Tivi angkat tangan. “Bagaimana... bagaimana bisa gua ini menjadi titik teleportasi? Apakah ada struktur khusus yang memungkinkan itu?”

Jatmika menatap dinding gua yang retak-retak halus, lalu menjawab dengan tenang, “Kami juga masih mencari tahu. Tapi semua titik teleportasi memiliki pola mineral yang mirip—jenis batu yang tak tercatat dalam katalog geologi modern. Entah dibuat secara alami atau... dimodifikasi oleh teknologi yang belum kita pahami.”

Wartawan lain, dari Harian Poskota, bertanya, “Jadi, ini bukan buatan manusia modern? Siapa yang membangunnya?”

“Pertanyaan itu belum bisa kami jawab. Tapi dugaan kami, ada peradaban terdahulu yang memahami hubungan antara struktur batuan, medan magnet bumi, dan jenis energi yang tidak biasa. Artefak lampu adalah kuncinya—tanpa itu, gua ini hanya ruang kosong.”

Wartawan muda dari Cikarang Post mencatat cepat di tablet yang sudah disediakan, lalu mengangkat kepala. “Apakah teleportasi ini aman? Maksud saya, tubuh kami... tidak mengalami kerusakan?”

“Sampai sekarang, tidak ada efek samping jangka pendek. Nyonya Tien memindai semua fungsi biologis kalian sebelum dan sesudah teleportasi. Tapi kami tetap akan memantau. Ini bukan sekadar teknologi baru—ini adalah warisan dari sesuatu yang kita belum mengerti secara menyeluruh.”

Dari sudut gua, terdengar suara pelan, agak ragu. “Apa ini bisa diakses masyarakat umum?” tanya seorang wartawan lokal, pria tua dengan kamera tergantung di leher.

Jatmika mengangguk perlahan. “Itulah harapannya. Tapi kami tak ingin mengulang kesalahan masa lalu, jika memang teknologi ini pernah menghancurkan sesuatu. Setiap perjalanan akan diawasi, dibatasi, dan... dikaji. Ini bukan sekadar layanan transportasi. Ini adalah pintu ke masa yang telah lama terkubur.”

Suasana menjadi hening. Para wartawan mulai memandang dinding gua dengan mata berbeda. Seolah mereka mulai mengerti: bahwa teleportasi ini bukan hanya tentang pergi ke tempat lain, tetapi tentang menghubungkan manusia modern dengan sesuatu yang lebih tua dari sejarah itu sendiri.

“Dan sekarang,” lanjut Jatmika, “silakan luangkan waktu sebentar. Kita akan kembali ke laboratorium dalam sepuluh menit. Tapi jangan menyentuh dinding... beberapa dari bagian ini masih aktif secara elektromagnetik.”

Seorang wartawan berbisik ke rekannya, “Kita tidak hanya meliput teknologi. Kita sedang menyaksikan awal dari sesuatu yang mungkin... mengubah segalanya.”


---

Jatmika berdiri di hadapan dinding gua yang dingin dan lembap, tangannya menunjuk ke sebuah lukisan kuno yang telah memudar, namun tetap menyimpan keagungan. Sorot cahaya dari helm astronot memantulkan kilau samar pada pigmen yang tertinggal di batu.

“Lukisan ini,” kata Jatmika pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri, “menggambarkan sosok yang kami yakini sebagai Raja Isidore dari kerajaan Mythopia—sebuah entitas politik dan spiritual yang belum tercatat dalam sejarah formal Nusantara.”

Sosok raja itu digambarkan berdiri tegak, memegang sebilah keris panjang berhiaskan cahaya. Keris itu tampak menyala, seperti menyalurkan energi dari bumi dan langit secara bersamaan. Di sekelilingnya berdiri sepuluh tokoh lain—para ksatria—masing-masing dengan atribut dan simbol yang begitu spesifik hingga terkesan lebih dari sekadar mitologi.

“Nama-nama mereka telah kami ketahui sebagian, bukan melalui teks, tetapi melalui pola simbol yang konsisten muncul di setiap gua teleportasi,” jelas Jatmika. “Mereka adalah—Rakajati, manusia kayu; Pangreksa, penguasa es; Sagara Putra, penakluk samudra; Bayu Anggana, pengendali angin; Bhra Anuraga, tuan dari api; Jagat Dirgantara, penguasa tanah; Surya Wikrama, pembawa cahaya; Guntur Wisesa, penakluk petir; Rangga Wulung, ahli senjata; dan Arya Wiratma, perancang strategi.”

Jatmika menatap lebih dalam ke lukisan, kemudian melanjutkan, “Yang menarik adalah: setiap gua teleportasi memiliki pola ciri khas—unsur-unsur simbolik yang tampaknya mengaitkan lokasi itu dengan salah satu dari sepuluh ksatria. Gua ini, misalnya, menampilkan ukiran api di berbagai titik dinding. Berdasarkan algoritma terjemahan Nyonya Tien, kami menduga ini adalah tempat meditasi atau peristirahatan Bhra Anuraga, sang Tuan Api.”

Simbol-simbol itu, jelas Jatmika, tidak pernah berubah posisinya, bahkan setelah paparan terhadap cahaya, kelembapan, atau sentuhan manusia. Seolah-olah mereka dilindungi oleh logika yang belum dikodifikasi oleh ilmu pengetahuan modern.

“Nyonya Tien,” tambahnya, “telah berhasil menerjemahkan beberapa dari simbol-simbol yang terpancar dari artefak lampu utama. Mereka membentuk sintaksis tersendiri, lebih mirip dengan ekspresi matematis daripada bahasa lisan. Tapi maknanya... penuh dengan pesan.”

Wartawan yang menyaksikan diam sejenak. Tak ada suara selain bunyi napas yang tertahan di dalam helm astronot. Di hadapan mereka, teknologi dan sejarah bukanlah dua cabang yang berbeda, melainkan satu garis yang terentang jauh ke masa lalu dan masa depan—dihubungkan oleh cahaya dari sebuah keris, dan gema dari nama-nama yang pernah, atau mungkin masih, hidup di balik dimensi ini.


---


---

Suara Nyonya Tien terdengar dari speaker helm—tenang namun penuh ketegasan.
“Waktu tersisa satu menit. Persiapkan kembali ke titik asal.”

Jatmika bergerak cepat, matanya menyapu seluruh ruangan gua sambil menghitung jumlah peserta. Di antara mereka, seorang pria mulai terhuyung. Napasnya tersengal. Seorang wartawan mengenalinya—pasien asma yang lupa membawa inhaler.

“Bantu dia,” perintah Jatmika, tidak dengan panik, tetapi dengan urgensi yang terukur. Dua peserta lain segera menopang tubuhnya yang melemas, membawanya mendekati titik teleportasi. Nyonya Tien, memantau dari laboratorium, memberikan notifikasi tambahan.

“Terdeteksi satu individu dengan ritme jantung anomali. Menurunkan intensitas denyut, namun masih dalam batas vital.”

Waktu tak berpihak. Teleportasi harus dilakukan. Jatmika memberi aba-aba terakhir.

“Bersiap. Jangan lepaskan kontak satu sama lain.”

Seperti sebelumnya, cahaya keemasan menyelimuti tubuh mereka. Arus listrik menjalar, menari di udara seperti benang petir yang menjahit ruang dan waktu. Ada teriakan spontan—bukan karena ketakutan, tetapi karena tubuh mereka sedang dipindahkan oleh sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh ilmu yang mereka pahami.

Mereka menghilang.


---

Ketika partikel-partikel tubuh mereka terbangun kembali di ruang laboratorium, semuanya utuh. Namun satu tubuh tergeletak, tidak bergerak—pria yang mengalami sesak napas. Para peserta segera mundur, memberi ruang. Jatmika berjongkok, melepaskan helm dan membuka kancing baju astronotnya.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya, nyaris berbisik.

Pria itu membuka mata. Ada cahaya aneh di sorotannya. “Aku belum pernah merasa sesehat ini… bahkan sejak kemarin.”

Jatmika tertawa pendek, lega. “Kamu hampir membuat kami semua panik.”

Sementara itu, Nyonya Tien menampilkan visual dari artefak lampu. Cahaya emas yang semula bersinar stabil kini berpendar keunguan, berpusat ke tubuh pria tersebut. Tidak ada penjelasan ilmiah yang cukup memadai. Hanya interpretasi: sesuatu telah diperbaiki selama proses teleportasi. Mungkin ada resonansi dalam medan bioelektrik. Mungkin gua itu menyimpan lebih dari sekadar energi.


---

Di sisi lain ruangan, para wartawan dengan cepat kembali ke peran mereka. Beberapa langsung menyiarkan laporan secara langsung, headset terpasang, suara disesuaikan agar dramatis, namun tetap akurat.

“Pemirsa, kami baru saja menyaksikan tonggak sejarah—PT. Sinar Ultraviolet telah meluncurkan teknologi teleportasi pertama di dunia. Berdasarkan perpaduan teknologi kuno dan sistem canggih masa kini, mereka berhasil membuka 100 titik teleportasi—termasuk titik-titik di luar negeri, bahkan di bawah laut.”

Seorang reporter lain menambahkan, “Biaya hanya satu juta rupiah per teleport, dan masyarakat dapat langsung mencoba dengan datang ke fasilitas utama di Cikarang. Sebuah pengalaman yang sebelumnya hanya mungkin dalam fiksi ilmiah, kini menjadi kenyataan.”

Jatmika menatap ke layar besar, melihat data gelombang tubuh peserta terakhir yang kini stabil.
Ia tahu, teleportasi bukan lagi sekadar perpindahan ruang. Ini adalah percakapan antara manusia dan warisan teknologi yang telah lama tertidur. Dan kini, dunia telah mendengarnya.


---

---

Pukul 22.30. Gedung PT. Sinar Ultraviolet telah kembali senyap. Semua karyawan telah pulang, begitu pula para wartawan yang sebelumnya sibuk mewawancarai dan merekam setiap sudut laboratorium. Hanya dua orang yang masih tertinggal di ruang kontrol: Jatmika dan Pak Toni.

Di layar monitor, linimasa media sosial bergerak cepat—sebuah arus data yang tak henti memunculkan tagar #teleport. Potongan video teleportasi beredar luas, direkam dari berbagai sudut, disunting dengan dramatis namun tak mengurangi otentisitasnya. Ada kegembiraan kolektif. Ada keheranan yang mewujud menjadi kekaguman.

Di sisi lain layar, dashboard email perusahaan menampilkan lonjakan baru—pesanan lampu artefak imitasi melonjak drastis. Permintaan terbanyak datang dari China, Amerika, dan Eropa. Sebagian besar hanya menginginkan desain estetikanya, sebagian lain menginginkan versi aktif, menyala 72 jam seperti demo. Namun satu kategori lebih menarik perhatian: permintaan teleportasi. Antrian digital terbentuk, tumpang tindih dalam waktu, semua ingin menjadi bagian dari sejarah.

Pak Toni memandangi grafik permintaan itu, lalu beralih pada Jatmika.
“Kerja bagus, Jatmika. Apa yang kalian capai hari ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar dari kita semua.”

Jatmika tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada gambar medan energi terakhir dari proses teleportasi. Ada keanehan kecil di frekuensinya—gangguan pada amplitudo cahaya ungu. Ia menyimpannya dalam berkas pribadi, untuk diteliti nanti.

“Terima kasih, Pak. Saya bersyukur sudah diberikan kesempatan terlibat di dalamnya.”
Ia menarik napas, lalu melanjutkan, “Saya harap teknologi ini tidak hanya menjadi alat, tapi juga jembatan—menuju hal-hal yang sebelumnya mustahil.”

Pak Toni tersenyum kecil. “Saya ingin fokus pada satu hal ke depan: teknologi pengobatan. Jika teleportasi bisa memperbaiki medan sel, kita mungkin bisa menyembuhkan penyakit yang selama ini tak tersentuh. Tapi untuk pengembangan perusahaan, saya percayakan padamu dan tim.”

Jatmika mengangguk. Ia merasa berat, tapi juga tertantang.
“Kalau begitu, saya ingin mulai dari sesuatu yang mendasar: goa.”

Pak Toni menoleh.
“Goa?”

“Ya. Saya berencana membentuk tim untuk memindahkan artefak lampu dari sana ke pusat laboratorium, kalau memungkinkan.”

Sunyi sejenak. Pak Toni tak langsung menjawab.

“Saya mengerti niatmu,” katanya akhirnya. “Tapi saya pikir itu berisiko. Goa itu—lebih dari sekadar lokasi fisik. Ada sesuatu di dalamnya, mungkin sistem pertahanan, mungkin mekanisme kuno yang belum kita mengerti. Jika kita keliru menyentuhnya, semua bisa berubah.”

Jatmika terdiam. Bukan karena ia tak setuju, tapi karena ia tahu Pak Toni benar. Artefak itu bukan benda mati biasa. Ia seperti hidup, dan mungkin terikat pada struktur batu, pada ruang, pada waktu.

“Kita butuh waktu,” lanjut Pak Toni. “Observasi. Penelitian. Kesabaran.”

“Baik, Pak,” ujar Jatmika pelan. “Kita akan menunggu… sampai gua itu sendiri yang berbicara kepada kita.”

Di belakang mereka, layar artefak lampu memancarkan denyut cahaya halus. Tak lagi emas, tak lagi ungu. Tapi biru—seolah merespons dialog yang baru saja terjadi. Seolah mendengarkan.

Dan di laboratorium yang kini sepi itu, mereka menyadari: teleportasi hanyalah permulaan.


---


































12/04/25

Jatmika & Portal waktu

Story created by gopaan
Chapter 1 Komposisi Diri dalam Ruang Uji  

Udara di ruang tunggu itu termampatkan hingga 18°C—suhu yang dipilih untuk menguji ketahanan pelamar sebelum mereka diuji oleh manusia. Jatmika, Kandidat No. 17, menyadari bahwa **dirinya adalah sebuah prototipe yang dirakit dari pinjaman**: sepatu Oxford kakaknya (1,5 cm terlalu sempit), jam tangan TAG Heuer replika teman kos (jarum detiknya tersangkut di angka 12 seperti pikiran yang terjebak kecemasan), dan tas kulit sintetis adiknya yang masih mengeluarkan bau solvent. Hanya jas abu-abu ini yang benar-benar miliknya—dibeli di Pasar Senen dengan jaminan "tahan dua kali pemakaian".  

Di kursi tunggu, ia menghitung **peluang dalam satuan entropi**:  
- Wanita di sebelah kirinya mengetik di laptop bertuliskan *"Think Beyond Quantum"* → *+15% kompetensi teknis*.  
- Pria berkacamata tebal membolak-balik CV setebal *War and Peace* → *+20% pengalaman*.  
- Anak muda di sudut yang tertidur dengan mulut terbuka → *peluangnya naik 1,8%, sesuai persamaan Poisson untuk kejadian langka*.  

Pintu ruang wawancara terbuka. Suara dari dalam memanggil: *"Jat-mi-ka?"*—pelafalan yang salah, tapi tak sempat dikoreksi. Saat ia berdiri, kaki kirinya—terhimpit sepatu pinjaman—menyebabkan tubuhnya tersungkur dalam gerak lambat, seperti partikel yang tertarik medan gravitasi absurd. Tawa berdentang-dentang, tapi seorang wanita paruh baya (*wajahnya mengingatkannya pada ibunya di kehidupan alternatif yang lebih baik*) membantunya bangkit. **Inilah momen ketika Jatmika memahami: kegagalan adalah bahasa universal yang tak diajarkan di kursus persiapan wawancara.**  

Ruangan interview dihiasi tiga pasang mata yang mengamatinya dari balik meja marmer hitam. Tidak ada kursi—*apakah ini ujian postur tubuh atau metafora ketidakseimbangan kekuasaan?* Jasnya basah di ketiak, aroma kapur barus murahan menguap seperti sinyal distress.  

"*Perkenalkan diri Anda,*" ujar Manajer HRD (*nama di papan: "Dian Sastrowardoyo, Ph.D"*), suaranya datar seperti text-to-speech.  

Jatmika mulai dengan kalimat yang dihapalnya dari video YouTube *"10 Jawaban yang Menghancurkan HRD"*:  
"*Saya lulusan Teknik Mesin UGM dengan spesialisasi termodinamika...*"  

Tiba-tiba, di dinding kaca di belakang para pewawancara, ia melihat pantulan dirinya—bayangan berkaus oblong yang terselubung jas, seperti **prototipe robot yang dibungkus kulit manusia**. Sebuah pertanyaan muncul dari versi dirinya yang dulu: *"Jika mesin ini—'Jatmika si profesional'—gagal dalam uji beban, apakah masih ada sisa 'manusia' di dalamnya?"*  

Pertanyaan-pertanyaan HRD mengalir seperti aliran laminar:  
- *"Apa kelemahan terbesar Anda?"* → *"Saya terlalu kritis terhadap diri sendiri"* (= *versi polite dari "saya overthinking"*).  
- *"Jika jadi superhero, kekuatan apa yang Anda pilih?"* → *"Kemampuan memanipulasi entropi"* (= *jawaban jujur yang terdengar seperti lelucon*).  

Tapi yang ia catat adalah detail di luar dialog:  
- **Frekuensi kedipan lampu neon**: 60 Hz, tepat di ambang persepsi manusia.  
- **Pola ketukan jari Manajer HRD**: interval 7 detik (*urutan Fibonacci?*).  
- **Siklus tiupan AC**: setiap 3 menit, seperti napas ruangan ini.  

Satu jam kemudian, ketika lampu neon berkedip 0,5 detik (*gangguan listrik atau pertanda?*), Dian Sastrowardoyo berkata:  
"*Kami akan menghubungi Anda.*"  

Di lift turun, Jatmika menekan tombol Lobi dengan jari yang masih gemetar. Jam tangannya masih terhenti di angka 12—*mungkin ini metafora untuk waktu yang membeku, atau sekadar baterai yang mati*. Di luar, hujan Jakarta membiaskan cahaya gedung-gedung pencakar langit. Ia berjalan ke halte bus, sementara bayangannya di genangan air terpecah-pecah oleh riak hujan: **serpihan identitas yang siap dirakit ulang untuk pertunjukan berikutnya.**  


Chapter 2 Pertemuan dengan pak Harto 

**Hujan Jakarta** bukan sekadar presipitasi, melainkan **sistem distribusi rizki terdistribusi**—setiap tetesnya mengandung peluang. Anak-anak lusuh berlarian menawarkan payung bekas dengan harga 5.000/lusin, sementara tukang ojek mengibarkan jas hujan plastik seperti bendera negara miskin. Jatmika duduk di warmindo "Mbah Darmi", menyeruput mi instan kuah coklat yang menurutnya **"mengandung 11 asam amino esensial dan 1 gram harapan"**. Uang di sakunya: **selembar uang sepuluh ribuan yang sudah mengalami 127 transaksi**, berdasarkan goresan mikroskopis di permukaannya.  

Ibu Kos di Kalijodos berdiri di halaman seperti **manifestasi hukum termodinamika kedua**—entropi kekacauan finansial yang tak terhindarkan. "Utangmu dua bulan, Nak," katanya, suaranya seperti data yang dikompresi ke dalam frekuensi 2.4 kHz (rentang suara manusia paling menyakitkan). Jatmika menyerahkan jam tangan palsu temannya—**"jaminan kovalen"** dengan masa berlaku 7 hari sebelum baterainya mati.  

Motor yang dikembalikan temannya (John, sang pengojek Grab) masih hangat, bensinnya 32% terisi—**presisi algoritma orang yang tak mau rugi**. "Alhamdulillah dapet 50 ribu, Bang," kata John, wajahnya bersinar seperti layar smartphone yang baru di-charge. Jatmika mengangguk, menghitung **efisiensi ekonomi**: 50 ribu = 1,7 porsi mi ayam atau 0,3% uang kos.  

Aplikasi ojeknya menyala. **Notifikasi muncul seperti ramalan oracle**:  
- **Tujuan**: Pantai Indah Kapuk (PIK)  
- **Tarif**: Rp59.000  
- **Penumpang**: "Harto" (rating 4,9, 1274 trip)  

Di Rasuna Said, pria itu menunggu dengan pakaian yang **melanggar hukum normalitas bisnis Jakarta**: kemeja batik berlengan pendek, celana cargo, dan sepatu boot karet—**ensemble seorang surveyor lapangan atau time traveler yang salah kostum**.  

"Maaf, Pak. Helmnya," ujar Jatmika, menyodorkan helm dengan goresan berbentuk **fraktal Mandelbrot** di kacanya.  

Sepanjang jalan tol, Pak Harto bercerita dalam kalimat yang terstruktur seperti **paper akademik**:  

**"Percobaan ke-1001: Rekrutmen Subjek Jatmika"**  
*(Oleh: Hartono, Ph.D - Surveyor Temporal)*  

**Latar Belakang**:  
- Kesalahan di iterasi sebelumnya: merekrut kandidat berbasis **kepintaran semu (IQ >125 tetapi integritas <0,5)**.  
- Metode baru: **algoritma kompatibilitas etis** yang mempertimbangkan:  
  1. Pola konsumsi mi instan (>3x/minggu = toleransi penderitaan tinggi).  
  2. Rasio pinjaman/penghasilan (2 bulan utang kos = kemampuan bertahan dalam krisis).  
  3. **Tindakan menyerahkan jam tangan palsu** = kapasitas untuk **"kebohongan altruistik"**.  

**Temuan**:  
- Jatmika adalah **solusi persamaan diferensial kehidupan Harto**:  
  \( \frac{d^2y}{dx^2} + 0,5\frac{dy}{dx} + y = \sin(x) \)  
  *(Di mana y = kesuksesan bisnis, x = waktu, 0,5 = koefisien ketidaksempurnaan manusia)*  

**Kesimpulan**:  
"Bersediakah Anda menjadi **penerus bisnis teleportasi kuantum** saya? Syaratnya: Anda harus rela **menghapus sejarah pinjaman ibu kos** dari memori kolektif—dengan teknologi ini."  

Jatmika melihat ke spion. Mata Pak Harto memantulkan cahaya lampu tol seperti qubit yang terentang 

(Di atas motor, menuju PIK, hujan gerimis mulai reda)

**Harto:** *"Nih, Mas, tolong pelan-pelan di tikungan. Badan saya ini aset negara—kalau kecelakaan, BPJS bakal nangis."*  

**Jatmika:** *"Tenang, Pak. Saya ini alumni *ojek gunung*—turunan Puncak, tanjakan Serang, semua sudah jadi bagian dari DNA."*  

**Harto:** *(tertawa)* *"Wah, kalau begitu, motor ini bisa disebut *kendaraan multiguna*—antar manusia, angkat galon, sekaligus uji nyali."*  

**Jatmika:** *"Betul, Pak. Tapi hari ini khusus *VIP mode*—tanpa boncengan galon atau ayam hidup."*  

**Harto:** *"Syukurlah. Terakhir naik ojek, saya duduk sebelah kardus berisi kucing liar. Si meong itu *review*-nya 1 bintang di mata saya."*  

**Jatmika:** *(tersenyum)* *"Kalau sekarang aman, Pak. Kecuali… *tikus kosan* saya ikut numpang. Itu juga *passenger* rutin."*  

**Harto:** *"Hah! Saya malah lebih takut sama *tikus kantor*, Mas. Mereka itu *koruptor kecil*, suka nyolong snack dari meja."*  

*(Sepanjang tol, Jatmika menghindari lubang dengan lincah)*  

**Harto:** *"Wah, skill *slalom*-nya mantap! Dulu atlet *road avoidance*, ya?"*  

**Jatmika:** *"Iya, Pak. Latihan tiap hari di jalanan Jakarta—*extreme hole dodging*, cabang olahraga urban."*  

**Harto:** *"Kalau begitu, saya kasih *tip* nih…"* *(mengeluarkan uang 20 ribu)*  

**Jatmika:** *"Wah, terima kasih, Pak! Ini *nilai tambah* dari *ride experience*-nya?"*  

**Harto:** *"Bukan. Itu *uang pelicin* supaya nanti saya ngobrolin sesuatu, Mas gak kabur."*  

**Jatmika:** *(kaget)* *"Lho, saya ini *ojek legal*, Pak. Kecuali… Bapak ini *malaikat pencabut nyawa* yang nyamar?"*  

**Harto:** *(terbahak)* *"Bukan! Saya ini *malaikat pencabut kemiskinan*—versi *startup* gagal tapi *second chance*-nya banyak."*  

**Jatmika:** *"Hah? Bapak ini *investor* atau *tukang ramal*?"*  

**Harto:** *"Surveyor, Mas. Tapi spesialisasi saya *nyari orang yang kebanyakan mimpi, kurang duit*—kayak Anda!"*  

**Jatmika:** *(tersipu)* *"Waduh, surveynya *terlalu akurat*, Pak. *Big data*-nya dari mana?"*  

**Harto:** *"Dari *aplikasi ojek* ini! *Ride history*-nya keliatan: *lokasi kos kumuh, sering ke warmindo, tujuan ke rental motor*—semua *red flag* orang *brilian tapi bokek*."*  

**Jatmika:** *(tertawa getir)* *"Kalau begitu, saya ini *open source* ya, Pak? *Privacy*-nya hilang di *cloud*."*  

**Harto:** *"Tenang, data Anda aman. Saya cuma mau nawarin *upgrade*: ganti *ojek jalanan* jadi *ojek multiverse*!"*  

**Jatmika:** *"Multiverse? Bapak ini habis *nonton Marvel* ya?"*  

**Harto:** *"Bukan! Saya punya *prototype mesin teleportasi*—tapi *beta version*-nya masih suka salah *drop location*. Kemarin ada orang *nyampe di kamar mandi Justin Bieber*."*  

**Jatmika:** *(melongo)* *"Lah, terus kenapa *pilih saya*? Saya aja *navigasi di Jakarta* kadang masih nyasar!"*  

**Harto:** *"Justru itu! Anda *ahli *survival*—kalau mesin saya *error* dan nyasar di dimensi lain, Anda bisa *ojek-in* pulang pakai *motor*!"*  

*(Jatmika hampir ngerem mendadak)*  

**Jatmika:** *"Bapak ini *nyeriusin* atau *candaan*? Soalnya kalau *beneran*, saya mau minta *advance payment*—buat *lunasin utang kos* dulu…"*  

**Harto:** *"Deal! Tapi *sign contract*-nya pakai *blood*—eh, maksudnya *tinta emas*!"*  

**Jatmika:** *"Darah saya *type O*—*universal donor* sekalian *universal penerima tawaran gila*!"*  

*(Keduanya tertawa, sementara motor melintasi gerbang PIK—tempat dimana *realitas biasa* akan segera berakhir.)*  

Chapter 3 Sisa-Sisa Cahaya di Gerbang Hitam

---
Cluster itu muncul dari kabut sore seperti ilusi, deretan rumah minimalis dengan garis-garis tajam yang terlalu sempurna untuk dianggap ramah. Jatmika menyadari bagaimana **bayangannya terpotong rapi oleh pagar hitam**, membentuk siluet asing yang tak lagi ia kenali—seolah identitas lamanya tertinggal di jalanan Jakarta yang basah oleh hujan dan keringat.  

*"Tanda pengenal, Tuan,"* ujar satpam itu dengan suara datar. **Matanya tak menyipit meski silau senja**, seolah dilindungi oleh lapisan kaca anti-reflektif yang juga menghalangi empati. Jatmika mengulurkan KTP-nya yang sudah lecek di sudut, **beka gigitan tikus di kosan Kalisari yang tak pernah ia perbaiki**, sementara kamera CCTV di gerbang berputar pelan, **lensa lebarnya menyipit seperti mata kucing yang menilai**.  

*"Ikuti jalan ini,"* kata Pak Harto, tangannya melambai ke arah gang sempit. *"Lurus, lalu kiri di patung kuda tanpa kepala. Kanan di bundaran dengan air mancur yang airnya tersedot ke bawah. Kiri lagi di pohon beringin yang daunnya dari plastik."*  

Petunjuk itu diucapkan dengan nada **orang yang terlalu sering mengulangi hal sama**, tapi Jatmika hanya mengangguk, **seolah peta ini sudah ia hafal dari mimpi-mimpi yang tak pernah ia ceritakan**.  

---

Rumah nomor 100 tak berbeda dengan lainnya—kubus beton dengan jendela-jendela kecil seperti **lubang intip ke masa lalu**. Saat mereka mendekat, CCTV di gerbang mengeluarkan bunyi *"klik"* halus, dan pagar terbuka **dengan desis udara yang terkompresi**, seolah rumah itu menarik napas dalam-dalam.  

Di teras, **sebuah robot berbentuk seperti lemari arsip tua** bergerak mendekat, rodanya berderik di lantai marmer.  

*"Minuman penyambutan,"* katanya dengan suara yang direkam terlalu sempurna, **kehilangan getar ketidaksempurnaan manusia**.  

Di atas nampan perak:  
- **Dua gelas teh tawar** dengan daun teh mengambang seperti fosil kecil  
- **Nastar** dengan pinggiran kecokelatan yang tak rata, **seolah dibuat oleh tangan yang sudah lupa cara peduli**  

*"Istri saya yang membuatnya,"* kata Pak Harto sambil mengambil satu, meski tak ada tanda kehidupan lain di rumah itu. **Jatmika tak bertanya; ia sudah belajar bahwa pertanyaan sering kali hanya membawa jawaban yang lebih membingungkan**.  

---

Kuesioner itu tebal, sampulnya berdebu. Halaman pertamanya bertuliskan: *"Apa yang ingin Anda capai sebelum semuanya berakhir?"*  

Jatmika menatapnya lama. **Ia teringat pada formulir lamaran kerja di pabrik tekstil delapan tahun lalu**, pertanyaan-pertanyaan yang sama kaburnya, jawaban-jawaban yang sama kosongnya. Tapi halaman berikutnya berbeda:  

*"Apa warna pertama yang Anda ingat dari masa kecil?"*  
*"Berapa kali Anda berpura-pura tertidur saat ibu kos menagih sewa?"*  
*"Jika Anda bisa menghapus satu momen dari ingatan seseorang, momen apa itu?"*  

Pena di tangannya terasa berat. **Setiap jawaban meninggalkan bekas di kertas seperti luka**, sementara di luar jendela, langit berubah dari jingga menjadi abu-abu kebiruan.  

---

Lima puluh menit kemudian, Pak Harto memasukkan kuesioner itu ke dalam **mesin scanner tua** yang mengeluarkan suara dengungan seperti lebah sekarat.  

*"Anda jujur,"* katanya sambil membaca hasil cetakan. *"Atau setidaknya, Anda percaya pada kebohongan Anda sendiri."*  

Kontrak yang ia sodorkan **berbau seperti kamar hotel tua**—campuran AC basi dan harapan yang terkubur. Klausul-klausulnya sederhana:  

*"Pihak Kedua setuju untuk berpartisipasi dalam uji coba teleportasi kuantum, dengan kompensasi Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) setelah fase pertama."*  

Tak ada penjelasan tentang apa yang terjadi jika gagal. Tak ada definisi "gagal".  

*"Kita baru bertemu sekali,"* kata Jatmika, suaranya terdengar jauh, **seolah berasal dari versi dirinya yang masih berdiri di gerbang tadi**.  

Pak Harto memandangnya dengan **tatapan orang yang sudah terlalu sering melihat keraguan ini**. *"Tapi saya sudah membaca jawaban Anda. Yang tentang warna pertama yang Anda ingat—kuning cat tembok kamar nenek. Yang tentang utang kos. Yang tentang..."* Ia tersenyum tipis. *"Mimpi Anda yang berulang: berdiri di tepi jurang dengan tas berisi uang."*  

**Robot di sudut ruangan tiba-tiba bergetar**, layarnya menampilkan angka-angka acak sebelum mati kembali.  

*"Tanda tangani saja,"* bisik Pak Harto. *"Besok mungkin kita akan tertawa melihat kekhawatiran ini. Atau mungkin tidak. Tapi itu risiko yang kita sebut hidup, bukan?"*  

Di luar, **angin sore menggerakkan daun plastik pohon beringin**, menciptakan suara gemerisik yang sama persis dengan halaman-halaman kuesioner yang baru saja diisi. 

Chapter 4 Kilatan Cahaya di Malam Kuningan

Malam itu, di kamar kos Jatmika yang sempit, suara obrolan para grab driver mengambang seperti asap rokok yang tertahan di langit-langit rendah. Mereka duduk melingkar di lantai, layar ponsel masing-masing memantulkan cahaya biru yang membuat bayangan di dinding tampak seperti makhluk asing. Jatmika sendiri duduk agak terpisah, **kontrak dari Pak Harto terbuka di pangkuannya**, kertas itu terasa lebih berat dari yang seharusnya.  

*"Penjemputan khusus,"* begitu bunyi klausul utamanya. *"Subjek akan mengangkut individu yang telah berhasil diteleportasi dari lokasi awal di Pantai Indah Kapuk ke tujuan yang belum diungkapkan."* Kata-katanya kering, formal, **tetapi ada sesuatu yang menggelitik di tenggorokan Jatmika setiap kali membacanya—semacam kejanggalan yang tak bisa ia tempatkan**.  

Lalu, seperti ditakdirkan, notifikasi Grab-nya berbunyi. **Orderan ke PIK. Rp59.000. Pemesan: Harto.**  

Jatmika menatap layarnya, **jari-jarinya dingin meski udara malam ini pengap**. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu ia meninggalkan Pak Harto di rumahnya. Tapi di sini namanya muncul lagi, seolah-olah waktu telah melipat diri.  

---

Kuningan malam itu sunyi dengan cara yang tidak wajar. Lampu-lampu jalan menyala terlalu terang, **seperti panggung yang sedang disiapkan untuk suatu pertunjukan**. Pak Harto sudah menunggu di tepi jalan, tapi **ia bukan lagi pria berkemeja sederhana yang Jatmika kenal**.  

Kali ini, ia mengenakan **setelan silver yang mengkilap seperti kulit ikan**, **materialnya berdesis halus setiap kali bergerak**, dan di sekujur lengannya, **aliran listrik biru berkedip-kedip di bawah permukaan kain**, seperti sungai kecil yang terperangkap.  

*"Apakah teleportasi Anda berhasil?"* tanya Jatmika, suaranya lebih kecil dari yang ia rencanakan.  

Pak Harto tersenyum, tapi matanya—**matanya terlalu lebar, pupilnya membesar seperti orang yang baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada**.  

*"Bajunya harus seperti ini,"* ia membenarkan kerah setelannya dengan gerakan kaku. *"Kita harus cepat. Saya sudah kehabisan waktu di masa ini."*  

Saat ia naik ke motor, **udara di sekitarnya bergetar**. Jatmika belum sempat menanyakan apa pun—**lalu dunia meledak dalam cahaya**.  

---

**Kilatan itu bukan sekadar kilat.** Ia merobek malam, **membelah realitas seperti pisau yang mengiris kertas**. Jatmika merasakan **tubuhnya tercerai-berai**, setiap molekulnya tertarik ke arah yang berbeda, **tulang-tulangnya berteriak dalam frekuensi yang tidak bisa didengar telinga manusia**. Ada suara—**atau mungkin bukan suara, tapi sensasi—seperti ribuan orang berbisik bersamaan di kepalanya**, masing-masing mengatakan sesuatu yang tidak bisa ia pahami.  

Lalu, gelap.  

---

Ia terbangun di lantai marmer yang dingin. **Motor yang ia kendarai kini hanya tumpukan logam yang masih berasap**, beberapa bagiannya meleleh, mengeluarkan bau plastik terbakar yang menusuk hidung.  

Pak Harto berdiri di sampingnya, wajahnya bersinar karena terangnya layar holografik di tangannya.  

*"Percobaan ke-1000,"* katanya, **suaranya datar tapi ada getaran aneh di bawahnya**, seperti gembira, seperti takut. *"Akhirnya berhasil."*  

Di luar jendela, **seluruh Kuningan gelap gulita**. Mati lampu massal.  

Chapter 5 "Percobaan dan Puing-Puing yang Tersisa"


Jatmika terbangun di sebuah kamar yang **terlalu putih, terlalu steril**, seperti kamar rumah sakit atau ruang tunggu di suatu tempat yang bukan untuk manusia. Bajunya yang hangus telah diganti dengan kaus katun polos—**berukuran tepat, seolah sudah dipersiapkan untuknya jauh sebelumnya**.  

Dari balik pintu yang sedikit terbuka, terdengar **suara ketukan keyboard Pak Harto yang ritmis**, diselingi sesekali oleh **desahan kecil kepuasan**. Suara itu mengingatkannya pada ayahnya dulu, saat masih bekerja lembur di kantor pajak—**ritme yang sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini, sesuatu yang dingin dan terukur**.  

Ia mencoba mengingat: *Kuningan. Kilatan cahaya. Rasa sakit yang membuatnya merasa seperti dicabik-cabik dari dalam.*  

Tapi ingatannya **berawan, seperti film lama yang diputar setengah cepat**.  

---

Saat ia berjalan melewati koridor menuju kamar mandi, **pintu garasi yang tak sengaja terbuka menarik perhatiannya**.  

Di dalam, **berdiri puluhan—bahkan mungkin ratusan—motor yang hancur**. Beberapa hanya rangka yang terkelupas, beberapa lainnya meleleh seperti lilin. **Semuanya memiliki kesamaan: plat nomor yang sama dengan motornya**.  

*"Percobaan ke-1000,"* kata Pak Harto tadi.  

**Apakah ada 999 Jatmika lain sebelum dirinya?**  

---

Robot itu muncul tanpa suara, **berdiri di belakangnya tiba-tiba seperti bayangan yang lepas dari dinding**.  

*"Makanan,"* ujarnya, suaranya **terlalu lembut untuk mesin, terlalu datar untuk manusia**. Di nampannya, seporsi nasi goreng dan segelas air—**makanan terakhir untuk narapidana, mungkin**.  

*"Dan ini,"* robot itu mengulurkan sebuah tas koper kecil. *"Satu miliar, seperti janji."*  

Jatmika membukanya. **Uang-uang itu rapi, masih berbau tinta baru, tapi ada sesuatu yang aneh—nomor serinya berulang, seperti cetakan yang terburu-buru**.  

*"Anda harus pergi,"* kata robot itu. *"Polisi sudah mendekat. Tuan Harto... dikenal."*  

*"Dikenal sebagai apa?"*  

Robot itu hanya memandangnya, **layar di wajahnya kosong, lalu tiba-tiba menampilkan hitungan mundur: 15:00... 14:59... 14:58...**  

---

Ia berlari. **Tas uang di tangannya terasa ringan, terlalu ringan untuk sesuatu yang seharusnya berisi satu miliar**.  

Pos penjagaan cluster kosong—**para satpam tertidur di kursinya, kepala terkulai, seperti boneka yang kehabisan tenaga**. Salah satu monitor di meja masih menyala, menampilkan **gambar buram dari sebuah ruangan bawah tanah, dengan sesuatu yang bergerak-gerak di dalamnya**.  

Ia tak sempat memikirkan apa itu.  

Di jalan raya, ia menghentikan taksi pertama yang lewat. **Sopirnya bahkan tak bertanya mengapa ia terengah-engah, atau mengapa matanya liar seperti orang yang baru melihat hantu**.  

Baru ketika mereka berbelok, **ledakan itu mengguncang langit**.  

---  

*"Tabung gas bocor,"* kata seorang pemadam kebakaran di TV kafe es teh sebelah. *"Tidak ada korban. Hanya bangunan kosong."*  

Tapi Jatmika tahu. Ia melihat ke dalam tas lagi. **Di antara tumpukan uang, ada secarik kertas kecil**:  

*"Percobaan 1001: SUCCESS. Subject survived. Payment delivered. Facility purged."*  

Dan di bawahnya, **tulisan tangan Pak Harto yang rapi**:  

*"Kita akan bertemu lagi di timeline lain."*  

--
Chapter 6 Panas dan Nomor Seri yang Sama

Jakarta siang itu menyengat. Tiga puluh tujuh derajat Celsius, dan Jatmika bisa merasakan setiap derajatnya melalui jaket Grab-nya yang tipis. Orang-orang lemah—mereka yang punya pilihan—tentu takkan berani berjemur di jalanan seperti ini. Tapi Jatmika bukan orang lemah. Atau lebih tepatnya, **ia adalah orang yang kehabisan pilihan**.  

Motor listrik sewaannya berdesis pelan, baterainya tinggal 32%. **50.000 untuk sewa, 50.000 untuk makan, 50.000 untuk cicilan kos, 50.000 untuk isi daya—total 200.000**. Angka-angka itu berputar di kepalanya seperti mantra.  

Ia punya uang satu miliar di tas. Tapi uang-uang itu **bernama seri sama persis**, baris demi baris, seolah-olah dicetak dalam keadaan terburu-buru. Kemarin ia mencoba membelanjakan selembar—ternyata diterima. Tapi **rasa takut yang lebih dalam dari sekadar ditangkap polisi** membuatnya menyimpan kembali uang itu.  

*"Andai bisa kupakai,"* pikirnya, *"mungkin sekarang aku sudah punya motor sendiri. Rumah kecil. Mungkin warung makan."*  

Tapi hidup jarang semudah "andai".  

---

**Jam 9:30 pagi**, tujuh penumpang, 98.000 rupiah. Jatmika mengusap keringat di dahinya. **Di suatu tempat, Pak Harto mungkin sedang tertawa melihatnya terjebak dalam lelucon kotor ini**.  

Lalu orderan masuk—**GrabExpress ke Cikarang, 80.000**.  

Di lobi Gedung Gama, seorang OB muda memberinya tas laptop.  

*"Ini tip, Mas. Jangan lama-lama, ya? Ini penting,"* kata OB itu, menyelipkan 20.000 ke tangannya.  

Perjalanan lancar, enam puluh menit tanpa macet. Tapi di alamat tujuan, **tak ada yang mengenali nama penerima**. Nomor pengirim? **Sudah tidak aktif**.  

Jatmika makan mie ayam di warung pinggir jalan, bertanya-tanya tentang PT Sinar Ultraviolet.  

*"Oh, itu di PKS depan,"* kata penjual mie.  

Saat ia menyerahkan paket ke security, sesuatu yang tak terduga terjadi.  

---

Dian Sastrowardoyo—**HRD jutek yang dulu mewawancarainya dengan tatapan seperti sedang memeriksa spesimen lab**—berdiri di belakang meja security.  

*"Jatmiko?"*  

*"Iya, Bu."*  

*"Saya sudah mencoba menghubungi Anda."*  

*"HP saya... terbakar."*  

Dian mengangguk, **seolah-olah jawaban itu masuk akal dalam dunia di mana teleportasi mungkin ada dan uang dengan nomor seri sama bisa nyata**.  

*"Anda diterima bekerja. Kapan bisa mulai?"*  

*"Kapanpun, Bu."*  

*"Besok, jam delapan."*  

Ia keluar dari gedung itu dengan langkah ringan. **Tapi di sudut mata, ia melihat sesuatu—sebuah mobil hitam dengan kaca film gelap, dan di jendelanya, pantulan wajah seseorang yang mirip Pak Harto, atau mungkin hanya ilusi panas Jakarta yang sudah mencapai 39 derajat**.  

---
Chapter 7 Absensi dan Cahaya yang Terlalu Terang"

Malam sebelumnya, Jatmika menyetrika kemeja putih dan jas hitamnya dengan hati-hati, lipatannya rapi seperti persiapan hari pertama sekolah. Buku catatan baru, pulpen mahal seharga 25.000, tas kulit sintetis—semuanya tersusun di atas meja kayu lapuk di kamar kosnya. **Ia bahkan mencoba tidur pukul delapan, seperti anak kecil yang tak sabar menanti Natal.**  

Pukul enam pagi, Jatmika sudah berdiri di depan kos, menunggu John dan motornya yang selalu berbau bensin campur minyak goreng.  

*"Cikarang, jam segini? Nggak mungkin nggak macet,"* kata John sambil menguap.  

Dan benar—Kuningan sampai Bekasi seperti lautan logam yang mandek. Jatmika memandang deretan mobil, **bayangan teleportasi Pak Harto muncul lagi di pikirannya**. *Seandainya…* Tapi teleportasi hanya meninggalkan uang palsu dan sakit otot yang tak kunjung hilang.  

---

**Pukul 09:00**, terlambat satu jam.  

Kantor PT Sinar Ultraviolet ternyata **sebuah gudang besar dengan langit-langit rendah**, penuh suara mesin dan bau solder. Ruang HRD kosong—*"Ibu Dian sedang rapat,"* kata sekretaris dengan senyum tanpa arti.  

Jatmika mengembara sendirian.  

Di lantai produksi, **lampu-lampu dirakit oleh lengan robotik yang bergerak terlalu sempurna**, seperti tarian yang sudah diulang ribuan kali. Tapi satu ruangan menarik perhatiannya—**pintunya memiliki jendela kecil berkaca tebal**, dan dari dalam, **cahaya biru menyala-nyala, terlalu terang untuk dilihat langsung**.  

Sesuatu bergerak di dalam.  

---

**Pak Harto.**  

Berpakaian setengah astronot, tanpa helm, sedang mencatat sesuatu di clipboard. Di sekelilingnya, **partikel listrik melayang di udara seperti serbuk emas**, dan lampu-lampu uji coba berkedip dalam ritme aneh.  

Jatmika mengetuk kaca. Sekali. Dua kali.  

**Tak ada respon.**  

Ia mencoba gagang pintu—terkunci.  

*"Buka! Saya tahu kau dengar!"* teriaknya, suaranya tenggelam dalam deru mesin.  

Tapi Pak Harto hanya mengangkat kepala sebentar, **matanya kosong seperti tidak mengenalinya**, lalu kembali mencatat.  

---

**Pukul 13:00**, ruang HRD akhirnya terbuka.  

Diah Pitaloka—wanita berkacamata dengan suara datar—mengeluarkan formulir absen.  

*"Tanda tangan di sini,"* katanya, menunjuk garis putus-putus. *"Dan ini kartu akses. Jangan masuk ke zona uji coba tanpa izin."*  

Jatmika memandang kartu itu. **Gambar wajahnya buram, seperti dicetak buru-buru.**  

*"Apa yang diuji di sana?"* tanyanya, mencoba bersikap biasa.  

Diah mengangkat alis. *"Lampu biasa. Untuk kantor."*  

Tapi di balik kaca jendela ruang HRD, **Jatmika bisa melihat bayangan cahaya biru itu masih berkedip**, menerangi lorong kosong seperti suar dari dunia lain. 

**"Kartu akses ini,"** bisik Jatmika malam itu di kosan, **memutarnya di bawah lampu neon yang kedap-kedip**. Di balik plastik, **terlihat serpihan kode QR mikroskopis**.  

Dari jalanan bawah, **suara mobil berhenti. Pintu dibuka. Langkah kaki.**  

Tapi mungkin hanya John yang pulang mabuk.  

**Atau tidak.**

Chapter 8 Paket yang Tiba di Senja

Suara klakson mobil cargo memecah kesunyian sore di depan kos-kosan. Seorang kurir berbaju putih-merah—**logo "S" di dadanya pudar oleh bekas cucian**—berteriak nama Jatmika dengan logat Betawi yang kental. John, yang sedang duduk di teras sambil mengupas kacang, menerima paket itu dengan tatapan penasaran.  

*"Ini buatmu,"* katanya, melemparkan kotak kardus kecil ke pangkuan Jatmika.  

Kardus itu ringan, **terlalu ringan untuk sesuatu yang bisa mengubah hidup seseorang**. Jatmika membukanya di sudut kamar, jauh dari obrolan para ojek online yang sedang berbagi cerita tentang penumpang-penumpang aneh hari ini.  

**Sepucuk surat. Selembar cek. Beberapa dokumen.**  

Surat itu ditulis dengan huruf-huruf rapi, **terlalu rapi untuk seorang Pak Harto yang ia kenal**:  

*"Kepada Yth. Jatmika,*  
*Selamat atas pekerjaan barumu di PT Sinar Ultraviolet. Maaf atas kesalahan sebelumnya—tas yang salah. Terlampir cek 1 miliar. Mari bicara besok. Dan tolong, jangan panggil aku Pak Harto lagi. Sekarang namaku Toni."*  

Jatmika memegang cek itu. **Angka-angkanya tertulis jelas: Rp1.000.000.000,00.** Matanya menelusuri setiap digit, **seperti mencoba menemukan kejanggalan yang pasti ada**.  

*"John,"* panggilnya, suaranya bergetar halus. *"Kita ke bank. Sekarang."*  

---

**Gedung bank itu megah, terlalu megah untuk dua orang seperti mereka.** Security mengamati mereka dari ujung ke ujung—**John dengan celana pendeknya yang belel, Jatmika dengan kemeja lusuh yang sudah ia setrika semalam**.  

*"Keperluan apa, Pak?"* tanya security, matanya menyipit.  

*"Mencairkan cek,"* jawab Jatmika, **berusaha terdengar percaya diri**.  

Mereka diantar ke lantai dua oleh seorang office boy muda yang terlalu banyak tersenyum. Ruangannya dingin, **terlalu dingin**, dan di atas meja kayu mahoni sudah tersedia teh hangat dan kue-kue kecil.  

*"Silakan duduk,"* kata pegawai bank yang datang kemudian, suaranya halus seperti sutra.  

Cek itu diperiksa dengan seksama. Jatmika menahan napas.  

*"Bapak mau dicairkan atau ditransfer?"*  

*"Cash,"* jawab Jatmika cepat.  

*"Bawa tas, Pak?"*  

**Sial.** Jatmika tidak membawa apa-apa—**ia bahkan tidak benar-benar percaya cek ini asli**.  

Tapi pegawai bank itu hanya tersenyum, mengeluarkan plastik kresek besar dari laci.  

*"Ini untuk Bapak."*  

Uang-uang itu dihitung mesin, **suaranya seperti derai hujan di atas seng**.  

*"Mau dihitung ulang?"*  

*"Tidak perlu,"* Jatmika berbisik.  

Plastik kresek itu kini berat di tangannya, **berisi sesuatu yang tidak terbayangkan**.  

---

**Dalam perjalanan pulang, John terus mengoceh.**  

*"Ayo beli motor baru! Traktir makan enak! Kita kaya, Jat!"*  

Tapi Jatmika diam. **Pikirannya dipenuhi oleh dokumen-dokumen dalam paket tadi—grafik, diagram, catatan tentang "Percobaan Teleportasi Subjek 1001"**.  

Dan satu baris terakhir yang membuat darahnya membeku:  

**"Subjek selamat. Tapi efek samping belum diketahui. Pantau terus."**  

Di kejauhan, **sebuah mobil hitam melintas perlahan**, kacanya gelap, menyembunyikan siapa pun di dalamnya.  

---
Chapter 9 Pilihan-Pilihan yang Tersisa

Matahari sore itu menggantung rendah di atas dealer Honda, memantulkan cahaya oranye pada krom motor-motor baru. Jatmika berdiri di depan deretan mesin mengkilap—**CBR 250R yang garang, ADV gagah, lalu akhirnya pandangannya jatuh pada Supra X biasa dan motor listrik tanpa nama**.  

*"Yang ini saja,"* katanya kepada sales yang wajahnya langsung kecewa. **Bukan pilihan heroik, tapi cukup untuk mengantar kopi dan bubur ayam ke pelanggan warungnya nanti.**  

Uang tunai bergepok-gepok dari plastik kresek bank—**masih berbau tinta baru dan janji yang terlalu besar untuk dipegang seorang kurir teleportasi**. Sales itu menghitungnya dengan jari-jari gemetar, **seolah takut uang ini akan lenyap seperti kabut**.  

---

**John membawanya berkeliling kota dengan motor baru itu**, melewati jalan-jalan di mana Jatmika dulu mengayuh sepeda ontelnya. Sebuah rumah tua di pertigaan dekat sekolah—**plang "DIJUAL" sudah setengah copot, tergantung seperti gigi goyang**.  

Pemiliknya, seorang bapak-bapak dengan kacamata tebal, menyambut mereka di teras.  

*"Lokasi strategis,"* katanya, sambil menunjuk ke arah sekolah. *"Anak-anak suka jajan."*  

Tapi harganya **3 miliar—angka yang membuat Jatmika tersedak**. John mencoba menawar, tapi bapak itu hanya tertawa kecil, **seperti orang yang sudah terlalu sering mendengar lelucon buruk**.  

*"Kita bisa cari yang lain,"* bisik John saat mereka pergi.  

Jatmika mengangguk, tapi matanya masih menatap rumah itu. **Di kepalanya, ia sudah melihat warung kopinya berdiri di sana—meja-meja kayu, aroma robusta, dan anak-anak sekolah yang tertawa.**  

---

**Mereka berhenti di pasar tradisional sebelum pulang.**  

*"Beli sembako,"* kata Jatmika. **Dia ingat betul rasa perut kosong saat pertama kali jadi ojek online.**  

Beras, minyak, telur, mie instan—**ditambah beberapa kotak nasi kotak yang masih hangat**. Mereka membagikannya di persimpangan tempat teman-teman ojek biasa nongkrong.  

*"Dapat undian kah, Jat?"* tanya seorang teman, matanya berbinar melihat motor baru.  

Jatmika hanya tersenyum. **Bagaimana mungkin menjelaskan teleportasi, cek 1 miliar, dan Pak Harto yang kini menyebut diri Toni?**  

*"Sedekah aja,"* jawabnya pendek.  

---

**Malam itu, di kamar kosnya yang sumpek**, Jatmika membuka aplikasi banking di HP murahinya.  

*"Transfer ke Ibu: 50 juta."*  
*"Transfer ke Adik: 30 juta."*  

Jarinya terhenti di atas tombol "Kirim". **Ini uang dari percobaan teleportasi—apakah akan membawa kutukan?**  

Tapi di layar, notifikasi dari Dian Sastrowardoyo tiba-tiba muncul:  

*"Besok meeting jam 9. Bawa data uji coba lampu."*  

**Data apa? Uji coba apa?**  

Jatmika menatap motor barunya di teras—**cat putihnya bersinar lemah di bawah lampu jalan, seperti hantu yang baru saja lahir.**  
Chapter 10 Percobaan Cahaya yang Tak Pernah Padam"**  

Pukul 4 pagi, ketika Jakarta masih terlelap dalam kegelapan yang basah oleh embun, Jatmika sudah berdiri di depan cermin kamar kosnya. Ia mengikat dasi dengan gerakan kaku—**seperti seorang anak yang memakai seragam sekolah untuk pertama kalinya**. Di tas kulit sintetisnya, tersimpan catatan uji coba lampu yang telah ia pelajari semalaman:  

- **Fungsional**: Menyala terus bahkan saat badai menerjang  
- **Daya**: Bertahan 72 jam tanpa sumber listrik  
- **Intensitas Cahaya**: Setara matahari tengah hari, tapi tidak menyilaukan  
- **Keamanan**: Tak memanas, tak meleleh, tak meledak  

**Data-data itu ia dapat dari Toni—nama baru Pak Harto—dalam berkas-berkas yang halamannya selalu bernomor 1001.**  

---

**Meeting Room, 8:55 pagi**  

Jatmika duduk di kursi paling belakang, **berusaha menjadi bayangan di ruangan yang terlalu terang ini**. Satu per satu orang masuk:  

- **Dian Sastrowardoyo** dengan rok pencil abu-abu dan tatapan seperti pisau bedah  
- **Manajer Operasional** yang selalu menyentuh jam tangannya setiap 3 menit  
- **Staff Teknis** dengan bau solder menempel di jaketnya  

Dan akhirnya—**Toni**, tersenyum lebar, datang terlambat dengan kemeja lengan pendek yang memperlihatkan **bekas luka aneh di lengannya, seperti sengatan listrik berbentuk spiral**.  

*"Alhamdulillah,"* Dian membuka meeting, *"50 tahun perusahaan ini berdiri. 20 tahun saya di sini. Tapi sekarang..."* Matanya menyapu ruangan. *"Produk China mengancam. Kita butuh terobosan."*  

---

**Presentasi demi presentasi mengalir:**  

- Laporan keuangan yang **terlalu sempurna**  
- Target produksi yang **terlalu ambisius**  
- Dan kemudian—**Toni berdiri**, wajahnya bersinar seperti lampu temuannya sendiri.  

*"Kita sudah berhasil melakukan lompatan besar,"* katanya, **suaranya bergetar seperti dialiri arus listrik**. *"Tanpa jubah teleportasi. Tanpa peralatan besar. Hanya..."*  

Dia menunjuk ke kotak kecil di tengah meja. **Sebuah lampu LED biasa.**  

Tapi ketika Toni menekan tombol—  

**Cahayanya berbeda.**  

Bukan putih. Bukan kuning. Tapi **warna yang belum pernah ada di spektrum manapun—seperti biru tapi juga ungu, seperti nyata tapi juga mimpi**.  

*"Ini hanya prototipe,"* bisik Toni. *"Tapi bayangkan—lampu yang menyala dengan energi dari dimensi lain."*  

---

**Jatmika merasakan sesuatu yang aneh.**  

Udara di ruangan berubah. **Wangi besi tua dan ozon**. Dian tiba-tiba berdeham. Staff teknis menggaruk lengannya yang gatal.  

Dan di sudut ruangan—**bayangan mereka di dinding bergerak sendiri**, melambai padahal tak ada yang bergerak.  

*"Efek samping?"* tanya Manajer Keuangan, suaranya tinggi.  

Toni tertawa. *"Sedikit gangguan kuantum. Tidak berbahaya."*  

Tapi Jatmika melihat **keringat dingin mengalir di pelipis Toni**.  

---

**Ketika meeting usai, Toni menarik Jatmika ke sudut.**  

*"Kau yang akan mengembangkan ini,"* katanya, menyerahkan flashdrive. *"Data lengkap ada di sini. Termasuk... percobaan kita dulu."*  

Flashdrive itu hangat di tangan Jatmika. **Terlalu hangat untuk benda mati.**  

Di parkiran, ketika ia menyalakan motor barunya, **lampu depan secara tiba-tiba menyala biru—warna yang sama dengan prototipe tadi**.  

Dan di kejauhan, **sebuah mobil hitam tanpa plat nomor perlahan mulai mengikutinya.**  

Chapter 11 Buka warkop 

Rapat selesai. Para pegawai meninggalkan ruangan satu per satu, kembali ke meja kerja masing-masing. Tapi Jatmika hanya berdiri diam, memandang lorong yang kini lengang. Ia bertanya dalam hati—di mana sebenarnya ruangannya?

Ruangan Jatmika belum bisa digunakan. Masih dalam proses perbaikan. Temboknya jebol, dihantam petir dalam kejadian ganjil yang belum sepenuhnya bisa dijelaskan. Sementara itu, pihak manajemen memberi izin: proyek boleh dilanjutkan dari rumah.

Manajer HRD menghampirinya dengan raut wajah penuh penyesalan. “Kami minta maaf sebesar-besarnya, Jatmika. Perbaikan belum selesai.”
Jatmika hanya mengangguk. “Kalau begitu, saya pinjam satu laptop perusahaan. Dan… saya ingin membawa pulang prototipe lampu buatan Pak Toni.”

Beberapa jam kemudian, Jatmika meninggalkan gedung dengan tas di punggung. Langkahnya ringan. Tapi ia tidak sadar—ada seseorang di kejauhan yang mengikutinya, tersembunyi di balik keramaian kota.

Sebelumnya, Jatmika telah menghubungi John. Instruksinya jelas: sewa sebuah rumah di pinggir jalan, tempat strategis yang ramai lalu-lalang. Mereka akan membuka usaha warkop kecil dan tempat tinggal di lantai dua.

Hari pertama pembukaan berjalan lebih baik dari ekspektasi. Warkop itu sederhana, tapi lengkap. Menyajikan mi instan telur kornet, kopi susu, roti bakar, martabak, dan gorengan. Wi-Fi gratis jadi magnet utama.

Anak-anak sekolah mulai berdatangan, duduk berjejer main Mobile Legends dan Free Fire. Malam hari, giliran mahasiswa datang, membawa laptop, diskusi kelompok hingga larut.
“Pastikan semua stok aman. Jangan sampai kehabisan, John.”
“Siap, bos!” jawab John dengan cepat.

Halaman depan cukup luas. Motor-motor tertata rapi. Meja-meja hampir selalu penuh. Tapi saat malam benar-benar jatuh dan suara jalan raya mulai meredup, Jatmika naik ke kamar lantai dua.

Ia membuka laptop perusahaan, lalu mencolokkan sebuah flashdisk berlabel CONFIDENTIAL. Sebuah folder muncul. Ukurannya: satu terabyte.
Isi: video eksperimen, catatan teknis, sejarah perusahaan… dan satu file terakhir bertajuk “EXPERIMENT_X_FINAL.mp4”.

Jatmika mengkliknya.
Layar menampilkan rekaman kamera pengawas dari bengkel laboratorium. Sosok yang terbaring di lantai—penuh luka bakar, tubuh nyaris hangus—adalah dirinya sendiri. Motor di sampingnya telah meleleh.

Dari sudut lain, muncul sosok Pak Toni. Ia menyuntikkan cairan ke tubuh Jatmika, lalu menekan panel kendali.
Lampu-lampu menyala merah dan hijau. Bunyi listrik menggelegar. Tubuh Jatmika yang terbakar pulih seketika, kulitnya kembali utuh, otot-otot merespon... Tapi motor itu tetap rusak total.

Jatmika menahan napas. Apa ini?

Matanya beralih ke prototipe lampu di atas meja. Bentuknya asing. Kaca tebal, logam seperti terbuat dari bahan yang bukan berasal dari bumi ini. Lampu itu mengeluarkan denyut cahaya... seolah hidup.

"Aku harus tahu bagaimana ini bekerja," gumamnya pelan.

Ia membuka berkas instruksi. Matanya menyusuri baris demi baris... sementara di luar jendela, sosok bayangan masih mengawasinya dari kejauhan.

Chapter 12 "Tulisan yang Terlupakan  

Jatmika memutar-mutar lampu itu di tangannya, jari-jarinya menelusuri lekukan huruf-huruf asing yang terukir di dasarnya. **Bukan aksara Jawa Kuno, bukan Pallawa, bukan apa pun yang pernah ia lihat di museum atau buku sejarah.** Bentuknya seperti lingkaran-lingkaran kecil yang saling bertaut, terkadang memanjang seperti akar, terkadang patah-patah seperti petir yang membeku di logam.  

Ia mencoba memfotonya, memperbesar gambarnya di layar laptop sampai piksel-pikselnya pecah. **Tapi tak ada hasil pencarian yang cocok—hanya artefak-artefak tak dikenal dari situs-situs arkeologi yang kontroversial.**  

Hingga suatu malam, di kedalaman forum diskusi "Sejarah Alternatif Nusantara", ia menemukan thread yang sudah lama tak tersentuh:  

**"Kerajaan Mythopia: Peradaban Cahaya yang Hilang"**  

*Menurut naskah kuno yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, mereka menguasai energi dari batu-batu biru yang bisa menyala tanpa api. Tak ada peninggalan fisik yang ditemukan—hanya cerita-cerita tentang cahaya yang bisa menyembuhkan luka, atau membakar musuh dalam sekejap.*  

Jatmika menatap lampu di mejanya. **Batu biru.**  

---

**Keesokan harinya, di kantor yang sepi,** ia menyusun proposal sederhana:  

*"Permohonan Dana Uji Coba Prototipe Lampu UV-X"*  

- Kotak kedap udara: Rp 12.500.000  
- Sensor tekanan: Rp 8.000.000  
- Biaya tak terduga: Rp 5.000.000  

**Total: Rp 25.500.000**  

Dian Sastrowardoyo membacanya dengan alis terangkat. *"ACC-nya harus dari Pak Toni,"* katanya sambil menyerahkan kembali kertas itu. *"Dia satu-satunya yang mengerti proyek ini."*  

Tapi Toni sedang tidak di kantor—**atau setidaknya, itulah yang dikatakan sekretarisnya.**  

---

**Di warung kopinya yang ramai,** Jatmika mengamati lampu itu di bawah sinar matahari sore. **Kaca tebalnya memantulkan bayangannya yang terdistorsi—wajahnya sendiri tapi dengan mata yang lebih tua, lebih lelah.**  

*"Kau terlihat seperti orang yang baru melihat hantu,"* kata John sambil membersihkan blender.  

Jatmika menggeleng. *"Cuma mencoba membaca tulisan kuno."*  

*"Coba bawa ke pakar bahasa di UI? Temanku ada yang—"*  

*"Tidak!"* seru Jatmika terlalu cepat. **Lampu itu berkedip merah sesaat, seperti bereaksi.**  

John mengernyit, tapi hanya mengangkat bahu. *"Semua orang sekarang punya rahasia."*  

---

**Malam itu, Jatmika terbangun oleh suara gemerisik.**  

Lampu itu menyala sendiri—**cahayanya biru kehijauan, memproyeksikan huruf-huruf asing itu ke dinding kamarnya.** Tulisan-tulisan itu berputar, berubah bentuk, dan tiba-tiba...  

**Menjadi peta.**  

Sebuah titik merah berkedip di suatu tempat di **lereng Gunung Lawu, persis seperti yang disebutkan di forum**.  

Di luar jendela, **mobil hitam yang biasa parkir di seberang jalan tiba-tiba menyalakan mesinnya.**  

---
Chapter 12 "Peta yang Muncul dan Hilang

Cahaya biru itu memancar tiba-tiba dari lampu, menerpa dinding kamar Jatmika dengan pola-pola aneh—**garis-garis yang berkelok seperti sungai kuno, titik-titik yang mungkin kota, atau mungkin kuburan**. Seluruh permukaan dindingnya menjadi hidup selama tiga detik yang menegangkan sebelum cahaya itu lenyap, meninggalkan bau ozon dan pertanyaan yang menggantung.  

Jatmika menggapai ponselnya, tetapi saat ia membuka kamera, **peta itu sudah tidak ada—hanya tembok kosong yang kembali gelap**.  

*"Apa kau bisa membaca pikiranku?"* bisiknya pada lampu itu, mencoba memerintahkannya dengan pikiran. **Tidak ada reaksi.**  

Ia membawa lampu itu ke kotak uji buatannya—**sebuah kotak kayu sederhana dengan kaca pengamat di bagian atas**. Tapi di dalam kotak, lampu itu hanya diam, **seperti benda mati biasa**.  

*"Besok akan kutanyakan langsung pada Toni,"* gumamnya sambil memandang langit-langit kamar. **Di luar, suara mobil melintas perlahan, mesinnya hampir tak bersuara.**  

---

**Kantor itu masih berbau semen basah ketika Jatmika tiba pagi-pagi sekali.**  

Tembok yang bolong kini sudah ditambal, **tapi bekas petir itu masih terlihat seperti jaringan parut di kulit—garis-garis hitam yang memancar dari satu titik pusat**. Meja dan kursinya belum ada, **sehingga ruangan itu terasa lebih besar, lebih kosong, lebih seperti ruang tunggu di antara dua dunia.**  

Toni datang dengan langkah berat, **jas labnya yang mirip baju astronot masih dipakai, meski helmnya digantung di pinggang**.  

*"Saya butuh ACC untuk proposal ini,"* kata Jatmika, menyerahkan selembar kertas.  

Toni membaca dengan cepat, lalu mengangguk. *"Bisa. Tapi hati-hati. Benda itu... kadang mengeluarkan listrik."*  

*"Apakah ini peninggalan kerajaan kuno? Mythopia?"*  

Toni berhenti sebentar, **matanya yang biasanya dingin tiba-tiba berkedip seperti mengenang sesuatu**. *"Aku tidak bisa memastikannya. Informasi tentang itu terlalu sedikit."*  

*"Tapi kemarin, lampu ini memproyeksikan peta."*  

*"Peta?"* Toni mengerutkan kening. *"Aku tidak tahu itu bisa terjadi."*  

*"Apakah benda ini juga menyimpan memori?"*  

*"Aku tidak tahu, Jatmika."* Suara Toni terdengar lelah, **seperti orang yang sudah terlalu sering mengulangi kalimat yang sama**.  

*"Kalau teleportasi—apakah aku juga akan dapat baju seperti itu?"*  

*"Aku sudah pesan satu untukmu dari Tiongkok."*  

*"Tapi teleportasi itu sudah berhasil?"*  

*"Hanya di malam tertentu. Saat bulan purnama. Dan tidak hujan."*  

*"Lalu mengapa aku bisa selamat tanpa baju itu?"*  

Toni memandangnya lama. *"Karena suntikan nano cell. Dan karena benda itu menyembuhkanmu."* Ia berhenti, lalu menambahkan, **suaranya hampir seperti rahasia**: *"Sebenarnya... itu kecelakaan. Benda yang kubawa waktu itu tiba-tiba bereaksi saat bersentuhan dengan tubuhmu. Aku sendiri tidak mengerti mengapa kau selamat."*  

*"Mungkinkah aku... ada keturunan Mythopia?"*  

Toni tidak menjawab. **Dia hanya memandang lampu itu, lalu pergi, meninggalkan Jatmika sendirian di ruangan yang masih berbau semen basah, dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.**  

---
Chapter 13 Ruangan dan Cahaya yang Baru

Meja-meja itu datang satu per satu, diangkat oleh pekerja yang wajahnya basah oleh keringat pagi. Lemari besar berisi peralatan elektronik—**osilograf, generator sinyal, deretan kotak komponen yang masih terbungkus plastik—**semuanya disusun rapi di sudut ruangan oleh manajer HRD sendiri. Dian Sastrowardoyo mengatur setiap barang dengan teliti, **seperti seorang kurator museum yang menyiapkan pameran artefak berbahaya**.  

Sementara itu, Jatmika berbelanja di Pasar Senin. Uang dari manajer keuangan—**tepat sesuai budget, tidak lebih—**berada di kantongnya yang sudah tipis. Ia membeli kabel, saklar, sebuah kotak akrilik transparan. **Sisanya, meski sedikit, ia kembalikan bersama kwitansi.**  

*"Lho, mas, sisa ini kan bisa buat jajan,"* kata kasir keuangan sambil menyipitkan mata.  

Jatmika hanya menggeleng. *"Cukup."*  

Baginya, uang adalah alat, bukan tujuan. **Tapi di sudut hatinya, ia tahu: tanpa alat ini, hidup akan berjalan di tempat, seperti sungai yang tersumbat.**  

---

**Ruangan barunya kini selesai.**  

Di pintu, ada plakat kecil:  

**"Research & Development**  
**Jatmika S. | Project Lead"**  

Dengan foto dirinya yang diambil sepuluh tahun lalu—**wajah yang masih polos, tanpa bekas luka bakar, tanpa bayangan rahasia yang sekarang ia bawa.**  

Lampu itu diletakkan di dalam kotak akrilik. Jatmika mematikan semua lampu, menutup gorden, **membiarkan kegelapan menyelimuti ruangan seperti selimut tebal.**  

*"Jika cahaya ini memang dari peradaban yang hilang,"* bisiknya, *"maka mungkin ia butuh kegelapan sempurna untuk berbicara."*  

Ia menekan saklar.  

**Lampu itu menyala.**  

Tapi bukan cahaya biru seperti sebelumnya—**kali ini warnanya keemasan, hangat seperti matahari pagi, dan di dinding, huruf-huruf asing itu muncul lagi.**  

**Tapi kali ini, mereka membentuk kalimat.**  

Sebuah kalimat yang membuat jantung Jatmika berhenti sejenak:  

***"Kami menunggu kembalinya darah kami."***  

Di luar, tanpa ia dengar, **telepon di kantor Toni berdering. Nomor yang tidak dikenal. Dan pesan singkat yang hanya berbunyi: "Dia sudah membaca pesannya."**  

---
Chapter 14 Pesan dari Cahaya Kuno

Lampu itu terus memproyeksikan huruf-huruf asing ke dinding—lingkaran-lingkaran kecil yang saling bertaut, garis-garis patah yang seperti jejak petir di atas batu. Jatmika memotretnya, mengunggahnya ke forum-forum sejarah kuno, mencoba segala terjemahan online yang tersedia.  

Hanya satu tanggapan yang muncul, dari pengguna bernama **"KawiMystery"**:  

*"Kurasa ini berbunyi 'kami mencari penerus darah kami' atau mungkin 'kami mencari darah kami.' Tapi ini hanya tebakan—aksaranya mirip peninggalan Kerajaan Medang, tapi lebih tua lagi."*  

Jatmika memandangi tulisan itu. **Ada sesuatu yang menarik dari bentuknya—simetris namun asing, seperti simbol yang dirancang untuk memikat mata.**  

*"Ini bisa jadi logo,"* bisiknya.  

---

**Sore itu, di ruang R&D yang kini lengkap dengan meja kerja dan rak-rak alat,** Jatmika menunjukkan prototipe barunya kepada Toni—**sebuah lampu hias yang bisa memproyeksikan simbol kuno itu dalam cahaya emas, ungu, dan hijau.**  

*"Untuk acara khusus?"* tanya Toni, memutar-mutar lampu di tangannya. **Matanya menyipit, tapi tidak karena silau—melainkan seperti mencoba membaca sesuatu di antara garis-garis cahaya.**  

*"Ya. Ulang tahun anak, pesta disko... apa saja."*  

Toni mengangguk perlahan. *"Biaya produksi harus didiskusikan dengan tim teknis."*  

*"Tentu."*  

*"Selamat, Jatmika."* Toni tersenyum, **tapi senyum itu tidak sampai ke matanya yang tetap dingin, seperti kaca jendela di musim hujan.**  

Saat Toni pergi, Jatmika melihat kembali ke lampu prototipe. **Simbol itu masih terpancar di dinding, berkedip lembut, seolah bernapas.**  

*"Kami mencari darah kami,"* ia membacanya lagi.  

**Di suatu tempat jauh, di sebuah ruangan tanpa jendela, seseorang menerima notifikasi—foto simbol yang Jatmika unggah telah dikenali oleh sistem.**  

---


02/04/25

Season 5 Kerajaan Mythopia

Chapter 31 Pemurnian Bumi dan Kedatangan Ancaman Baru 

Setelah kematian Sangar Mahadipa, hutan Gunung Kelud mulai bernapas kembali. **Pohon-pohon Huorn**, penjaga purba yang selama ini terbelenggu kegelapan, mengangkat dahan-dahannya ke langit. Daun-daun mereka bergetar, menyaring racun dari udara seperti tangan para Valar yang menyapu najis Morgoth dari Ardanya. Kabut tebal beracun yang menyelimuti gunung pun tercerai-berai, digantikan oleh udara segar yang dingin dan murni, seolah Yavanna sendiri menghembuskan nafas kehidupan baru.  

**Rakajati**, sang Ksatria Kayu, menempelkan telapak tangannya ke tanah. Akar-akar hidup meliuk dari perut bumi, mengeluarkan para pemuda desa yang terkurung dalam kegelapan. Wajah mereka pucat, mata mereka kosong—jiwa mereka tercabik oleh mantra hitam Sangar Mahadipa. **"Makanlah,"** bisik Rakajati, mengulurkan buah **Durian Mór**, buah suci yang kulitnya berkilau seperti emas Valinor. **"Ini akan mengembalikan cahaya dalam jiwamu."**  

Para pemuda itu melahap buah itu dengan liar, dan seketika—seperti sihir—cahaya kembali ke mata mereka. Mereka tersedu-sedu, mengingat diri mereka yang hilang, tapi Rakajati meletakkan tangan di bahu mereka. **"Lupakan bayangan ini,"** katanya, suaranya seperti gemuruh akar yang menenangkan. **"Kalian bebas sekarang."**  

**Isidore**, dengan keris **Caladthil** masih berkilau di pinggangnya, menghampiri seratus pemuda yang tersisa. **"Pulanglah,"** katanya, suaranya penuh wibawa namun lembut. **"Cari keluarga kalian, dan jadikan kisah ini sebagai peringatan: kegelapan takkan pernah menguasai cahaya."**  

Namun, ketika ditanya tentang persembunyian Ki Surya Dahana, para pemuda hanya menggeleng. **"Kami tak ingat apa pun,"** bisik salah satu dari mereka, matanya berkaca-kaca. **"Hanya... rasa sakit, dan suara yang memerintah kami seperti boneka."**  

Sementara itu, di lubang gelap tempat Sangar Mahadipa jatuh, akar-akar purba melilit mayatnya erat-erat. **"Tidurlah dalam kekalahan abadi,"** gumam Rakajati. Bumi menggeram, menelan tubuh terbelah sang tiran ke dalam jurang yang tak terlihat, di mana tak ada kegelapan yang bisa menyatukannya kembali.  

---  
**Tiba-tiba**, bumi bergetar. Suara itu bukan gemuruh biasa—ia seperti raungan **Móruvar**, gajah perang raksasa suku Pinrang, yang kakinya menghancurkan gunung. **Bayu Anggana**, sang Penguasa Angin, melayang ke langit, matanya menatap ke ufuk utara. **"Asap putih mengepul di kejauhan,"** serunya, suaranya seperti terompet perang. **"Pohon-pohon kuno tumbang... mereka datang!"**  

Di kejauhan, kabut putih bergulung-gulung seperti naga yang terbangun. **Darmakála**, sang Penguasa Suku Pinrang, mengendarai **Móruvar**, gajahnya yang berlapis zirah besi hitam. Di belakangnya, pasukan Pinrang bergerak seperti banjir—badak-badak baja, harimau peliharaan yang mengaum, dan prajurit bertombak yang wajahnya tertutup topeng kematian.  

**"Mythopia!"** teriak Darmakála, suaranya menggema melintasi lembah. **"Kalian mengira kemenangan kecil ini akan menghentikan kami? Gunung Kelud akan jadi kuburan kalian!"**  

**Bhra Anuraga** mengangkat tangannya, api di tubuhnya menyala seperti matahari mini. **"Bersiap!"** pekiknya. **"Mereka membawa kehancuran yang lebih besar!"**  

Isidore menatap ke arah asap putih yang semakin mendekat, keris **Caladthil** bergetar di tangannya. **"Kita telah mengalahkan kegelapan,"** bisiknya. **"Sekarang, kita hadapi keserakahan."** 
**"Pohon-pohon akan berdiri bersama kita,"** bisik Rakajati, akar-akarnya mulai bergerak seperti ular siap menerjang.  
**"Dan esku akan membekukan darah musuh,"** tambah Pangreksa, pedang **Nenheled**-nya berkilau dingin.  
**Bhra Anuraga** tersenyum getir, api di tangannya menyala lebih terang. **"Biarkan mereka datang. Api Mythopia takkan pernah padam."**  

Dan di bawah langit yang mulai kelabu, Isidore mengangkat **Caladthil**, cahayanya menembus kabut—pertanda bahwa pertempuran terbesar Nusantara baru saja dimulai.  


---
Chapter 32 Isidore menyerang 

Di kaki Gunung Kelud yang menjulang bak raksasa purba berselimut kabut abadi, rombongan Suku Pinrang akhirnya tiba setelah menaklukkan rimba penuh sumpah di mana pepohonan menggemakan jerit kematian. Ki Surya Dahana, sang pertapa pengembara, telah mengirim burung gagak berbulu jelaga membawa kabar burung: *"Sangar Mahadipa, penguasa kegelapan dari timur, telah rebah di tangan maut."* 

Namun Darmakala, Chieftain Agung berjanggut perak bak sungai musim dingin, mengetukkan tongkat pusakanya yang berukir rune kuno. *"Tak akan kami surut, wahai angin pembawa kabar! Layaknya sungai yang telah memutus tebing, perjalanan ini harus sampai ke muara!"* Matanya berkilat seperti bara dalam kegelapan, menatap puncak gunung tempat Keris Isidore—senjata legenda yang ditempa dalam nyala bintang jatuh—bersemayam.

Di barisan terdepan, Maharani Kukuwaran yang perkasa duduk tegak di atas Harimau Besi dari Timur, binatang buas bermata sulfur yang mengeluarkan geraman bagai guntur. Di belakangnya, Darmakala mengendarai Gajah Perang berkulit baja tempaan, dikelilingi pasukan badak bercula besi yang menggaruk bumi hingga bergetar.

Tiba-tiba angin dari utara menderu bagai naga terbangun. Salju hitam berputar membentuk pusaran raksasa, menyedot prajurit dan binatang ke langit. Bayu Anggana, Sang Pengendara Angkatan, melayang di mata badai dengan jubah yang menari liar. *"Lihatlah kekuatan masa keemasanku!"* teriaknya, jari-jarinya merajut tornado yang menyapu pasukan harimau bagai dedaunan kering.

Di tengah kekacauan, Pangreksa si Penjaga Abadi muncul dari kabut, tongkat kristalnya menyemburkan bunga-bunga es yang membelit kaki Harimau Besi hingga membeku menjadi pahatan air mata winter. Maharani menjerit kesakitan saat nafasnya membeku di udara.

Dari selatan datang ledakan dahsyat. Bhra Anuraga, Dukun Api dari Tanah Gersang, melemparkan bola api neraka yang melahap pasukan gajah. Kulit baja meleleh seperti lilin, gajah-gajah mengamuk dalam kesakitan sementara bau daging hangus memenuhi udara.

Tepat ketika harapan hampir padam, kabut terbelah. Isidore sang Mysticus muncul dari balik pohon oak purba yang berbisik-bisik. Cahaya pirus mengelilinginya bagai mahkota hidup, keris di pinggangnya berpendar dengan cahaya yang membuat bayangan bergerak sendiri. *"Pulanglah, Darmakala!"* Suaranya menggema tujuh kali lipat. *"Sangar Mahadipa telah menjadi debu di tapak kaki waktu. Maukah kau dan sukumu menjadi ayat berikutnya dalam kitab kematian?"* 

Tangan kirinya mengangkat perlahan. Bumi bergetar, akar-akar raksasa muncul dari perut gunung membentuk kisi-kisi duri sebesar menara. Di kejauhan, serigala-serigala bayangan mulai melolong bersahutan.

Darmakala menatap Keris Isidore yang berpendar seperti bintang jatuh terperangkap dalam logam. Di matanya masih tersisa api perlawanan, namun langkah pertama pasukan bayangan Isidore telah membuat bumi berguncang...

---
Chapter 33 suku Pinrang mundur 

Darmakala berdiri tegak di atas gajah perangnya, sorot mata bagai dua obor yang terendam hujan. Di keruhnya medan laga, ia melihat tubuh prajurit-prajurit muda membeku dalam postur bertarung, helai bendera suku yang terkoyak tertancap di tanah beku, dan di kejauhan—bayang-bayang Gunung Kelud menyeringai bak raksasa yang mengepung mangsa.

"*Cukup!*" geramnya, suaranya menggema melintasi lembah bagai guntur yang tertahan. Tangan berototnya mencengkeram kalung pusaka berliontin gigi naga purba. "*Tak kan kubiarkan darah anak-anak Pinrang menjadi persembahan terakhir untuk nafsu gunung ini.*"

Dengan gerakan teatrikal layaknya panglima perang Zaman Pertama, ia mengangkat tongkat komandonya yang dihiasi taring macan kumbang. Di ujung tongkat, batu delima kuno menyala merah darah. Prajurit peniup sangkakala di sayap timur segera meniup terompet perang dari tanduk auroch yang telah punah—suaranya parau dan menyayat, tiga nada pendek yang dalam Kitab Leluhur berarti "*Retret ke pangkuan bintang selatan*".

Pasukan badak baja menghentakkan kaki serempak, getarannya membuat salju di pepohonan berhamburan. Gajah-gajah perang mengalungi belati perak di gadingnya berbalik arah dengan gemulai bak penari yang tahu panggung telah usai. Dari balik kabut pertempuran, Pangreksa si Penjaga Zaman mengarahkan tongkat kristalnya ke kaki Harimau Besi yang membeku. Es-abadi retak membentuk pola seperti sarang laba-laba raksasa, sebelum akhirnya pecah berkeping-keping bersama teriakan Maharani yang membebaskan diri dari selubung kristal.

"*Larilah, anak harimau!*" sambar Pangreksa dengan suara berlapis gema, *"Bawalah tuammu kembali ke lembah di mana matahari masih berani menyinari bumi!*" 

Pasukan Pinrang mundur dalam formasi spiral kuno—perisai di barisan luar membentuk kubah pelindung, sementara dukun perang di tengah melantunkan mantra perisai udara dengan bahasa yang sudah terlupakan. Bayu Anggana mengirimkan angin ejekan yang mencakar-cakar perisai mereka, tapi Darmakala hanya menyeringai dingin. *"Biarkan angin kemarahan mereka menemani kita pulang,"* bisiknya pada Maharani yang masih menggigil, *"Esok kita akan kembali dengan senjata yang diramu dari pelajaran hari ini."*

Di puncak gunung, Isidore menyaksikan retret ini sambil mengasah kerisnya di batu meteor. Kilatan cahaya biru dari senjatanya membentuk bayangan raksasa di awan—siluet harimau dan gajah yang perlahan lumer ditelan mega. *"Bijaksana,"* gumamnya pada angin yang mendesau, *"Tapi gunung ini takkan pernah lupa jejak kakimu..."*

Sementara di bawah, jejak terakhir pasukan Pinrang tertutup salju hitam yang turun tiba-tiba, seolah alam sendiri berusaha menghapus bukti pertempuran ini. Tapi di balik lapisan es, akar-akar pohon purba merekam setiap langkah mundur mereka dalam lingkaran tahun yang rahasia.