12/04/25

Jatmika & Portal waktu

Story created by gopaan
Chapter 1 Komposisi Diri dalam Ruang Uji  

Udara di ruang tunggu itu termampatkan hingga 18°C—suhu yang dipilih untuk menguji ketahanan pelamar sebelum mereka diuji oleh manusia. Jatmika, Kandidat No. 17, menyadari bahwa **dirinya adalah sebuah prototipe yang dirakit dari pinjaman**: sepatu Oxford kakaknya (1,5 cm terlalu sempit), jam tangan TAG Heuer replika teman kos (jarum detiknya tersangkut di angka 12 seperti pikiran yang terjebak kecemasan), dan tas kulit sintetis adiknya yang masih mengeluarkan bau solvent. Hanya jas abu-abu ini yang benar-benar miliknya—dibeli di Pasar Senen dengan jaminan "tahan dua kali pemakaian".  

Di kursi tunggu, ia menghitung **peluang dalam satuan entropi**:  
- Wanita di sebelah kirinya mengetik di laptop bertuliskan *"Think Beyond Quantum"* → *+15% kompetensi teknis*.  
- Pria berkacamata tebal membolak-balik CV setebal *War and Peace* → *+20% pengalaman*.  
- Anak muda di sudut yang tertidur dengan mulut terbuka → *peluangnya naik 1,8%, sesuai persamaan Poisson untuk kejadian langka*.  

Pintu ruang wawancara terbuka. Suara dari dalam memanggil: *"Jat-mi-ka?"*—pelafalan yang salah, tapi tak sempat dikoreksi. Saat ia berdiri, kaki kirinya—terhimpit sepatu pinjaman—menyebabkan tubuhnya tersungkur dalam gerak lambat, seperti partikel yang tertarik medan gravitasi absurd. Tawa berdentang-dentang, tapi seorang wanita paruh baya (*wajahnya mengingatkannya pada ibunya di kehidupan alternatif yang lebih baik*) membantunya bangkit. **Inilah momen ketika Jatmika memahami: kegagalan adalah bahasa universal yang tak diajarkan di kursus persiapan wawancara.**  

Ruangan interview dihiasi tiga pasang mata yang mengamatinya dari balik meja marmer hitam. Tidak ada kursi—*apakah ini ujian postur tubuh atau metafora ketidakseimbangan kekuasaan?* Jasnya basah di ketiak, aroma kapur barus murahan menguap seperti sinyal distress.  

"*Perkenalkan diri Anda,*" ujar Manajer HRD (*nama di papan: "Dian Sastrowardoyo, Ph.D"*), suaranya datar seperti text-to-speech.  

Jatmika mulai dengan kalimat yang dihapalnya dari video YouTube *"10 Jawaban yang Menghancurkan HRD"*:  
"*Saya lulusan Teknik Mesin UGM dengan spesialisasi termodinamika...*"  

Tiba-tiba, di dinding kaca di belakang para pewawancara, ia melihat pantulan dirinya—bayangan berkaus oblong yang terselubung jas, seperti **prototipe robot yang dibungkus kulit manusia**. Sebuah pertanyaan muncul dari versi dirinya yang dulu: *"Jika mesin ini—'Jatmika si profesional'—gagal dalam uji beban, apakah masih ada sisa 'manusia' di dalamnya?"*  

Pertanyaan-pertanyaan HRD mengalir seperti aliran laminar:  
- *"Apa kelemahan terbesar Anda?"* → *"Saya terlalu kritis terhadap diri sendiri"* (= *versi polite dari "saya overthinking"*).  
- *"Jika jadi superhero, kekuatan apa yang Anda pilih?"* → *"Kemampuan memanipulasi entropi"* (= *jawaban jujur yang terdengar seperti lelucon*).  

Tapi yang ia catat adalah detail di luar dialog:  
- **Frekuensi kedipan lampu neon**: 60 Hz, tepat di ambang persepsi manusia.  
- **Pola ketukan jari Manajer HRD**: interval 7 detik (*urutan Fibonacci?*).  
- **Siklus tiupan AC**: setiap 3 menit, seperti napas ruangan ini.  

Satu jam kemudian, ketika lampu neon berkedip 0,5 detik (*gangguan listrik atau pertanda?*), Dian Sastrowardoyo berkata:  
"*Kami akan menghubungi Anda.*"  

Di lift turun, Jatmika menekan tombol Lobi dengan jari yang masih gemetar. Jam tangannya masih terhenti di angka 12—*mungkin ini metafora untuk waktu yang membeku, atau sekadar baterai yang mati*. Di luar, hujan Jakarta membiaskan cahaya gedung-gedung pencakar langit. Ia berjalan ke halte bus, sementara bayangannya di genangan air terpecah-pecah oleh riak hujan: **serpihan identitas yang siap dirakit ulang untuk pertunjukan berikutnya.**  


Chapter 2 Pertemuan dengan pak Harto 

**Hujan Jakarta** bukan sekadar presipitasi, melainkan **sistem distribusi rizki terdistribusi**—setiap tetesnya mengandung peluang. Anak-anak lusuh berlarian menawarkan payung bekas dengan harga 5.000/lusin, sementara tukang ojek mengibarkan jas hujan plastik seperti bendera negara miskin. Jatmika duduk di warmindo "Mbah Darmi", menyeruput mi instan kuah coklat yang menurutnya **"mengandung 11 asam amino esensial dan 1 gram harapan"**. Uang di sakunya: **selembar uang sepuluh ribuan yang sudah mengalami 127 transaksi**, berdasarkan goresan mikroskopis di permukaannya.  

Ibu Kos di Kalijodos berdiri di halaman seperti **manifestasi hukum termodinamika kedua**—entropi kekacauan finansial yang tak terhindarkan. "Utangmu dua bulan, Nak," katanya, suaranya seperti data yang dikompresi ke dalam frekuensi 2.4 kHz (rentang suara manusia paling menyakitkan). Jatmika menyerahkan jam tangan palsu temannya—**"jaminan kovalen"** dengan masa berlaku 7 hari sebelum baterainya mati.  

Motor yang dikembalikan temannya (John, sang pengojek Grab) masih hangat, bensinnya 32% terisi—**presisi algoritma orang yang tak mau rugi**. "Alhamdulillah dapet 50 ribu, Bang," kata John, wajahnya bersinar seperti layar smartphone yang baru di-charge. Jatmika mengangguk, menghitung **efisiensi ekonomi**: 50 ribu = 1,7 porsi mi ayam atau 0,3% uang kos.  

Aplikasi ojeknya menyala. **Notifikasi muncul seperti ramalan oracle**:  
- **Tujuan**: Pantai Indah Kapuk (PIK)  
- **Tarif**: Rp59.000  
- **Penumpang**: "Harto" (rating 4,9, 1274 trip)  

Di Rasuna Said, pria itu menunggu dengan pakaian yang **melanggar hukum normalitas bisnis Jakarta**: kemeja batik berlengan pendek, celana cargo, dan sepatu boot karet—**ensemble seorang surveyor lapangan atau time traveler yang salah kostum**.  

"Maaf, Pak. Helmnya," ujar Jatmika, menyodorkan helm dengan goresan berbentuk **fraktal Mandelbrot** di kacanya.  

Sepanjang jalan tol, Pak Harto bercerita dalam kalimat yang terstruktur seperti **paper akademik**:  

**"Percobaan ke-1001: Rekrutmen Subjek Jatmika"**  
*(Oleh: Hartono, Ph.D - Surveyor Temporal)*  

**Latar Belakang**:  
- Kesalahan di iterasi sebelumnya: merekrut kandidat berbasis **kepintaran semu (IQ >125 tetapi integritas <0,5)**.  
- Metode baru: **algoritma kompatibilitas etis** yang mempertimbangkan:  
  1. Pola konsumsi mi instan (>3x/minggu = toleransi penderitaan tinggi).  
  2. Rasio pinjaman/penghasilan (2 bulan utang kos = kemampuan bertahan dalam krisis).  
  3. **Tindakan menyerahkan jam tangan palsu** = kapasitas untuk **"kebohongan altruistik"**.  

**Temuan**:  
- Jatmika adalah **solusi persamaan diferensial kehidupan Harto**:  
  \( \frac{d^2y}{dx^2} + 0,5\frac{dy}{dx} + y = \sin(x) \)  
  *(Di mana y = kesuksesan bisnis, x = waktu, 0,5 = koefisien ketidaksempurnaan manusia)*  

**Kesimpulan**:  
"Bersediakah Anda menjadi **penerus bisnis teleportasi kuantum** saya? Syaratnya: Anda harus rela **menghapus sejarah pinjaman ibu kos** dari memori kolektif—dengan teknologi ini."  

Jatmika melihat ke spion. Mata Pak Harto memantulkan cahaya lampu tol seperti qubit yang terentang 

(Di atas motor, menuju PIK, hujan gerimis mulai reda)

**Harto:** *"Nih, Mas, tolong pelan-pelan di tikungan. Badan saya ini aset negara—kalau kecelakaan, BPJS bakal nangis."*  

**Jatmika:** *"Tenang, Pak. Saya ini alumni *ojek gunung*—turunan Puncak, tanjakan Serang, semua sudah jadi bagian dari DNA."*  

**Harto:** *(tertawa)* *"Wah, kalau begitu, motor ini bisa disebut *kendaraan multiguna*—antar manusia, angkat galon, sekaligus uji nyali."*  

**Jatmika:** *"Betul, Pak. Tapi hari ini khusus *VIP mode*—tanpa boncengan galon atau ayam hidup."*  

**Harto:** *"Syukurlah. Terakhir naik ojek, saya duduk sebelah kardus berisi kucing liar. Si meong itu *review*-nya 1 bintang di mata saya."*  

**Jatmika:** *(tersenyum)* *"Kalau sekarang aman, Pak. Kecuali… *tikus kosan* saya ikut numpang. Itu juga *passenger* rutin."*  

**Harto:** *"Hah! Saya malah lebih takut sama *tikus kantor*, Mas. Mereka itu *koruptor kecil*, suka nyolong snack dari meja."*  

*(Sepanjang tol, Jatmika menghindari lubang dengan lincah)*  

**Harto:** *"Wah, skill *slalom*-nya mantap! Dulu atlet *road avoidance*, ya?"*  

**Jatmika:** *"Iya, Pak. Latihan tiap hari di jalanan Jakarta—*extreme hole dodging*, cabang olahraga urban."*  

**Harto:** *"Kalau begitu, saya kasih *tip* nih…"* *(mengeluarkan uang 20 ribu)*  

**Jatmika:** *"Wah, terima kasih, Pak! Ini *nilai tambah* dari *ride experience*-nya?"*  

**Harto:** *"Bukan. Itu *uang pelicin* supaya nanti saya ngobrolin sesuatu, Mas gak kabur."*  

**Jatmika:** *(kaget)* *"Lho, saya ini *ojek legal*, Pak. Kecuali… Bapak ini *malaikat pencabut nyawa* yang nyamar?"*  

**Harto:** *(terbahak)* *"Bukan! Saya ini *malaikat pencabut kemiskinan*—versi *startup* gagal tapi *second chance*-nya banyak."*  

**Jatmika:** *"Hah? Bapak ini *investor* atau *tukang ramal*?"*  

**Harto:** *"Surveyor, Mas. Tapi spesialisasi saya *nyari orang yang kebanyakan mimpi, kurang duit*—kayak Anda!"*  

**Jatmika:** *(tersipu)* *"Waduh, surveynya *terlalu akurat*, Pak. *Big data*-nya dari mana?"*  

**Harto:** *"Dari *aplikasi ojek* ini! *Ride history*-nya keliatan: *lokasi kos kumuh, sering ke warmindo, tujuan ke rental motor*—semua *red flag* orang *brilian tapi bokek*."*  

**Jatmika:** *(tertawa getir)* *"Kalau begitu, saya ini *open source* ya, Pak? *Privacy*-nya hilang di *cloud*."*  

**Harto:** *"Tenang, data Anda aman. Saya cuma mau nawarin *upgrade*: ganti *ojek jalanan* jadi *ojek multiverse*!"*  

**Jatmika:** *"Multiverse? Bapak ini habis *nonton Marvel* ya?"*  

**Harto:** *"Bukan! Saya punya *prototype mesin teleportasi*—tapi *beta version*-nya masih suka salah *drop location*. Kemarin ada orang *nyampe di kamar mandi Justin Bieber*."*  

**Jatmika:** *(melongo)* *"Lah, terus kenapa *pilih saya*? Saya aja *navigasi di Jakarta* kadang masih nyasar!"*  

**Harto:** *"Justru itu! Anda *ahli *survival*—kalau mesin saya *error* dan nyasar di dimensi lain, Anda bisa *ojek-in* pulang pakai *motor*!"*  

*(Jatmika hampir ngerem mendadak)*  

**Jatmika:** *"Bapak ini *nyeriusin* atau *candaan*? Soalnya kalau *beneran*, saya mau minta *advance payment*—buat *lunasin utang kos* dulu…"*  

**Harto:** *"Deal! Tapi *sign contract*-nya pakai *blood*—eh, maksudnya *tinta emas*!"*  

**Jatmika:** *"Darah saya *type O*—*universal donor* sekalian *universal penerima tawaran gila*!"*  

*(Keduanya tertawa, sementara motor melintasi gerbang PIK—tempat dimana *realitas biasa* akan segera berakhir.)*  

Chapter 3 Sisa-Sisa Cahaya di Gerbang Hitam

---
Cluster itu muncul dari kabut sore seperti ilusi, deretan rumah minimalis dengan garis-garis tajam yang terlalu sempurna untuk dianggap ramah. Jatmika menyadari bagaimana **bayangannya terpotong rapi oleh pagar hitam**, membentuk siluet asing yang tak lagi ia kenali—seolah identitas lamanya tertinggal di jalanan Jakarta yang basah oleh hujan dan keringat.  

*"Tanda pengenal, Tuan,"* ujar satpam itu dengan suara datar. **Matanya tak menyipit meski silau senja**, seolah dilindungi oleh lapisan kaca anti-reflektif yang juga menghalangi empati. Jatmika mengulurkan KTP-nya yang sudah lecek di sudut, **beka gigitan tikus di kosan Kalisari yang tak pernah ia perbaiki**, sementara kamera CCTV di gerbang berputar pelan, **lensa lebarnya menyipit seperti mata kucing yang menilai**.  

*"Ikuti jalan ini,"* kata Pak Harto, tangannya melambai ke arah gang sempit. *"Lurus, lalu kiri di patung kuda tanpa kepala. Kanan di bundaran dengan air mancur yang airnya tersedot ke bawah. Kiri lagi di pohon beringin yang daunnya dari plastik."*  

Petunjuk itu diucapkan dengan nada **orang yang terlalu sering mengulangi hal sama**, tapi Jatmika hanya mengangguk, **seolah peta ini sudah ia hafal dari mimpi-mimpi yang tak pernah ia ceritakan**.  

---

Rumah nomor 100 tak berbeda dengan lainnya—kubus beton dengan jendela-jendela kecil seperti **lubang intip ke masa lalu**. Saat mereka mendekat, CCTV di gerbang mengeluarkan bunyi *"klik"* halus, dan pagar terbuka **dengan desis udara yang terkompresi**, seolah rumah itu menarik napas dalam-dalam.  

Di teras, **sebuah robot berbentuk seperti lemari arsip tua** bergerak mendekat, rodanya berderik di lantai marmer.  

*"Minuman penyambutan,"* katanya dengan suara yang direkam terlalu sempurna, **kehilangan getar ketidaksempurnaan manusia**.  

Di atas nampan perak:  
- **Dua gelas teh tawar** dengan daun teh mengambang seperti fosil kecil  
- **Nastar** dengan pinggiran kecokelatan yang tak rata, **seolah dibuat oleh tangan yang sudah lupa cara peduli**  

*"Istri saya yang membuatnya,"* kata Pak Harto sambil mengambil satu, meski tak ada tanda kehidupan lain di rumah itu. **Jatmika tak bertanya; ia sudah belajar bahwa pertanyaan sering kali hanya membawa jawaban yang lebih membingungkan**.  

---

Kuesioner itu tebal, sampulnya berdebu. Halaman pertamanya bertuliskan: *"Apa yang ingin Anda capai sebelum semuanya berakhir?"*  

Jatmika menatapnya lama. **Ia teringat pada formulir lamaran kerja di pabrik tekstil delapan tahun lalu**, pertanyaan-pertanyaan yang sama kaburnya, jawaban-jawaban yang sama kosongnya. Tapi halaman berikutnya berbeda:  

*"Apa warna pertama yang Anda ingat dari masa kecil?"*  
*"Berapa kali Anda berpura-pura tertidur saat ibu kos menagih sewa?"*  
*"Jika Anda bisa menghapus satu momen dari ingatan seseorang, momen apa itu?"*  

Pena di tangannya terasa berat. **Setiap jawaban meninggalkan bekas di kertas seperti luka**, sementara di luar jendela, langit berubah dari jingga menjadi abu-abu kebiruan.  

---

Lima puluh menit kemudian, Pak Harto memasukkan kuesioner itu ke dalam **mesin scanner tua** yang mengeluarkan suara dengungan seperti lebah sekarat.  

*"Anda jujur,"* katanya sambil membaca hasil cetakan. *"Atau setidaknya, Anda percaya pada kebohongan Anda sendiri."*  

Kontrak yang ia sodorkan **berbau seperti kamar hotel tua**—campuran AC basi dan harapan yang terkubur. Klausul-klausulnya sederhana:  

*"Pihak Kedua setuju untuk berpartisipasi dalam uji coba teleportasi kuantum, dengan kompensasi Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) setelah fase pertama."*  

Tak ada penjelasan tentang apa yang terjadi jika gagal. Tak ada definisi "gagal".  

*"Kita baru bertemu sekali,"* kata Jatmika, suaranya terdengar jauh, **seolah berasal dari versi dirinya yang masih berdiri di gerbang tadi**.  

Pak Harto memandangnya dengan **tatapan orang yang sudah terlalu sering melihat keraguan ini**. *"Tapi saya sudah membaca jawaban Anda. Yang tentang warna pertama yang Anda ingat—kuning cat tembok kamar nenek. Yang tentang utang kos. Yang tentang..."* Ia tersenyum tipis. *"Mimpi Anda yang berulang: berdiri di tepi jurang dengan tas berisi uang."*  

**Robot di sudut ruangan tiba-tiba bergetar**, layarnya menampilkan angka-angka acak sebelum mati kembali.  

*"Tanda tangani saja,"* bisik Pak Harto. *"Besok mungkin kita akan tertawa melihat kekhawatiran ini. Atau mungkin tidak. Tapi itu risiko yang kita sebut hidup, bukan?"*  

Di luar, **angin sore menggerakkan daun plastik pohon beringin**, menciptakan suara gemerisik yang sama persis dengan halaman-halaman kuesioner yang baru saja diisi. 

Chapter 4 Kilatan Cahaya di Malam Kuningan

Malam itu, di kamar kos Jatmika yang sempit, suara obrolan para grab driver mengambang seperti asap rokok yang tertahan di langit-langit rendah. Mereka duduk melingkar di lantai, layar ponsel masing-masing memantulkan cahaya biru yang membuat bayangan di dinding tampak seperti makhluk asing. Jatmika sendiri duduk agak terpisah, **kontrak dari Pak Harto terbuka di pangkuannya**, kertas itu terasa lebih berat dari yang seharusnya.  

*"Penjemputan khusus,"* begitu bunyi klausul utamanya. *"Subjek akan mengangkut individu yang telah berhasil diteleportasi dari lokasi awal di Pantai Indah Kapuk ke tujuan yang belum diungkapkan."* Kata-katanya kering, formal, **tetapi ada sesuatu yang menggelitik di tenggorokan Jatmika setiap kali membacanya—semacam kejanggalan yang tak bisa ia tempatkan**.  

Lalu, seperti ditakdirkan, notifikasi Grab-nya berbunyi. **Orderan ke PIK. Rp59.000. Pemesan: Harto.**  

Jatmika menatap layarnya, **jari-jarinya dingin meski udara malam ini pengap**. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu ia meninggalkan Pak Harto di rumahnya. Tapi di sini namanya muncul lagi, seolah-olah waktu telah melipat diri.  

---

Kuningan malam itu sunyi dengan cara yang tidak wajar. Lampu-lampu jalan menyala terlalu terang, **seperti panggung yang sedang disiapkan untuk suatu pertunjukan**. Pak Harto sudah menunggu di tepi jalan, tapi **ia bukan lagi pria berkemeja sederhana yang Jatmika kenal**.  

Kali ini, ia mengenakan **setelan silver yang mengkilap seperti kulit ikan**, **materialnya berdesis halus setiap kali bergerak**, dan di sekujur lengannya, **aliran listrik biru berkedip-kedip di bawah permukaan kain**, seperti sungai kecil yang terperangkap.  

*"Apakah teleportasi Anda berhasil?"* tanya Jatmika, suaranya lebih kecil dari yang ia rencanakan.  

Pak Harto tersenyum, tapi matanya—**matanya terlalu lebar, pupilnya membesar seperti orang yang baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada**.  

*"Bajunya harus seperti ini,"* ia membenarkan kerah setelannya dengan gerakan kaku. *"Kita harus cepat. Saya sudah kehabisan waktu di masa ini."*  

Saat ia naik ke motor, **udara di sekitarnya bergetar**. Jatmika belum sempat menanyakan apa pun—**lalu dunia meledak dalam cahaya**.  

---

**Kilatan itu bukan sekadar kilat.** Ia merobek malam, **membelah realitas seperti pisau yang mengiris kertas**. Jatmika merasakan **tubuhnya tercerai-berai**, setiap molekulnya tertarik ke arah yang berbeda, **tulang-tulangnya berteriak dalam frekuensi yang tidak bisa didengar telinga manusia**. Ada suara—**atau mungkin bukan suara, tapi sensasi—seperti ribuan orang berbisik bersamaan di kepalanya**, masing-masing mengatakan sesuatu yang tidak bisa ia pahami.  

Lalu, gelap.  

---

Ia terbangun di lantai marmer yang dingin. **Motor yang ia kendarai kini hanya tumpukan logam yang masih berasap**, beberapa bagiannya meleleh, mengeluarkan bau plastik terbakar yang menusuk hidung.  

Pak Harto berdiri di sampingnya, wajahnya bersinar karena terangnya layar holografik di tangannya.  

*"Percobaan ke-1000,"* katanya, **suaranya datar tapi ada getaran aneh di bawahnya**, seperti gembira, seperti takut. *"Akhirnya berhasil."*  

Di luar jendela, **seluruh Kuningan gelap gulita**. Mati lampu massal.  

Chapter 5 "Percobaan dan Puing-Puing yang Tersisa"


Jatmika terbangun di sebuah kamar yang **terlalu putih, terlalu steril**, seperti kamar rumah sakit atau ruang tunggu di suatu tempat yang bukan untuk manusia. Bajunya yang hangus telah diganti dengan kaus katun polos—**berukuran tepat, seolah sudah dipersiapkan untuknya jauh sebelumnya**.  

Dari balik pintu yang sedikit terbuka, terdengar **suara ketukan keyboard Pak Harto yang ritmis**, diselingi sesekali oleh **desahan kecil kepuasan**. Suara itu mengingatkannya pada ayahnya dulu, saat masih bekerja lembur di kantor pajak—**ritme yang sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini, sesuatu yang dingin dan terukur**.  

Ia mencoba mengingat: *Kuningan. Kilatan cahaya. Rasa sakit yang membuatnya merasa seperti dicabik-cabik dari dalam.*  

Tapi ingatannya **berawan, seperti film lama yang diputar setengah cepat**.  

---

Saat ia berjalan melewati koridor menuju kamar mandi, **pintu garasi yang tak sengaja terbuka menarik perhatiannya**.  

Di dalam, **berdiri puluhan—bahkan mungkin ratusan—motor yang hancur**. Beberapa hanya rangka yang terkelupas, beberapa lainnya meleleh seperti lilin. **Semuanya memiliki kesamaan: plat nomor yang sama dengan motornya**.  

*"Percobaan ke-1000,"* kata Pak Harto tadi.  

**Apakah ada 999 Jatmika lain sebelum dirinya?**  

---

Robot itu muncul tanpa suara, **berdiri di belakangnya tiba-tiba seperti bayangan yang lepas dari dinding**.  

*"Makanan,"* ujarnya, suaranya **terlalu lembut untuk mesin, terlalu datar untuk manusia**. Di nampannya, seporsi nasi goreng dan segelas air—**makanan terakhir untuk narapidana, mungkin**.  

*"Dan ini,"* robot itu mengulurkan sebuah tas koper kecil. *"Satu miliar, seperti janji."*  

Jatmika membukanya. **Uang-uang itu rapi, masih berbau tinta baru, tapi ada sesuatu yang aneh—nomor serinya berulang, seperti cetakan yang terburu-buru**.  

*"Anda harus pergi,"* kata robot itu. *"Polisi sudah mendekat. Tuan Harto... dikenal."*  

*"Dikenal sebagai apa?"*  

Robot itu hanya memandangnya, **layar di wajahnya kosong, lalu tiba-tiba menampilkan hitungan mundur: 15:00... 14:59... 14:58...**  

---

Ia berlari. **Tas uang di tangannya terasa ringan, terlalu ringan untuk sesuatu yang seharusnya berisi satu miliar**.  

Pos penjagaan cluster kosong—**para satpam tertidur di kursinya, kepala terkulai, seperti boneka yang kehabisan tenaga**. Salah satu monitor di meja masih menyala, menampilkan **gambar buram dari sebuah ruangan bawah tanah, dengan sesuatu yang bergerak-gerak di dalamnya**.  

Ia tak sempat memikirkan apa itu.  

Di jalan raya, ia menghentikan taksi pertama yang lewat. **Sopirnya bahkan tak bertanya mengapa ia terengah-engah, atau mengapa matanya liar seperti orang yang baru melihat hantu**.  

Baru ketika mereka berbelok, **ledakan itu mengguncang langit**.  

---  

*"Tabung gas bocor,"* kata seorang pemadam kebakaran di TV kafe es teh sebelah. *"Tidak ada korban. Hanya bangunan kosong."*  

Tapi Jatmika tahu. Ia melihat ke dalam tas lagi. **Di antara tumpukan uang, ada secarik kertas kecil**:  

*"Percobaan 1001: SUCCESS. Subject survived. Payment delivered. Facility purged."*  

Dan di bawahnya, **tulisan tangan Pak Harto yang rapi**:  

*"Kita akan bertemu lagi di timeline lain."*  

--
Chapter 6 Panas dan Nomor Seri yang Sama

Jakarta siang itu menyengat. Tiga puluh tujuh derajat Celsius, dan Jatmika bisa merasakan setiap derajatnya melalui jaket Grab-nya yang tipis. Orang-orang lemah—mereka yang punya pilihan—tentu takkan berani berjemur di jalanan seperti ini. Tapi Jatmika bukan orang lemah. Atau lebih tepatnya, **ia adalah orang yang kehabisan pilihan**.  

Motor listrik sewaannya berdesis pelan, baterainya tinggal 32%. **50.000 untuk sewa, 50.000 untuk makan, 50.000 untuk cicilan kos, 50.000 untuk isi daya—total 200.000**. Angka-angka itu berputar di kepalanya seperti mantra.  

Ia punya uang satu miliar di tas. Tapi uang-uang itu **bernama seri sama persis**, baris demi baris, seolah-olah dicetak dalam keadaan terburu-buru. Kemarin ia mencoba membelanjakan selembar—ternyata diterima. Tapi **rasa takut yang lebih dalam dari sekadar ditangkap polisi** membuatnya menyimpan kembali uang itu.  

*"Andai bisa kupakai,"* pikirnya, *"mungkin sekarang aku sudah punya motor sendiri. Rumah kecil. Mungkin warung makan."*  

Tapi hidup jarang semudah "andai".  

---

**Jam 9:30 pagi**, tujuh penumpang, 98.000 rupiah. Jatmika mengusap keringat di dahinya. **Di suatu tempat, Pak Harto mungkin sedang tertawa melihatnya terjebak dalam lelucon kotor ini**.  

Lalu orderan masuk—**GrabExpress ke Cikarang, 80.000**.  

Di lobi Gedung Gama, seorang OB muda memberinya tas laptop.  

*"Ini tip, Mas. Jangan lama-lama, ya? Ini penting,"* kata OB itu, menyelipkan 20.000 ke tangannya.  

Perjalanan lancar, enam puluh menit tanpa macet. Tapi di alamat tujuan, **tak ada yang mengenali nama penerima**. Nomor pengirim? **Sudah tidak aktif**.  

Jatmika makan mie ayam di warung pinggir jalan, bertanya-tanya tentang PT Sinar Ultraviolet.  

*"Oh, itu di PKS depan,"* kata penjual mie.  

Saat ia menyerahkan paket ke security, sesuatu yang tak terduga terjadi.  

---

Dian Sastrowardoyo—**HRD jutek yang dulu mewawancarainya dengan tatapan seperti sedang memeriksa spesimen lab**—berdiri di belakang meja security.  

*"Jatmiko?"*  

*"Iya, Bu."*  

*"Saya sudah mencoba menghubungi Anda."*  

*"HP saya... terbakar."*  

Dian mengangguk, **seolah-olah jawaban itu masuk akal dalam dunia di mana teleportasi mungkin ada dan uang dengan nomor seri sama bisa nyata**.  

*"Anda diterima bekerja. Kapan bisa mulai?"*  

*"Kapanpun, Bu."*  

*"Besok, jam delapan."*  

Ia keluar dari gedung itu dengan langkah ringan. **Tapi di sudut mata, ia melihat sesuatu—sebuah mobil hitam dengan kaca film gelap, dan di jendelanya, pantulan wajah seseorang yang mirip Pak Harto, atau mungkin hanya ilusi panas Jakarta yang sudah mencapai 39 derajat**.  

---

Tidak ada komentar: