01/07/25

season 3 Jatmika dan portal waktu

---

Bulan baru telah tiba, dan PT. Sinar Ultraviolet memasuki fase yang belum pernah mereka alami sebelumnya: stabilitas. Bukan sekadar keberhasilan dalam satu malam, tapi sebuah sistem yang mulai berjalan dengan sendirinya—seolah gravitasi teknologi yang mereka temukan menarik semua hal ke dalam orbitnya.

Divisi produksi tidak mengenal jeda. Mesin-mesin pencetak prototipe artefak lampu beroperasi nyaris tanpa henti, memproduksi dengan presisi dan ketelitian. Setiap lampu replika yang selesai dirakit bukan sekadar suvenir teknologi, tapi simbol harapan—bahwa cahaya bisa membuka jalan ke tempat lain, mungkin bahkan ke masa lalu.

Sementara itu, tim pemasaran dibanjiri permintaan. Laman pemesanan daring mencatat angka yang terus naik. Tak ada ruang kosong di kalender kunjungan. Beberapa bahkan harus menunggu dua bulan ke depan.

Departemen SDM bekerja dalam keheningan yang sibuk, memilah dan menilai ratusan pelamar. Mereka merancang pelatihan intensif bagi 100 karyawan baru, bukan sekadar mengenalkan prosedur kerja, tapi juga menyuntikkan etika baru: bahwa mereka bekerja dengan teknologi yang melintasi batas waktu dan ruang.

Di ruang lain, departemen keuangan merilis laporan yang selama ini hanya menjadi target ambisius—untuk pertama kalinya, saldo rekening perusahaan menunjukkan surplus. Sebuah titik balik. Perusahaan kini mampu membiayai operasional, membayar gaji, dan bahkan merencanakan ekspansi jangka panjang.

Divisi operasional, tanpa menunggu terlalu lama, segera menyusun blueprint kantor baru di Jakarta. Sebuah keputusan strategis yang akan membuka akses lebih luas bagi pelanggan dari luar negeri.

Jatmika, yang kini secara resmi menjadi koordinator teleportasi global, menunjuk John sebagai asistennya. Kepercayaan itu tidak hanya karena kedekatan pribadi, tetapi karena John terbukti efisien dan berpikiran sistematis. Bersama-sama mereka merancang modul pelatihan, menyusun jadwal kunjungan, dan mengelola operasional harian dengan ketepatan waktu nyaris militer.

Hari ini adalah ujian besar pertama mereka.

Sepuluh rombongan dari Tiongkok tiba di pelataran gedung menggunakan bus Big Bird. Masing-masing peserta telah membayar untuk akses penuh ke seratus titik teleport—total transaksi lebih dari satu miliar rupiah.

Untungnya, Pak Toni sudah memprediksi kebutuhan ini. Beberapa bulan sebelumnya, ia memesan 500 set baju astronot tambahan, dan karena kebijakan vendor, mereka menerima bonus 600 unit ekstra. Ketepatan waktu dan perhitungan jangka panjangnya menjadi penyelamat hari itu.

Masalah bahasa tidak sempat berkembang menjadi kendala. Jatmika telah memesan perangkat kacamata pintar dengan fitur penerjemah otomatis berbasis AI, serta menyewa dua puluh mahasiswa terbaik dari universitas unggulan sebagai penerjemah pendukung. Transmisi komunikasi berjalan nyaris tanpa friksi, seolah semua telah dirancang sebelumnya oleh tangan yang tak terlihat.

Rombongan tamu terkesima. Bagi mereka, teleportasi bukan sekadar teknologi—melainkan pengalaman spiritual. Sesuatu yang menggabungkan rasa ingin tahu kuno dengan pencapaian manusia modern.

Seorang delegasi bertanya melalui translator, “Apakah ada titik teleportasi di wilayah Tiongkok?”

Jatmika tersenyum, lalu mengangguk.
“Tentu saja ada,” jawabnya. “Dan bukan hanya satu. Kami menemukan tiga titik aktif. Salah satunya bahkan terletak di kawasan pegunungan dekat provinsi Sichuan.”

Wajah-wajah di hadapannya berbinar. Mereka tidak hanya membeli akses—mereka membeli harapan bahwa sejarah bisa disentuh kembali. Bahwa mungkin, mereka juga akan menemukan artefak yang tersimpan diam di tanah mereka sendiri.

Di langit sore, cahaya bulan baru memantul di kaca gedung laboratorium. Sebuah awal baru sedang didefinisikan, tidak hanya oleh cahaya, tapi oleh arah yang kini mereka pilih.


---

---

Jatmika membagi rombongan tur menjadi sepuluh kelompok, masing-masing beranggotakan lima puluh orang. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang pemandu terlatih serta dibekali satu penerjemah khusus. Perjalanan mereka bukanlah sekadar wisata, melainkan ekspedisi lintas ruang dan budaya — sebuah upaya mengenali kembali fragmen teknologi kuno yang tersembunyi di dalam goa-goa teleportasi.

Jatmika memimpin Kelompok Satu. John ditugaskan untuk Kelompok Dua. Sementara itu, Billy, Fahmi, Sherly, Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal masing-masing bertanggung jawab atas kelompok berikutnya — sepuluh pemimpin, sepuluh arah, sepuluh portal waktu yang aktif.

Di laboratorium pusat, Ny. Tien mengatur jalannya aktivasi teleportasi. Ia menghitung kebutuhan energi dalam satuan mega-watt, menyeimbangkan suplai arus ke setiap titik artefak, memastikan tidak ada satu pun kelompok yang terlempar ke lokasi yang salah.

Bola-bola listrik mulai terbentuk di atas lantai logam berukir, mengambang di udara seolah medan gravitasi diputar ulang. Artefak lampu menyala perlahan, dari kuning hangat hingga keemasan menyilaukan. Kemudian, satu demi satu, sambaran energi mengenai lingkaran setiap kelompok—dan mereka pun menghilang dari laboratorium, seperti dijemput oleh hukum fisika yang belum tercatat.

Dengan kalkulasi yang tepat, Ny. Tien menjadwalkan siklus perpindahan setiap tiga puluh menit sekali, menggeser tiap kelompok ke titik teleportasi berikutnya. Ia mengamati monitor dengan intensitas tenang—seolah ia sedang menjaga gerbang antara dimensi.

Kelompok Jatmika tiba di sebuah gua kuno yang dipenuhi ukiran simbolik pada dindingnya. Ia segera mengenali motif yang telah ia pelajari selama bertahun-tahun: garis-garis cahaya, bentuk segitiga simetris, dan lambang heliks ganda. Tempat ini, ia yakini, adalah situs peninggalan Surya Wikrama—salah satu ksatria legendaris dari masa Mythopia yang menguasai unsur cahaya.

Namun ada satu simbol yang selama ini tak mampu ia pecahkan—aksara bergaya piktograf yang tampak seperti kunci, namun tanpa gembok. Sampai seorang peserta dari rombongan—seorang profesor muda dari Provinsi Anhui, Tiongkok—melangkah maju.

Ia mengamati simbol tersebut dalam diam, lalu berbisik dalam bahasa Mandarin klasik,
“Ini adalah aksara Han kuno... artinya segel, atau perintah tertutup.”

“Bagaimana cara membukanya?” tanya Jatmika, hati-hati.

“Sesuai prinsip dualisme, Anda tak bisa membuka segel dengan membacanya,” jawabnya. “Anda harus menulis lawan katanya… bukan pada dinding, tetapi pada elemen yang bersifat hidup: batu pasir magnetik.”

Jatmika menatap batu di sisi kanan gua—batu dengan urat halus berwarna hitam yang bereaksi pada logam. Ia mengangguk.

Peserta itu mengambil sebilah kayu kecil, lalu dengan tenang menggambar satu simbol—sebuah karakter antitesis dari simbol awal—pada permukaan batu tersebut.

Sejenak tak terjadi apa-apa. Lalu lantai gua bergetar. Rangkaian mekanisme kuno aktif, seolah baru dibangunkan dari tidur ribuan tahun. Bongkahan batu bergerak secara teratur, dan perlahan-lahan, sebuah pintu terbuka ke arah luar, mengalirkan cahaya matahari sore dari celahnya.

Jatmika menahan napas, bukan karena keterkejutan, tapi karena kesadaran bahwa mereka baru saja menyentuh sesuatu yang bukan hanya teknologi, tapi warisan pemikiran.

“Tien,” ucapnya pelan melalui mikrofon, “tolong salin karakter ini ke dalam basis data. Simpan dalam semua format. Ini bisa jadi kunci untuk membuka gua lainnya.”

Dan untuk pertama kalinya sejak proyek teleportasi dimulai, Jatmika tidak hanya melihat sistem bekerja, tapi melihat sejarah itu sendiri menjawab kembali.


---
---

Para peserta diizinkan keluar dari gua untuk menyerap udara segar dan menikmati panorama pegunungan yang menjulang sunyi. Di kejauhan, awan melayang perlahan seolah terbuat dari sutra yang dilipat angin, dan suara burung hantu dari balik hutan memberi nuansa purba yang tak tersentuh waktu.

Jatmika memberi instruksi singkat.
“Lima belas menit. Setelah itu, semua kembali ke titik pertemuan.”

Ia lalu melangkah mendekati salah satu peserta yang tampak mencatat simbol-simbol pada dinding gua ke dalam buku kulit tebal. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Prof. Wen Shuyuan, seorang pakar sejarah dari Universitas Xiamen yang telah menghabiskan tiga dekade hidupnya mempelajari arkeologi Asia Timur.

"Struktur mekanik gua ini luar biasa," ucapnya pelan. "Seperti fusi antara pemahaman kuno tentang energi dan prinsip medan elektromagnetik modern."

Jatmika mengangguk, lalu berkata,
"Perusahaan kami berencana membangun kantor cabang di setiap negara. Saya ingin mengusulkan: bagaimana jika Anda menjadi penanggung jawab pengembangan dan riset kami di Tiongkok?"

Prof. Wen tampak berpikir sejenak. Jatmika menambahkan,
"Sebagai kepala cabang, Anda juga akan mendapatkan akses penuh terhadap sistem teleportasi—termasuk jaringan simbol dan mekanisme aktivasi. Dan... jika Anda mengenal seorang investor yang bersedia mendukung pembangunan fisik kantor kami di sana, itu akan sangat membantu."

Wen Shuyuan tersenyum samar. “Saya pernah berulang kali ditawari dana oleh seorang kolektor yang ingin mendanai yayasan saya. Mereka ingin membuktikan bahwa legenda kuno adalah catatan sejarah, bukan mitos.”
Ia menatap langit, lalu melanjutkan, “Apakah satu triliun rupiah cukup sebagai investasi awal?”

Jatmika menatapnya dalam diam, lalu menjawab,
“Dengan jumlah itu, kami bisa membangun kantor, merekrut tim penuh, dan membiayai riset lintas negara. Saya kira, ini awal yang sangat baik.”

Dari mikrofon di telinganya, suara Ny. Tien terdengar lembut namun tegas:
“Waktu tersisa lima menit. Siapkan evakuasi dari gua.”

Jatmika segera berjalan ke arah peserta, menyampaikan pengumuman dengan suara yang jelas. Ia lalu berpaling pada Prof. Wen,
“Sebelum kita kembali… bisakah Anda bantu menutup pintu gua seperti sebelumnya?”

Wen Shuyuan mengangguk, mengambil tongkat tipis dari lantai, lalu menulis lambang kuno di batu pasir magnetik: segel penutup dalam Aksara Han Tua. Tak lama kemudian, mekanisme gua bereaksi. Batu-batu mulai bergerak, saling bertautan membentuk formasi tertutup. Pintu gua menutup rapat, seperti rahasia yang tak ingin ditemukan dua kali.

Ny. Tien segera memulai proses teleportasi lanjutan. Dalam waktu singkat, seluruh peserta berpindah dari satu titik ke titik berikutnya. Beberapa menunjukkan tanda-tanda kelelahan ringan—detak jantung meningkat, reaksi pupil menurun, sinyal saraf menurun stabil.

Sistem otomatis mendeteksi ambang batas toleransi fisik mereka, dan dengan protokol keselamatan kelas satu, seluruh peserta ditarik kembali menuju laboratorium pusat.

Di sana, suara mesin perlahan mereda. Para peserta kembali dalam kondisi utuh, beberapa terduduk lelah namun tersenyum—seolah baru saja melihat kembali dunia seperti yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.


---
---


Sebelum proses teleportasi selesai, Jatmika telah mempersiapkan sebuah jamuan sederhana namun berkesan—prasmanan dengan cita rasa khas Indonesia. Di ruang makan berpanel kaca, uap sate ayam dan tongseng menyatu dengan aroma nasi goreng dan wedang jahe yang mengepul hangat. Kerak telor digoreng langsung di atas tungku kecil, sementara bakso disajikan dalam mangkuk-mangkuk uap seperti di warung tenda malam hari.

Sebuah keheningan kagum sesaat menyelimuti peserta dari Tiongkok ketika mereka diperbolehkan mengambil makanan. Beberapa mencoba menebak bahan dari setiap sajian melalui rasa dan tekstur. Mereka yang selesai makan memilih untuk pindah ke aula besar—bukan karena ruangan sempit, tetapi karena percakapan dan tawa semakin ramai.

Tak lama, kelompok John tiba. Wajahnya tampak tegang, kontras dengan suasana makan siang yang ceria.

“Jatmika,” katanya pelan tapi tegas. “Kami terpaksa kembali lebih cepat.”

Jatmika berhenti sejenak dari melayani tamu, lalu menoleh.
“Ada apa?”

“Seorang peserta... membuka helmnya sendiri di dalam gua,” kata John. “Dia panik. Tidak bisa bernapas. Kami tidak bisa melanjutkan teleportasi.”

Jatmika mengangguk, menginternalisasi informasi itu dengan cepat.
“Kalau dia merasa dirugikan, kita bisa fasilitasi pengembalian dana penuh,” ucapnya, tenang.

“Tidak perlu,” kata John. “Keadaannya sudah stabil. Tapi orang tuanya… mereka memaksa memberi saya sejumlah uang, mungkin sebagai bentuk... suap agar saya tidak bicara.”

“Berapa?” tanya Jatmika.

“Saya tidak tahu pasti. Dalam mata uang Tiongkok. Jumlahnya... tidak kecil.”

Mereka saling diam sejenak. Dalam dunia di mana teknologi bisa melintasi ruang dalam satu denyut listrik, konsekuensi manusia tetap tak terhindarkan—emosi, ketakutan, dan harga diri.

“Catat kejadian ini ke dalam log keamanan,” kata Jatmika. “Bukan untuk menghukum siapa pun, tapi untuk pembelajaran.”

John mengangguk.

Sementara itu, Jatmika berjalan pelan menuju meja bagian operasional, mencari salah satu penerjemah. Ia memanggil staf senior, kemudian menunjuk ke arah Prof. Wen Shuyuan yang sedang berbincang dengan beberapa delegasi.

“Segera siapkan draf kerja sama. Pak Toni sudah menyetujui pembukaan kantor cabang di luar negeri,” katanya. “Tapi tekankan satu hal—pusat kendali teleportasi tetap di Indonesia. Kantor di negara lain hanya akan berfungsi sebagai pos transit.”

Ia menatap para peserta yang masih makan dan tertawa, lalu melanjutkan,
“Kita mungkin telah membuka pintu ke masa depan. Tapi setiap langkah harus tetap diawasi oleh tangan manusia yang memahami risikonya.”

Di sudut ruangan, wedang jahe terus mengepul. Aroma rempah tetap bertahan, bahkan ketika teknologi dan sejarah terus berputar di sekitarnya.


---

---

Pak Toni tiba di laboratorium dengan langkah mantap, membawa serta atmosfer penghargaan dan keseriusan. Ia menghampiri Profesor Wen Shuyuan yang tengah memeriksa salinan kontrak kerja sama. Mereka berjabat tangan dengan hormat, dan dengan bahasa yang sederhana namun tulus, Pak Toni berkata, “Terima kasih, Profesor, atas kepercayaan Anda pada perusahaan kecil kami.”

Wen Shuyuan membalas dengan anggukan bijak. “Kecil bukan berarti tak besar pengaruhnya. Saya percaya pada teknologi yang lahir dari keterbukaan terhadap masa lalu,” ujarnya.

Kontrak pun disepakati sepenuhnya. Klausul-klausul yang diajukan PT. Sinar Ultraviolet diterima tanpa revisi: penyediaan lahan dan fasilitas di Tiongkok, kelengkapan legalitas kantor cabang, peran aktif sebagai penghubung dengan investor, regulator, dan akademisi, serta komitmen penuh pada kerahasiaan dan keamanan teknologi teleportasi. Setiap penemuan baru wajib dilaporkan secara berkala—bukan hanya sebagai bentuk akuntabilitas, tetapi juga sebagai tanggung jawab terhadap sejarah itu sendiri.

Sebagai kepala cabang, Wen Shuyuan akan menerima bagian dari pendapatan teleportasi, bukan sekadar sebagai imbalan kerja, tetapi sebagai bagian dari simbiosis pengetahuan dan kepercayaan.

Sambil tersenyum, Profesor Wen menambahkan satu bentuk keramahan pribadi: “Jika suatu saat Anda, Pak Toni, atau Jatmika ingin mengunjungi Tiongkok, Anda boleh tinggal di mana pun yang saya miliki. Anggap saja itu bentuk kecil dari sambutan saya.”

Sementara percakapan itu berlangsung, Jatmika mengakses terminal kontrol untuk memeriksa status tim yang masih berada di luar laboratorium. Nama Billy muncul dalam daftar yang belum kembali. Ia meminta konfirmasi pada Ny. Tien, yang segera memberi laporan: “Satu peserta dari tim Billy mengalami kelelahan fisik. Saya akan melakukan pemulangan manual sekarang.”

Di dalam ruang teleportasi yang disterilkan, artefak lampu kembali memancarkan cahaya keemasan. Bola-bola listrik bermunculan, seolah menganyam geometri waktu dan ruang. Suara statis meningkat, lalu dengan satu kilatan petir yang tajam namun bersih, seluruh anggota tim Billy muncul di tengah lingkaran energi.

Jatmika segera masuk ke ruang pemulihan, memeriksa satu per satu peserta dengan senter dan sensor biometrik. Tak ada tanda-tanda bahaya. Namun seperti prosedur biasa, ia bertanya, “Apakah ada kejadian yang perlu dicatat selama di gua?”

Seorang pemandu dari tim Billy menjawab, “Ada seorang peserta yang menyentuh batu biru yang menonjol dari dinding. Ia mencoba mencabutnya, mungkin mengira itu artefak. Tapi batu itu licin, dan ia kehilangan pijakan. Terjatuh dari ketinggian dua meter. Pergelangan kakinya terkilir.”

“Apakah sudah ditangani?”

“Sudah. Ia menerima perawatan dasar, dan kini tampak pulih. Ia bahkan bersikeras tidak mau merepotkan tim medis.”

Jatmika mencatat laporan itu. Dalam benaknya, insiden itu bukan sekadar kecelakaan, melainkan sinyal bahwa gua-gua teleportasi mungkin memiliki mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti—mekanisme yang bukan hanya merespons alat, tapi juga niat.

Ia memandang artefak lampu yang kini telah padam, menyadari bahwa setiap kilatan bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga momentum sejarah yang sedang bergerak maju.


---
---

Tim pendamping dari kelompok Fahmi, Sherly, Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal belum juga kembali ke laboratorium. Sebagian besar telah berhasil dipulangkan, namun tujuh kelompok masih tertahan di titik teleportasi mereka masing-masing. Di ruang kendali, Ny. Tien melaporkan progres dan menatap layar monitor dengan ekspresi serius. “Tim Fahmi masih aktif di titik 50,” ucapnya.

Tanpa ragu, Jatmika menjawab, “Kirim saya ke lokasi mereka.”

Dengan seberkas cahaya keemasan dan suara petir yang menggelegar, tubuh Jatmika menghilang dari ruangan.

Ia tiba di koordinat titik 50, sebuah gua yang terletak di kawasan Nevados Ojos del Salado, Chili—gunung berapi tertinggi yang masih aktif di permukaan bumi. Dingin dan hening menyelimuti suasana, namun tak lama suara percakapan ramai terdengar dari lorong bagian dalam gua. Ia melangkah lebih dalam dan menemukan pemandangan yang tak kalah mencengangkan: ukiran di dinding menggambarkan seratus ksatria dalam posisi bersujud kepada Raja Alam Wardana—penguasa pertama kerajaan Mythopia, sebagaimana tercatat dalam teks-teks kuno yang belum seluruhnya diterjemahkan.

Artefak lampu di gua ini pun berbeda. Lebih besar, tersusun dari mineral berstruktur kristalin dan batuan jamrud yang tampak seperti menyimpan energi dalam lapisan geologisnya sendiri. Sebuah teknologi kuno yang seolah berasal dari masa yang belum dikenali sejarah.

Jatmika mendekati kerumunan peserta. Kebanyakan dari mereka bukan hanya pengunjung biasa, melainkan akademisi lintas disiplin: arkeolog, ahli sejarah kuno, dan pakar linguistik dari berbagai negara.

“Fahmi, kenapa belum kembali?” tanyanya dengan nada ramah.

Fahmi mendekat, wajahnya dipenuhi semangat namun juga keraguan. “Mereka sangat antusias. Beberapa mencoba menelusuri ruang-ruang gua lebih dalam, mencari pusat energi teleportasi. Tapi kami belum menemukannya. Gua ini menyimpan banyak teka-teki.”

Jatmika mengangguk. “Saya akan coba membuka pintunya.”

Ia berjongkok dan mulai menggambar segel kuno di lantai batu berpasir magnet, mengikuti metode yang sebelumnya berhasil di titik lain. Garis-garis simetris terbentuk, tapi tidak terjadi apa pun. Tidak ada suara, tidak ada pergerakan mekanis. Hening.

Beberapa peserta yang memperhatikan dari kejauhan mulai tertawa pelan. Salah satu dari mereka, seorang profesor dari Universitas Osaka, mendekat dan menunjuk pada satu bagian.

“Anda lupa satu titik di ujung segel,” katanya sambil tersenyum.

Satu titik. Detail sekecil itu. Jatmika menarik napas pelan, lalu menambahkan titik tersebut.

Hampir seketika, gemuruh lembut terdengar dari kedalaman gua. Batu-batu perlahan bergerak, menciptakan celah dan lorong menuju cahaya. Pintu keluar gua terbuka, dan cahaya dari langit Andes yang dingin menyinari wajah-wajah peserta.

Sorak gembira terdengar dari seluruh penjuru gua. Beberapa dari mereka bahkan memeluk satu sama lain—bukan hanya karena pintu terbuka, tapi karena menyaksikan langsung bahwa sejarah bukan hanya tulisan mati, melainkan perangkat aktif yang masih bisa berfungsi, bahkan bereaksi.

Namun, di tengah kegembiraan itu, ada satu kenyataan yang luput dari perhatian mereka. Gua ini berada di kawasan gunung api aktif. Walau tak menunjukkan gejala erupsi, tetap ada risiko tersembunyi. Beberapa peserta, setelah menyadari hal ini, memilih untuk segera kembali ke dalam gua.

Tanpa perlu aba-aba, tim dengan cepat bersiap untuk kembali.

Setelah satu per satu peserta kembali ke titik teleportasi, Ny. Tien mengaktifkan sistem pemulangan. Dalam pancaran cahaya keemasan yang membelah udara, seluruh tim dan peserta ditarik kembali ke laboratorium pusat.

Di ruang pemulihan, Jatmika kembali memeriksa kondisi peserta. Tak ada yang terluka, tak ada insiden serius, namun dalam pikirannya, ada satu pelajaran yang terus berulang: bahwa bahkan teknologi yang paling mutakhir sekalipun masih tunduk pada detail-detail kecil—titik pada segel, perubahan suhu, atau tempat yang salah di waktu yang nyaris tepat.

Dan dalam titik-titik kecil itulah sejarah, kesalahan, dan kemajuan terus berulang.


---
---

“Fahmi, kau sudah bekerja dengan baik. Sekarang saatnya istirahat dan nikmati jamuan makan bersama rombongan,” ujar Jatmika sambil menepuk bahu asistennya.

Setelah memastikan timnya dalam keadaan baik, ia menoleh ke arah Ny. Tien di ruang kendali.

“Ny. Tien, kirim saya ke titik selanjutnya. Tim Sherly belum kembali.”

“Baik. Koordinat terkunci. Lokasi: Gunung Monte Pissis, Argentina. Titik ke-60.”

Dalam sepersekian detik, cahaya kuning keemasan muncul, membungkus tubuh Jatmika. Dengan semburat listrik statis di udara dan dengung resonan dari ruang hampa, ia menghilang.

Ketika Jatmika tiba, suhu di sekelilingnya lebih rendah dari biasanya. Ia berdiri di bibir sebuah gua yang tampak terbentuk dari perpaduan proses vulkanik dan mekanisme yang tidak sepenuhnya alami. Struktur lorong gua melingkar, seperti terancang oleh logika yang menggabungkan estetika dengan fungsi.

Ia mulai berjalan, mengikuti jejak langkah yang samar di debu gua. Lorong itu seakan-akan memutar dirinya, memisahkan waktu luar dan waktu dalam. Setelah beberapa menit berjalan, ia tiba di sebuah ruangan besar.

Ruangan itu... luar biasa.

Di tengahnya berdiri sebuah meja batu bundar, tidak seperti meja kerajaan dalam sejarah manusia—tetapi lebih menyerupai dewan waktu, tempat keputusan tidak dibuat untuk hari ini, melainkan untuk berabad-abad ke depan. Di tengah meja tertanam sebuah permata berkilau, dengan bias warna yang sulit dijelaskan—bukan hanya merah, tapi merah yang seakan hidup. Di sekelilingnya, berdiri kursi-kursi batu dengan sandaran yang tinggi, masing-masing dihiasi batu ruby seukuran kepalan tangan.

Di atas setiap kursi, terasa seolah ada bayangan tak kasatmata. Sejarah. Atau mungkin... ingatan.

Para peserta dari tim Sherly sedang berkumpul di sekeliling meja, berdiskusi dengan penuh semangat tentang keajaiban kerajaan Mythopia. Bagi mereka, ini bukan sekadar eksplorasi ilmiah, melainkan penemuan yang menyentuh batas antara mitos dan realitas. Kerajaan yang tidak tercatat di buku sejarah manapun, namun hadir begitu nyata di hadapan mereka.

Jatmika mendekati Sherly.

“Bagaimana kalian bisa menemukan ruangan ini?” tanyanya pelan.

Sherly menoleh, matanya masih penuh takjub.

“Seseorang dalam tim berhasil memecahkan pola ukiran di artefak dinding. Gambar itu seperti teka-teki simbolik—begitu disusun dengan benar, dindingnya bergeser, dan pintu ini terbuka.”

Ia lalu berbisik, hampir seperti anak kecil yang sedang curhat.

“Meja itu... kau tahu kan, betapa mahalnya jika dijual?”

Jatmika tersenyum lebar, memainkan candanya dengan nada serius.

“Air liurku saja hampir menetes, melihat batu ruby sebesar itu di sandaran kursi. Tapi setiap batu yang kita ambil bisa jadi satu kunci yang hilang. Mungkin batu itu tidak hanya berharga secara materi.”

Sherly mengangguk. Ia paham.

“Sudah saatnya kita kembali,” ujar Jatmika. “Kita terlalu lama di sini. Tempat ini… bukan hanya gua. Ini warisan. Dan warisan bukan untuk dimiliki, tapi untuk dijaga.”

Sherly memanggil timnya. Dengan enggan, mereka meninggalkan kursi dan meja batu yang seperti menunggu sesi dewan selanjutnya. Jatmika menekan komunikator di pergelangan tangannya.

“Ny. Tien, lokasi aman. Siap untuk pemulangan.”

Beberapa detik kemudian, ruang gua dipenuhi kilatan emas. Suara listrik menyambar ringan, dan para peserta satu per satu menghilang dari tempat itu, kembali ke laboratorium pusat.

Gua kembali sunyi.

Dan Jatmika tahu, di balik kesunyian itu, sejarah masih menunggu untuk ditemukan—bukan untuk dijual, tapi untuk dimengerti.


---

---
Laboratorium pusat perlahan mulai lengang, namun layar holografik di ruang kendali masih menampilkan lima titik yang aktif. Kelompok Sharon, Lisa, Aska, Hafiez, dan Novrizal belum kembali.

"Masih ada lima kelompok lagi, Ny. Tien?" tanya Jatmika sambil mengenakan baju astronot dengan emblem perusahaan di dada.

"Ya. Titik terakhir menunjukkan stabil, tapi tidak bergerak ke arah portal pulang. Kemungkinan mereka terlalu fokus dengan apa pun yang mereka temukan," jawab Ny. Tien.

Jatmika mengangguk pelan. “Kirim saya ke titik Sharon dulu. Kita jemput mereka satu per satu.”

Dengan cahaya keemasan dan ledakan elektromagnetik kecil, tubuh Jatmika lenyap dari ruang kendali.


---

Ia tiba di dalam gua yang terletak di kawasan Altai, Mongolia. Cahaya redup dari artefak lampu memantulkan kilatan merah dari sesuatu yang besar dan berkarat.

Sharon sedang berdiri dengan helm terbuka, berbicara dengan peserta dari Tiongkok yang menunjuk ke arah dinding batu.

“Sharon,” panggil Jatmika.

Sharon menoleh. “Pak Jatmika! Anda harus lihat ini. Mereka menemukan zirah besi tua. Ukurannya sangat tidak biasa, hampir dua meter tingginya.”

Jatmika mendekat. Di sana, dalam pelukan batu dan lumut, tergeletak setelan zirah penuh dengan ornamen berbentuk spiral dan pola-pola geometris. Di sampingnya, pedang besar dengan bilah berwarna abu kehijauan tertancap separuh ke lantai gua.

“Apakah ini senjata manusia?” tanya Jatmika setengah kepada Sharon, setengah kepada dirinya sendiri.

“Saya tidak yakin. Tapi menurut peserta dari tim kami, ukiran pada zirah ini mirip simbol yang pernah ditemukan di Dinasti Xia, tapi dengan struktur logam yang jauh lebih maju,” jawab Sharon.

Seorang peserta dari Beijing mendekat. “Kami menyebut ini ‘besi yang tak mungkin’. Logam seperti ini tak bisa ditempa dengan teknologi saat itu. Tapi benda ini ada, lengkap, dan nyata.”

Jatmika memandangi zirah itu sekali lagi. Di kepalanya muncul pertanyaan: apakah teknologi masa lalu lebih kompleks dari yang selama ini diyakini, atau apakah sejarah telah kehilangan terlalu banyak fragmen untuk didekonstruksi secara linier?

“Waktu kita terbatas. Catat dan dokumentasikan dengan pemindai, kita harus kembali.”

Sharon mengangguk. Jatmika memberi sinyal ke Ny. Tien. Dalam kilatan cahaya, mereka semua menghilang.


---

Titik kedua: Lembah Nubra, Himalaya Barat.

Lisa dan timnya sedang berkumpul di sekitar sebuah batang kayu berukir yang berdiri tegak di tengah ruangan batu. Di ujung tongkat itu tertanam batu merah delima yang berdenyut pelan, seolah menyimpan napas.

“Tongkat ini beresonansi dengan artefak lampu saat kami mendekatkannya. Saya rasa ini adalah alat pengarah... atau semacam kunci,” kata Lisa sambil menunjuk fluktuasi medan magnetik di layar tablet transparannya.

“Apakah ada teks?” tanya Jatmika.

“Satu kalimat. Ditulis dalam bahasa Sanskrit kuno: ‘Yang membawa cahaya, biarlah ia mengarahkan jalan raja.’”

“Batu ini menyimpan energi. Seperti artefak, tapi lebih terfokus. Mungkin dulu digunakan untuk memanipulasi sistem teleportasi.”

Lisa memutar tongkat itu ke arah dinding. Sekilas, artefak lampu menyala lebih terang.

Jatmika menghela napas. “Hebat. Tapi kita harus pulang. Waktunya hampir habis.”


---

Titik ketiga: Guiana Highlands, Amerika Selatan.

Aska duduk bersila di depan sebuah altar batu. Di atas altar, tergeletak pedang dengan bilah tipis, melengkung seperti sabit. Cahaya dari artefak memantulkan kilau ungu dari sisi bilahnya.

“Ini bukan hanya senjata,” kata Aska tanpa menoleh. “Ini... instrumen musik. Kami coba mengetukkan pelan ke batu, dan menghasilkan resonansi seperti suara dawai.”

Peserta lain mengangguk. “Pedang ini tampaknya punya dua fungsi: membelah udara dan membelah suara. Salah satu peserta mencatat notasi musik di dinding yang sepertinya berhubungan.”

Jatmika mengangkat pedang itu pelan. Pedangnya ringan—nyaris tidak berbobot. Ia memikirkan sejarah bukan hanya sebagai kumpulan data, tetapi sebagai simfoni yang tercatat dalam benda-benda.

“Kita harus kembali,” katanya.


---

Titik keempat: Gua bawah tanah di Kepulauan Faroe.

Hafiez dan timnya tengah membuka sebuah lemari batu. Di dalamnya: puluhan senjata. Namun tak satu pun terbuat dari logam yang dikenal. Ada bilah seperti kaca yang tak bisa dipatahkan, dan tombak kayu dengan inti bercahaya dari dalam.

“Senjata... atau simbol kekuasaan?” tanya Jatmika.

“Saya rasa keduanya. Tapi bukan untuk perang. Mereka terlalu halus. Mungkin ini... tanda hierarki,” jawab Hafiez.

“Ambil dokumentasi. Simpan koordinat. Kita harus pulang.”


---

Titik kelima: Terowongan berlapis kristal di bawah Laut Hitam.

Novrizal berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh artefak melayang yang berpendar.

“Mereka aktif ketika kami bernyanyi,” ucap Novrizal pelan. “Salah satu peserta membaca puisi kuno, dan tiba-tiba semua artefak ini bergetar. Mereka... merespons suara manusia.”

Jatmika mendekat. “Apakah ini semacam sistem keamanan atau komunikasi?”

“Entahlah. Tapi saya tahu satu hal: kita baru menyentuh permukaan sejarah ini.”


---

Kembali di laboratorium, seluruh tim telah berkumpul. Artefak-artefak tercatat, data terkumpul. Di layar holografik, jam sistem menunjukkan 00:00. Batas waktu telah habis.

Ny. Tien mematikan sistem teleportasi untuk hari itu.

Jatmika berdiri diam di tengah ruangan, menyerap keheningan yang kini memenuhi laboratorium.

Mereka semua membawa pulang lebih dari sekadar temuan. Mereka membawa pulang pertanyaan—pertanyaan tentang siapa yang menciptakan semua itu, untuk siapa, dan mengapa mereka memilih untuk meninggalkannya.

Teknologi teleportasi telah membuka pintu. Tapi yang ada di baliknya bukan hanya tempat baru. Melainkan sejarah yang hidup, menunggu untuk dibaca kembali.


---
.
---

Evaluasi Setelah Teleportasi: Sebuah Laporan Tak Lengkap

Di tengah aroma sate ayam, wedang jahe yang masih mengepul, dan riuh rendah percakapan dari berbagai bahasa, para pemandu dan peserta duduk melingkar dalam suasana yang tak sepenuhnya santai. Mereka sedang menyantap makan siang, namun di balik sendok dan gelas, ada kesadaran kolektif: sesuatu telah berubah. Bukan hanya tentang apa yang telah ditemukan, melainkan tentang apa yang belum mereka mengerti.

Jatmika berdiri perlahan, menyampaikan pengumuman dengan suara yang tenang tapi cukup untuk menghentikan percakapan.

“Dari total seratus titik teleportasi yang telah diprogram, kita hanya berhasil menjangkau titik ke-64. Sisanya, tiga puluh enam titik, akan dijadwalkan ulang sebulan mendatang. Ini bukan keputusan sepihak, melainkan hasil dari kalkulasi sistem teleportasi yang saat ini mulai menunjukkan gejala kelebihan muatan.”

Ny. Tien menambahkan, sambil memproyeksikan grafik data ke layar lengkung transparan di atas meja makan: deteksi kelelahan neurologis ringan pada mayoritas peserta, fluktuasi sinaptik selama proses teleport, dan pembentukan residu energi tak dikenal di titik-titik teleport tertentu.

"Teleportasi ditunda, bukan dihentikan," ujar Ny. Tien singkat, seolah mengingatkan bahwa bahkan mesin pun butuh istirahat.

Namun, kabar baik pun hadir, menyusup di antara jeda logika dan kelelahan fisik. Perusahaan, yang awalnya hanya digerakkan oleh idealisme sekelompok ilmuwan Indonesia, kini mendapatkan suntikan investasi sebesar 1 triliun rupiah. Dana itu akan digunakan untuk mendirikan kantor cabang di berbagai negara. Tapi lebih dari sekadar ekspansi bisnis, kantor-kantor ini akan menjadi simpul distribusi dari artefak paling misterius yang mereka miliki: lampu teleportasi.

“Dan ternyata,” kata Jatmika sambil menyesap wedang jahe, “lampu itu bukan sekadar perangkat perpindahan spasial.”

Ia memandang ke arah Novrizal, yang mengangguk pelan sebelum menjelaskan.

“Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—baik dari struktur material maupun dari sumber tenaganya. Beberapa peserta dari Tiongkok menduga teknologi ini bukan berasal dari bumi. Dan jika benar, maka ini bukan lagi eksplorasi, tapi perbatasan baru dari pemahaman umat manusia.”

Sementara itu, diskusi berkembang dari ruang logika ke ruang mitologi.

Billy mengungkapkan: “Beberapa peserta mendapati peti mati yang diduga tempat peristirahatan para ksatria Mythopia. Ada tameng suci. Ada keris Raja Isidore. Tapi... apa yang mereka jaga?”

“Dan lebih penting lagi, apa yang mengalahkan mereka,” ujar Sharon, dengan nada yang setengah bercanda, setengah bertanya pada sejarah yang tak tercatat.

“Dalam kisah para peserta dari Tiongkok,” sambung Sherly, “disebut bahwa dahulu ada seratus ksatria Mythopia. Tak terkalahkan. Namun di akhir sejarah, hanya tersisa sepuluh. Yang lain hilang. Lenyan.”
Ia berhenti sejenak. “Mungkinkah mereka dikalahkan oleh kekuatan dari aliansi Majapahit sendiri? Atau oleh entitas yang bahkan tidak mengenal waktu seperti yang kita pahami?”

Di tengah percakapan serius itu, Hafiez menyuarakan keprihatinan yang lebih praktis. “Kalau teleportasi diundur sebulan penuh, bagaimana jika para peserta tidak menerima?”

Jatmika mengangguk, sudah memikirkan hal itu. “Kita siap mengembalikan dana mereka sepenuhnya. Tapi lebih penting dari semua itu: kita harus memastikan barang-barang berharga yang ditemukan tetap aman. Gua-gua itu bukan sekadar museum. Mereka adalah sistem yang hidup. Dan seperti semua sistem yang hidup—ia bisa rusak, atau lebih buruk lagi, ia bisa dilukai.”

Ia menatap semua yang hadir, suaranya lebih rendah kali ini.

“Ada ruangan-ruangan yang belum kita buka. Ada segel yang belum kita baca. Mungkin ada kebenaran yang belum siap diungkap. Tapi kalau kita tidak berhati-hati, bisa jadi bukan hanya penemuan yang hilang. Tapi juga kepercayaan.”

Di luar jendela laboratorium, langit berwarna jingga keemasan. Senja. Waktu transisi. Batas antara terang dan gelap.

Sama seperti teleportasi itu sendiri.


---