Chapter 34 Dalam Bayang-Bayang Gunung Kelud
Di tengah hutan purba Gunung Kelud, di mana pepohonan tua menjulang seperti menara penjaga zaman, mereka berhenti untuk beristirahat. Udara di sini berat dengan hawa magis, seakan bumi masih menyimpan bisikan-bisikan gelap yang tertinggal. Rakajati, sang penjelajah akar, menempelkan telapak tangannya ke tanah, menyatu dengan getaran-getaran yang mengalir di bawah.
***"Wahai akar-akar yang telah melihat ribuan musim,"*** bisiknya dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh yang tumbuh dari tanah, ***"adakah sisa kegelapan Ki Surya Dahana masih bersembunyi di sini?"***
Namun, hutan itu diam. Tidak ada bisikan jahat, tidak ada jejak hitam yang merayap di antara lumut. Bahkan markas suku Pinrang—yang sebelumnya berdiri megah seperti benteng duri—kini telah lenyap tanpa bekas, seakan ditelan oleh bumi sendiri. Ki Surya Dahana telah menghilang, melesat jauh ke persembunyian barunya di lereng Gunung Sinabung, di mana kabut abadi menyembunyikan rahasia-rahasia yang tak ingin ditemukan.
### **Desa di Bawah Naungan Gunung**
Sementara itu, dalam perjalanannya, Isidore tiba di sebuah desa tersembunyi di kaki Gunung Kelud. Desa itu indah, dipenuhi pohon mangga yang berbuah lebat, rambutan yang manis, dan durian yang harum semerbak memenuhi udara. Warga desa mengenalinya—kisah sang pemuda yang berhasil mengusir suku barbar telah tersebar dari mulut ke mulut, dibumbui dengan keajaiban dan keberanian.
***"Sang Penakluk Bayangan!"*** seru seorang tua berjanggut putih, tangannya mengacungkan buah ranum sebagai persembahan. ***"Kami telah menunggumu. Makanlah, minumlah, dan beristirahatlah, sebab jasamu takkan kami lupa."***
Malam itu, desa berpesta. Api unggun menjilat langit, tarian tradisional diiringi tabuhan gendang mengalun, dan cerita-cerita heroik diceritakan kembali dengan penuh semangat. Isidore duduk di tengah mereka, menikmati hidangan lezat dan tawa hangat. Namun, di tengah keramaian, suara Raja Alam Wardana bergema dalam pikirannya—suara itu dalam dan berwibawa, seperti guntur yang bergulung dari balik gunung.
***"Jangan terlena, Isidore,"*** bisiknya. ***"Tugasmu belum usai. Ksatria Mythopia masih menunggumu di Bukit Kemuning, di mana cahaya dan bayangan bertarung tanpa henti. Persiapkan dirimu, sebab perjalanan yang sesungguhnya baru akan dimulai."***
Isidore mengangguk pelan. Matanya menatap ke arah timur, di mana Bukit Kemuning berdiri, disinari cahaya keemasan yang tak seperti cahaya matahari biasa. Di sanalah Penguasa Ksatria Cahaya menanti—dan takdir yang lebih besar memanggil.
---
Chapter 35 "Di Bawah Cahaya Bulan Purnama dan Bisik Batu Purba"
Malam itu, bulan purnama menggantung di langit bagai lentera raksasa dari Valinor, menyinari jalan berliku yang membentang dari Desa Gunung Kelud menuju timur. Pesta telah usai, nyanyian dan tawa warga pun mereda, digantikan oleh desau angin malam yang berbisik di antara daun-daun jati. Dalam kesunyian itu, Isidore dan para ksatrianya menyelinap pergi, jejak mereka dihapus oleh kabut malam yang merayap seperti makhluk hidup, seakan alam sendiri membantu mereka menghilang tanpa bekas.
Tidak lama kemudian, mereka tiba di **Bukit Kemuning**—sebuah tempat yang terpancar kemuliaan sejak zaman pertama. Bukit ini memancarkan cahaya sendiri, batu-batuannya berkilauan seperti terkandung nyala bintang di dalamnya, memantulkan warna emas dan ungu ketika disentuh sinar matahari. Bukit ini bukan sekadar tanah tinggi, melainkan bagian dari **Bukit Barisan**, rangkaian pegunungan yang konon dibangun oleh para Maiar kuno sebagai benteng melawan kegelapan.
Rakajati, penjelajah akar yang bijak, menunjuk ke sebuah batu raksasa yang memancarkan cahaya keemasan. **"Lihatlah,"** bisiknya, suaranya bergetar penuh kagum. **"Batu ini telah menyimpan cahaya sejak sebelum manusia pertama berjalan di bumi."**
Isidore mengangkat keris pusakanya, **"Nyai Sanghyang Api"**, dan seketika bilah keris itu beresonansi dengan bebatuan sekitar. Cahaya ungu membentang dari mata keris, menyatu dengan kilau emas dan pirus dari batu-batu Bukit Kemuning, seakan mereka saling mengenal dalam bahasa yang terlupakan.
Lalu, tanpa peringatan, bumi di bawah mereka bergerak. Sebuah **gua tersembunyi** terungkap di balik batang pohon purba berusia sepuluh ribu tahun—pohon yang mungkin telah menyaksikan kelahiran gunung-gunung. Mereka melangkah masuk, dan di dalamnya, gua itu berkilauan seperti istana khayalan. **Dindingnya dipenuhi jamrud yang berdenyut, intan yang bernyawa, dan permata yang memancarkan cahaya sendiri.**
Di tengah ruangan, di atas sebuah batu altar yang disinari cahaya emas dari celah langit-langit gua, terbaring seorang ksatria. **Surya Wikrama**, Ksatria Cahaya yang telah lama tertidur dalam mimpi abadi. Pakaiannya terbuat dari untaian batu mulia yang berkilauan, matanya tertutup, namun dari balik kelopaknya terlihat cahaya keemasan yang berdenyut seperti nyala api suci.
Raja Wardana, suaranya bergema dari dimensi yang tak terlihat, berseru:
***"Bangunlah, Surya Wikrama! Cahaya Mythopia memanggilmu! Berdirilah dan berbaktilah sekali lagi!"***
Keris Isidore bergetar hebat, cahaya ungunya membanjiri gua, menyentuh tubuh sang ksatria. Perlahan, **Surya Wikrama membuka matanya—dua mata yang bersinar seperti dua matahari kecil, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan zaman lampau.**
Dia bangkit, permata di pakaiannya berkilauan seperti bintang-bintang yang baru lahir. Dengan suara yang dalam dan megah, seperti gema dari masa silam, dia berseru:
***"Aku telah bermimpi terlalu lama. Tapi kini, aku terjaga."***
Dia menundukkan kepala, tangan kanannya mengepal di dada dalam hormat ksatria kuno.
***"Dengan darah cahaya yang mengalir dalam nadiku, aku bersumpah setia kepada Raja Mythopia, Isidore. Perintahkanlah, dan aku akan menjadi pedangmu, perisaimu, dan cahayamu di kegelapan."***
Udara di gua itu bergetar, seakan alam sendiri mengakui sumpah ini. Batu-batu mulia di dinding gua berpendar lebih terang, seakan merayakan kebangkitan sang Ksatria Cahaya.
Dan di luar gua, Bukit Kemuning mulai bersinar lebih terang dari sebelumnya, seakan memberitahu dunia bahwa **sebuah kekuatan purba telah bangkit kembali.**
Chapter 36 Kisah Surya Wikrama, Ksatria Cahaya dari Mythopia
Di bawah sinar bulan perak yang menyentuh puncak-puncak gunung bagai tangan para Valar, berdiri seorang ksatria yang namanya telah terukir dalam nyanyian zaman—**Surya Wikrama Sang Pembawa Fajar**. Tubuhnya tinggi menjulang bak pohon mallorn di tanah Eldamar, kekar bagai benteng batu yang tak tergoyahkan, dan parasnya rupawan laksana pangeran dari garis keturunan Maiar. Matanya, dua biji bintang yang tak pernah padam, memancarkan cahaya suci yang mampu menyembuhkan luka-luka jasmani maupun rohani, sekaligus mengusir makhluk-makhluk kegelapan yang bersembunyi di balik bayang-bayang dunia.
**Raja Alam Wardana**, yang bersemayam di antara awan dan gunung, mengisahkan keagungan sang ksatria di zaman keemasannya:
*"Dengarkanlah, wahai Isidore, dan ketahuilah bahwa Surya Wikrama pernah memimpin seratus ribu prajurit cahaya dalam sebuah perang besar melawan Suku Gurnaka—rasa terkutuk yang berjalan dalam kesenyapan, membunuh dengan pisau-pisau mereka yang tak bersuara, dan menjarah desa-desa tak berdosa bagai serigala lapar di malam tanpa bulan."*
*"Di bawah panji-panji Mythopia yang berkilauan, Surya Wikrama menggerakkan pasukannya dengan kebijaksanaan yang hanya dimiliki oleh para pemimpin sejati. Setiap misi yang diembannya berbuah kemenangan, dengan nyawa prajurit yang gugur dapat dihitung dengan jari satu tangan. Ia bukan hanya seorang panglima, melainkan juga tabib bagi jiwa-jiwa yang terluka, menyembuhkan dengan sentuhan cahaya yang mengalir dari tangannya."*
*"Ketika pasukannya bergerak, kabut pagi menyelimuti langkah-langkah mereka, dan matahari selalu bersinar di belakang mereka, seakan Anor sendiri memberkati perjalanan mereka. Tidak ada kegelapan yang mampu bertahan di hadapan Surya Wikrama, tidak ada musuh yang sanggup melawan ketika ia mengangkat pedang cahayanya, **Caladthor**, yang berpendar seperti fajar yang abadi."*
Kini, setelah berabad-abad tertidur dalam gua suci Bukit Kemuning, sang Ksatria Cahaya telah bangkit kembali. Dan dunia, yang perlahan-lahan mulai diliputi bayang-bayang hitam, sekali lagi akan merasakan kehadirannya.
---
Surya Wikrama mengerjapkan matanya yang masih memancarkan sisa-sisa cahaya zaman keemasan, lalu memandang sekeliling dengan tatapan yang dalam. **"Berapa abad telah berlalu sejak perang terakhir?"** suaranya bergema seperti guntur jauh, **"Mengapa kalian semua masih bersemangat seperti embun pagi, sementara aku merasakan beratnya ribuan musim dalam tulang-tulangku?"**
Pangreksa, sang Penjaga Zaman, melangkah maju dengan jubahnya yang berkilauan seperti es di bawah sinar bulan. **"Waktu bergerak berbeda bagi mereka yang tertidur dalam pelukan magis, Surya Wikrama. Tapi bukan saatnya meratapi usia—marilah kita bercerita sambil berjalan menuju tujuan kita berikutnya: Bukit Halilintar."**
**"Maksudmu... dekat Gunung Salak?"** Surya Wikrama mengerutkan kening, cahaya di matanya berkedip seperti kilat yang tertahan. **"Tempat di mana Guntur Wisesa, Sang Penakluk Petir, berkuasa?"**
Rakajati, yang selama ini bersandar pada tongkat akar hidupnya, menghela napas. **"Aku letih, Surya Wikrama. Perjalanan darat terlalu panjang untuk tubuh yang baru saja terbangun dari mimpi abadi. Tidakkah kau masih ingat ilmu perpindahan tempat yang kita pelajari dahulu?"**
Surya Wikrama tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya. **"Untung kau mengingatkanku, Rakajati. Tapi aku membutuhkan kekuatan dari Keris Suci sang Raja—Isidore, semoga artefak lampu kuno kita masih berfungsi."**
Dengan gerakan penuh presisi, Surya Wikrama merentangkan jari-jarinya, membentuk segel di udara. Sebuah pola cahaya emas terukir di telapak tangannya, dan seketika, batu-batu di dinding gua bereaksi. Mereka bergetar, lalu bergerak saling mendekat, menyusun diri seperti puzzle raksasa hingga membentuk sebuah **kotak portal** yang berpendar.
Isidore mengangkat keris pusakanya, **Nyai Sanghyang Api**, dan seberkas sinar keemasan menyembur, menyatu dengan cahaya Surya Wikrama. Energi mereka membesar, melingkupi semua ksatria yang hadir—tiba-tiba, **sebuah bola petir liar muncul dari pusaran magis**, menggeram seperti makhluk hidup yang hendak melahap mereka semua.
**Raja Alam Wardana** muncul dari dimensinya, auranya yang biru keperakan membentang seperti perisai. **"Berlindung!"** serunya, suaranya menggema melintasi ruang dan waktu. **"Semoga kita selamat dari amukan petir kuno ini!"**
Dunia di sekitar mereka bergetar, dan dalam sekejap—**ZAP!**—mereka tersedot ke dalam pusaran energi. Batu-batu di Gua Bukit Kemuning berdentum, lalu segalanya menjadi gelap.
---
**Di Dalam Gua Gunung Salak**
Udara di sini beraroma logam dan ozon, seperti setelah badai petir yang dahsyat. Dinding-dinding gua dipenuhi batu kristal yang menyala dalam cahaya emas, berdenyut seperti jantung hidup. Perlahan, batu-batu itu mulai bergerak lagi, menyusun diri membentuk **kotak portal** yang sama.
Kemudian—**ZAP!**—kilat menyambar ruang kosong di tengah gua, dan dari dalam ledakan cahaya itu, Isidore dan para ksatria muncul kembali, sedikit terhuyung namun utuh.
Surya Wikrama mengamati sekeliling, lalu tersenyum. **"Gunung Salak... rasanya seperti kembali ke rumah."**
Di kejauhan, gema suara Guntur Wisesa mulai terdengar, dan langit di luar gua mulai menggelap.
**Petualangan mereka yang sesungguhnya baru saja dimulai.**
---
Gua yang semula gelap gulita kini berpendar dalam cahaya biru mistis, memancar dari kristal-kristal kuno yang tertanam di dinding bagai bintang-bintang yang terjebak dalam batu. Surya Wikrama mengulurkan tangannya, jari-jarinya melukis segel berkilau di udara—sebuah lingkaran rune yang berputar perlahan sebelum menempel pada batu biru terbesar di hadapan mereka. Dengan gemuruh rendah, pintu batu raksasa itu pun terbuka, mengungkap jalan keluar menuju **Bukit Halilintar**.
Isidore memandang takjub pada sistem gua yang rumit ini. **"Apakah kau yang membangun ini semua, Surya Wikrama?"** tanyanya, suaranya bergetar kagum.
Raja Alam Wardana menjawab dengan suara yang bergema seperti gema dari masa silam, **"Tidak, Isidore. Gua ini adalah mahakarya seratus ksatria Mythopia kuno—para arsitek sekaligus penyihir yang menguasai seni bangunan dan magis tingkat tinggi. Mereka menciptakan ini di zaman ketika gunung-gunung masih muda dan sihir mengalir bebas di dalam tanah."**
Begitu mereka melangkah keluar, **Bukit Halilintar** menyambut mereka dengan kemarahan langit. Awan hitam bergulung-gulung seperti lautan yang murka, dan halilintar menyambar-nyambar tanpa henti, menghujani bumi dengan kilatan cahaya putih-biru. Para ksatria segera membentuk **perisai kasat mata**, sebuah tameng energi yang berkilau seperti gelembung kaca, melindungi mereka dari amukan petir.
**Bayu Anggana**, sang Pengendara Angin, menunjuk ke arah pusaran angin raksasa yang berputar di kejauhan. **"Lihatlah! Pusaran itu akan segera menjadi badai petir berjalan. Kita harus bergegas sebelum ia mencapai puncak kekuatannya!"**
**Rakajati** mengerutkan kening, tongkat akarnya menunjuk lurus ke arah pusaran angin itu sendiri. **"Tempat Guntur Wisesa berada tepat di pusatnya."**
**Bhra Anuraga** mengumpat, **"Sialan! Mengapa orang-orang kuat selalu memilih tempat paling berbahaya sebagai rumah?"**
Tanpa pilihan lain, mereka berlari menuju pusat badai, dihempas angin yang menderu seperti suara naga yang mengamuk. Berkat kekuatan **Bayu Anggana**, angin yang awalnya mengancam justru mengangkat mereka, membawa mereka melayang seperti daun di tengah pusaran, hingga akhirnya mendarat di depan **sebuah gua megah yang dijaga oleh dua patung singa dari kayu hitam legam—kayu yang lebih keras dari baja, tak termakan zaman.**
Surya Wikrama kembali melukis segel di udara, dan dengan suara berderit, pintu kayu hitam itu terbuka ke atas, mengungkapkan **ruangan dalam gua yang dipenuhi dengan lemari-lemari senjata berlapis emas, baju besi yang berkilauan dengan permata kuno, dan artefak-artefak yang memancarkan kekuatan tak dikenal.**
Di tengah ruangan, di atas **batu altar yang dipenuhi ukiran petir**, terbaring **Guntur Wisesa—Sang Penakluk Petir**. Tubuhnya besar dan berotot, kulitnya berkilau seperti tembaga yang tersambar halilintar, dan rambutnya yang keperakan terurai bagai awan badai.
Surya Wikrama mengulurkan tangannya, mengeluarkan **cahaya emas** yang menyentuh dahi Guntur Wisesa. **"Bangunlah, saudara lama. Mythopia memanggilmu sekali lagi."**
Lambat laun, **Guntur Wisesa membuka matanya—dua bola biru listrik yang berkilat-kilat.** Ia bangkit, dan suaranya menggelegar seperti guruh, **"Siapa yang mengganggu tidurku?"**
**Raja Alam Wardana** maju, auranya memancar dengan wibawa. **"Guntur Wisesa, hadapilah Isidore—Raja Baru Mythopia. Maukah kau berbakti kembali, seperti yang pernah kau lakukan di zaman keemasan?"**
Guntur Wisesa memandang Isidore, dan untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, **wajahnya menunjukkan gestur terpesona.** Tanpa ragu, ia berlutut, tangan kanan mengepal di dada. **"Dengan petir yang mengalir dalam nadiku, aku bersumpah setia padamu, Raja Isidore. Perintahkan, dan halilintar akan menjadi senjatamu."**
Di luar gua, langit yang tadinya mengamuk tiba-tiba tenang, seakan alam sendiri mengakui **kembalinya sang Penguasa Petir ke dunia fana.**
---
Jauh di sebelah utara, di mana kabut abadi menyelimuti puncak **Gunung Sinabung** seperti selubung para pelaku kejahatan kuno, **Ki Surya Dahana** bersembunyi di balik kegelapan yang hidup. Ia telah lolos dari pelacakan Isidore, jejaknya dihapus oleh angin yang membisikkan dusta, dan bayangannya menyatu dengan malam. Namun, kekuatannya telah tercerai-berai sejak kejatuhan **Sangar Mahadipa**, sekutunya yang perkasa. Kini, ia tahu bahwa ancaman baru telah bangkit—**Isidore, sang Raja Mythopia, telah bersatu dengan Surya Wikrama, Sang Ksatria Cahaya, dan Guntur Wisesa, Penguasa Halilintar.**
Dengan gigih, Ki Surya Dahana merencanakan balas dendam. Ia membutuhkan sekutu baru—**pasukan yang tidak hanya kuat, tetapi juga haus akan kekacauan.**
### **1. Suku Gurnaka – Para Pembunuh Senyap**
Di kedalaman **Hutan Berdarah**, di mana pepohonan tumbuh dengan akar yang menggenggam tengkorak, berdiam **Suku Gurnaka**. Mereka adalah pembunuh yang bergerak tanpa suara, seperti bayangan yang terlepas dari pemiliknya. Pedagang yang melewati wilayah mereka lenyap tanpa jejak, dan penduduk desa sering diculik untuk **dijadikan tumbal bagi Dewa Bulan**, yang mereka sembah dengan pisau-pisau berlapis racun.
**"Bergabunglah denganku,"** bisik Ki Surya Dahana kepada pemimpin mereka, **Orkaghor si Bercak Darah**, **"dan kau akan memiliki tawanan sebanyak yang kau mau—darah untuk dewa kalian, emas untuk kantong kalian."**
### **2. Suku Rakayan – Para Pencuri Terpelajar**
Di reruntuhan **Kota Terkutuk Argondir**, yang pernah menjadi pusat pengetahuan sebelum dihancurkan oleh keserakahan sendiri, **Suku Rakayan** mendiami istana-istana yang setengah runtuh. Mereka adalah kaum terpelajar yang dibuang dari kerajaan-kerajaan besar karena mencuri bukan hanya harta, tetapi juga **naskah-naskah magis terlarang**. Kini, mereka mengoleksi barang-barang mewah dan ilmu hitam yang tak seharusnya dibuka kembali.
**"Ilmu kalian akan berguna,"** bujuk Ki Surya Dahana kepada **Lorendis si Licik**, pemimpin mereka. **"Bergabunglah, dan aku akan memberikan kalian buku-buku kuno dari perpustakaan Mythopia yang hilang."**
### **3. Suku Jalarang – Pembunuh Bayaran Tanpa Tanda**
Di **Lembah Sunyi**, di mana angin berbisik nama-nama orang yang akan mati, **Suku Jalarang** melatih anak-anak mereka menjadi pembunuh sejak lahir. Mereka tidak memiliki rumah, tidak memiliki raja—hanya **kontrak dan bayaran**. Setiap korbannya meninggal tanpa luka yang terlihat, hanya **seulas senyum aneh di bibir mereka, seakan mereka melihat sesuatu yang indah sebelum ajal datang.**
**"Bayaran kalian akan berlipat ganda,"** janji Ki Surya Dahana kepada **Mhezzrak si Pisau Tak Terlihat**. **"Isidore dan para ksatria Mythopia adalah target yang layak untuk keahlian kalian."**
### **4. Suku Murkalana – Pemuja Darah dan Kekuatan Terlarang**
Di **Gua Tergelap di Bawah Sinabung**, **Suku Murkalana** menyembah entitas kuno yang haus darah. Mereka adalah aliran sesat yang percaya bahwa **dengan mengorbankan nyawa, mereka dapat membangkitkan kekuatan purba yang terpendam**. Ritual mereka mengerikan—**tulang-tulang berserakan di lantai gua, dan dindingnya ditulisi simbol-simbol yang membuat mata berdarah jika dilihat terlalu lama.**
**"Dengan darah Isidore dan ksatria Mythopia, dewa kalian akan bangkit,"** goda Ki Surya Dahana kepada **Vorthax si Gila Darah**. **"Mereka adalah tumbal terbaik yang pernah kalian dapatkan."**
### **Persiapan Perang di Sinabung**
Kini, dengan **sekutu-sekutu baru yang haus kekerasan**, Ki Surya Dahana membangun kekuatannya di **Kawah Hitam Sinabung**, tempat di mana asap beracun dan lava dingin membentuk benteng alam yang tak tertembus.
**Ia tahu perang akan datang.**
**Ia tahu Isidore semakin kuat.**
**Tapi ia juga tahu—kegelapan selalu punya lebih banyak sekutu daripada yang terlihat.**
Di bawah sinar bulan yang pucat, **bayang-bayang mulai bergerak.**
---
Di kedalaman **Hutan Terkutuk Sinabung**, di mana akar-akar pohon menjalar seperti urat nadi bumi yang terluka, **Ki Surya Dahana** mengadakan pertemuan rahasia yang mustahil—mengumpulkan para pemimpin suku yang saling membenci dan saling curiga. Tak mudah mempersatukan mereka, sebab masing-masing menyimpan dendam dan ketakutan akan tipu muslihat Ki Surya Dahana sendiri. Namun, satu janji berhasil memikat mereka:
***"Bawalah seorang tumbal—prajurit terkuat dari sukumu—dan aku akan mengubahnya menjadi ksatria dengan kekuatan yang melampaui manusia biasa."***
### **Malam Persekutuan Gelap**
Ketika **bulan purnama** menggantung tepat di puncak langit, memancarkan cahaya pucat yang seakan enggan menyentuh tanah, para pemimpin suku pun datang dengan tumbal mereka:
- **Orkaghor si Bercak Darah** dari Suku Gurnaka membawa seorang pembunuh yang matanya telah dijahit tertutup, agar tak melihat kematiannya sendiri.
- **Lorendis si Licik** dari Suku Rakayan mempersembahkan seorang pencuri ulung yang tangannya dipotong karena mencuri harta pemimpinnya.
- **Mhezzrak si Pisau Tak Terlihat** dari Suku Jalarang menghadirkan pembunuh bayaran terbaiknya, yang kini terbelenggu rantai perak.
- **Vorthax si Gila Darah** dari Suku Murkalana membawa seorang dukun muda yang dikhianati oleh ritualnya sendiri.
Mereka semua duduk bersila dalam **lingkaran kematian**, di tengahnya tergeletak **peti mati kuno** berukir tulisan-tulisan yang membuat kepala pusing jika dilihat terlalu lama. Konon, peti itu berisi jenazah **seorang ksatria Mythopia yang hilang dalam Perang Bayang-Bayang**.
### **Ritual Dimulai**
Ki Surya Dahana, mengenakan jubah hitam yang berdesis seperti ular, memotong leher **kambing hitam**—binatang yang dikutuk sejak zaman purba. Darahnya yang pekat dipercikkan ke arah masing-masing suku, membentuk **tanda segel di dahi mereka**.
***"Dengan darah ini, ikatan kita terajut!"***
Lalu, ia mengukir **tanda gelap** di tanah dengan pisau ritual, sambil melantunkan kata-kata dalam bahasa yang telah lama dilupakan. Segera, **angin berdesir aneh**, **anjing-anjing hutan melolong ketakutan**, dan **burung hantu berteriak seakan memperingatkan sesuatu yang mengerikan**.
Ki Surya Dahana mengenakan **topeng setan** dari kayu eboni, matanya yang asli tertutup, tetapi dari balik topeng itu, **cahaya merah menyala**. Ia mulai menari—gerakannya kaku dan tidak wajar, seperti boneka yang ditarik oleh benang tak terlihat.
***Udara semakin panas.***
***Awan hitam bergulung-gulung.***
***Petir menggelegar tanpa henti.***
Para pemimpin suku mulai gelisah. **Orkaghor meremas kapaknya, Lorendis memegang jimat anti-sihir, Mhezzrak mengasah belatinya, dan Vorthax… tersenyum lebar, menikmati kegilaan yang akan datang.**
### **Kebangkitan Sang Ksatria Terkutuk**
Tiba-tiba—***KRAAAK!***—**sebuah petir menyambar pohon besar di tepi lingkaran**, membakarnya dalam sekejap. Beberapa pemimpin suku terkejut, ada yang berteriak, ada yang langsung menghunus senjata.
Ki Surya Dahana tak bergeming. Tangannya menunjuk ke tanah, dan **segel yang digambarnya tiba-tiba menyala merah darah**.
***"Bangkitlah, wahai yang telah lama tidur!"***
Peti mati itu **bergetar**, lalu **terbuka dengan suara mengerikan**. Dari dalamnya, **sesosok mayat bangkit**—tubuhnya kering, tapi matanya... **matanya menyala biru pucat**.
Satu per satu, mayat itu berjalan ke setiap tumbal. Begitu ia mendekat, **api biru tiba-tiba menyambar tubuh tumbal**, membakar mereka dalam seketika—tetapi bukan menjadi abu, melainkan **menjadi bahan bagi sesuatu yang baru**.
**Otot-otot tumbal meleleh, lalu membungkus tulang sang mayat.**
**Daging tumbuh kembali, kulit meregang, dan wajah-wajah baru terbentuk.**
Dalam beberapa detik, **lima ksatria baru berdiri**—tubuhnya lebih tinggi, matanya bersinar, dan aura kegelapan mengelilingi mereka seperti kabut.
### **Ikrar Kesetiaan**
Ki Surya Dahana berhenti menari. Topengnya perlahan retak, lalu jatuh berdebum. **Matanya masih merah, tapi kini penuh kemenangan.**
***"Peganglah tangan ksatria barumu,"*** perintahnya. ***"Darahmu telah menyatu dengan kekuatan mereka. Mereka adalah perisaimu, pedangmu… dan pengawal setiamu."***
Para pemimpin suku, awalnya ragu, kini **terpesona**. Mereka merasakan **energi gelap mengalir** saat menyentuh para ksatria baru itu.
**Orkaghor tertawa kasar.**
**Lorendis tersenyum licik.**
**Mhezzrak menguji ketajaman pisau di lengan ksatria barunya—tidak terluka.**
**Vorthax menjilat darah yang menetes dari mata ksatria miliknya.**
***"Mythopia tidak akan tahu apa yang menimpa mereka,"*** bisik Ki Surya Dahana, sambil menatap ke arah selatan—tempat Isidore dan sekutunya bersiap.
**Malam itu, sebuah persekutuan kegelapan lahir.**
**Dan pertumpahan darah yang lebih besar sedang menanti.**
---
Seiring berjalannya waktu, **kekuatan persekutuan gelap di Hutan Sinabung tumbuh bagai kanker di jantung dunia**. Kabar buruk menyebar dari mulut ke mulut di antara para pedagang yang berani melintasi jalur utara—**pencurian yang tak terjelaskan, penculikan di malam hari, dan desis-desis suara aneh dari balik pepohonan yang seolah hidup untuk memangsa**.
Hingga pada suatu hari, kabar ini sampai ke telinga **Sri Maharaja Hayam Wuruk**, penguasa agung Majapahit yang berkilau bagai matahari di singgasana emasnya.
***"Bagaimana mungkin kegelapan berani merangkak di bawah naungan panji-panji kerajaanku?"*** gertak sang Raja, suaranya menggelegar di balairung istana bagai guntur yang murka. Tangannya mengepal erat di atas tongkat kebesaran yang diukir dari taring naga purba. ***"Aku tidak akan membiarkan bayang-bayang ini terus mengancam rakyatku!"***
Maka, dikeluarkanlah **Sayembara Kerajaan**—sebuah maklumat yang dibacakan di setiap sudut pasar dan persimpangan jalan:
***"Siapa pun ksatria yang berhasil menangkap atau menumpas gembong penjahat di Hutan Sinabung, akan dinikahkan dengan Putri Rajapadmi, Sang Permata Majapahit, serta dianugerahi harta kekayaan yang cukup untuk membeli tujuh kerajaan kecil!"***
---
### **Pengumuman di Pasar Agung**
Di **Pasar Agung Majapahit**, di mana aroma rempah-rempah bercampur dengan gemerisik sutra, seorang **Juru Bicara Kekaisaran** berdiri di atas mimbar yang dihiasi ukiran garuda. Suaranya lantang membelah keriuhan pasar:
***"Dengarkanlah, wahai para ksatria dan pemberani! Demi titah Sri Baginda Hayam Wuruk, yang berkilau laksana Dewa Surya..."***
Seketika, ribuan orang **berlutut dalam hening**, termasuk para pedagang dari negeri seberang yang tak memahami bahasa, namun paham betul akan wibawa sang Juru Bicara.
Saat pengumuman usai, seorang ksatria tinggi tegap dengan **tombak bersayap** di punggungnya melangkah maju. **Pandika**, namanya—seorang prajurit ulung yang matanya tajam bagai elang dan bekas luka di pipinya bercerita tentang seratus pertempuran.
***"Aku, Pandika, akan membersihkan hutan itu dari kotoran yang mengganggu!"*** serunya, suaranya bergetar penuh keyakinan.
Juru Bicara itu mengamatinya dengan seksama, lalu berkata dengan nada rendah yang hanya terdengar oleh Pandika:
***"Keberanianmu patut diacungi jempol, wahai Pandika. Tapi ketahuilah—yang kau hadapi bukan sekawanan pencuri biasa. Mereka adalah persekutuan terkutuk yang dipimpin oleh Ki Surya Dahana, penyihir hitam yang bahkan bayangannya bisa membunuh. Pergilah kau cari Isidore, sang Pengembara dari Kerajaan Mythopia. Hanya dia yang pernah bertarung langsung dengan kegelapan semacam ini."***
Mata Pandika berkilat. **Nama Isidore**—seperti legenda yang dihembuskan angin malam—telah sampai ke telinganya.
***"Di mana aku bisa menemukannya?"*** tanya Pandika.
***"Carilah di tempat di mana petir menari tanpa awan, dan cahaya berkelahi dengan bayangan,"*** jawab sang Juru Bicara, **matanya berbinar seperti tahu sesuatu yang tak terucap.**
---
### **Pencarian Akan Dimulai**
Pandika menganggap, lalu berbalik meninggalkan pasar. Langkahnya mantap, **seolah bumi sendiri membuka jalan untuknya**.
Di kejauhan, **Gunung Sinabung mengeluarkan asap hitam**, seakan mengejek tantangan yang baru saja diterima.
Sementara itu, di suatu tempat di antara bukit dan lembah, **Isidore** mungkin sedang duduk di tepi sungai, tanpa sadar bahwa nasib telah mulai merajut benang merah menuju pertemuannya dengan Pandika...
Dan **pertempuran terbesar mereka akan segera dimulai.**
---