Chapter 15 Lampu Jatmika
Jatmika berdiri di tengah ruang presentasi, di hadapannya sebuah artefak cahaya yang tidak biasa—sebuah lampu hasil rekonstruksi dari inspirasi peninggalan masa lalu. Bentuknya ramping, hampir seperti lentera kuno, namun bersinar dalam tiga spektrum warna yang tak lazim: emas, merah darah, dan ungu tua. Di dalam cahayanya, terselip pola-pola geometris yang jika diperhatikan lebih lama, menyerupai simbol kejayaan sebuah peradaban yang hilang.
“Lampu ini,” ujar Jatmika, suaranya datar namun mantap, “diciptakan untuk dua fungsi utama: penerangan dan pembacaan arah bintang. Cahaya merahnya menyaring gelombang cahaya gangguan, ungu membangun kontras langit, dan emas sebagai penyeimbang visual.”
Bagian teknisi mengangguk. “Tidak ada anomali. Strukturnya stabil, sirkuit cahaya terintegrasi dengan baik.”
Namun pertanyaan tidak berhenti di teknis.
“Bagaimana dengan biayanya?” tanya Kepala Keuangan.
Tim operasional dan keuangan saling bertukar pandang, lalu menatap pancaran cahaya dari lampu itu—seolah warna-warna yang terpancar membungkam nalar praktis mereka.
“Tak ada keberatan,” ujar bagian operasional. “Kita sarankan harga jual satu juta.”
Bagian pemasaran menyela, “Harga itu terlalu ambisius. Kita butuh angka yang lebih... bersahabat. Mungkin lima ratus ribu?”
“Kompromi,” ujar Kepala Keuangan. “Enam ratus ribu. Itu masih di bawah nilai keindahan yang dipancarkan.”
Jatmika mengangguk. “Enam ratus ribu. Kita mulai produksi.”
Sesaat setelah ia menutup catatan digitalnya, seorang sekretaris mengetuk dan berkata, “Pak Toni menunggu Anda. Jaket astronot dari Tiongkok sudah tiba.”
Jaket itu bukan sekadar perlengkapan pelindung. Dirancang dari material elastis, tahan api, dan anti-arus listrik, ia menyatu sempurna dengan tubuh Jatmika. Di dalamnya tertanam chip yang akan menjadi kunci dari eksperimen berikutnya.
“Nanti malam, saat bulan purnama,” kata Jatmika sambil menatap langit dari jendela kaca, “kita coba lagi teleportasi. Jika berhasil, ini bukan sekadar pencapaian teknologi. Ini akan menjadi lembaran baru dalam sejarah perusahaan. Mungkin juga sejarah manusia.”
---
Chapter 16 Eksperimen Kedua
Malam itu, bulan purnama menggantung rendah dan sempurna, seakan menunggu sesuatu terjadi. Udara terasa bersih, hampir tanpa gesekan, seolah alam pun memilih diam. Gedung perusahaan telah sunyi. Seluruh karyawan telah pulang. Hanya Toni dan Jatmika yang masih tinggal di ruang laboratorium, ditemani oleh keheningan dan bayangan panjang dari cahaya bulan yang menembus jendela kaca. Di kejauhan, dua petugas keamanan berjaga di gerbang, tidak menyadari bahwa sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah akan dimulai.
Di meja pusat, Toni menyusun peralatan terakhir. Di hadapan mereka: seperangkat alat yang tak terlihat luar biasa, namun menyimpan ide yang hampir melampaui batas kemungkinan.
“Komputer ini akan memantau tekanan darah dan suhu tubuh,” ujar Toni, tenang namun tidak bisa menyembunyikan ketegangannya. “Kita perlu memastikan tubuh tetap dalam ambang kestabilan saat proses berlangsung.”
Di sampingnya, sebuah layar menyala menampilkan antarmuka yang lembut namun kompleks. Program kecerdasan buatan itu bernama Nyonya Tien — bukan sekadar sistem pengatur, tapi entitas yang dirancang untuk membaca, menyesuaikan, dan memediasi antara tubuh manusia, kecepatan cahaya, serta medan elektromagnetik bumi dan satelit bulan.
“Dia yang akan membuka jalur,” kata Toni. “Dan memilih titik tujuan: koordinat di Gunung Lawu. Lebih tepatnya, di dalam gua yang tertandai dalam peta peninggalan kuno.”
Jatmika menatap artefak lampu yang digunakan sebagai jangkar — berbeda dari prototipe yang ia buat. Bentuknya lonjong, dan pada ujungnya terukir simbol-simbol yang belum berhasil diterjemahkan. Di antara cahaya bulan dan pantulan monitor, artefak itu tampak lebih hidup dari benda mati.
Toni menyambungkannya ke rangkaian utama. Hubungan antara komputer, artefak, dan sistem listrik membentuk satu kesatuan, seperti tubuh dengan sarafnya. Pada pukul 21.59, layar menunjukkan tanda kesiapan.
Nyonya Tien mulai menghitung. Di antara baris kode dan grafik, terdengar suara lembut, hampir menyerupai bisikan:
“Sinkronisasi stabil. Jalur transmisi dibuka. Titik tujuan: terkonfirmasi.”
Artefak lampu memancarkan cahaya emas, hangat namun asing. Ruangan berdenyut pelan, seperti menarik napas.
Jatmika menoleh pada Toni.
“Tapi... bagaimana kita kembali jika artefak lampu hanya ada di sini?”
Toni baru membuka mulut ketika dentuman listrik memotong udara — bukan seperti ledakan, tapi seperti realitas yang merekah.
Tubuh mereka bukan lagi tubuh, tapi informasi, data, cahaya.
Dan dalam sepersekian detik, mereka tidak lagi berada di laboratorium.
Mereka berdiri di dalam sebuah gua yang sunyi di lereng Gunung Lawu. Batu-batu di sekeliling mereka memantulkan gema napas pertama setelah transisi. Masih hidup. Masih utuh.
Tapi di antara udara dingin dan kegelapan yang membeku, ada satu kenyataan yang belum mereka pecahkan: artefak lampu tetap tinggal di laboratorium.
---
Chapter 17 Gua di Gunung Lawu
Ledakan cahaya emas memecah keheningan gua.
Kilatan listrik menyambar dinding-dinding batu purba, memantulkan bayangan yang tidak stabil. Seketika, kawanan kelelawar mengepakkan sayap mereka dalam kegelisahan naluriah, beterbangan melintasi langit-langit gua, menjauhi pusat fenomena.
Di titik itu, di mana batu dan cahaya bertabrakan, dua sosok muncul — perlahan, seperti disusun kembali dari partikel-partikel cahaya dan memori. Toni dan Jatmika berdiri, tubuh mereka masih bergetar oleh transisi yang tak kasat mata, namun jelas terasa dalam saraf.
Di hadapan mereka, satu artefak lampu lainnya — bukan milik laboratorium, bukan buatan manusia zaman sekarang — berdiri di atas landasan batu. Cahaya emasnya menyala pelan, namun dari ujung-ujungnya memancar simbol-simbol yang terus berubah bentuk. Tidak ada bahasa yang dapat menerjemahkan simbol-simbol itu secara langsung, tapi keduanya tahu bahwa pola itu bukan kebetulan.
“Artefak ini,” kata Toni perlahan, suaranya terpantul di lengkung gua, “aku menemukannya bertahun-tahun lalu. Tertutup batu dan tanah. Ada lukisan di dinding, warna-warna yang tidak seharusnya bertahan dalam waktu ribuan tahun... namun tetap jelas.”
Ia menunjuk salah satu sisi gua. Terlihat bayangan pudar—figur manusia terangkat oleh cahaya dari langit, menghilang dalam pancaran simbol.
“Awalnya aku kira ini hanya mitos. Sebuah dongeng kuno yang terlampau fantastis untuk dipercayai. Tapi saat aku mulai mengamati artefak ini… ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan secara logis. Reaksinya terhadap suhu. Kemampuannya menyimpan energi, seolah ia menyadari kehadiran kita.”
Ia menoleh ke Jatmika.
“Ini yang jadi titik awal obsesiku. Bagaimana jika ini bukan sekadar benda? Bagaimana jika... ini adalah warisan teknologi yang tertinggal? Bukan dari masa depan, bukan pula dari luar angkasa, tapi dari masa lalu yang tak tercatat.”
Jatmika menatap cahaya artefak itu. Ia tidak lagi merasa kagum seperti saat pertama kali menciptakan versi tiruannya. Ia merasa kecil. Seolah benda itu — dan semua yang mengelilinginya — telah lama menunggu untuk ditemukan kembali.
---
Chapter 18 Waktu yang Terbatas
Jatmika menggerakkan bahunya, jaket astronot itu terasa semakin berat, bukan oleh massa, tapi oleh suhu yang terus meningkat di dalam gua.
“Aku merasa gerah,” ujarnya pelan, suaranya teredam di balik helm. “Bisakah aku melepas ini sebentar?”
Toni, yang sedang memeriksa panel sinyal di pergelangan tangannya, segera menoleh. “Jangan,” katanya tegas. “Jaket itu bukan sekadar pelindung suhu. Lapisan dalamnya dilengkapi filter penangkal racun berbasis karbon aktif. Aku yakin gua ini memiliki sistem pertahanan… entah biologis, entah kimiawi.”
Jatmika mengerutkan alis. “Kamu berbicara seolah gua ini adalah mesin.”
Toni mengangguk. “Mungkin memang begitu.”
Ia melangkah ke dinding gua yang dihiasi lukisan purba. Terdapat gambar seorang raja mengangkat sebilah keris bercahaya, sementara para ksatria duduk mengelilingi meja batu. Tidak ada tulisan, hanya bentuk—namun dengan presisi yang mencurigakan. Keris itu dipahat dari batu kristal, dan meskipun usianya tak terhitung, permukaannya masih mampu memantulkan cahaya dengan kejernihan nyaris optik.
“Lihat,” kata Toni. “Pahatan ini… bukan buatan tangan biasa. Pantulan cahayanya terlalu presisi. Ada kemungkinan material ini mengandung struktur mikro yang belum kita pahami.”
Cahaya di dalam gua tidak datang dari senter atau alat bantu, tapi dari batu biru di sepanjang dinding. Cahaya itu lembut, menyebar merata, seolah gua memahami konsep iluminasi.
“Sayangnya,” lanjut Toni, “kamera tidak bisa dibawa ke sini. Medan elektromagnetik di sekeliling artefak mengganggu semua perangkat optik. Aku sudah mencoba beberapa kali. Semuanya gagal.”
Ia memandang kembali ke jaket Jatmika.
“Kita harus perbaiki desain jaket ini. Harus ada sistem pencatatan internal—visual, suhu, medan energi. Bukan hanya untuk perlindungan, tapi sebagai alat dokumentasi. Kita tidak boleh bergantung pada peralatan konvensional di tempat yang menolak konvensi.”
Jatmika menatap sekeliling. Meski berada di dalam gua, ia tidak merasa gelap. Batu-batu biru itu memberikan cukup cahaya untuk membaca, menatap, bahkan merenung.
Namun di belakang cahaya itu, ia bisa merasakan waktu bergerak. Perlahan tapi pasti, menuju batas enam puluh menit yang telah ditentukan oleh Nyonya Tien. Dan tak satu pun dari mereka tahu apa yang akan terjadi jika mereka belum siap saat waktu itu habis.
---
Chapter 19 Peta yang Hilang dari Waktu
“Kita masih punya waktu empat puluh menit sebelum Nyonya Tien menarik kita kembali,” kata Toni, suaranya tetap tenang namun ada ketegangan halus di dalamnya. “Aku akan menelusuri lebih dalam lagi. Mungkin masih ada artefak lain yang belum aktif.”
Jatmika mengangguk, lalu menghela napas pelan. Jaket astronot yang membungkus tubuhnya terasa semakin berat. Setiap langkah seperti ditahan oleh gravitasi ganda, seolah gua ini tidak hanya menarik massa tubuhnya, tetapi juga seluruh pikirannya.
“Lucu,” gumamnya sambil menatap ke bawah. “Baju ini dirancang untuk berjalan di ruang hampa… tapi sekarang aku memakainya di tempat paling sesak yang pernah kukunjungi.”
Keringat merembes dari pelipisnya, terperangkap di dalam lapisan jaket yang tak bersirkulasi. Panas di dalam gua tidak berasal dari api, tapi dari sesuatu yang lebih halus—radiasi energi yang belum dikenali, seperti kehangatan dari masa lalu yang tidak pernah mati.
Jatmika tiba-tiba teringat dirinya yang berusia sembilan tahun, menatap gambar satelit di ensiklopedia tua dan membayangkan dirinya melayang di atas bumi. Sekarang, ia memang menjadi seorang "astronot" — meski tanpa peluncuran, tanpa orbit, dan tanpa bintang. Hanya dirinya, terperangkap di dalam gua batu, dengan satu-satunya cahaya berasal dari sistem pencahayaan kuno yang tak bisa dijelaskan.
Toni menghentikan langkahnya. Di depannya, sebuah artefak lampu menyala perlahan, memancarkan proyeksi cahaya ke dinding batu.
Simbol-simbol membentuk garis, lengkungan, dan area yang luas. Sebuah peta—atau sesuatu yang menyerupainya.
“Apakah ini… peta dunia?” tanya Jatmika, mendekat.
Peta itu tidak sepenuhnya asing, namun ada yang ganjil. Benua-benua yang terlalu besar, garis pantai yang tidak sesuai, dan lautan yang jauh lebih sempit dari yang mereka kenal.
“Aku pikir... ini sebelum lempeng bumi bergerak,” katanya pelan. “Sebelum Kutub Utara mencair, sebelum garis-garis waktu ditetapkan seperti sekarang.”
Ia menelusuri garis-garis itu dengan matanya, dan sebuah pemikiran tumbuh di dalam dirinya: bahwa dunia seperti yang mereka kenal sekarang—adalah versi kedua. Versi yang dibentuk ulang, disusun ulang, dari reruntuhan dunia yang pernah lebih luas, lebih utuh.
Dan seseorang—atau sesuatu—telah menyimpannya dalam memori batu, menunggu untuk ditemukan kembali.
---
Chapter 20 Simbol yang Berulang
Cahaya dari artefak lampu memancar lembut ke dinding gua, memperjelas detail yang sebelumnya tersembunyi. Gambar-gambar mulai muncul dalam urutan yang saling terkait: gunung-gunung tinggi dengan bentuk khas, rumah-rumah kecil tersebar di lembah, sosok manusia, dan hewan yang tidak semuanya dikenali. Tapi ada satu pola yang konsisten—setiap puncak gunung disertai oleh simbol yang sama. Sebuah ukiran melingkar, sederhana namun mengandung struktur logis, seperti notasi dari bahasa yang terlupakan.
Jatmika menunjuk salah satunya. “Simbol ini... muncul di tiap gunung. Apa artinya?”
Toni mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari proyeksi. “Kemungkinannya besar—itu adalah titik teleportasi. Sama seperti gua ini. Ini bukan sekadar peta geografis. Ini adalah peta jaringan.”
“Jaringan?” ulang Jatmika.
“Tempat-tempat yang saling terhubung melalui teknologi teleportasi. Atau mungkin... ritual.” Toni menarik napas. “Aku belum pernah mencobanya. Kita tidak tahu di mana tepatnya gunung-gunung ini berada di dunia modern. Pergeseran benua, perubahan iklim, semua membuat lokasi aktual sulit ditentukan.”
Sebelum Jatmika bisa bertanya lebih jauh, suara sintetis tapi tenang terdengar di helm mereka.
“Waktu tinggal lima menit. Kembali ke titik penjemputan.”
— Nyonya Tien
Peringatan itu seperti detak jam yang mendadak terdengar terlalu keras. Toni memberi isyarat, dan mereka berjalan cepat kembali ke titik awal. Cahaya artefak mulai berdenyut. Tapi kali ini, denyut itu berubah menjadi kilatan listrik yang lebih kasar, tidak stabil.
Gelombang energi menyambar udara. Kilatan menyambar langit-langit gua dan mengenai segerombolan kelelawar, membakar mereka sekejap hingga jatuh berasap ke tanah.
Jatmika menoleh dengan cemas. “Apakah ini normal?”
Toni menggeleng, pelan namun tegas. “Seharusnya tidak. Tidak seperti ini sebelumnya. Mungkin resonansi dari artefak kedua mengacaukan sistem. Atau... kita melewati batas waktu optimal.”
Suaranya tertelan oleh dentuman berikutnya.
“Teleportasi dalam tiga detik,” ucap Nyonya Tien. Suaranya tetap stabil—tenang, seperti tidak menyadari betapa mudah semuanya bisa salah.
Cahaya emas meledak dari pusat artefak, bukan seperti semburan tapi seperti tarikan gravitasi. Dalam sekejap, tubuh mereka kehilangan berat—dan keberadaan—terseret masuk ke dalam kolom cahaya.
Lalu gelap.
Dan setelahnya, cahaya neon laboratorium menyambut mereka kembali. Ruang yang teratur, lantai bersih, dan suara ventilasi biasa. Semua tampak normal, tapi tubuh mereka masih membawa kejang aneh dari frekuensi gua. Jatmika duduk perlahan, menenangkan napasnya.
“Apapun yang terjadi tadi... tidak akan tercatat di sistem,” gumamnya.
Toni menatap artefak lampu yang kini diam di atas meja logam. “Mungkin, tapi ingatan kita mencatatnya.”
---
Chapter 21 Stabilisasi
Di dalam lab, suara mesin kembali mendominasi—datar, mekanis, menenangkan. Cahaya putih dari lampu neon menyapu kulit Jatmika dan Toni yang masih dibungkus setelan astronot. Nyonya Tien segera memulai prosedur pasca-teleportasi.
“Memulai pemindaian biologis.”
Sinar biru halus menyapu tubuh mereka. Prosesnya berlangsung dalam keheningan, hanya sesekali terdengar bunyi klik halus dari lengan pemindai. Hasilnya muncul dalam bentuk grafik dan angka di layar monitor.
“Tidak ditemukan jejak radiasi. Detak jantung dan suhu tubuh berada dalam rentang normal.”
Artefak lampu yang sebelumnya aktif kini padam, permukaannya kembali menjadi logam kusam tanpa kilau atau cahaya.
Toni menatap monitor lain. “Nyonya Tien, tolong catat bahwa kita mendeteksi jejak jaringan teleportasi lainnya, namun lokasinya belum bisa dipastikan.”
“Dicatat. Analisis lanjutan memerlukan waktu dan pasokan daya tinggi. Proses pencarian akan dimulai sekarang.”
“Gunakan saluran daya utama. Prioritaskan akurasi,” tambah Toni.
Sementara itu, Jatmika perlahan melepaskan helm dan membuka segel jaket astronotnya. Udara laboratorium menyentuh kulitnya seperti perayaan kecil—dingin, segar, dan bersih.
Ia mengembuskan napas panjang. “Rasanya seperti kembali menjadi manusia.”
Setelah beberapa saat hening, ia bertanya, “Kalau teleportasi ini bisa distabilkan… apakah bisa kita komersialkan? Sebagai sumber pemasukan untuk perusahaan?”
Toni menatap lantai sebentar, seolah menimbang sesuatu yang belum selesai dibentuk di pikirannya.
“Secara teori, bisa. Tapi komersialisasi teknologi seperti ini... membutuhkan lebih dari sekadar fungsi. Harus ada kepercayaan. Dan sistem yang bisa memetakan seluruh jaringan kuno itu. Kita bahkan belum tahu siapa yang membangunnya.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Tapi ya—dalam kondisi sekarang, kita butuh dana. Penjualan lampu menurun drastis. Kita butuh sesuatu yang bisa mengangkat kembali nama kita.”
Jatmika mengangguk. “Baik. Aku akan mulai menyusun strategi dan narasi pemasaran.”
Ia meraih tasnya, lalu menoleh sebelum keluar ruangan. “Aku pulang dulu. Aku butuh tidur yang panjang dan mimpi tanpa listrik.”
Toni tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum kecil sambil kembali duduk di depan konsol.
“Sementara itu, aku akan tetap di sini. Ada hal-hal yang belum bisa menunggu tidur.”
Dan dengan itu, Jatmika melangkah keluar. Pintu otomatis menutup perlahan di belakangnya, menyisakan Toni, artefak lampu, dan suara dengungan pelan dari Nyonya Tien yang terus bekerja mencari peta dunia yang hilang.
---
Chapter 22 Jeda
Jam menunjukkan pukul 23.30. Jalanan ibu kota mulai menipis dari hiruk pikuk. Cahaya lampu jalan merefleksikan dirinya pada aspal basah, membentuk pola acak yang sesekali terhapus oleh laju kendaraan berat. Truk-truk pengangkut logistik masih berlalu-lalang, suara mesinnya menggeram berat dalam gelap yang lapang.
Jatmika menyalakan motor listriknya—diam tapi bertenaga. Dengan gerakan terlatih, ia menembus arus malam, melaju hingga 100 km/jam. Refleksnya, yang terasah dari masa-masa panjang sebagai ojek daring, masih tajam. Ia menyalip kendaraan-kendaraan besar dengan pola zig-zag presisi, nyaris tanpa jeda, seperti algoritma yang menemukan celah optimal di antara data padat.
Dalam waktu kurang dari 40 menit, ia tiba di Kuningan. Rumahnya terletak di sudut yang tenang, di mana lampu-lampu sudah lebih banyak yang padam.
Warkop Indomie di sebelah rumahnya baru saja menutup order terakhir.
John, pemilik sekaligus koki tunggal malam itu, sedang menurunkan terpal plastik. Jatmika menghampiri dan membantu dengan gerakan yang tidak terburu-buru. Mereka tidak banyak bicara, hanya cukup dengan kebiasaan yang sudah berulang.
“Ramai malam ini?” tanya Jatmika, membuka percakapan sambil menggulung kabel lampu gantung.
“Alhamdulillah, ramai,” jawab John sambil tersenyum lelah. “Tapi aku mulai kewalahan. Boleh kalau kita nambah satu orang lagi?”
Jatmika menimbang sejenak, lalu menjawab tanpa keraguan, “Tambah dua sekalian.”
John menyahut cepat, “Siap, Bos.”
Percakapan itu berakhir begitu saja, tidak perlu perayaan. Ada rasa saling percaya yang tidak membutuhkan validasi.
Jatmika masuk ke rumahnya. Dinding-dinding menyambutnya dengan dingin AC yang masih menyala. Tanpa upacara, ia menuju kamar mandi. Suara air mengalir seperti menghapus sisa-sisa dunia lain dari kulitnya—dunia teleportasi, artefak, dan anomali listrik.
Begitu tubuhnya menyentuh kasur, kesadaran pun terputus. Tidak ada mimpi yang diingat. Hanya jeda. Dan di dunia yang terlalu sering menuntut jawaban, jeda semacam itu adalah bentuk kebebasan paling langka.
---
Chapter 23 Konstelasi
Pagi itu, langit menggantung rendah seperti lembaran logam tua. Suhu dingin menempel di kulit, dan udara membawa listrik statis dari badai yang menjelang. Petir sesekali mencabik awan, suaranya menggetarkan kaca-kaca jendela, seperti peringatan dari langit bahwa sesuatu besar tengah mendekat.
Jam menunjukkan pukul 04.30. Bunyi alarm dari ponsel membelah keheningan. Jatmika terbangun. Tidak terburu-buru, tidak pula lesu. Seperti biasa, ia menyalakan lampu kamar, mandi, lalu sholat Subuh—ritual yang menetapkan keteraturan dalam dunia yang makin tak terprediksi.
Pukul 05.00, ia sudah tiba di warung kecil di samping rumahnya. Warkop Indomie, tempat persinggahan logika dan lapar, tempat manusia kembali menjadi sederhana.
Namun pagi ini berbeda. Dua orang asing telah berdiri di depan warkop, membantu John membuka terpal dan menyiapkan peralatan masak.
“Saya Jatmika,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Kenedi,” jawab yang satu.
“Andi,” sambung yang lain.
“Selamat bekerja. Semoga rezeki hari ini mengalir seperti sungai penuh.” Ucapannya tulus, seperti mantra yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Langit mulai menumpahkan hujan. Petir memahat siluet kota. Jatmika mengenakan jas hujan barunya—dibeli semalam dari pedagang kaki lima—dan berangkat ke kantor dengan motor listriknya yang nyaris tanpa suara, tapi mengiris hujan seperti panah.
Sementara itu, jauh di dalam laboratorium yang masih sunyi, Nyonya Tien menyelesaikan tugasnya. Komputasi kuantumnya telah berhasil memetakan 100 titik teleportasi baru. Beberapa berada di wilayah pegunungan, beberapa di dasar laut, dan ada yang menantang hukum geopolitik—di luar negeri, wilayah yang kini membutuhkan izin lebih dari sekadar teknologi.
Bunyi alarm sistem membangunkan Toni yang tertidur di meja. Cahaya dari layar monitor menyorot matanya yang lelah namun menyala. “Berhasil,” gumamnya, setengah tidak percaya.
“Nyonya Tien,” katanya sambil merapikan rambutnya yang kusut, “buatkan peta dan denah lokasi lengkapnya.”
“Memulai pemodelan spasial… Akurasi 98,3%. Estimasi waktu penyelesaian: dua belas menit.”
Pukul 08.39, Jatmika tiba di kantor. Jas hujan yang melekat di tubuhnya masih meneteskan air, tapi tubuhnya tetap kering. Sebuah keberuntungan kecil yang tidak dia anggap sepele.
Ia segera menuju laboratorium.
Apa yang ia lihat membuatnya terdiam sejenak.
Di layar besar, titik-titik bercahaya tersebar seperti konstelasi rahasia—peta teleportasi dunia yang tersembunyi dari sejarah dan peta resmi.
“Satu ratus titik?” suaranya nyaris tidak terdengar.
Toni mengangguk. “Dan sebagian di antaranya berada di luar batas negara kita.”
Jatmika menatap layar dengan mata yang dipenuhi kemungkinan. “Aku harus mulai menyusun strategi. Ini bukan sekadar penemuan… ini akan mengubah peta perjalanan dunia.”
---
Chapter 24 Tiga bulan telah berlalu.
Dalam rentang waktu itu, segala rencana awal untuk meluncurkan teleportasi ke publik harus ditangguhkan. Bukan karena kegagalan teknis, tetapi karena kebutuhan untuk memahami kedalaman dan kompleksitas sistem yang telah mereka temukan—sistem yang tidak diciptakan oleh tangan modern, melainkan warisan dari peradaban yang tidak tercatat.
Jatmika dan Toni, dua nama yang awalnya hanya tercatat dalam struktur organisasi perusahaan, kini perlahan menjadi arsitek dari sebuah revolusi. Mereka melakukan inspeksi satu per satu terhadap seratus titik teleportasi. Perjalanan itu bukan hanya soal jarak, tetapi juga soal keyakinan: bahwa teknologi ini dapat dipahami, dikendalikan, dan—pada akhirnya—dimanfaatkan secara massal.
Untuk setiap titik, Toni telah memesan seratus baju astronot dari Tiongkok. Keberuntungan logistik menghadiahi mereka tambahan lima puluh unit. Jaket-jaket itu bukan lagi simbol eksplorasi luar angkasa, melainkan lapisan perlindungan terhadap hal-hal yang belum dapat mereka prediksi: perubahan suhu mendadak, energi elektromagnetik yang melonjak, atau sisa-sisa sistem pertahanan kuno yang masih aktif.
Setiap gua teleportasi kini telah dilengkapi fasilitas modern: pendingin udara, sistem audio-visual, dan struktur penyangga yang dibangun tanpa mengganggu bentuk alami gua. Namun tetap, ada satu pertanyaan yang tak terjawab: siapa yang membangunnya? Ketika tidak ada jawaban historis, fiksi menjadi alat yang sah. Maka Jatmika menciptakan Mythopia, sebuah kerajaan yang tidak pernah ada, namun dipercaya cukup untuk menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Dalam dunia yang diatur oleh logika pasar dan narasi publik, kebenaran bisa bersifat fungsional.
Pak Toni, yang kini lebih banyak bekerja di malam hari, menambahkan daya listrik ke pusat kendali dan membeli sebuah generator industri. Teleportasi bukan hanya permainan cahaya dan simbol; ia adalah algoritma yang haus daya, stabilitas, dan sinkronisasi presisi tinggi.
Di sisi lain, Nyonya Tien, kecerdasan buatan yang menjadi tulang punggung sistem, telah diperbarui ke versi teranyar. Sekarang ia mampu melakukan perhitungan spasial dengan ketepatan 0,002 detik waktu absolut. Ia bukan hanya alat, tetapi penjaga tak kasat mata antara dunia lama dan dunia baru.
Departemen HRD telah membuka rekrutmen untuk penjaga di setiap titik gua. Mereka bukan sekadar satpam, tetapi penjaga ambang. Mereka tidak hanya menjaga pintu, melainkan memantau perbatasan antara apa yang telah kita ketahui dan kemungkinan yang masih tersembunyi.
---
Chapter 25 Satu juta surat lamaran membanjiri kotak masuk perusahaan—bukan spam, bukan kecelakaan algoritma, tetapi resonansi dari harapan kolektif. Mereka datang dari penjuru negeri, dari desa terpencil hingga pusat kota yang sibuk. Setiap CV bukan sekadar data pribadi; ia adalah narasi kecil tentang pencarian makna, tentang orang-orang yang ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Manajer HRD, Dian Sastro Wardoyo, awalnya mencoba memilah satu per satu, tetapi cepat menyadari bahwa sistem manual tidak mampu mengimbangi laju aspirasi manusia. Jatmika, dengan matanya yang selalu memandang jauh ke depan, menyarankan satu langkah taktis—undang saja semuanya. Dunia baru yang akan terbentuk dari teleportasi membutuhkan lebih dari sekadar teknisi dan ilmuwan; ia membutuhkan operator, pengatur lalu lintas ruang, pemandu transisi.
Tetapi kenyataan fiskal belum bisa menampung idealisme itu. Pemasukan dari penjualan artefak lampu masih belum menyentuh ambang keuntungan. Pak Toni, diam-diam, telah meminjam dana dalam jumlah besar dari institusi keuangan, menjadikan waktu sebagai taruhan: tiga bulan, cukup untuk menggaji gelombang pertama, dengan keyakinan bahwa masa depan akan menebus risiko ini.
Diah Pitaloka, yang menangani strukturisasi internal, menyarankan pendekatan modular: klasifikasi karyawan berdasarkan jenjang—fresh graduate, middle, senior. Itu bukan hanya soal gaji, tetapi tentang pemetaan tanggung jawab dan arsitektur organisasi yang mampu menopang sistem teleportasi yang kompleks.
Ada pula isu yang lebih manusiawi—kemampuan membaca dan berhitung dasar. Isu yang kecil, tapi bisa menjadi fatal dalam lingkungan kerja yang melibatkan koordinat spasial dan pemahaman instruksi otomatis. Dian, sebagai HRD, mengusulkan seleksi tambahan bagi lulusan baru: bukan untuk menyaring, tetapi untuk melatih agar mereka bisa tumbuh bersama teknologi, bukan tertinggal olehnya.
Jatmika mengangguk setuju. Besok pagi, bukan hanya mereka yang melamar yang akan diuji, tapi juga mereka yang memberi kesempatan. Karena ketika teknologi memungkinkan tubuh untuk berpindah dalam sekejap, pikiran dan etika harus dipersiapkan untuk ikut bergerak ke masa depan.
---
Jatmika melangkah masuk ke laboratorium. Cahaya lampu LED yang dingin memantul di lantai epoksi, menciptakan ilusi steril yang menenangkan. Tapi di sudut ruangan, Pak Toni berdiri dengan kedua tangan di belakang punggungnya, memandangi monitor yang tak menampilkan pesan kesalahan—namun juga tidak memberi jaminan.
“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Jatmika, suara rendahnya mengganggu keheningan yang sarat tekanan.
Pak Toni menoleh dengan senyum yang mencoba menenangkan, namun tak sepenuhnya berhasil menutupi kegelisahannya. “Semua dalam kendali,” katanya pelan. “Hanya sedikit kekhawatiran soal pemadaman dari PLN. Genset cadangan sudah kami uji tiga kali, tapi tetap saja... sistem sekompleks ini bukan hanya tentang energi, tapi juga kesinambungan.”
Jatmika mengangguk pelan. Ia tahu, dalam eksperimen manusia dengan teleportasi, tak pernah ada yang benar-benar 'siap'. Karena lebih dari sekadar memindahkan tubuh, teknologi ini adalah ujian atas kemampuan manusia mengatur kepercayaan: pada listrik, pada sistem, pada satu sama lain.
“Wartawan sudah mulai berdatangan,” lanjut Toni. “Beberapa figur publik dan artis juga akan hadir. Aku khawatir bukan pada mereka, tapi pada apa yang mereka wakili: ekspektasi bahwa semua akan sempurna.”
Jatmika menatap layar di meja—grafik-grafik sistem, status jaringan satelit, log terakhir dari Nyonya Tien. Ia menarik napas dalam. “Hampir satu juta pelamar untuk posisi operator,” katanya. “Mereka akan memadati jalanan pagi ini. Antrian panjang bukan hanya soal logistik, Pak. Itu cermin dari rasa ingin tahu manusia yang tak terbendung.”
Pak Toni tersenyum tipis, kali ini lebih tulus. “Mungkin benar. Ini bukan sekadar peluncuran teknologi. Ini adalah pertanyaan terbuka yang kita ajukan kepada dunia: Apakah kita siap melampaui batas-batas lama kita?”
Di layar, jam digital menunjukkan pukul 07.53. Tujuh menit sebelum dunia berubah—atau setidaknya, berusaha.
---
Chapter 26 Pembukaan. Launching
Peserta undangan mulai berdatangan dari berbagai penjuru kota. Mereka mengenakan kemeja putih, celana hitam, sebagian dengan jeans yang telah disetrika rapi, dan sepatu pantofel yang mengilap. Ada harapan di setiap langkah mereka—harapan akan masa depan yang tak lagi dibatasi oleh jarak.
Di sisi lain, barisan pencari kerja tiba dengan raut muka berbeda: tegang, penuh perhitungan. Mereka membawa map coklat, simbol keinginan untuk memasuki dunia kerja yang semakin asing, bahkan saat dunia fisik kini bisa dilampaui oleh cahaya.
Petugas keamanan tampak kewalahan membedakan antara peserta interview dan tamu undangan peluncuran teleportasi. Satu benda menjadi penentu nasib: map coklat atau surat undangan. Akhirnya, dua pintu disiapkan. Satu untuk mereka yang datang demi masa depan personalnya, satu lagi untuk mereka yang akan menyaksikan sejarah ditulis.
Pukul delapan tepat, aula utama PT Sinar Ultraviolet diterangi oleh cahaya yang seakan lebih tajam dari biasanya, seolah menyadari bahwa pagi ini adalah permulaan dari era baru. Seorang pembawa acara membuka acara dengan suara yang formal namun hangat.
“Para hadirin yang terhormat, selamat datang di PT Sinar Ultraviolet. Terima kasih atas kehadiran Anda dalam peluncuran sistem teleportasi pertama di dunia.”
Tepuk tangan mengalir seperti gelombang awal. Kemudian, dengan langkah tenang dan suara rendah namun tegas, Dian Sastro Wardoyo melanjutkan, “Perusahaan kami menggabungkan pengetahuan modern dengan warisan masa lalu—dengan satu tujuan: memahami kembali arti perpindahan, bukan hanya tubuh, tapi juga kesadaran manusia akan ruang.”
Lampu-lampu aula meredup perlahan. Di atas panggung, Pak Toni berdiri. Ia tak membawa catatan, hanya sebuah artefak lampu kecil di tangannya—seperti lentera dari masa silam.
“Terima kasih telah datang,” ucapnya. “Kami adalah perusahaan teknologi yang berangkat dari hal paling mendasar: lampu. Cahaya. Namun, beberapa tahun lalu, kami menemukan bahwa tidak semua lampu berasal dari kabel dan logika listrik. Beberapa berasal dari masa lalu yang belum kita mengerti.”
Ia menjelaskan, perlahan namun memikat, tentang artefak lampu yang ditemukan—lampu yang tak dapat dipahami secara konvensional. Bentuknya kuno, namun reaksinya terhadap energi sangat presisi. Penelusuran mereka membawa pada satu kesimpulan: artefak ini adalah peninggalan dari sebuah kerajaan yang tak tercatat dalam prasasti manapun—kerajaan Mythopia. Tidak ada teks, tidak ada sejarah tertulis. Hanya gambar, batu bercahaya, dan sistem yang tampaknya terhubung ke dunia yang lebih besar dari pemahaman manusia.
“Dengan bantuan sistem kecerdasan buatan yang kami kembangkan, Nyonya Tien, kami berhasil memetakan 100 titik teleportasi aktif,” lanjut Pak Toni. “Namun, ada batasan: teleportasi hanya bisa dilakukan di malam hari, saat bulan—seperti memberi restu—muncul di langit.”
Senyap sesaat menyelimuti ruangan. Lalu Pak Toni menambahkan, “Kami tidak mengkomersialkan keajaiban. Tapi energi memiliki harga. Maka kami menetapkan biaya Rp 1.000.000 untuk satu kali teleportasi. Biaya ini bukan harga keajaiban, tapi upaya kami menjaga stabilitas sistem ini tetap hidup.”
Ia memberi isyarat. Lampu aula meredup, digantikan layar lebar yang mulai menyala.
“Sekarang, mari kita lihat,” katanya pelan, “bagaimana dunia bisa berubah dalam satu kilatan cahaya.”
Sistem Nyonya Tien memutarkan video—rekaman visual perpindahan manusia yang bukan ilusi sulap, melainkan rekayasa dari ilmu pengetahuan dan warisan leluhur yang telah lama terlupakan.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, batasan jarak tidak hanya dilanggar. Ia dihapuskan—oleh cahaya, oleh tekad, dan oleh ingatan masa lalu yang akhirnya menyala kembali.
---
Setelah pemutaran video usai, suasana aula tetap penuh perhatian. Meski tepuk tangan sempat menggema, semua menyadari bahwa hari ini bukan sekadar peluncuran produk, tapi pergeseran paradigma tentang apa yang mungkin dilakukan oleh manusia.
Pak Toni kembali ke podium, kali ini dengan nada yang lebih ringan.
“Sedikit informasi tambahan,” katanya, “perusahaan kami memang bermula dari hal yang lebih membumi. Kami memproduksi lampu-lampu biasa—untuk rumah, kantor, hingga penerangan jalan. Dan sebagai bagian dari peluncuran ini, kami juga telah memproduksi replika artefak lampu. Tidak memiliki kemampuan teleportasi, tentu saja, tapi dapat menyala hingga 72 jam hanya dengan baterai biasa. Mungkin itu bisa menjadi pengingat, atau sekadar kenang-kenangan dari masa depan yang baru saja dimulai.”
Ia menatap ke barisan wartawan. “Kami membuka sesi tanya jawab.”
Seorang pria dari harian Poskota mengangkat tangan. “Apakah wartawan juga bisa mencoba teleport secara gratis?”
Pak Toni tersenyum tipis, seperti seseorang yang telah mengantisipasi pertanyaan itu.
“Tentu. Rekan kami, Jatmika, akan memandu Anda nanti malam. Tidak akan ada biaya apa pun. Kami percaya: pengalaman pertama seharusnya diberikan, bukan dijual.”
Wartawan lain, dari Cikarang Post, bertanya, “Jika boleh tahu, dari mana artefak ini ditemukan? Dan apakah betul ini teknologi dari masa lalu?”
Toni mengangguk pelan. “Pertanyaan bagus. Kami juga masih mencari jawabannya. Artefak ini ditemukan di dalam sebuah gua yang lokasinya tidak bisa kami buka saat ini. Tapi dari pola ukiran, peta, dan simbol yang kami pelajari, ada indikasi kuat bahwa teknologi ini sudah digunakan oleh sebuah peradaban yang telah lama hilang. Mungkin lebih tua dari catatan sejarah tertulis kita. Tapi karena kurangnya dokumentasi, kami masih dalam tahap spekulasi ilmiah.”
Dari barisan depan, wartawan perempuan dari Kompas Tivi berbicara, “Apakah teknologi ini sudah siap bersaing? Dan apakah hak patennya sudah didaftarkan?”
Pak Toni menjawab dengan singkat, “Kami siap bersaing. Dan ya, proses pendaftaran hak cipta dan perlindungan teknologi sedang berlangsung.”
Sesi tanya jawab ditutup oleh MC, yang kemudian mengumumkan bahwa Pak Toni harus bergeser ke ruang sebelah untuk pertemuan dengan para calon karyawan.
Di luar gedung perusahaan, antrean panjang mengular hingga ke jalan utama. Suara kendaraan bercampur dengan teriakan pedagang kaki lima yang entah dari mana muncul, membentuk pasar dadakan di sepanjang trotoar. Seolah-olah, peluncuran teleportasi bukan hanya menggerakkan tubuh manusia, tapi juga memicu perpindahan spontan ekonomi informal.
Di dalam ruangan perekrutan, para pelamar sudah memenuhi kursi. Mereka mulai mengisi formulir, menjalani tes psikologi, dan wawancara singkat bersama tim HRD dan Pak Toni sendiri. Wajah-wajah penuh harap, sebagian kelelahan karena antrean, tapi tetap menyala oleh kemungkinan baru yang ditawarkan hari ini.
Sementara itu, Jatmika menjalankan peran yang lebih sosial. Ia menyambut wartawan satu per satu, menjawab pertanyaan tambahan, dan memandu mereka berkeliling—dari laboratorium tempat Nyonya Tien bekerja dalam diamnya, hingga ruang produksi lampu-lampu yang kelak menjadi bagian dari sistem teleportasi atau sekadar penerangan rumah-rumah biasa.
Hari itu, batas antara sains, mitologi, dan pasar kerja menjadi kabur. Dan semuanya dimulai dari sebuah cahaya di ujung gua—cahaya yang menolak untuk hanya disebut sebagai "lampu."
---
Di antara ribuan pelamar yang memenuhi halaman kantor PT Sinar Ultraviolet, satu sosok tampak tidak asing. John—rekan Jatmika yang selama ini membantu mengelola warkop Indomie kecil di Kuningan—berdiri di antrean bersama para pencari kerja lainnya. Ia mengenakan kemeja yang disetrika seadanya dan celana hitam yang sedikit memudar warnanya. Tak ada map lamaran mewah atau portofolio digital; hanya secarik kertas dan harapan bahwa dirinya bisa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari warung dan mie instan.
Waktu menunjukkan pukul 12.00 siang. Matahari seperti bersekongkol dengan aspal untuk menguji daya tahan manusia. Terik menyengat langsung ke kulit dan wajah mereka yang berdiri berjam-jam dalam antrean yang tak kunjung menipis. Beberapa menyerah, menyeret langkah pulang dengan kekecewaan yang dibungkus alasan logis: haus, lelah, atau sekadar keyakinan bahwa peluang telah tertutup.
Namun sebagian lagi bertahan. Bukan karena mereka lebih kuat, melainkan karena mereka lebih tidak punya pilihan. Bagi mereka, pekerjaan bukan sekadar tujuan, melainkan kemungkinan akan hidup yang sedikit lebih stabil—mungkin cukup untuk membayar kos, atau menyambung kuliah adik di kampung.
Di dalam gedung, tim HRD bekerja seperti mesin yang baru saja disempurnakan. Lembar-lembar psikotes dibagikan dan dipindai secara otomatis oleh sistem yang dirancang Nyonya Tien. Hasilnya langsung dikirim ke panel evaluasi, sementara wawancara dilakukan oleh staf manusia, agar tetap ada sentuhan empati dalam proses seleksi.
Pak Toni sendiri turun tangan. Tidak semua peserta bisa bertemu langsung dengannya, tapi ada beberapa yang dipanggil ke ruangannya secara langsung. Ia tidak mencari pengalaman yang panjang atau gelar akademik yang mengesankan. Yang ia cari adalah kejernihan berpikir, kemauan belajar, dan satu lagi: rasa ingin tahu yang tidak bisa dibuat-buat.
Beberapa peserta diterima di tempat—bukan karena mereka sempurna, tetapi karena dalam diri mereka ada percikan yang sama seperti yang pernah ia lihat dalam dirinya dulu: keberanian untuk mempercayai hal yang belum terbukti, dan kesediaan untuk membangun masa depan dari reruntuhan masa lalu.
John masih menunggu gilirannya. Ia tidak tahu apakah ia akan diterima, tapi ia tahu satu hal: tak ada satu pun mie instan yang dimasaknya selama ini sia-sia. Karena dari sana ia belajar tentang pelayanan, ketekunan, dan bahwa kesabaran di tengah panas terik kadang bisa mengantarkan seseorang ke pintu-pintu yang tak terduga.
Pukul 15.30. Matahari telah condong ke barat, cahayanya mulai kehilangan ketajaman dan berubah menjadi rona keemasan yang menyelimuti antrean panjang di halaman kantor PT Sinar Ultraviolet. Para pelamar masih berdiri tegak, sebagian bersandar di pagar, sebagian lainnya duduk di trotoar, menggenggam map coklat seakan isinya dapat menentukan masa depan mereka.
Di tengah antrean yang mulai tampak letih, pengeras suara berbunyi. Suara Manajer HRD, tenang namun tegas, menggema di seluruh area:
“Bagi peserta yang belum dipanggil hingga saat ini, harap tinggalkan CV dan resume Anda di meja petugas keamanan. Tim kami akan melakukan seleksi lanjutan dan menghubungi melalui nomor telepon yang tercantum.”
Pengumuman itu menimbulkan gelombang kecil kelegaan sekaligus kekhawatiran. Beberapa langsung berjalan ke arah meja security dengan ekspresi tenang, yang lain diam beberapa saat, menimbang apakah meninggalkan lamaran berarti menyerahkan nasib pada ketidakpastian.
Di tengah kerumunan itu, John masih bertahan. Ia telah melewati wawancara dan kini berjalan pelan mengelilingi area kantor, mencari sosok Jatmika. Namun sahabatnya itu masih sibuk mendampingi para wartawan, yang tetap bertahan hingga matahari tenggelam, menanti demonstrasi langsung teleportasi malam ini.
Sementara itu, di dalam sistem pusat data perusahaan, Nyonya Tien—program kecerdasan buatan yang telah disempurnakan selama bertahun-tahun—telah menyelesaikan analisis psikotes seluruh peserta. Hasilnya menohok namun jujur: sekelompok kecil mendapatkan nilai sempurna, menunjukkan pola berpikir logis, intuisi spasial, dan kestabilan emosional yang luar biasa. Namun, ada pula peserta yang memperoleh nilai nol. Tidak karena mereka bodoh, tetapi karena mereka mungkin tidak terlatih untuk berpikir dalam pola-pola formal yang diminta oleh sistem.
Dari ribuan peserta, hanya seratus yang lolos melewati ambang penilaian. Seratus nama yang, bagi Nyonya Tien, memiliki kemungkinan terbesar untuk beradaptasi dan berkembang dalam sistem kerja perusahaan yang tidak biasa—yang menggabungkan teknologi masa depan dengan peninggalan masa lalu yang belum terpecahkan sepenuhnya.
Namun sistem, betapapun canggihnya, tidak selalu dapat menangkap seluruh potensi manusia. Dan di luar sistem, masih ada orang-orang seperti John yang menunggu tanpa kepastian, mempercayai bahwa kadang, koneksi personal bisa membuka pintu yang tidak bisa dibuka oleh skor angka.
---
Sore itu, langit tampak berat. Awan mendung menggantung di atas kota seperti lapisan logam cair, dan guntur bergemuruh dari kejauhan, mengisyaratkan bahwa hujan hanya menunggu waktu untuk turun. Tepat pukul 18.30, peserta yang sejak pagi menunggu di halaman kantor PT Sinar Ultraviolet mulai membubarkan diri. Di layar besar yang dipasang di aula, Nyonya Tien—AI yang menjadi jantung sistem perusahaan—telah menayangkan hasil psikotes: daftar mereka yang memperoleh nilai tertinggi, dan yang terendah. Tidak ada upacara atau tepuk tangan, hanya data yang mengalir dengan ketelitian digital, dan manusia-manusia yang menerimanya dengan berbagai macam ekspresi.
Di tempat lain, Jatmika berdiri di hadapan para wartawan yang telah ditunjuk untuk mengikuti teleportasi malam itu. Dengan nada netral yang mencerminkan kebiasaannya menyampaikan informasi tanpa membesar-besarkan, ia memberikan instruksi penting:
“Silakan kenakan pakaian astronot yang telah kami siapkan. Dan mohon tinggalkan seluruh alat elektronik. Kamera, ponsel, bahkan jam tangan digital.”
Salah satu wartawan mengangkat tangan, suaranya terdengar sedikit kecewa, “Bagaimana kami bisa merekam atau memotret interior gua jika semua perangkat kami dilarang masuk?”
Jatmika tidak langsung menjawab. Ia menatap langit sejenak, seolah memeriksa awan. Lalu ia menjelaskan, “Kami sudah memasang kamera internal yang terhubung langsung ke sistem laboratorium. Visualnya akan direkam dan bisa Anda akses nanti. Tapi di dalam gua, teknologi modern dapat mengganggu kestabilan sistem teleport. Ini bukan hanya soal protokol keamanan, tapi soal menghormati sesuatu yang belum sepenuhnya kita pahami.”
Ia menambahkan, bahwa jika cuaca membaik, sesi teleportasi pertama akan dimulai pukul 20.00.
Sementara itu, di ruang dalam, Pak Toni dan tim HRD telah merampungkan seleksi akhir dari ribuan pelamar. Seratus nama dengan nilai sempurna terpilih. Namun Jatmika, yang memegang kendali atas sistem dan memahami bahwa logika manusia tidak selamanya dapat direduksi ke dalam angka, meminta satu nama tambahan dimasukkan: John. Ia tidak menjelaskan alasannya, dan tidak perlu. Dalam dunia yang dikuasai sistem terotomatisasi, satu bentuk keberpihakan personal adalah pernyataan kecil tentang kemanusiaan.
Jumlah akhir menjadi seratus satu.
Dan di luar jendela, hujan pun mulai turun—perlahan tapi pasti, menandai malam yang akan datang dengan suara yang menenangkan.
---
Pukul 20.30, hujan berhenti secara perlahan, seolah alam memberi izin atas sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan cuaca semata. Langit pun membuka dirinya, dan bulan—penuh dan bercahaya tenang—tampak seperti pengamat diam dari atas sana. Di balik ketenangan langit, laboratorium mulai bergerak. Pak Toni baru saja kembali dari ruang HRD, menyelesaikan proses perekrutan karyawan baru yang jumlahnya tak sedikit.
“Ny. Tien, persiapkan proses teleportasi ke titik Gunung Lawu. Untuk 50 orang,” ujarnya, singkat.
Instruksi itu tidak memerlukan pengulangan. Sistem merespons dengan ketenangan khas mesin: efisien, tidak terburu-buru, dan tanpa emosi. Di ruang artefak, Jatmika telah mengumpulkan para wartawan yang terpilih. Mereka berdiri dalam lingkaran mengelilingi artefak lampu—sebuah objek kuno yang tampak terlalu sunyi untuk kekuatan sebesar itu.
Semua peserta telah mengenakan pakaian astronot yang disiapkan sebelumnya. Jatmika dan Pak Toni memeriksa pemasangan helm satu per satu. Ini bukan semata urusan prosedur keselamatan, tetapi bagian dari upaya manusia untuk tetap memegang kendali terhadap teknologi yang lebih tua dari pemahaman mereka.
Ny. Tien memberikan konfirmasi: Proses teleportasi siap.
Dalam hitungan detik, kilatan listrik mulai berpendar di sekitar tubuh peserta. Arus energi tak kasatmata membentuk medan bola yang berputar lambat, sesekali menyambar pakaian mereka dengan kilatan halus. Seseorang—mungkin karena reflek atau ketakutan—berteriak dan tampak ingin mundur.
“Tenang,” ujar Jatmika dengan suara rendah tapi mantap. “Pegang tangan satu sama lain. Jangan ada yang melepaskan. Ini normal. Ini hanya bagian dari proses.”
Rasa takut yang muncul tak bisa dihindari. Ketakutan itu bukan hanya pada panas listrik atau suara gemuruh, tapi pada ketidakpastian—bahwa tubuh mereka akan diurai dan dikirim ke tempat lain, melalui cara yang bahkan para ilmuwan belum sepenuhnya pahami.
Lampu artefak menyala, perlahan berubah dari putih lembut menjadi emas terang. Lalu, pada titik kulminasi energi, bola listrik menyambar semuanya dalam satu ledakan cahaya. Saat berikutnya, ruang artefak kosong, menyisakan keheningan seperti sesudah mimpi yang terlalu cepat berakhir.
Di sebuah gua di lereng Gunung Lawu, kilatan cahaya muncul dari dinding batu. Udara mendadak terasa padat, dan bau ozon menyebar. Satu demi satu, tubuh-tubuh manusia termaterialisasi kembali, dikelilingi sisa kilatan listrik yang menyusut pelan.
Jatmika menoleh pada para wartawan yang kini terdiam, entah karena kagum atau karena tubuh mereka masih menyesuaikan diri.
“Selamat datang di Gunung Lawu,” ucapnya. “Di sinilah semuanya bermula. Tempat pertama kami menemukan artefak ini. Tempat pertama yang memberi pertanyaan lebih banyak dari jawaban.”
Dan bulan pun tetap menyinari gua itu—seolah ikut menyaksikan langkah awal manusia menembus batas ruang, dengan cara yang nyaris tak bisa dijelaskan.
---
---
Suara gemuruh kilatan sudah reda. Gua Gunung Lawu kini hanya diterangi oleh lampu LED kecil yang tertanam di dinding batu, menyebarkan cahaya putih keabu-abuan. Aroma tanah basah bercampur ozon masih terasa. Para wartawan berdiri diam, tubuh mereka belum sepenuhnya terbiasa dengan perpindahan yang tidak memiliki jeda, tidak ada gerak—hanya hilang dari satu tempat, lalu muncul di tempat lain.
Jatmika menyalakan komlink internal dan berkata, “Silakan... jika ada yang ingin bertanya, sekarang waktunya.”
Seorang wartawan wanita dari Kompas Tivi angkat tangan. “Bagaimana... bagaimana bisa gua ini menjadi titik teleportasi? Apakah ada struktur khusus yang memungkinkan itu?”
Jatmika menatap dinding gua yang retak-retak halus, lalu menjawab dengan tenang, “Kami juga masih mencari tahu. Tapi semua titik teleportasi memiliki pola mineral yang mirip—jenis batu yang tak tercatat dalam katalog geologi modern. Entah dibuat secara alami atau... dimodifikasi oleh teknologi yang belum kita pahami.”
Wartawan lain, dari Harian Poskota, bertanya, “Jadi, ini bukan buatan manusia modern? Siapa yang membangunnya?”
“Pertanyaan itu belum bisa kami jawab. Tapi dugaan kami, ada peradaban terdahulu yang memahami hubungan antara struktur batuan, medan magnet bumi, dan jenis energi yang tidak biasa. Artefak lampu adalah kuncinya—tanpa itu, gua ini hanya ruang kosong.”
Wartawan muda dari Cikarang Post mencatat cepat di tablet yang sudah disediakan, lalu mengangkat kepala. “Apakah teleportasi ini aman? Maksud saya, tubuh kami... tidak mengalami kerusakan?”
“Sampai sekarang, tidak ada efek samping jangka pendek. Nyonya Tien memindai semua fungsi biologis kalian sebelum dan sesudah teleportasi. Tapi kami tetap akan memantau. Ini bukan sekadar teknologi baru—ini adalah warisan dari sesuatu yang kita belum mengerti secara menyeluruh.”
Dari sudut gua, terdengar suara pelan, agak ragu. “Apa ini bisa diakses masyarakat umum?” tanya seorang wartawan lokal, pria tua dengan kamera tergantung di leher.
Jatmika mengangguk perlahan. “Itulah harapannya. Tapi kami tak ingin mengulang kesalahan masa lalu, jika memang teknologi ini pernah menghancurkan sesuatu. Setiap perjalanan akan diawasi, dibatasi, dan... dikaji. Ini bukan sekadar layanan transportasi. Ini adalah pintu ke masa yang telah lama terkubur.”
Suasana menjadi hening. Para wartawan mulai memandang dinding gua dengan mata berbeda. Seolah mereka mulai mengerti: bahwa teleportasi ini bukan hanya tentang pergi ke tempat lain, tetapi tentang menghubungkan manusia modern dengan sesuatu yang lebih tua dari sejarah itu sendiri.
“Dan sekarang,” lanjut Jatmika, “silakan luangkan waktu sebentar. Kita akan kembali ke laboratorium dalam sepuluh menit. Tapi jangan menyentuh dinding... beberapa dari bagian ini masih aktif secara elektromagnetik.”
Seorang wartawan berbisik ke rekannya, “Kita tidak hanya meliput teknologi. Kita sedang menyaksikan awal dari sesuatu yang mungkin... mengubah segalanya.”
---
Jatmika berdiri di hadapan dinding gua yang dingin dan lembap, tangannya menunjuk ke sebuah lukisan kuno yang telah memudar, namun tetap menyimpan keagungan. Sorot cahaya dari helm astronot memantulkan kilau samar pada pigmen yang tertinggal di batu.
“Lukisan ini,” kata Jatmika pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri, “menggambarkan sosok yang kami yakini sebagai Raja Isidore dari kerajaan Mythopia—sebuah entitas politik dan spiritual yang belum tercatat dalam sejarah formal Nusantara.”
Sosok raja itu digambarkan berdiri tegak, memegang sebilah keris panjang berhiaskan cahaya. Keris itu tampak menyala, seperti menyalurkan energi dari bumi dan langit secara bersamaan. Di sekelilingnya berdiri sepuluh tokoh lain—para ksatria—masing-masing dengan atribut dan simbol yang begitu spesifik hingga terkesan lebih dari sekadar mitologi.
“Nama-nama mereka telah kami ketahui sebagian, bukan melalui teks, tetapi melalui pola simbol yang konsisten muncul di setiap gua teleportasi,” jelas Jatmika. “Mereka adalah—Rakajati, manusia kayu; Pangreksa, penguasa es; Sagara Putra, penakluk samudra; Bayu Anggana, pengendali angin; Bhra Anuraga, tuan dari api; Jagat Dirgantara, penguasa tanah; Surya Wikrama, pembawa cahaya; Guntur Wisesa, penakluk petir; Rangga Wulung, ahli senjata; dan Arya Wiratma, perancang strategi.”
Jatmika menatap lebih dalam ke lukisan, kemudian melanjutkan, “Yang menarik adalah: setiap gua teleportasi memiliki pola ciri khas—unsur-unsur simbolik yang tampaknya mengaitkan lokasi itu dengan salah satu dari sepuluh ksatria. Gua ini, misalnya, menampilkan ukiran api di berbagai titik dinding. Berdasarkan algoritma terjemahan Nyonya Tien, kami menduga ini adalah tempat meditasi atau peristirahatan Bhra Anuraga, sang Tuan Api.”
Simbol-simbol itu, jelas Jatmika, tidak pernah berubah posisinya, bahkan setelah paparan terhadap cahaya, kelembapan, atau sentuhan manusia. Seolah-olah mereka dilindungi oleh logika yang belum dikodifikasi oleh ilmu pengetahuan modern.
“Nyonya Tien,” tambahnya, “telah berhasil menerjemahkan beberapa dari simbol-simbol yang terpancar dari artefak lampu utama. Mereka membentuk sintaksis tersendiri, lebih mirip dengan ekspresi matematis daripada bahasa lisan. Tapi maknanya... penuh dengan pesan.”
Wartawan yang menyaksikan diam sejenak. Tak ada suara selain bunyi napas yang tertahan di dalam helm astronot. Di hadapan mereka, teknologi dan sejarah bukanlah dua cabang yang berbeda, melainkan satu garis yang terentang jauh ke masa lalu dan masa depan—dihubungkan oleh cahaya dari sebuah keris, dan gema dari nama-nama yang pernah, atau mungkin masih, hidup di balik dimensi ini.
---
---
Suara Nyonya Tien terdengar dari speaker helm—tenang namun penuh ketegasan.
“Waktu tersisa satu menit. Persiapkan kembali ke titik asal.”
Jatmika bergerak cepat, matanya menyapu seluruh ruangan gua sambil menghitung jumlah peserta. Di antara mereka, seorang pria mulai terhuyung. Napasnya tersengal. Seorang wartawan mengenalinya—pasien asma yang lupa membawa inhaler.
“Bantu dia,” perintah Jatmika, tidak dengan panik, tetapi dengan urgensi yang terukur. Dua peserta lain segera menopang tubuhnya yang melemas, membawanya mendekati titik teleportasi. Nyonya Tien, memantau dari laboratorium, memberikan notifikasi tambahan.
“Terdeteksi satu individu dengan ritme jantung anomali. Menurunkan intensitas denyut, namun masih dalam batas vital.”
Waktu tak berpihak. Teleportasi harus dilakukan. Jatmika memberi aba-aba terakhir.
“Bersiap. Jangan lepaskan kontak satu sama lain.”
Seperti sebelumnya, cahaya keemasan menyelimuti tubuh mereka. Arus listrik menjalar, menari di udara seperti benang petir yang menjahit ruang dan waktu. Ada teriakan spontan—bukan karena ketakutan, tetapi karena tubuh mereka sedang dipindahkan oleh sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh ilmu yang mereka pahami.
Mereka menghilang.
---
Ketika partikel-partikel tubuh mereka terbangun kembali di ruang laboratorium, semuanya utuh. Namun satu tubuh tergeletak, tidak bergerak—pria yang mengalami sesak napas. Para peserta segera mundur, memberi ruang. Jatmika berjongkok, melepaskan helm dan membuka kancing baju astronotnya.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya, nyaris berbisik.
Pria itu membuka mata. Ada cahaya aneh di sorotannya. “Aku belum pernah merasa sesehat ini… bahkan sejak kemarin.”
Jatmika tertawa pendek, lega. “Kamu hampir membuat kami semua panik.”
Sementara itu, Nyonya Tien menampilkan visual dari artefak lampu. Cahaya emas yang semula bersinar stabil kini berpendar keunguan, berpusat ke tubuh pria tersebut. Tidak ada penjelasan ilmiah yang cukup memadai. Hanya interpretasi: sesuatu telah diperbaiki selama proses teleportasi. Mungkin ada resonansi dalam medan bioelektrik. Mungkin gua itu menyimpan lebih dari sekadar energi.
---
Di sisi lain ruangan, para wartawan dengan cepat kembali ke peran mereka. Beberapa langsung menyiarkan laporan secara langsung, headset terpasang, suara disesuaikan agar dramatis, namun tetap akurat.
“Pemirsa, kami baru saja menyaksikan tonggak sejarah—PT. Sinar Ultraviolet telah meluncurkan teknologi teleportasi pertama di dunia. Berdasarkan perpaduan teknologi kuno dan sistem canggih masa kini, mereka berhasil membuka 100 titik teleportasi—termasuk titik-titik di luar negeri, bahkan di bawah laut.”
Seorang reporter lain menambahkan, “Biaya hanya satu juta rupiah per teleport, dan masyarakat dapat langsung mencoba dengan datang ke fasilitas utama di Cikarang. Sebuah pengalaman yang sebelumnya hanya mungkin dalam fiksi ilmiah, kini menjadi kenyataan.”
Jatmika menatap ke layar besar, melihat data gelombang tubuh peserta terakhir yang kini stabil.
Ia tahu, teleportasi bukan lagi sekadar perpindahan ruang. Ini adalah percakapan antara manusia dan warisan teknologi yang telah lama tertidur. Dan kini, dunia telah mendengarnya.
---
---
Pukul 22.30. Gedung PT. Sinar Ultraviolet telah kembali senyap. Semua karyawan telah pulang, begitu pula para wartawan yang sebelumnya sibuk mewawancarai dan merekam setiap sudut laboratorium. Hanya dua orang yang masih tertinggal di ruang kontrol: Jatmika dan Pak Toni.
Di layar monitor, linimasa media sosial bergerak cepat—sebuah arus data yang tak henti memunculkan tagar #teleport. Potongan video teleportasi beredar luas, direkam dari berbagai sudut, disunting dengan dramatis namun tak mengurangi otentisitasnya. Ada kegembiraan kolektif. Ada keheranan yang mewujud menjadi kekaguman.
Di sisi lain layar, dashboard email perusahaan menampilkan lonjakan baru—pesanan lampu artefak imitasi melonjak drastis. Permintaan terbanyak datang dari China, Amerika, dan Eropa. Sebagian besar hanya menginginkan desain estetikanya, sebagian lain menginginkan versi aktif, menyala 72 jam seperti demo. Namun satu kategori lebih menarik perhatian: permintaan teleportasi. Antrian digital terbentuk, tumpang tindih dalam waktu, semua ingin menjadi bagian dari sejarah.
Pak Toni memandangi grafik permintaan itu, lalu beralih pada Jatmika.
“Kerja bagus, Jatmika. Apa yang kalian capai hari ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar dari kita semua.”
Jatmika tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada gambar medan energi terakhir dari proses teleportasi. Ada keanehan kecil di frekuensinya—gangguan pada amplitudo cahaya ungu. Ia menyimpannya dalam berkas pribadi, untuk diteliti nanti.
“Terima kasih, Pak. Saya bersyukur sudah diberikan kesempatan terlibat di dalamnya.”
Ia menarik napas, lalu melanjutkan, “Saya harap teknologi ini tidak hanya menjadi alat, tapi juga jembatan—menuju hal-hal yang sebelumnya mustahil.”
Pak Toni tersenyum kecil. “Saya ingin fokus pada satu hal ke depan: teknologi pengobatan. Jika teleportasi bisa memperbaiki medan sel, kita mungkin bisa menyembuhkan penyakit yang selama ini tak tersentuh. Tapi untuk pengembangan perusahaan, saya percayakan padamu dan tim.”
Jatmika mengangguk. Ia merasa berat, tapi juga tertantang.
“Kalau begitu, saya ingin mulai dari sesuatu yang mendasar: goa.”
Pak Toni menoleh.
“Goa?”
“Ya. Saya berencana membentuk tim untuk memindahkan artefak lampu dari sana ke pusat laboratorium, kalau memungkinkan.”
Sunyi sejenak. Pak Toni tak langsung menjawab.
“Saya mengerti niatmu,” katanya akhirnya. “Tapi saya pikir itu berisiko. Goa itu—lebih dari sekadar lokasi fisik. Ada sesuatu di dalamnya, mungkin sistem pertahanan, mungkin mekanisme kuno yang belum kita mengerti. Jika kita keliru menyentuhnya, semua bisa berubah.”
Jatmika terdiam. Bukan karena ia tak setuju, tapi karena ia tahu Pak Toni benar. Artefak itu bukan benda mati biasa. Ia seperti hidup, dan mungkin terikat pada struktur batu, pada ruang, pada waktu.
“Kita butuh waktu,” lanjut Pak Toni. “Observasi. Penelitian. Kesabaran.”
“Baik, Pak,” ujar Jatmika pelan. “Kita akan menunggu… sampai gua itu sendiri yang berbicara kepada kita.”
Di belakang mereka, layar artefak lampu memancarkan denyut cahaya halus. Tak lagi emas, tak lagi ungu. Tapi biru—seolah merespons dialog yang baru saja terjadi. Seolah mendengarkan.
Dan di laboratorium yang kini sepi itu, mereka menyadari: teleportasi hanyalah permulaan.
---