-cerita ditulis oleh M. Irvan--
Chapter 1: Kelahiran Sang Anak
Di bawah langit kelam yang dipenuhi awan bergulung-gulung, istana kerajaan Mythopia berdiri megah, bagaikan benteng terakhir yang menjaga rahasia zaman. Menara-menaranya menjulang tinggi, menembus kabut tebal yang menyelimuti lembah-lembah di sekitarnya. Di dalam dinding istana yang kokoh, suasana tegang mengisi udara, seolah alam semesta sendiri menahan napas menunggu sesuatu yang agung—atau mungkin, sesuatu yang mengerikan.
Di kamar ratu yang dihiasi permadani kuno dan lukisan para leluhur, Elara, sang Ratu Mythopia, berbaring di atas ranjang yang terbuat dari kayu berukir halus. Wajahnya pucat, tetapi matanya bersinar dengan keteguhan yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah melihat batas antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam erat tangan Raja Itharius, suaminya, yang berdiri di sampingnya dengan wajah dipenuhi kekhawatiran.
"Itharius," bisik Elara dengan suara lemah namun penuh makna, "aku merasakannya... dia akan segera datang."
Raja Itharius, dengan jubah kebesarannya yang berwarna ungu tua, memandang istrinya dengan tatapan yang dalam. Di matanya, terpancar ketakutan yang tak terucapkan, tetapi juga harapan yang tak pernah padam. "Bertahanlah, Elara," katanya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Kita telah menunggu terlalu lama untuk ini."
Di luar jendela, petir menyambar-nyambar, memecah keheningan malam. Angin berhembus kencang, membawa suara gemerisik daun-daun kering yang seolah berbisik tentang ramalan kuno. Para pelayan istana berlarian dengan panik, sementara para penjaga berdiri tegak di pos mereka, mencoba menahan ketakutan yang merayap di hati mereka.
Tiba-tiba, Elara merintih kesakitan, dan suaranya menggema di lorong-lorong istana. Raja Itharius segera memanggil dokter kerajaan, seorang lelaki tua bernama Maester Oryn, yang wajahnya dipenuhi garis-garis usia dan kebijaksanaan. "Segera!" seru Raja Itharius, suaranya penuh kepanikan. "Dia tidak bisa menunggu lebih lama!"
Maester Oryn tiba dengan langkah cepat, diikuti oleh beberapa asistennya. Mereka segera merawat Elara dengan penuh kehati-hatian, sementara Raja Itharius berdiri di sudut ruangan, tangannya mengepal erat. Hatinya berdebar kencang, seolah setiap detik yang berlalu adalah abadi.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti ribuan tahun, tangisan bayi akhirnya memecah keheningan. Suaranya nyaring dan penuh kehidupan, seolah menyambut dunia dengan keberanian yang tak terbendung. Namun, bersamaan dengan itu, gempa kecil mengguncang istana. Benda-benda berjatuhan, dan para penjaga saling pandang dengan ketakutan.
Raja Itharius memandang bayi itu dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggendong seorang anak laki-laki yang wajahnya bersinar seperti bulan purnama. "Isidore," bisiknya, menamai anaknya dengan nama yang telah lama dipersiapkan. "Namamu adalah Isidore."
Namun, di balik keharuan itu, ada sesuatu yang menggelayut di hatinya. Dia tahu bahwa kelahiran ini bukanlah peristiwa biasa. Para biksu kerajaan, yang telah menunggu di luar ruangan, segera masuk dengan wajah serius. Biksu Agung Laksana, seorang lelaki tua dengan jubah putih bersih, maju ke depan. Matanya memancarkan kebijaksanaan, tetapi juga ketakutan.
"Tuanku," kata Biksu Laksana dengan suara berat, "anak ini membawa tanda. Dia adalah Pembawa Bencana, seperti yang diramalkan dalam naskah kuno. Kita harus berhati-hati."
Raja Itharius memandang Biksu Laksana dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu, Laksana? Apakah kau mengatakan bahwa anakku adalah ancaman bagi kerajaan ini?"
Biksu Laksana mengangguk perlahan. "Ramalan itu jelas, Tuanku. Kelahiran Isidore akan membawa perubahan besar. Apakah itu kejayaan atau kehancuran, hanya waktu yang akan menjawab."
Di luar istana, langit semakin gelap, dan angin berhembus kencang, seolah alam semesta sedang memberikan peringatan. Raja Itharius memandang bayi itu sekali lagi, dan di matanya, ia melihat bayangan masa depan yang tak terelakkan. Dia tahu bahwa hidup Isidore tidak akan pernah biasa, dan Mythopia akan menghadapi ujian terbesarnya.
---
Chapter 2: Penyelamatan Rahasia
Malam itu, istana Mythopia tenggelam dalam keheningan yang berat, seolah seluruh kerajaan sedang menahan napas menunggu takdir yang tak terelakkan. Bulan purnama bersinar terang di langit, memancarkan cahaya keperakan yang menyinari menara-menara istana dan hutan-hutan di sekitarnya. Namun, cahaya itu tidak membawa kedamaian, melainkan ketegangan yang semakin menggelora.
Di dalam kamar rahasia yang tersembunyi di balik dinding istana, Raja Itharius berdiri di depan jendela kecil, memandang ke arah hutan belantara yang membentang di kejauhan. Tangannya menggenggam erat keris pusaka kerajaan, yang bilahnya berkilauan di bawah cahaya bulan. Di sudut ruangan, seorang pengawal setia bernama Geron menunggu dengan sabar, wajahnya dipenuhi keseriusan.
"Geron," bisik Raja Itharius, suaranya hampir tak terdengar, "apakah kau yakin dengan rencana ini?"
Geron mengangguk perlahan, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. "Tuanku, kita tidak punya pilihan lain. Jika kita tidak bertindak sekarang, para biksu akan mengambil Isidore saat fajar tiba. Mereka percaya bahwa dia adalah ancaman bagi Mythopia."
Raja Itharius menghela napas panjang, hatinya dipenuhi konflik yang tak terkatakan. Dia memandang ke arah buaian kecil di tengah ruangan, di mana Isidore sedang tertidur dengan tenang. Wajah bayi itu bersinar seperti permata di bawah cahaya bulan, seolah dia adalah hadiah dari para dewa—atau mungkin, kutukan.
"Elara," bisik Raja Itharius, memikirkan istrinya yang masih terbaring lemah di kamarnya. "Aku berjanji akan melindungi anak kita, meski harus mengorbankan segalanya."
Dengan langkah tegas, Raja Itharius mendekati buaian itu dan mengangkat Isidore dengan lembut. Bayi itu terbangun sejenak, matanya yang biru cerah memandang ayahnya dengan penuh kepercayaan. "Tenang, Isidore," bisik Raja Itharius. "Ayah akan menjagamu."
Mereka meninggalkan kamar rahasia itu melalui lorong tersembunyi yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Lorong itu gelap dan lembap, dengan dinding-dinding batu yang dipenuhi lumut dan akar-akar pohon yang menjalar. Di ujung lorong, sebuah kereta kuda kecil telah menunggu, dikendarai oleh seorang sais setia bernama Halon.
"Semuanya sudah siap, Tuanku," kata Halon dengan suara rendah. "Kita harus segera pergi sebelum fajar menyingsing."
Raja Itharius mengangguk, lalu memasuki kereta kuda itu dengan Isidore dalam pelukannya. Geron mengikuti dari belakang, membawa beberapa persediaan makanan dan air. Dengan isyarat dari Halon, kereta kuda itu mulai bergerak, meninggalkan istana Mythopia yang megah di belakang mereka.
Perjalanan mereka melewati hutan-hutan lebat yang dipenuhi suara binatang malam dan gemerisik daun-daun kering. Bulan purnama memberikan cahaya yang cukup untuk menerangi jalan, tetapi suasana malam itu tetap menegangkan. Raja Itharius memandang ke arah istana yang semakin menjauh, hatinya dipenuhi keraguan dan kesedihan.
"Apakah ini keputusan yang benar, Geron?" tanya Raja Itharius, suaranya penuh keraguan. "Apakah kita telah mengkhianati kerajaan kita dengan melarikan diri seperti ini?"
Geron memandang Raja Itharius dengan tatapan yang dalam. "Tuanku, terkadang kita harus memilih antara tugas kita sebagai pemimpin dan tanggung jawab kita sebagai orang tua. Kau telah memilih untuk melindungi Isidore, dan itu adalah keputusan yang mulia."
Raja Itharius mengangguk perlahan, tetapi hatinya masih dipenuhi kegelisahan. Dia tahu bahwa perjalanan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari petualangan yang jauh lebih besar. Di dalam pelukannya, Isidore tertidur dengan tenang, seolah tidak menyadari betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh ayahnya.
Di kejauhan, gunung-gunung Mythopia menjulang tinggi, puncaknya diselimuti kabut tebal. Di sana, di puncak gunung tertinggi, terdapat kuil kuno yang telah lama ditinggalkan. Kuil itu adalah tempat di mana ramalan tentang Isidore pertama kali diungkapkan, dan Raja Itharius tahu bahwa suatu hari nanti, mereka harus kembali ke sana untuk mencari jawaban.
Malam semakin larut, dan kereta kuda itu terus melaju menuju hutan belantara. Di langit, bintang-bintang bersinar terang, seolah memberikan petunjuk bagi mereka yang berani mengikuti takdirnya. Raja Itharius memandang ke arah bintang-bintang itu, dan di hatinya, dia berjanji akan melindungi Isidore, meski harus menghadapi segala rintangan yang menghadang.
---
Chapter 3: Pencarian Identitas
Setelah berbulan-bulan melintasi hutan belantara, melewati sungai-sungai yang deras, dan mendaki bukit-bukit terjal, Raja Itharius dan Isidore akhirnya tiba di sebuah desa terpencil di tepi hutan Kalimantan. Desa itu dikelilingi oleh pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi, cabang-cabangnya membentuk kanopi alami yang melindungi penduduknya dari terik matahari dan hujan lebat. Udara di sana terasa segar, dipenuhi aroma bunga-bunga liar dan tanah basah.
Raja Itharius, yang kini menyamar sebagai seorang pengembara bernama Tandika, memandang desa itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa lega karena mereka telah menemukan tempat yang aman untuk tinggal. Di sisi lain, hatinya dipenuhi kerinduan akan Mythopia, kerajaan yang telah dia tinggalkan demi melindungi anaknya.
"Di sini kita akan tinggal, Isidore," bisik Tandika kepada anaknya yang kini telah tumbuh menjadi seorang bocah berusia sepuluh tahun. "Desa ini akan menjadi rumah kita untuk sementara waktu."
Isidore memandang desa itu dengan mata penuh rasa ingin tahu. Dia melihat anak-anak berlarian di antara rumah-rumah kayu, wanita-wanita menenun kain di beranda, dan lelaki-lelaki yang kembali dari berburu dengan hasil tangkapan di pundak mereka. Semuanya terasa asing, tetapi juga menarik.
"Apakah kita akan aman di sini, Ayah?" tanya Isidore dengan suara polos.
Tandika tersenyum lembut. "Kita akan berusaha, Isidore. Tapi ingat, jangan pernah memberitahu siapa pun tentang asal-usul kita. Rahasia itu harus kita simpan baik-baik."
Mereka diterima dengan ramah oleh penduduk desa, terutama oleh seorang tetua bernama Darma, yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Darma memberikan mereka sebuah gubuk kecil di tepi hutan, tempat mereka bisa tinggal dengan tenang. Namun, meski hidup mereka tampak damai, Tandika tahu bahwa kedamaian itu hanyalah sementara. Di dalam hatinya, dia merasa bahwa takdir Isidore akan segera memanggil mereka kembali ke Mythopia.
---
Chapter 4: Keberanian Anak Pemimpin
Bertahun-tahun berlalu, dan Isidore tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah berani. Wajahnya memancarkan keteguhan yang jarang ditemukan pada anak seusianya, dan matanya yang biru cerah selalu penuh dengan rasa ingin tahu. Dia sering menghabiskan waktunya di hutan, menjelajahi setiap sudutnya, dan berbicara dengan binatang-binatang yang seolah mengerti bahasanya.
Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang, Isidore duduk di tepi sungai kecil di dekat desa. Dia memandang air yang mengalir dengan tenang, tetapi hatinya dipenuhi kegelisahan. Dia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang harus dia temukan.
"Ayah," kata Isidore ketika Tandika mendekatinya, "aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Siapakah kita sebenarnya? Mengapa kita harus hidup seperti ini?"
Tandika menghela napas panjang. Dia tahu bahwa saatnya telah tiba untuk mengungkap kebenaran. "Isidore," katanya dengan suara berat, "kita bukanlah orang biasa. Kau adalah putra mahkota Mythopia, kerajaan yang telah lama kita tinggalkan. Dan aku... aku adalah raja yang telah mengorbankan segalanya untuk melindungimu."
Isidore terdiam, mencerna kata-kata ayahnya. Dia merasa seperti dunia di sekitarnya berputar, membawanya ke dalam kenyataan yang jauh lebih besar dari yang pernah dia bayangkan. "Mengapa kita harus pergi, Ayah? Apa yang terjadi di Mythopia?"
Tandika memandang ke arah bulan, matanya dipenuhi kesedihan. "Ada ramalan kuno, Isidore. Ramalan yang mengatakan bahwa kelahiranmu akan membawa perubahan besar bagi Mythopia. Beberapa percaya bahwa kau adalah Pembawa Bencana, sementara yang lain melihatmu sebagai harapan terakhir. Tapi aku tahu satu hal: kau adalah anakku, dan aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."
Isidore mengangguk perlahan, hatinya dipengaruhi oleh tekad yang baru. "Aku ingin tahu kebenarannya, Ayah. Aku ingin kembali ke Mythopia dan menghadapi takdirku."
Tandika memandang anaknya dengan bangga. "Kau telah tumbuh menjadi pemuda yang berani, Isidore. Besok, kita akan memulai perjalanan kita kembali ke Mythopia."
---
Bab V: Terkuaknya Rahasia yang Terpendam
Perjalanan pulang menuju Mythopia bukan sekadar pengembaraan; itu adalah ziarah melewati tanah-tanah yang dibekap bayang-bayang, di mana malam lebih pekat dan angin membawa bisikan dari masa silam. Mereka menembus hutan-hutan purba yang rantingnya membentuk gerbang-gerbang kegelapan, tempat makhluk-makhluk tak bernama bersembunyi dalam sunyi.
Sungai-sungai deras mengalir bagaikan urat nadi bumi yang marah, menggulung buih dan bebatuan, sementara gunung-gunung menjulang tinggi dan curam seperti benteng para dewa yang menjaga jalan menuju tanah suci. Namun Isidore, kendati langkahnya sering dihantam lelah, tidak pernah bersungut. Sebab dalam hatinya, ia tahu: setiap jejak di tanah yang asing ini membawanya lebih dekat kepada takdir yang telah lama ditulis dalam bintang-bintang.
Tatkala mereka tiba di pelataran Mythopia, langit seakan memudar. Burung-burung tidak berkicau, dan angin berhenti sejenak seakan menanti sesuatu. Di hadapan mereka, berdiri istana yang dahulu bagaikan permata yang bersinar di jantung negeri—kini tampak seperti raksasa tua yang tertidur dan dilupakan.
Dinding-dindingnya penuh retakan, dililit tanaman liar dan ditumbuhi lumut abu-abu. Menara-menara yang pernah mencakar langit tampak rebah dalam keheningan. Dan di desa-desa sekitar, wajah-wajah yang dahulu ramah kini tersembunyi di balik jendela; mata mereka tajam, namun penuh ketakutan, seolah mereka telah melihat sesuatu yang tak sanggup dikatakan.
> “Ada sesuatu yang tak beres,” bisik Tandika, suaranya serak seperti angin yang tersesat di antara reruntuhan.
“Kita harus berhati-hati. Tanah ini tidak lagi mengenal kita.”
Mereka masuk ke dalam istana dengan langkah ringan dan napas ditahan, menyusuri lorong-lorong rahasia yang dahulu dibangun oleh leluhur Tandika—jalan-jalan tersembunyi yang hanya diingat oleh darah keturunan mereka. Lorong itu dingin, sunyi, dan seakan membawa mereka jauh bukan hanya ke dalam perut istana, melainkan ke kedalaman waktu itu sendiri.
Hingga akhirnya mereka tiba di Ruang Pusaka—tempat suci yang bahkan dalam legenda hanya dibisikkan, bukan disebut. Rak-rak tua yang berderit menampung naskah-naskah kuno yang telah dilupakan dunia, dan peta-peta berdebu yang menggambarkan negeri-negeri yang mungkin telah tenggelam dalam lautan waktu.
Di tengah ruangan berdiri sebuah altar batu, tinggi dan kokoh, dikerjakan dengan tangan yang tak dikenal sejarah. Pada permukaannya terukir simbol-simbol tua, penuh dengan bahasa yang telah mati sebelum bahasa manusia lahir. Di atasnya, segel kuno bersinar samar—menunggu sentuhan yang ditakdirkan.
Tandika melangkah maju. Dengan tangan yang gemetar namun teguh, ia menyentuh segel itu. Dalam sekejap, altar itu bergemuruh pelan, dan dari tengah batu yang dingin, sebilah keris bangkit perlahan, seolah didorong oleh tangan-tangan tak kasatmata.
Saat keris itu mengambang di udara, simbol-simbol di altar memancarkan cahaya terang, bukan cahaya dunia ini, melainkan cahaya yang membawa bisikan dari langit tertinggi. Suasana mendadak berubah—seperti dunia berhenti berputar.
Tubuh Tandika terasa dialiri kekuatan asing, kekuatan yang lembut namun memaksa, seolah seluruh alam semesta sedang berbicara padanya, bukan melalui kata, tetapi melalui rasa dan gema yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang terpilih.
Lalu dari cahaya itu, muncullah tiga sosok berjubah panjang—para pertapa kuno, wajah mereka bersinar tenang namun menakutkan dalam kebijaksanaannya. Mata mereka bagaikan danau yang dalam, memantulkan langit dan petaka, harapan dan kehancuran.
> “Kau telah menemukan kami, Tandika,” ucap salah satu dari mereka, suaranya seperti gaung dalam gua batu purba.
“Kami adalah Penjaga Rahasia Mythopia. Dan kini, saatnya telah tiba... Tabir yang memisahkan masa lalu dan masa kini akan tersingkap. Kebenaran yang lama tersembunyi, akan bangkit dari tidur panjangnya.”
Dan dalam sunyi yang menyelimuti ruang itu, dunia seakan mendengarkan.
---
Chapter VI: Keris Raja Itharius
Tandika, yang di masa lampau dikenal sebagai Raja Itharius, berdiri tegak laksana batu karang di hadapan dinding batu purba yang menjulang, permukaannya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang nyaris terhapus oleh waktu. Angin malam berdesir perlahan, membawa bisikan masa lampau yang menyusup di antara dedaunan, seolah bumi sendiri tengah menahan napas.
Di tangannya tergenggam erat keris suci—bilahnya berkilauan laksana sinar fajar pertama, menyala keemasan, berdenyut seperti hidup, seakan di dalamnya tertambat napas zaman yang telah lama terkubur. Dengan gerakan yang perlahan namun penuh tekad, Itharius mengayunkan bilah itu membentuk segel bercahaya biru pucat, menyusuri lekuk dinding batu yang kini bergetar lembut di bawah sentuhannya.
“Bersiaplah, Isidore,” ucap sang Raja, suaranya dalam dan bergema seperti petir jauh di puncak gunung. “Kekuatan purba Mythopia akan bangkit dan menunjukkan jalannya.”
Ketika keris itu ditancapkan pada pusat ukiran, cahaya lembut menjalari dinding, dan kabut tebal yang menyelubungi batu itu mencair perlahan, seperti tirai yang ditarik oleh tangan-tangan tak kasatmata. Di baliknya, terbentanglah jalan lebar dan megah, diterangi oleh cahaya keemasan dari langit tinggi, yang tampaknya bukan berasal dari matahari, melainkan dari suatu kemuliaan yang tak terlukiskan dengan kata.
“Dari sini, kita akan menempuh jalan yang berbeda,” ucap Raja Itharius, menatap putranya dengan mata yang memancarkan kasih sayang seorang ayah dan kebanggaan seorang raja. “Aku harus kembali ke jantung kerajaan. Para penjaga telah menanti di gerbang barat. Mereka akan membawamu ke ruang senjata kuno, tempat rahasia tertua dan paling dijaga disimpan—relik-relik yang lahir dari nyala pertama dunia.”
Isidore menatap ayahnya dengan mata yang bersinar dalam cahaya suci. Dengan penuh hormat, ia melangkah maju, menundukkan kepala, dan mencium tangan ayahnya, seakan menyentuh zaman yang mengalir melalui darahnya sendiri.
“Ayah,” bisiknya lirih, “Aku bersumpah atas langit dan tanah Mythopia—aku akan menjaga kerajaan ini. Aku akan menjadi bayang-bayangmu, dan pedangmu.”
Raja Itharius mengangguk pelan, dan dalam cahaya keemasan, tubuhnya tampak hampir seperti ukiran cahaya dari zaman dahulu. “Kau adalah harapan terakhir kita, Isidore. Cahaya terakhir sebelum kegelapan menyelimuti segalanya.”
Dengan hati yang menggelora oleh tekad, Isidore melangkah menuju kuil purba yang tertidur di balik kabut. Penjagaan longgar—para biksu tengah dalam pergantian, dan waktu seperti membuka jalannya sendiri.
Di tengah kuil kuno itu, Isidore berdiri—sunyi melingkupinya, seperti bisikan zaman purba yang tertahan. Di tangannya, ia menggenggam relik yang baru saja ia temukan: sebilah keris emas, bersinar terang bagaikan bintang yang jatuh dari langit. Ukiran halus membalut bilahnya, dan cahaya yang terpancar menyelimuti dinding kuil yang penuh dengan simbol kuno—hidup kembali, menari seperti roh-roh leluhur yang terbangun.
Saat Isidore mengangkat keris itu tinggi-tinggi, terdengarlah gemuruh dahsyat—seperti raungan gunung dan jerit bumi yang terbuka. Tiga sosok pertapa kuno muncul dari cahaya, melayang dalam kesunyian abadi. Mereka duduk bersila, tubuh mereka dibalut jubah putih yang tak tersentuh debu, dan mata mereka terpejam dalam ketenangan yang melampaui dunia fana.
Para biksu yang bergegas masuk tertegun. Wajah mereka memucat; tangan mereka gemetar melihat keris itu—relik suci yang, menurut legenda, hanya boleh disentuh oleh Patih Gajahmada, sang pemersatu tanah Nusantara. Dan kini, keris itu berada di tangan seorang pemuda yang tak mereka kenal, namun membawa aura para leluhur.
Dengan suara yang dalam dan tenang seperti aliran sungai purba, Isidore berkata, “Mengapa kalian menyembunyikan ini? Mengapa kebenaran harus dikubur di bawah lapisan dusta dan ketakutan?”
Tiada satu pun dari para biksu yang menjawab. Mereka saling berpandangan, mata mereka diliputi bayang-bayang keraguan dan ketakutan. Dalam hening itu, hanya gemuruh halus kekuatan kuno yang menjawab, dan dunia tampak sejenak menggigil di bawah naungan takdir yang baru saja dibangkitkan.
---
Chapter 7 Pertemuan dengan Para Pertapa
Isidore berdiri tegak di tengah ruangan kuil, tangannya masih menggenggam erat keris suci yang memancarkan cahaya keemasan. Di hadapannya, tiga sosok pertapa kuno muncul dari cahaya yang memancar, melayang di udara dengan tenang. Mereka seperti makhluk dari dunia lain, dipenuhi aura kebijaksanaan dan kekuatan yang tak terkatakan. Cahaya yang memancar dari tubuh mereka menembus kegelapan gua, mengisi ruangan dengan kehangatan dan keajaiban.
Pertapa pertama adalah seorang lelaki berjubah putih bersih, dengan mahkota sederhana di kepalanya yang terbuat dari ranting-ranting emas. Matanya yang dalam memancarkan pengetahuan yang tak terbatas, dan senyumnya penuh dengan misteri yang tak terpecahkan. "Aku adalah Raja Alam Wardhana," katanya dengan suara yang tenang namun penuh wibawa. "Dahulu kala, aku memerintah Mythopia dengan kebijaksanaan dan keadilan. Kini, aku bangkit dari tidur panjangku, meski hanya sebagian dari kekuatanku, karena kau telah menemukan relic kuno ini."
Pertapa kedua adalah seorang ksatria gagah berani, mengenakan baju besi yang berkilauan di bawah cahaya keris. Pedang panjang tergantung di pinggangnya, dan matanya yang tajam memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. "Aku adalah Ksatria Cheon Myeong," katanya dengan suara yang dalam dan penuh hormat. "Dulu, aku adalah pelindung raja, penjaga Mythopia dari ancaman yang tak terlihat. Keberanian dan kehormatanku telah mengantarku ke sini, untuk bertemu denganmu, Isidore."
Pertapa ketiga adalah seorang biksu tua, dengan jubah sederhana dan wajah yang dipenuhi kedamaian. Matanya yang sedikit menyipit memancarkan kebijaksanaan yang tak tertandingi, dan senyumnya yang lembut seolah menenangkan jiwa yang gelisah. "Aku adalah Sri Laksana," katanya dengan suara yang lembut namun penuh makna. "Aku adalah biksu yang mengurung kami dalam keris ini. Raja memintaku untuk melindungi pengetahuan ini, dan aku setuju untuk terjebak di dalam sini demi Mythopia."
Isidore memandang ketiga pertapa itu dengan rasa penasaran dan sedikit ketakutan. Hatinya dipenuhi pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya. "Mengapa kalian dikurung?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Dan mengapa aku yang membebaskan kalian?"
Raja Alam Wardhana tertawa ringan, suaranya seperti gemerisik daun di angin musim gugur. "Hanya seorang dengan hati murni yang dapat mengangkat keris ini dan membangkitkan kami," katanya. "Hanya mereka yang tak terbebani oleh niat jahat yang mampu membuka segel ini."
Sri Laksana mengangguk perlahan, matanya memancarkan kebijaksanaan yang dalam. "Ada banyak rahasia yang tak bisa diungkapkan dengan mudah, Isidore," katanya. "Pengetahuan yang kami miliki adalah kunci untuk memahami kebenaran yang sesungguhnya tentang Mythopia. Tapi ingat, kebenaran itu tidak selalu mudah untuk diterima."
Isidore merenungkan kata-kata mereka, hatinya dipenuhi oleh tekad yang baru. Dia tahu bahwa perjalanan menuju kebenaran baru saja dimulai. Apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu Mythopia? Apa rahasia yang para biksu sembunyikan? Isidore merasa bahwa dia harus mengungkap semuanya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan kerajaan ini.
Dengan keris suci di tangannya dan ketiga pertapa kuno di sampingnya, Isidore siap menghadapi tantangan yang menantinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya dan misteri, tetapi dia juga tahu bahwa inilah takdirnya.
---
Chapter 8 Rahasia keris
Isidore berdiri di hadapan ketiga pertapa kuno, hatinya dipenuhi oleh pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami asal-usul kerajaan Mythopia yang begitu disegani oleh kerajaan-kerajaan lain. Dia memandang keris suci di tangannya, bilahnya yang berkilauan memancarkan cahaya keemasan yang seolah hidup dan bernapas.
"Raja Alam Wardhana," kata Isidore dengan suara penuh hormat, "aku memiliki banyak pertanyaan. Apa sebenarnya asal-usul kerajaan Mythopia? Dan apa kegunaan dari keris suci ini? Mengapa keris ini begitu penting?"
Raja Alam Wardhana memandang Isidore dengan mata yang penuh kebijaksanaan, seolah menembus jiwa muda yang penuh keraguan itu. "Kerajaan Mythopia, wahai Isidore, adalah kerajaan yang dibangun di atas pilar-pilar kekuatan dan kebijaksanaan. Dahulu kala, Mythopia adalah pusat dari segala pengetahuan dan kekuatan magis di dunia ini. Kerajaan-kerajaan lain memandang kami dengan rasa hormat dan takut, karena kami memiliki ksatria-ksatria yang tak tertandingi dan kekuatan yang tak terbayangkan."
Dia berhenti sejenak, matanya memandang ke kejauhan, seolah melihat kembali masa lalu yang telah lama berlalu. "Namun, kekuatan itu juga membawa bahaya. Biksu Sri Laksana, dengan kebijaksanaannya yang tak tertandingi, memutuskan untuk menyegel kekuatan itu agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Keris suci ini adalah kunci untuk membuka segel itu. Hanya garis keturunan asli Mythopia yang dapat menggunakannya, dan kau, Isidore, adalah salah satu dari mereka."
Isidore merasakan getaran aneh di tubuhnya, seolah keris itu merespons kata-kata Raja Alam Wardhana. Dia memandang keris itu dengan rasa kagum dan takut. "Tapi mengapa sekarang? Mengapa segel itu harus dibuka sekarang?"
Sri Laksana, yang berdiri di samping Raja Alam Wardhana, mengangguk perlahan. "Karena saatnya telah tiba, Isidore. Kekuatan itu tidak boleh tetap tersembunyi selamanya. Dunia ini membutuhkan Mythopia sekali lagi, dan kau adalah harapan terakhir kami."
Raja Alam Wardhana melanjutkan, "Namun, kekuatan itu tidak akan berguna tanpa ksatria-ksatria yang kuat untuk menggunakannya. Kau harus mencari mereka, Isidore. Ksatria-ksatria Mythopia yang telah lama hilang. Hanya aku yang mengenali mereka, dan hanya aku yang dapat membantumu menemukan mereka."
Isidore merenungkan kata-kata mereka, hatinya dipenuhi oleh tekad yang baru. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya dan misteri, tetapi dia juga tahu bahwa inilah takdirnya. Dengan keris suci di tangannya dan ketiga pertapa kuno di sampingnya, Isidore siap menghadapi tantangan yang menantinya.
---