31/01/25

Kisah kerajaan Mythopia edisi revisi



-cerita ditulis oleh M. Irvan--

Chapter 1: Kelahiran Sang Anak

Di bawah langit kelam yang dipenuhi awan bergulung-gulung, istana kerajaan Mythopia berdiri megah, bagaikan benteng terakhir yang menjaga rahasia zaman. Menara-menaranya menjulang tinggi, menembus kabut tebal yang menyelimuti lembah-lembah di sekitarnya. Di dalam dinding istana yang kokoh, suasana tegang mengisi udara, seolah alam semesta sendiri menahan napas menunggu sesuatu yang agung—atau mungkin, sesuatu yang mengerikan.

Di kamar ratu yang dihiasi permadani kuno dan lukisan para leluhur, Elara, sang Ratu Mythopia, berbaring di atas ranjang yang terbuat dari kayu berukir halus. Wajahnya pucat, tetapi matanya bersinar dengan keteguhan yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah melihat batas antara hidup dan mati. Tangannya menggenggam erat tangan Raja Itharius, suaminya, yang berdiri di sampingnya dengan wajah dipenuhi kekhawatiran.

"Itharius," bisik Elara dengan suara lemah namun penuh makna, "aku merasakannya... dia akan segera datang."

Raja Itharius, dengan jubah kebesarannya yang berwarna ungu tua, memandang istrinya dengan tatapan yang dalam. Di matanya, terpancar ketakutan yang tak terucapkan, tetapi juga harapan yang tak pernah padam. "Bertahanlah, Elara," katanya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Kita telah menunggu terlalu lama untuk ini."

Di luar jendela, petir menyambar-nyambar, memecah keheningan malam. Angin berhembus kencang, membawa suara gemerisik daun-daun kering yang seolah berbisik tentang ramalan kuno. Para pelayan istana berlarian dengan panik, sementara para penjaga berdiri tegak di pos mereka, mencoba menahan ketakutan yang merayap di hati mereka.

Tiba-tiba, Elara merintih kesakitan, dan suaranya menggema di lorong-lorong istana. Raja Itharius segera memanggil dokter kerajaan, seorang lelaki tua bernama Maester Oryn, yang wajahnya dipenuhi garis-garis usia dan kebijaksanaan. "Segera!" seru Raja Itharius, suaranya penuh kepanikan. "Dia tidak bisa menunggu lebih lama!"

Maester Oryn tiba dengan langkah cepat, diikuti oleh beberapa asistennya. Mereka segera merawat Elara dengan penuh kehati-hatian, sementara Raja Itharius berdiri di sudut ruangan, tangannya mengepal erat. Hatinya berdebar kencang, seolah setiap detik yang berlalu adalah abadi.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti ribuan tahun, tangisan bayi akhirnya memecah keheningan. Suaranya nyaring dan penuh kehidupan, seolah menyambut dunia dengan keberanian yang tak terbendung. Namun, bersamaan dengan itu, gempa kecil mengguncang istana. Benda-benda berjatuhan, dan para penjaga saling pandang dengan ketakutan.

Raja Itharius memandang bayi itu dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggendong seorang anak laki-laki yang wajahnya bersinar seperti bulan purnama. "Isidore," bisiknya, menamai anaknya dengan nama yang telah lama dipersiapkan. "Namamu adalah Isidore."

Namun, di balik keharuan itu, ada sesuatu yang menggelayut di hatinya. Dia tahu bahwa kelahiran ini bukanlah peristiwa biasa. Para biksu kerajaan, yang telah menunggu di luar ruangan, segera masuk dengan wajah serius. Biksu Agung Laksana, seorang lelaki tua dengan jubah putih bersih, maju ke depan. Matanya memancarkan kebijaksanaan, tetapi juga ketakutan.

"Tuanku," kata Biksu Laksana dengan suara berat, "anak ini membawa tanda. Dia adalah Pembawa Bencana, seperti yang diramalkan dalam naskah kuno. Kita harus berhati-hati."

Raja Itharius memandang Biksu Laksana dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu, Laksana? Apakah kau mengatakan bahwa anakku adalah ancaman bagi kerajaan ini?"

Biksu Laksana mengangguk perlahan. "Ramalan itu jelas, Tuanku. Kelahiran Isidore akan membawa perubahan besar. Apakah itu kejayaan atau kehancuran, hanya waktu yang akan menjawab."

Di luar istana, langit semakin gelap, dan angin berhembus kencang, seolah alam semesta sedang memberikan peringatan. Raja Itharius memandang bayi itu sekali lagi, dan di matanya, ia melihat bayangan masa depan yang tak terelakkan. Dia tahu bahwa hidup Isidore tidak akan pernah biasa, dan Mythopia akan menghadapi ujian terbesarnya.

---

Chapter 2: Penyelamatan Rahasia 

Malam itu, istana Mythopia tenggelam dalam keheningan yang berat, seolah seluruh kerajaan sedang menahan napas menunggu takdir yang tak terelakkan. Bulan purnama bersinar terang di langit, memancarkan cahaya keperakan yang menyinari menara-menara istana dan hutan-hutan di sekitarnya. Namun, cahaya itu tidak membawa kedamaian, melainkan ketegangan yang semakin menggelora.

Di dalam kamar rahasia yang tersembunyi di balik dinding istana, Raja Itharius berdiri di depan jendela kecil, memandang ke arah hutan belantara yang membentang di kejauhan. Tangannya menggenggam erat keris pusaka kerajaan, yang bilahnya berkilauan di bawah cahaya bulan. Di sudut ruangan, seorang pengawal setia bernama Geron menunggu dengan sabar, wajahnya dipenuhi keseriusan.

"Geron," bisik Raja Itharius, suaranya hampir tak terdengar, "apakah kau yakin dengan rencana ini?"

Geron mengangguk perlahan, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. "Tuanku, kita tidak punya pilihan lain. Jika kita tidak bertindak sekarang, para biksu akan mengambil Isidore saat fajar tiba. Mereka percaya bahwa dia adalah ancaman bagi Mythopia."

Raja Itharius menghela napas panjang, hatinya dipenuhi konflik yang tak terkatakan. Dia memandang ke arah buaian kecil di tengah ruangan, di mana Isidore sedang tertidur dengan tenang. Wajah bayi itu bersinar seperti permata di bawah cahaya bulan, seolah dia adalah hadiah dari para dewa—atau mungkin, kutukan.

"Elara," bisik Raja Itharius, memikirkan istrinya yang masih terbaring lemah di kamarnya. "Aku berjanji akan melindungi anak kita, meski harus mengorbankan segalanya."

Dengan langkah tegas, Raja Itharius mendekati buaian itu dan mengangkat Isidore dengan lembut. Bayi itu terbangun sejenak, matanya yang biru cerah memandang ayahnya dengan penuh kepercayaan. "Tenang, Isidore," bisik Raja Itharius. "Ayah akan menjagamu."

Mereka meninggalkan kamar rahasia itu melalui lorong tersembunyi yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Lorong itu gelap dan lembap, dengan dinding-dinding batu yang dipenuhi lumut dan akar-akar pohon yang menjalar. Di ujung lorong, sebuah kereta kuda kecil telah menunggu, dikendarai oleh seorang sais setia bernama Halon.

"Semuanya sudah siap, Tuanku," kata Halon dengan suara rendah. "Kita harus segera pergi sebelum fajar menyingsing."

Raja Itharius mengangguk, lalu memasuki kereta kuda itu dengan Isidore dalam pelukannya. Geron mengikuti dari belakang, membawa beberapa persediaan makanan dan air. Dengan isyarat dari Halon, kereta kuda itu mulai bergerak, meninggalkan istana Mythopia yang megah di belakang mereka.

Perjalanan mereka melewati hutan-hutan lebat yang dipenuhi suara binatang malam dan gemerisik daun-daun kering. Bulan purnama memberikan cahaya yang cukup untuk menerangi jalan, tetapi suasana malam itu tetap menegangkan. Raja Itharius memandang ke arah istana yang semakin menjauh, hatinya dipenuhi keraguan dan kesedihan.

"Apakah ini keputusan yang benar, Geron?" tanya Raja Itharius, suaranya penuh keraguan. "Apakah kita telah mengkhianati kerajaan kita dengan melarikan diri seperti ini?"

Geron memandang Raja Itharius dengan tatapan yang dalam. "Tuanku, terkadang kita harus memilih antara tugas kita sebagai pemimpin dan tanggung jawab kita sebagai orang tua. Kau telah memilih untuk melindungi Isidore, dan itu adalah keputusan yang mulia."

Raja Itharius mengangguk perlahan, tetapi hatinya masih dipenuhi kegelisahan. Dia tahu bahwa perjalanan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari petualangan yang jauh lebih besar. Di dalam pelukannya, Isidore tertidur dengan tenang, seolah tidak menyadari betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh ayahnya.

Di kejauhan, gunung-gunung Mythopia menjulang tinggi, puncaknya diselimuti kabut tebal. Di sana, di puncak gunung tertinggi, terdapat kuil kuno yang telah lama ditinggalkan. Kuil itu adalah tempat di mana ramalan tentang Isidore pertama kali diungkapkan, dan Raja Itharius tahu bahwa suatu hari nanti, mereka harus kembali ke sana untuk mencari jawaban.

Malam semakin larut, dan kereta kuda itu terus melaju menuju hutan belantara. Di langit, bintang-bintang bersinar terang, seolah memberikan petunjuk bagi mereka yang berani mengikuti takdirnya. Raja Itharius memandang ke arah bintang-bintang itu, dan di hatinya, dia berjanji akan melindungi Isidore, meski harus menghadapi segala rintangan yang menghadang.

---

Chapter 3: Pencarian Identitas 

Setelah berbulan-bulan melintasi hutan belantara, melewati sungai-sungai yang deras, dan mendaki bukit-bukit terjal, Raja Itharius dan Isidore akhirnya tiba di sebuah desa terpencil di tepi hutan Kalimantan. Desa itu dikelilingi oleh pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi, cabang-cabangnya membentuk kanopi alami yang melindungi penduduknya dari terik matahari dan hujan lebat. Udara di sana terasa segar, dipenuhi aroma bunga-bunga liar dan tanah basah.

Raja Itharius, yang kini menyamar sebagai seorang pengembara bernama Tandika, memandang desa itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa lega karena mereka telah menemukan tempat yang aman untuk tinggal. Di sisi lain, hatinya dipenuhi kerinduan akan Mythopia, kerajaan yang telah dia tinggalkan demi melindungi anaknya.

"Di sini kita akan tinggal, Isidore," bisik Tandika kepada anaknya yang kini telah tumbuh menjadi seorang bocah berusia sepuluh tahun. "Desa ini akan menjadi rumah kita untuk sementara waktu."

Isidore memandang desa itu dengan mata penuh rasa ingin tahu. Dia melihat anak-anak berlarian di antara rumah-rumah kayu, wanita-wanita menenun kain di beranda, dan lelaki-lelaki yang kembali dari berburu dengan hasil tangkapan di pundak mereka. Semuanya terasa asing, tetapi juga menarik.

"Apakah kita akan aman di sini, Ayah?" tanya Isidore dengan suara polos.

Tandika tersenyum lembut. "Kita akan berusaha, Isidore. Tapi ingat, jangan pernah memberitahu siapa pun tentang asal-usul kita. Rahasia itu harus kita simpan baik-baik."

Mereka diterima dengan ramah oleh penduduk desa, terutama oleh seorang tetua bernama Darma, yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Darma memberikan mereka sebuah gubuk kecil di tepi hutan, tempat mereka bisa tinggal dengan tenang. Namun, meski hidup mereka tampak damai, Tandika tahu bahwa kedamaian itu hanyalah sementara. Di dalam hatinya, dia merasa bahwa takdir Isidore akan segera memanggil mereka kembali ke Mythopia.

---

Chapter 4: Keberanian Anak Pemimpin

Bertahun-tahun berlalu, dan Isidore tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah berani. Wajahnya memancarkan keteguhan yang jarang ditemukan pada anak seusianya, dan matanya yang biru cerah selalu penuh dengan rasa ingin tahu. Dia sering menghabiskan waktunya di hutan, menjelajahi setiap sudutnya, dan berbicara dengan binatang-binatang yang seolah mengerti bahasanya.

Suatu malam, ketika bulan purnama bersinar terang, Isidore duduk di tepi sungai kecil di dekat desa. Dia memandang air yang mengalir dengan tenang, tetapi hatinya dipenuhi kegelisahan. Dia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang harus dia temukan.

"Ayah," kata Isidore ketika Tandika mendekatinya, "aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Siapakah kita sebenarnya? Mengapa kita harus hidup seperti ini?"

Tandika menghela napas panjang. Dia tahu bahwa saatnya telah tiba untuk mengungkap kebenaran. "Isidore," katanya dengan suara berat, "kita bukanlah orang biasa. Kau adalah putra mahkota Mythopia, kerajaan yang telah lama kita tinggalkan. Dan aku... aku adalah raja yang telah mengorbankan segalanya untuk melindungimu."

Isidore terdiam, mencerna kata-kata ayahnya. Dia merasa seperti dunia di sekitarnya berputar, membawanya ke dalam kenyataan yang jauh lebih besar dari yang pernah dia bayangkan. "Mengapa kita harus pergi, Ayah? Apa yang terjadi di Mythopia?"

Tandika memandang ke arah bulan, matanya dipenuhi kesedihan. "Ada ramalan kuno, Isidore. Ramalan yang mengatakan bahwa kelahiranmu akan membawa perubahan besar bagi Mythopia. Beberapa percaya bahwa kau adalah Pembawa Bencana, sementara yang lain melihatmu sebagai harapan terakhir. Tapi aku tahu satu hal: kau adalah anakku, dan aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."

Isidore mengangguk perlahan, hatinya dipengaruhi oleh tekad yang baru. "Aku ingin tahu kebenarannya, Ayah. Aku ingin kembali ke Mythopia dan menghadapi takdirku."

Tandika memandang anaknya dengan bangga. "Kau telah tumbuh menjadi pemuda yang berani, Isidore. Besok, kita akan memulai perjalanan kita kembali ke Mythopia."
---

Bab V: Terkuaknya Rahasia yang Terpendam

Perjalanan pulang menuju Mythopia bukan sekadar pengembaraan; itu adalah ziarah melewati tanah-tanah yang dibekap bayang-bayang, di mana malam lebih pekat dan angin membawa bisikan dari masa silam. Mereka menembus hutan-hutan purba yang rantingnya membentuk gerbang-gerbang kegelapan, tempat makhluk-makhluk tak bernama bersembunyi dalam sunyi.

Sungai-sungai deras mengalir bagaikan urat nadi bumi yang marah, menggulung buih dan bebatuan, sementara gunung-gunung menjulang tinggi dan curam seperti benteng para dewa yang menjaga jalan menuju tanah suci. Namun Isidore, kendati langkahnya sering dihantam lelah, tidak pernah bersungut. Sebab dalam hatinya, ia tahu: setiap jejak di tanah yang asing ini membawanya lebih dekat kepada takdir yang telah lama ditulis dalam bintang-bintang.

Tatkala mereka tiba di pelataran Mythopia, langit seakan memudar. Burung-burung tidak berkicau, dan angin berhenti sejenak seakan menanti sesuatu. Di hadapan mereka, berdiri istana yang dahulu bagaikan permata yang bersinar di jantung negeri—kini tampak seperti raksasa tua yang tertidur dan dilupakan.

Dinding-dindingnya penuh retakan, dililit tanaman liar dan ditumbuhi lumut abu-abu. Menara-menara yang pernah mencakar langit tampak rebah dalam keheningan. Dan di desa-desa sekitar, wajah-wajah yang dahulu ramah kini tersembunyi di balik jendela; mata mereka tajam, namun penuh ketakutan, seolah mereka telah melihat sesuatu yang tak sanggup dikatakan.

> “Ada sesuatu yang tak beres,” bisik Tandika, suaranya serak seperti angin yang tersesat di antara reruntuhan.
“Kita harus berhati-hati. Tanah ini tidak lagi mengenal kita.”



Mereka masuk ke dalam istana dengan langkah ringan dan napas ditahan, menyusuri lorong-lorong rahasia yang dahulu dibangun oleh leluhur Tandika—jalan-jalan tersembunyi yang hanya diingat oleh darah keturunan mereka. Lorong itu dingin, sunyi, dan seakan membawa mereka jauh bukan hanya ke dalam perut istana, melainkan ke kedalaman waktu itu sendiri.

Hingga akhirnya mereka tiba di Ruang Pusaka—tempat suci yang bahkan dalam legenda hanya dibisikkan, bukan disebut. Rak-rak tua yang berderit menampung naskah-naskah kuno yang telah dilupakan dunia, dan peta-peta berdebu yang menggambarkan negeri-negeri yang mungkin telah tenggelam dalam lautan waktu.

Di tengah ruangan berdiri sebuah altar batu, tinggi dan kokoh, dikerjakan dengan tangan yang tak dikenal sejarah. Pada permukaannya terukir simbol-simbol tua, penuh dengan bahasa yang telah mati sebelum bahasa manusia lahir. Di atasnya, segel kuno bersinar samar—menunggu sentuhan yang ditakdirkan.

Tandika melangkah maju. Dengan tangan yang gemetar namun teguh, ia menyentuh segel itu. Dalam sekejap, altar itu bergemuruh pelan, dan dari tengah batu yang dingin, sebilah keris bangkit perlahan, seolah didorong oleh tangan-tangan tak kasatmata.

Saat keris itu mengambang di udara, simbol-simbol di altar memancarkan cahaya terang, bukan cahaya dunia ini, melainkan cahaya yang membawa bisikan dari langit tertinggi. Suasana mendadak berubah—seperti dunia berhenti berputar.

Tubuh Tandika terasa dialiri kekuatan asing, kekuatan yang lembut namun memaksa, seolah seluruh alam semesta sedang berbicara padanya, bukan melalui kata, tetapi melalui rasa dan gema yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang terpilih.

Lalu dari cahaya itu, muncullah tiga sosok berjubah panjang—para pertapa kuno, wajah mereka bersinar tenang namun menakutkan dalam kebijaksanaannya. Mata mereka bagaikan danau yang dalam, memantulkan langit dan petaka, harapan dan kehancuran.

> “Kau telah menemukan kami, Tandika,” ucap salah satu dari mereka, suaranya seperti gaung dalam gua batu purba.
“Kami adalah Penjaga Rahasia Mythopia. Dan kini, saatnya telah tiba... Tabir yang memisahkan masa lalu dan masa kini akan tersingkap. Kebenaran yang lama tersembunyi, akan bangkit dari tidur panjangnya.”



Dan dalam sunyi yang menyelimuti ruang itu, dunia seakan mendengarkan.
---

Chapter VI: Keris Raja Itharius

Tandika, yang di masa lampau dikenal sebagai Raja Itharius, berdiri tegak laksana batu karang di hadapan dinding batu purba yang menjulang, permukaannya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang nyaris terhapus oleh waktu. Angin malam berdesir perlahan, membawa bisikan masa lampau yang menyusup di antara dedaunan, seolah bumi sendiri tengah menahan napas.

Di tangannya tergenggam erat keris suci—bilahnya berkilauan laksana sinar fajar pertama, menyala keemasan, berdenyut seperti hidup, seakan di dalamnya tertambat napas zaman yang telah lama terkubur. Dengan gerakan yang perlahan namun penuh tekad, Itharius mengayunkan bilah itu membentuk segel bercahaya biru pucat, menyusuri lekuk dinding batu yang kini bergetar lembut di bawah sentuhannya.

“Bersiaplah, Isidore,” ucap sang Raja, suaranya dalam dan bergema seperti petir jauh di puncak gunung. “Kekuatan purba Mythopia akan bangkit dan menunjukkan jalannya.”

Ketika keris itu ditancapkan pada pusat ukiran, cahaya lembut menjalari dinding, dan kabut tebal yang menyelubungi batu itu mencair perlahan, seperti tirai yang ditarik oleh tangan-tangan tak kasatmata. Di baliknya, terbentanglah jalan lebar dan megah, diterangi oleh cahaya keemasan dari langit tinggi, yang tampaknya bukan berasal dari matahari, melainkan dari suatu kemuliaan yang tak terlukiskan dengan kata.

“Dari sini, kita akan menempuh jalan yang berbeda,” ucap Raja Itharius, menatap putranya dengan mata yang memancarkan kasih sayang seorang ayah dan kebanggaan seorang raja. “Aku harus kembali ke jantung kerajaan. Para penjaga telah menanti di gerbang barat. Mereka akan membawamu ke ruang senjata kuno, tempat rahasia tertua dan paling dijaga disimpan—relik-relik yang lahir dari nyala pertama dunia.”

Isidore menatap ayahnya dengan mata yang bersinar dalam cahaya suci. Dengan penuh hormat, ia melangkah maju, menundukkan kepala, dan mencium tangan ayahnya, seakan menyentuh zaman yang mengalir melalui darahnya sendiri.

“Ayah,” bisiknya lirih, “Aku bersumpah atas langit dan tanah Mythopia—aku akan menjaga kerajaan ini. Aku akan menjadi bayang-bayangmu, dan pedangmu.”

Raja Itharius mengangguk pelan, dan dalam cahaya keemasan, tubuhnya tampak hampir seperti ukiran cahaya dari zaman dahulu. “Kau adalah harapan terakhir kita, Isidore. Cahaya terakhir sebelum kegelapan menyelimuti segalanya.”

Dengan hati yang menggelora oleh tekad, Isidore melangkah menuju kuil purba yang tertidur di balik kabut. Penjagaan longgar—para biksu tengah dalam pergantian, dan waktu seperti membuka jalannya sendiri.

Di tengah kuil kuno itu, Isidore berdiri—sunyi melingkupinya, seperti bisikan zaman purba yang tertahan. Di tangannya, ia menggenggam relik yang baru saja ia temukan: sebilah keris emas, bersinar terang bagaikan bintang yang jatuh dari langit. Ukiran halus membalut bilahnya, dan cahaya yang terpancar menyelimuti dinding kuil yang penuh dengan simbol kuno—hidup kembali, menari seperti roh-roh leluhur yang terbangun.

Saat Isidore mengangkat keris itu tinggi-tinggi, terdengarlah gemuruh dahsyat—seperti raungan gunung dan jerit bumi yang terbuka. Tiga sosok pertapa kuno muncul dari cahaya, melayang dalam kesunyian abadi. Mereka duduk bersila, tubuh mereka dibalut jubah putih yang tak tersentuh debu, dan mata mereka terpejam dalam ketenangan yang melampaui dunia fana.

Para biksu yang bergegas masuk tertegun. Wajah mereka memucat; tangan mereka gemetar melihat keris itu—relik suci yang, menurut legenda, hanya boleh disentuh oleh Patih Gajahmada, sang pemersatu tanah Nusantara. Dan kini, keris itu berada di tangan seorang pemuda yang tak mereka kenal, namun membawa aura para leluhur.

Dengan suara yang dalam dan tenang seperti aliran sungai purba, Isidore berkata, “Mengapa kalian menyembunyikan ini? Mengapa kebenaran harus dikubur di bawah lapisan dusta dan ketakutan?”

Tiada satu pun dari para biksu yang menjawab. Mereka saling berpandangan, mata mereka diliputi bayang-bayang keraguan dan ketakutan. Dalam hening itu, hanya gemuruh halus kekuatan kuno yang menjawab, dan dunia tampak sejenak menggigil di bawah naungan takdir yang baru saja dibangkitkan.

---

Chapter 7 Pertemuan dengan Para Pertapa 

Isidore berdiri tegak di tengah ruangan kuil, tangannya masih menggenggam erat keris suci yang memancarkan cahaya keemasan. Di hadapannya, tiga sosok pertapa kuno muncul dari cahaya yang memancar, melayang di udara dengan tenang. Mereka seperti makhluk dari dunia lain, dipenuhi aura kebijaksanaan dan kekuatan yang tak terkatakan. Cahaya yang memancar dari tubuh mereka menembus kegelapan gua, mengisi ruangan dengan kehangatan dan keajaiban.

Pertapa pertama adalah seorang lelaki berjubah putih bersih, dengan mahkota sederhana di kepalanya yang terbuat dari ranting-ranting emas. Matanya yang dalam memancarkan pengetahuan yang tak terbatas, dan senyumnya penuh dengan misteri yang tak terpecahkan. "Aku adalah Raja Alam Wardhana," katanya dengan suara yang tenang namun penuh wibawa. "Dahulu kala, aku memerintah Mythopia dengan kebijaksanaan dan keadilan. Kini, aku bangkit dari tidur panjangku, meski hanya sebagian dari kekuatanku, karena kau telah menemukan relic kuno ini."

Pertapa kedua adalah seorang ksatria gagah berani, mengenakan baju besi yang berkilauan di bawah cahaya keris. Pedang panjang tergantung di pinggangnya, dan matanya yang tajam memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. "Aku adalah Ksatria Cheon Myeong," katanya dengan suara yang dalam dan penuh hormat. "Dulu, aku adalah pelindung raja, penjaga Mythopia dari ancaman yang tak terlihat. Keberanian dan kehormatanku telah mengantarku ke sini, untuk bertemu denganmu, Isidore."

Pertapa ketiga adalah seorang biksu tua, dengan jubah sederhana dan wajah yang dipenuhi kedamaian. Matanya yang sedikit menyipit memancarkan kebijaksanaan yang tak tertandingi, dan senyumnya yang lembut seolah menenangkan jiwa yang gelisah. "Aku adalah Sri Laksana," katanya dengan suara yang lembut namun penuh makna. "Aku adalah biksu yang mengurung kami dalam keris ini. Raja memintaku untuk melindungi pengetahuan ini, dan aku setuju untuk terjebak di dalam sini demi Mythopia."

Isidore memandang ketiga pertapa itu dengan rasa penasaran dan sedikit ketakutan. Hatinya dipenuhi pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya. "Mengapa kalian dikurung?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Dan mengapa aku yang membebaskan kalian?"

Raja Alam Wardhana tertawa ringan, suaranya seperti gemerisik daun di angin musim gugur. "Hanya seorang dengan hati murni yang dapat mengangkat keris ini dan membangkitkan kami," katanya. "Hanya mereka yang tak terbebani oleh niat jahat yang mampu membuka segel ini."

Sri Laksana mengangguk perlahan, matanya memancarkan kebijaksanaan yang dalam. "Ada banyak rahasia yang tak bisa diungkapkan dengan mudah, Isidore," katanya. "Pengetahuan yang kami miliki adalah kunci untuk memahami kebenaran yang sesungguhnya tentang Mythopia. Tapi ingat, kebenaran itu tidak selalu mudah untuk diterima."

Isidore merenungkan kata-kata mereka, hatinya dipenuhi oleh tekad yang baru. Dia tahu bahwa perjalanan menuju kebenaran baru saja dimulai. Apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu Mythopia? Apa rahasia yang para biksu sembunyikan? Isidore merasa bahwa dia harus mengungkap semuanya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan kerajaan ini.

Dengan keris suci di tangannya dan ketiga pertapa kuno di sampingnya, Isidore siap menghadapi tantangan yang menantinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya dan misteri, tetapi dia juga tahu bahwa inilah takdirnya.

---
Chapter 8 Rahasia keris

Isidore berdiri di hadapan ketiga pertapa kuno, hatinya dipenuhi oleh pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami asal-usul kerajaan Mythopia yang begitu disegani oleh kerajaan-kerajaan lain. Dia memandang keris suci di tangannya, bilahnya yang berkilauan memancarkan cahaya keemasan yang seolah hidup dan bernapas.

"Raja Alam Wardhana," kata Isidore dengan suara penuh hormat, "aku memiliki banyak pertanyaan. Apa sebenarnya asal-usul kerajaan Mythopia? Dan apa kegunaan dari keris suci ini? Mengapa keris ini begitu penting?"

Raja Alam Wardhana memandang Isidore dengan mata yang penuh kebijaksanaan, seolah menembus jiwa muda yang penuh keraguan itu. "Kerajaan Mythopia, wahai Isidore, adalah kerajaan yang dibangun di atas pilar-pilar kekuatan dan kebijaksanaan. Dahulu kala, Mythopia adalah pusat dari segala pengetahuan dan kekuatan magis di dunia ini. Kerajaan-kerajaan lain memandang kami dengan rasa hormat dan takut, karena kami memiliki ksatria-ksatria yang tak tertandingi dan kekuatan yang tak terbayangkan."

Dia berhenti sejenak, matanya memandang ke kejauhan, seolah melihat kembali masa lalu yang telah lama berlalu. "Namun, kekuatan itu juga membawa bahaya. Biksu Sri Laksana, dengan kebijaksanaannya yang tak tertandingi, memutuskan untuk menyegel kekuatan itu agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Keris suci ini adalah kunci untuk membuka segel itu. Hanya garis keturunan asli Mythopia yang dapat menggunakannya, dan kau, Isidore, adalah salah satu dari mereka."

Isidore merasakan getaran aneh di tubuhnya, seolah keris itu merespons kata-kata Raja Alam Wardhana. Dia memandang keris itu dengan rasa kagum dan takut. "Tapi mengapa sekarang? Mengapa segel itu harus dibuka sekarang?"

Sri Laksana, yang berdiri di samping Raja Alam Wardhana, mengangguk perlahan. "Karena saatnya telah tiba, Isidore. Kekuatan itu tidak boleh tetap tersembunyi selamanya. Dunia ini membutuhkan Mythopia sekali lagi, dan kau adalah harapan terakhir kami."

Raja Alam Wardhana melanjutkan, "Namun, kekuatan itu tidak akan berguna tanpa ksatria-ksatria yang kuat untuk menggunakannya. Kau harus mencari mereka, Isidore. Ksatria-ksatria Mythopia yang telah lama hilang. Hanya aku yang mengenali mereka, dan hanya aku yang dapat membantumu menemukan mereka."

Isidore merenungkan kata-kata mereka, hatinya dipenuhi oleh tekad yang baru. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya dan misteri, tetapi dia juga tahu bahwa inilah takdirnya. Dengan keris suci di tangannya dan ketiga pertapa kuno di sampingnya, Isidore siap menghadapi tantangan yang menantinya.

---

28/01/25

Kisah Pandika, seorang prajurit pantang menyerah dari kerajaan cakram

---

Bab I: Mimpi Sang Pemuda dari Lembah

Mentari pagi perlahan merekah di ufuk timur, menyingkap tirai kabut yang menggantung lembut di lereng-lereng bukit nan hijau, jauh di tepian barat Kerajaan Cakram. Embun masih bergelayut di ujung dedaunan, dan angin lembut berhembus membawa harum tanah basah dan wangi rumput liar yang bermekaran. Di antara hamparan sawah yang luas bagai permadani zamrud, tampak seorang pemuda tengah menekuni gerakan-gerakan yang memadukan kekuatan dan keluwesan, bagaikan daun yang menari dalam badai.

Dialah Pandika, putra dari tanah desa yang sederhana, namun dalam jiwanya berkobar bara impian. Rambut ikalnya yang hitam legam menari bersama angin pagi, dan tangannya yang keras oleh kerja sawah menggenggam sebatang kayu—pengganti pedang yang belum mampu ia miliki. Setiap ayunan, setiap langkahnya, adalah penggalan dari mimpi yang tak pernah padam: menjadi seorang pendekar sejati.

"Pandika! Masih saja kau berlatih seakan dunia menantimu berperang?" suara itu datang dari kejauhan, menggetarkan ketenangan pagi. Seorang wanita paruh baya, dengan langkah yang mantap dan keranjang penuh sayuran di lengannya, mendekat sambil menggeleng perlahan.

Itulah Sari, ibunda Pandika—wanita yang hatinya sekuat karang dan matanya memandang dunia dengan campuran kasih dan keprihatinan.

Pandika menghentikan gerakannya. Nafasnya berat, peluh membasahi dahinya. Namun dalam matanya, terbit cahaya tak tergoyahkan.
"Ibu, ini bukan sekadar mimpi. Suatu hari nanti, aku akan menjadi prajurit yang berdiri di garda depan Kerajaan Cakram."

Sari menghela napas panjang, seperti seseorang yang telah lama menyimpan beban di dadanya.
"Anakku… Raja Agus Marto lebih gemar berpesta di istana daripada melatih pasukan di lapangan. Di negeri ini, keberanian tak lagi mendapat tempat, dan pedang tak lagi diasah. Untuk apa kau bersusah payah menempuh jalan yang tak dihiraukan?"

Namun Pandika hanya tersenyum, lembut namun penuh tekad.
"Bukan untuk pengakuan aku berlatih, Ibu. Tapi untuk kehormatan. Karena suatu hari, badai akan datang. Dan saat itu tiba, negeri ini memerlukan tangan-tangan yang tak gentar, jiwa-jiwa yang tak mudah padam."

Ibunya memandangnya lama, dan dalam tatapannya ada sesuatu yang tak ia ucapkan: harapan dan ketakutan bercampur jadi satu.
"Kalau begitu, berlatihlah, Nak. Tapi jangan lupakan sawah kita yang menanti tanganmu. Impian tak akan tumbuh di tanah yang tak digarap."

Sari pun berlalu, langkahnya bergema lembut di tanah basah. Pandika kembali menyesuaikan kuda-kudanya, kini dengan semangat yang membara. Ia mencoba gerakan yang lebih berani—melompat, memutar tubuhnya di udara, memukulkan batang kayu seperti senjata nyata. Tubuhnya penuh luka dan memar, namun semangatnya tak pernah runtuh.

Dalam benaknya, ia melihat sebuah arena luas, dikelilingi oleh prajurit dari negeri-negeri jauh, pedang beradu, dan sorak peperangan menggema. Dan di sana, di tengah-tengah itu semua, berdirilah ia—anak desa dari lembah Cakram—membawa harapan yang telah lama tertidur.

---
Bentangan Megah Kerajaan Cakram

Di jantung tanah Cakram, berdirilah istana megah yang menjulang bak benteng zaman purba. Menara-menara tinggi menantang langit, berbalut batu pualam kelabu yang memantulkan cahaya mentari bagai bara surga yang meredup. Meski agung dalam rupa, namun hawa yang menyelimutinya kelam, seolah bayangan mendung menggantung abadi di atas menara-menara itu.

Di dalam balairung istana, yang pilar-pilarnya menjulang dan lantainya berkilau bak permukaan danau hitam, duduklah Raja Agus Marto di atas takhta besi berukir naga berkepala dua—warisan leluhur yang kini tampak lebih sebagai simbol kekuasaan rapuh daripada kebesaran sejati.

Sang raja, pria bertubuh besar dengan rambut yang mulai memutih di pelipis, memandangi para penasihatnya dengan sorot mata yang gelap dan tak bersahabat. Wajahnya selalu muram, seolah marah pada dunia yang enggan tunduk padanya.

"Sampai kapan kita harus menanggung aib ini?" hardiknya, suaranya menggema seperti gelegar petir di langit yang mendung. "Dalam tiap pertempuran, pasukan kita dikalahkan. Satu demi satu... kerajaan tetangga mulai menertawakan nama Cakram. Apakah para prajuritku hanya tahu cara lari dan bersembunyi?"

Balairung terdiam. Suasana menjadi berat seperti udara sebelum badai. Para penasihat menunduk, namun satu di antara mereka—tua, berjanggut perak dan berjubah biru—akhirnya mengangkat wajahnya dengan perlahan.
"Paduka Raja, barangkali... bila latihan militer ditingkatkan, bila para ksatria diberikan pelatihan yang layak, maka—"

Namun kata-katanya dipotong oleh gelombang amarah.

"Latihan?" ujar sang raja dengan tawa dingin yang tak membawa sukacita. "Itu hanya buang-buang waktu dan harta kerajaan. Bajingan berpakaian zirah tak akan membawa kejayaan! Dunia kini menuntut kelicikan, bukan keberanian. Diplomasi... atau cara lain yang lebih licin! Itu yang kita perlukan."

Ucapan itu menggantung di udara, mengendap seperti kabut beracun. Para penasihat saling memandang—tak ada yang berani menjawab, tak ada yang cukup berani menentang. Mereka tahu, di istana ini, pertentangan bisa berakhir dengan pengasingan... atau lebih buruk.

Di luar jendela-jendela kaca patri, langit perlahan mendung, seakan langit pun turut murung menyaksikan kejatuhan semangat dari seorang raja yang telah melupakan kehormatan senjata dan jiwa para pejuangnya.

---
Pertemuan di Tengah Pasar

Pada suatu sore yang berkilau lembut di bawah sinar keemasan mentari, Pandika, pemuda dari desa di pinggir negeri, melangkah menuju pasar kerajaan—suatu tempat yang baginya penuh dengan cerita dan harapan. Ia ingin menyaksikan sendiri denyut jantung pusat Kerajaan Cakram, dan di sela langkahnya yang tegap, tersembunyi pula niat untuk mencari jalan masuk ke dalam barisan prajurit sang raja.

Pasar itu ramai dan riuh, bagaikan lautan warna dan suara. Kanopi-kanopi kain membentang di atas kepala, menyaring cahaya matahari menjadi berkas-berkas lembut. Pedagang menjajakan rempah dan kain, alat tempa dan buah dari tanah subur, sementara musik tabuh dan nyanyian pengamen jalanan mengalun lembut di antara celoteh manusia.

Namun ketenteraman itu seketika pecah oleh jeritan yang tajam, menusuk udara seperti panah dari busur perang.

“Tolong! Ada pencuri!”

Tanpa ragu, Pandika menerobos kerumunan, mengikuti suara itu. Di sebuah lorong sempit yang diapit oleh kios rempah dan kain sutra, ia melihat seorang pria bertopeng tengah mencengkeram tas milik seorang wanita muda yang terjatuh. Pandika bergerak seperti angin pegunungan yang menghempas dedaunan—cepat, tak terbendung. Dalam satu gerakan terlatih, ia menjatuhkan si pencuri ke tanah berbatu, dan pria itu, tak ingin tertangkap, segera bangkit dan lari ke arah bayang-bayang.

Wanita muda itu terduduk, napasnya memburu, matanya terbelalak karena syok. Gaunnya berlapis kain halus, berbordir perak halus yang hanya dikenakan kaum bangsawan. Namun wajahnya tak menampakkan kesombongan, melainkan rasa terima kasih yang tulus.

“Terima kasih, Tuan…” ucapnya, suaranya sehalus embun pagi.

Pandika menundukkan kepala sedikit, seraya berkata dengan rendah hati,
“Tak perlu disebut, Nona. Namaku Pandika.”

Wanita itu berdiri perlahan, debu di gaunnya tak sanggup mengurangi wibawa alaminya.
“Aku Nayla,” jawabnya. Sorot matanya lembut, namun pandangannya tajam, seolah menilai lebih dari sekadar penampilan luar. “Kau sangat terampil. Apakah kau seorang prajurit kerajaan?”

Pandika menggeleng, sedikit ragu, namun suaranya mantap.
“Belum. Tapi aku berharap kelak dapat menjadi salah satunya.”

Senyum Nayla terbit seperti cahaya dari lentera malam.
“Kalau begitu, jangan padamkan harapanmu, Pandika. Kerajaan ini membutuhkan orang-orang yang berani bertindak bahkan ketika tak ada yang menyuruh.”

Ia berkata demikian, namun dalam nada suaranya terkandung beban yang tak tampak oleh mata awam—sebuah kesedihan atau mungkin rahasia yang dalam.

Pandika memandangnya sejenak, merasa seolah pertemuan itu bukan kebetulan, melainkan bagian dari sesuatu yang lebih besar—benang takdir yang tengah dijalin oleh tangan-tangan waktu.

Apa yang tak ia ketahui adalah bahwa Nayla bukan sembarang wanita—melainkan putri dari garis darah bangsawan tua, yang namanya disebut dalam bisik-bisik ruang perundingan dan bayang-bayang istana. Dan pertemuan mereka, sekilas tampak sederhana, namun akan mengguncang nasib kerajaan di hari-hari mendatang.



Malam tiba, Pandika kembali ke desanya. Di langit, bintang-bintang bersinar terang, seolah memberinya harapan baru. Ia tidak tahu bahwa pertemuannya dengan Nayla akan mengubah hidupnya selamanya. Di kejauhan, suara genderang kerajaan terdengar, mengingatkan semua orang bahwa Kerajaan Cakram masih dalam bahaya.

Tapi Pandika tidak takut. Ia siap menghadapi apa pun untuk mewujudkan mimpinya.

---

---

Bab Kedua: Ujian Pertama

Pagi menjelang dengan kabut tipis menggantung di atas halaman berbatu Istana Cakram, laksana tirai halus yang enggan tersingkap. Matahari belum sepenuhnya naik, namun sinarnya mulai menelusup di antara menara-menara tinggi, memantulkan cahaya keemasan pada gerbang logam yang menjulang tegak bagai penjaga abadi waktu.

Pandika berdiri di hadapan gerbang agung itu—seorang pemuda dari desa, dengan pakaian sederhana, kaki berdebu, dan sebilah tongkat kayu yang terikat di punggungnya. Tak ada baju zirah, tak ada lambang kebesaran, hanya tekad yang memancar dari sorot matanya.

Dadanya bergemuruh oleh harap dan gentar yang berpadu, namun kakinya tidak mundur satu jengkal pun.

Dari sisi gerbang, muncul seorang prajurit penjaga—berzirah kulit hitam dan membawa tombak panjang yang ujungnya berkilau. Ia menatap Pandika dengan mata menyipit, bibirnya melengkung dengan cemooh.

"Siapa kau, anak muda? Apa maksud kedatanganmu di istana pagi-pagi begini?" tanyanya dengan nada kasar, seolah kehadiran pemuda itu adalah gangguan bagi tatanan kerajaan.

Pandika membungkukkan tubuh sedikit, sebagai bentuk hormat.
"Namaku Pandika, hamba dari desa Lereng Timur. Aku datang untuk mengajukan diri sebagai calon prajurit kerajaan."

Penjaga itu tertawa—suara tawanya keras, menggema di antara tembok-tembok batu.
"Kau? Dengan tongkat kayu dan baju petani? Ini bukan gelanggang anak-anak, Nak. Pergi sebelum kau menyesal."

Namun Pandika tidak bergeming. Suaranya tetap teguh, seperti batu yang menahan ombak.
"Aku tidak datang untuk main-main. Aku hanya meminta satu hal: kesempatan untuk membuktikan bahwa aku layak."

Penjaga itu hendak menyahut lagi, namun sebelum kata-kata cemooh keluar dari mulutnya, terdengar suara lain—lembut, tenang, namun sarat kekuasaan yang tidak dapat disangkal.

"Biarkan ia masuk."

Seketika para penjaga berdiri lebih tegak. Dari belakang Pandika, muncullah seorang wanita muda dengan langkah ringan dan tatapan teduh. Gaunnya terbuat dari sutra ungu dan perak yang menyapu lantai batu, dan pada dadanya tergantung lambang keluarga tertua di Kerajaan Cakram—Putri Nayla.

Ia menatap Pandika, lalu mengalihkan pandangannya kepada para penjaga.

"Ia berada di bawah jaminanku. Jika ingin menjadi prajurit, maka biarkan ia mengikuti ujiannya seperti yang lain."

Salah satu penjaga buru-buru membungkuk.
"Ampun, Putri Nayla. Kami tidak tahu—"

"Tidak perlu meminta maaf," ucap Nayla lembut.
"Namun jangan pernah halangi seseorang yang membawa keberanian sejati."

Ia kembali memandang Pandika, matanya bersinar seolah melihat jauh ke dalam takdir.
"Semoga jalanmu kuat dan langkahmu benar. Di depanmu, ujian tak hanya menunggu, tapi juga menimbang."

Dan dengan demikian, Pandika melangkah melewati gerbang istana—bukan sebagai seorang prajurit, belum. Tapi sebagai seseorang yang telah menembus dinding pertama dari dunia besar yang tertutup rapat bagi mereka yang lahir tanpa nama.

Ujian pertama belum dimulai, namun sejarah telah mencatat langkahnya.

---

Bayang-Bayang di Barak Besi

Berkat kata-kata Putri Nayla—yang bagi sebagian adalah hukum, dan bagi sebagian lain adalah sumber kecemburuan—Pandika diterima sebagai calon prajurit dan diberi tempat di Barak Besi, tempat para pemuda dari seluruh penjuru negeri ditempa menjadi pelindung kerajaan.

Namun kehadirannya membawa riak dalam air yang tampak tenang. Bagi sebagian prajurit muda yang telah bertahun-tahun menempuh latihan berat, masuknya seorang anak desa—tanpa nama, tanpa gelar, tanpa warisan darah—terasa seperti penghinaan terhadap jalur kehormatan yang mereka tempuh.

"Lihatlah, petani itu," bisik seorang pemuda kepada kawannya di antara kerumunan barak. Suaranya rendah, namun penuh racun. "Datang dari lumpur dan berharap mengenakan zirah emas."

"Dia pasti dibantu seseorang. Atau menyogok penjaga. Mana mungkin dia lulus ujian hanya dengan tongkat kayu dan muka bodoh itu?"

Pandika mendengar, namun tidak menanggapi. Ia tahu bahwa bukan telinga yang harus menjawab fitnah, melainkan perbuatan. Maka ia mengalihkan pikirannya pada latihan, pada tubuhnya yang harus dikeraskan, dan pada tekad yang ia genggam sejak pagi pertama ia melihat matahari terbit di atas sawah desanya.

Namun bisikan iri itu tak sekadar kata-kata. Suatu malam, ketika bulan menggantung redup di langit dan barak telah sunyi, Pandika masih bertahan di halaman pelatihan, berlatih ayunan dan kuda-kuda di bawah cahaya obor. Keringat mengalir di wajahnya, namun pikirannya jernih.

Dari bayang-bayang muncul suara langkah. Bukan satu, melainkan banyak.

“Masih bermain dengan tongkatmu, petani?”
Suara itu berat dan kasar, milik seorang pria bertubuh besar, dengan dada lapang dan bahu selebar pintu gerbang. Namanya Raka, dan ia dikenal sebagai calon prajurit paling kuat di barak itu—berani, keras kepala, dan tak menyukai pesaing yang muncul dari bawah.

Di belakang Raka, empat orang prajurit muda lainnya berdiri seperti bayang-bayang yang mengikuti pemimpin mereka.

Pandika menoleh, wajahnya tidak menunjukkan rasa takut, hanya kelelahan dan keteguhan.
“Aku hanya berlatih.”

Raka menyeringai, lalu melangkah maju.
“Atau mungkin kau sedang menunggu Putri Nayla datang memujimu lagi? Apa kau pikir kau istimewa hanya karena dilirik oleh darah bangsawan?”

Pandika menarik napas perlahan. Suaranya tenang, namun dalam.
“Aku tidak datang ke sini untuk kemegahan. Aku datang untuk membuktikan diriku.”

Raka tertawa, lalu dengan gerakan tiba-tiba, mendorong Pandika dengan bahunya yang besar. Pandika terhuyung, namun tidak jatuh.

“Buktikan dirimu di ladang. Tempatmu di sana, bukan di antara para ksatria. Kami yang menempuh jalan ini dengan darah dan luka. Kau hanya bayang-bayang dari perlindungan istana.”

Pandika memandang mereka satu per satu, lalu menunduk pelan. Ia tidak membalas. Sebab ia tahu: bila ia melawan, maka akan dikatakan ia sombong. Bila ia membela diri, maka akan dianggap menghina tatanan. Maka ia diam, membiarkan kehormatan tetap tinggal di dalam hatinya, tak ternoda oleh provokasi.

Namun malam itu, di bawah cahaya bulan yang sayup, angin membawa bisik takdir yang tak dapat ditahan: konflik telah ditanam, dan kelak akan tumbuh menjadi ujian sejati.
---

Sidang Raja dan Ujian Takdir

Kegaduhan yang bergemuruh dari Barak Besi—bisik-bisik penuh iri, kecaman tersembunyi, dan cemooh yang dilemparkan bagai anak panah tanpa tuan—akhirnya mencapai telinga Raja Agus Marto, penguasa tertinggi Kerajaan Cakram. Dan ketika kata-kata itu—bahwa seorang anak desa masuk ke barisan prajurit tanpa melalui jalur resmi—diberitakan kepadanya, kemurkaan sang raja pun membubung laksana badai yang pecah di puncak gunung.

"Panggil semua. Adakan sidang. Panggil pemuda bernama Pandika itu segera!"

Maka berkumpullah seluruh jajaran bangsawan, para panglima, dan menteri kerajaan di Balairung Adiraja, ruang pengadilan yang agung dan senyap, tempat segala keputusan raja berlaku sebagai hukum mutlak. Pilar-pilar batu menjulang tinggi, dan langit-langitnya dihiasi lambang para leluhur Cakram yang seolah mengamati jalannya sidang dari dunia yang tak terlihat.

Di tengah ruangan, duduklah Pandika, sendirian, sebagai tertuduh. Di kursi tertinggi yang beratap singgasana naga perak, Raja Agus Marto duduk dengan wajah gelap bagai langit sebelum hujan badai. Jubah kerajaannya menjuntai, dan mahkota baja tua berkilau dingin di atas kepalanya.

“Pandika dari desa Lereng Timur, jawab dengan jujur di hadapan seluruh rakyat dan takhta ini: benarkah engkau masuk ke dalam jajaran calon prajurit kerajaan melalui jalan yang kotor?”

Pandika hendak membuka mulutnya, namun sebelum sepatah kata pun terucap, terdengar langkah anggun mendekat. Putri Nayla—berbalut jubah bangsawan berwarna langit senja, berdiri tegak di hadapan raja dan hadirin.

“Paduka Raja, kesalahan bukan pada dirinya. Akulah yang memberinya izin untuk masuk ke barak. Sebagai bangsawan, aku memiliki hak untuk menunjuk siapa yang kuanggap layak diberi kesempatan.”

Ruangan berbisik—beberapa terkejut, beberapa marah, dan banyak yang diam karena tak ingin melawan darah kerajaan.

Raja Agus Marto menatap Nayla, namun ia tidak menegur. Justru ia berdiri, mengangkat suaranya agar terdengar oleh semua.

“Jika begitu, maka biarlah ujian yang menentukan apakah anak desa ini pantas memakai lambang Cakram di dadanya. Bukan kata-kata, bukan hubungan darah, bukan jaminan bangsawan.”

Ia memutar tubuhnya, menatap langsung ke mata Pandika.

“Dengarlah, Pandika dari Lereng Timur. Bila engkau ingin menjadi prajurit... bukan, bukan sekadar prajurit... tetapi seorang ksatria sejati di kerajaan ini, maka kau harus menempuh empat ujian, masing-masing setara dengan maut.”

Suara raja bergema di ruangan megah itu, dan semua hadirin menunduk mendengar tantangan yang menggetarkan hati:

1. Mengambil Bunga Emas dari Puncak Gunung Api
Sebuah bunga langka yang tumbuh hanya di lereng kawah gunung berapi aktif. Banyak yang telah mencoba memetiknya. Tak satu pun kembali.


2. Mengalahkan Makhluk Penjaga Hutan Terlarang
Hutan tua di sebelah timur kerajaan, tempat yang bahkan burung enggan bernyanyi. Di sanalah bersemayam makhluk mistis penjaga harta yang tak ternilai.


3. Membawa Air Suci dari Mata Air Terlarang
Terletak di lembah ilusi, mata air ini dijaga oleh bayang-bayang dan jebakan yang menguji bukan hanya tubuh, tetapi juga pikiran dan hati.


4. Menyelesaikan Misi Kekaisaran Majapahit
Sebuah perintah rahasia dari tanah leluhur, sebuah tugas diplomatik dan berbahaya yang menuntut kebijaksanaan dan keberanian melebihi perang.



Suasana hening.

Bahkan para prajurit senior pun saling pandang dengan wajah tegang, sebab ujian semacam ini bukan hanya berat—tetapi nyaris mustahil.

Putri Nayla melangkah ke sisi Pandika, suaranya lirih namun penuh rasa:
“Kau tak harus menerima ini. Aku... aku bisa membantumu mencari jalan lain. Jalan yang lebih aman.”

Namun Pandika hanya tersenyum, senyum sederhana yang menyimpan nyala api besar.
“Terima kasih, Nayla. Tapi aku datang ke sini bukan untuk meminta pertolongan. Aku datang untuk membuktikan. Aku akan menempuh ujian ini, seberat apa pun. Karena kehormatan tidak dibeli dengan nama—melainkan dibangun oleh tindakan.”

Dan pada saat itu, di hadapan takhta, di antara para bangsawan dan prajurit, dan di bawah langit tinggi istana tua, takdir Pandika pun diukir. Ia bukan lagi sekadar pemuda desa. Ia adalah penantang takdir, yang akan menempuh jalan penuh bahaya untuk mengangkat dirinya bukan hanya sebagai prajurit—tetapi sebagai legenda.

---
Malam Purnama dan Langkah Pertama

Malam turun perlahan di atas Kerajaan Cakram, membalut menara dan puncak istana dalam kabut perak yang diterangi cahaya bulan purnama. Angin berembus lembut membawa bisikan dari gunung jauh, seakan dunia pun menahan napas menanti langkah pertama dari seorang pemuda yang hendak menantang takdirnya.

Di kamar sederhana di dalam barak timur, Pandika tengah bersiap. Tubuhnya tegap, namun wajahnya tenang—seperti danau di malam hari, yang di bawah permukaannya menyimpan arus deras keberanian.

Pintu diketuk pelan.

Putri Nayla masuk, membawa sesuatu dalam pelukannya: sebuah pedang bergagang emas tua, zirah baja yang dihiasi lambang Cakram, dan baju pelindung anti senjata buatan tangan para pandai besi istana.

Ia meletakkannya satu per satu di hadapan Pandika, dan menatapnya dengan mata yang menyimpan seribu kekhawatiran.

"Ini perlengkapan bagi seorang ksatria sejati," ucapnya lirih. "Ambillah. Semoga benda-benda ini melindungimu dalam jalanmu yang kelam."

Ia terdiam sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara yang nyaris seperti bisikan angin malam.

"Tetapi Pandika... bila di tengah jalan kau merasa tak mampu, jika ketakutan mulai menggerogoti hatimu... lebih baik kau mundur sekarang. Tidak ada yang akan menyalahkanmu."

Pandika menatapnya, lalu mengambil pedang itu. Kilatan logam memantulkan sinar bulan yang menyusup dari celah jendela.

"Aku tidak akan mundur, Nayla." Suaranya tenang, namun penuh keyakinan. "Ini jalanku. Cita-citaku bukan sekadar menjadi prajurit—aku ingin menjadi ksatria, bukan hanya untuk diriku, tapi untuk semua yang mempercayai aku."

Ia mengenakan zirah itu perlahan, seakan setiap potongan baja yang melekat adalah sumpah yang ia ikatkan pada dirinya sendiri.


---

Di tempat lain, di balkon tertinggi Istana Cakram, Raja Agus Marto duduk seorang diri. Angin malam menyapu jubah kebesarannya, dan di kejauhan, gunung berapi yang menjadi tujuan ujian pertama tampak berdiri sunyi, namun penuh ancaman.

Asap tipis naik dari kawahnya, merah membara di dasar langit malam.

"Kita akan lihat," gumam sang raja tanpa menoleh, "apakah pemuda desa itu benar-benar istimewa... atau hanya pengkhayal yang terlalu berani menantang nasib."


---

Sementara itu, di menara kediamannya, Putri Nayla berlutut di depan altar kecil tempat ia biasa berdoa. Tangan mungilnya mengepal, dan bibirnya merapal doa dalam bahasa lama yang diajarkan ibunya.

“Lindungilah dia, wahai para Penjaga Cahaya. Bimbinglah langkahnya dalam kegelapan.”

Di luar menara, angin malam membawa suara-suara yang tak bisa dimengerti, suara dari hutan dan gunung yang memanggil. Petualangan Pandika belum benar-benar dimulai—tetapi dunia telah bergeser.

Takdir telah menulis baris pertamanya.

---

Berikut adalah versi naratif gaya epik petualangan yang lebih dalam dan dramatis, selaras dengan gaya sebelumnya, namun tetap mempertahankan inti cerita yang kamu buat:


---
Ujian Pertama: Bunga Emas di Puncak Gunung Berapi

Perjalanan menuju gunung berapi dimulai saat bintang-bintang masih menggantung tinggi di langit timur. Pandika melangkah sendirian melewati padang tandus dan batu-batu hitam yang menguapkan panas. Semakin dekat ia ke kaki Gunung Merapi Agung, semakin berat udara terasa di dadanya. Tanah bergemeretak di bawah langkah kakinya, seolah gunung itu sendiri mengamati dan menguji keberanian sang penantang.

Kabut belerang menyesakkan paru-parunya, dan sinar matahari pagi tidak lagi terasa hangat, melainkan menyengat seperti bara.

Saat mencapai lereng tengah, terdengarlah bunyi bergemuruh aneh—seperti kerikil yang saling berbenturan. Dari balik celah bebatuan, muncul makhluk-makhluk kecil berbentuk batu hidup, berukuran setengah tubuh manusia. Mata mereka bersinar merah seperti bara, dan tubuh mereka memijar panas.

Makhluk Lereng, demikian mereka dikenal dalam cerita rakyat. Penjaga jalur rahasia menuju puncak, mereka hidup dari panas bumi dan menyerang siapa pun yang melangkah terlalu dekat.

Tanpa peringatan, mereka mulai melemparkan batu-batu merah menyala. Pandika segera mengangkat tameng—pantulan logamnya membelokkan sebagian serangan, namun satu lemparan menghantam bahunya, membuatnya terhuyung.

"Tidak bisa seperti ini," gumamnya, darah menetes dari pelipisnya. Ia tahu, melawan jumlah sebanyak itu akan sia-sia. Ia harus menemukan celah.

Ia memejamkan mata sejenak, mengingat pelajaran dari gurunya: “Cepat lebih dari kuat. Tepat lebih dari besar.”

Maka ia membuka matanya, dan mulai bergerak—bukan untuk bertarung, tapi menari di antara serangan. Tubuhnya melesat, melompat, memutar, menghindari lemparan demi lemparan. Pedangnya—yang kini bersinar biru terang, seperti api langit—memecahkan batu yang terlalu dekat. Debu panas mengepul, namun Pandika tak berhenti.

Akhirnya, ia lolos dari kepungan makhluk batu, napasnya tersengal dan tubuhnya dilumuri debu hitam dan luka.


---

Puncak gunung menyambutnya dengan pemandangan menakjubkan dan mengerikan. Di tengah lingkaran lava mendidih, tumbuh Bunga Emas—tumbuhan langka bercahaya keemasan, kelopaknya seperti sinar matahari yang dibekukan dalam bentuk bunga. Aromanya halus namun terasa menyentuh jiwa.

Namun antara dia dan bunga itu terdapat jurang sempit yang dipenuhi gas beracun, berkilauan dalam warna hijau dan ungu yang menyesatkan.

Pandika tahu, satu kesalahan di udara berarti kematian.

Ia mengikatkan kain di wajahnya, mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan melompat. Di tengah udara, kabut gas menyelimutinya—matanya berkunang, tubuhnya limbung. Dunia berputar dan napasnya membakar dari dalam.

Namun dengan satu tangan yang gemetar, ia berhasil meraih tepi batu tempat Bunga Emas tumbuh.

Dengan sisa tenaga, ia menarik dirinya dan menggapai bunga itu. Saat tangannya menyentuh kelopaknya, bunga itu bersinar lebih terang—seakan mengenal siapa yang pantas memetiknya.

Pandika berdiri di puncak gunung berapi, memegang Bunga Emas di tangan, dan langit terbuka seakan menyambut sang pemuda yang lolos dari ujian pertama.

Ujian ini baru permulaan. Tapi Pandika kini tahu satu hal: keberaniannya bukan sekadar harapan, tapi kenyataan.



Pertemuan dengan Si Maung

Langkah-langkah Pandika menuruni lereng gunung begitu berat, seolah tanah menarik tubuhnya kembali ke puncak. Udara panas menyengat, dan luka-luka di tubuhnya mulai terasa perih. Pandangannya mulai kabur. Tubuhnya limbung. Jika bukan karena tekadnya yang menyala seperti bara, mungkin ia sudah tumbang di jalan berbatu itu.

Di tengah keheningan, terdengar suara lembut dari semak-semak.
"Kau terlihat seperti membutuhkan bantuan."

Pandika segera mengangkat kepalanya. Napasnya terengah. Dari balik dedaunan, muncullah sosok yang tak biasa—seekor makhluk mungil seukuran kucing hutan. Namun bukan kucing biasa.

Tubuhnya diselimuti bulu perak yang berkilau seperti cahaya bulan, dan matanya bersinar seperti dua permata hijau zamrud. Langkahnya ringan, anggun, dan ekornya bergerak perlahan seperti asap tipis.

"Siapa... siapa kau?" tanya Pandika, masih setengah sadar.

Makhluk itu duduk di atas batu, membasuh wajahnya sejenak dengan kaki depannya sebelum menatap Pandika dengan wibawa yang mengejutkan.
"Aku adalah penjaga spiritual hutan ini. Kau boleh memanggilku... Si Maung."

Pandika nyaris tak percaya. Dalam legenda rakyat desanya, Si Maung adalah roh penjaga hutan purba, penuntun para penjelajah terpilih yang berada di ambang keputusasaan.

"Kenapa kau membantuku?"

Makhluk itu tersenyum samar.
"Karena kau berbeda. Aku melihatnya dari cara kau bertarung, dari bagaimana kau menahan rasa sakitmu dan tetap berjalan. Kau punya cahaya dalam dirimu yang jarang kulihat. Kau tidak menyerah."

Pandika mengangguk pelan.
"Terima kasih. Tapi ini baru permulaan. Aku masih punya dua ujian lagi."

Si Maung mendekat lalu melompat ringan ke bahu Pandika, bulunya terasa dingin dan menyegarkan, seperti embun pagi.

"Kalau begitu, biarkan aku ikut. Hutan di seberang lembah itu adalah tempat ujianmu berikutnya. Aku tahu jalannya, dan lebih dari itu... aku bisa membuatmu menghilang dari pandangan musuh. Kemampuanku akan membantumu bertahan."

Pandika tersenyum, untuk pertama kalinya sejak ia meninggalkan rumah. Bukan karena ujian telah usai, tapi karena ia tahu... sekarang, ia tidak lagi sendirian.

Dengan langkah pelan tapi pasti, Pandika melanjutkan perjalanan menembus kabut menuju hutan terlarang, bersama Si Maung di sisinya.
---
Ujian Kedua: Mengalahkan Makhluk Penjaga Hutan

Kabut tebal menyelimuti jalan setapak di hutan terlarang. Pepohonan menjulang tinggi seolah menutup langit, dan cahaya matahari hanya mampu menembus dalam bentuk garis-garis tipis. Setiap langkah Pandika disertai bisikan-bisikan aneh yang menggema di antara pepohonan, seperti suara makhluk yang mengintai dari balik kegelapan.

Si Maung berjalan di sampingnya dengan langkah ringan, namun matanya awas.
"Tetap waspada. Kita mendekati pusat kekuatan penjaga hutan ini."

Tak lama kemudian, tanah di depan mereka bergetar. Dari balik semak dan bayangan, muncul seekor harimau raksasa—lebih besar dari kereta kuda, dengan bulu hitam legam dan mata merah menyala seperti bara neraka. Nafasnya menghembuskan udara panas, dan setiap gerakannya membuat ranting dan daun luruh dari pohon.

"Itu dia..." bisik Si Maung. "Makhluk penjaga hutan. Kau harus menghadapinya sendirian. Ini ujian keberanian dan jiwa."

Pandika menelan ludah. Tubuhnya lelah, namun jiwanya menyala. Ia mencabut pedangnya—Kilau Bulan—yang langsung memancarkan cahaya biru lembut.

Tanpa aba-aba, makhluk itu menerjang. Kecepatannya luar biasa. Cakarnya menggores tanah, meninggalkan bekas bak terbelah. Pandika menghindar dengan susah payah, tamengnya nyaris lepas saat menahan hantaman pertama.

"Ia terlalu cepat!" teriak Pandika, mundur selangkah.

"Gunakan aku!" seru Si Maung, lalu melompat ke pundaknya dan membisikkan mantra.

Dalam sekejap, tubuh Pandika memudar—menghilang dari pandangan. Makhluk penjaga berhenti sejenak, kebingungan. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Dengan cepat, Pandika melesat dari sisi kanan dan menebaskan Kilau Bulan, melukai pundak sang penjaga.

Makhluk itu meraung keras, mengguncang hutan. Luka itu membuatnya lebih buas. Ia menyerang bertubi-tubi, dan dalam satu kesempatan, cakarnya nyaris menyentuh wajah Pandika.

Tubuh Pandika gemetar. Tenaganya mulai menipis. Napasnya tersengal. Di titik antara bertahan dan tumbang, suara Si Maung kembali terdengar, lembut namun tegas.

"Kau sudah cukup jauh, Pandika. Tapi jika kau ingin lolos, kau harus percaya... bahwa cahaya itu berasal dari dalam dirimu."

Si Maung menempelkan dahinya ke gagang Kilau Bulan. Seketika, pedang itu berubah—berkilau lebih terang, memancarkan ledakan cahaya putih keperakan yang menembus kegelapan hutan.

Pandika mengangkat pedang tinggi-tinggi, lalu menerjang.

Dengan satu tebasan terakhir yang dipandu cahaya, kilatan energi menembus dada makhluk penjaga. Harimau raksasa itu meraung pilu, sebelum berubah menjadi ribuan kelopak bunga hitam yang perlahan beterbangan ke langit dan lenyap dalam cahaya pagi.

Hutan menjadi hening.

Pandika berdiri terhuyung, lututnya nyaris roboh. Si Maung melompat ke pundaknya dan menjilat luka kecil di lengannya.

"Kau telah lulus ujian ini, Pandika. Dan kau membuatnya dengan cahaya hatimu sendiri."

Di kejauhan, sinar mentari pertama mulai menembus kanopi hutan. Ujian kedua telah berakhir. Tapi ujian terakhir... masih menanti.


Adegan Penutup: Cahaya di Antara Kegelapan

Langit malam menggantung sunyi di atas hutan yang baru saja tenang dari amarah sang penjaga. Aroma tanah basah dan daun yang berguguran menyelimuti udara, menyisakan kesan damai setelah pertarungan dahsyat.

Pandika duduk bersandar di batang pohon tua, napasnya masih berat, dadanya naik turun perlahan. Peluh membasahi wajahnya, namun sorot matanya memancarkan keteguhan yang tak tergoyahkan.

Si Maung duduk di sampingnya, menjilati cakarnya yang bersih, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun matanya terus memperhatikan Pandika dengan penuh rasa hormat.

"Kau hebat, Pandika," ujar Si Maung dengan nada tenang namun dalam. "Tapi ujian terakhir akan jauh lebih sulit dari yang sudah kau hadapi."

Pandika menatap langit gelap yang ditaburi bintang. Angin malam berhembus lembut, membawa dingin yang mengendap di tulang.
"Aku tahu," jawabnya lirih, tetapi jelas. "Tapi... denganmu di sisiku, aku merasa lebih siap. Lebih berani."

Si Maung tersenyum kecil, mata peraknya memantulkan sinar rembulan.
"Itu karena hatimu mulai mengenal cahaya, Pandika. Bukan dari pedangmu, tapi dari keberanianmu menghadapi kegelapan."

Keduanya terdiam sejenak. Di kejauhan, bulan bulat sempurna menggantung tinggi, bersinar terang seolah mengawasi mereka, memberkati setiap luka, setiap langkah yang telah ditempuh.

Pandika memejamkan mata. Letih, namun hatinya damai.
"Mari kita istirahat," kata Si Maung sambil menggeliat malas. "Besok, kita hadapi ujian yang sesungguhnya—ujian dari dalam dirimu sendiri."

Angin kembali berdesir, mengusap lembut wajah Pandika yang mulai terlelap.
Petualangan belum usai. Namun malam ini, untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, ia merasa siap menghadapi dirinya sendiri.


---