Chapter 56 Ritual Kegelapan di Gua Sinabung
Di kedalaman Gunung Sinabung yang diselimuti kabut abadi, terdapat sebuah gua yang hanya dikenal oleh mereka yang bersekutu dengan kegelapan. Di sanalah Ki Surya Dahana, sang ahli sihir tua dari masa lampau, menatap bola kaca di hadapannya dengan mata menyala bagaikan bara api. Di dalam bola itu, tampak bayangan Isidore dan para ksatria Mythopia bersatu dengan Sagara Putra.
Amarah membuncah di dada sang pertapa. Ia menggeram, lalu melemparkan cawan emasnya hingga pecah berhamburan. “Kutukan bagi mereka semua!” desisnya dengan suara yang menggetarkan udara gua. “Mereka tak seharusnya bersatu kembali. Dunia ini seharusnya milik mereka yang kuat, bukan mereka yang mengaku penjaga cahaya!”
Empat pemimpin suku yang menjadi pengikut setianya berdiri di sekeliling: Gurnaka dari suku batu, Rakayan dari suku bayangan, Jalarang dari penjaga rawa, dan Murkalana dari bangsa kegelapan hutan. Mereka menatap satu sama lain, ketakutan bercampur penasaran.
“Guru,” tanya Rakayan dengan suara berat, “sekuat apakah ksatria dari Mythopia itu? Bahkan raksasa api pun gentar mendengar nama mereka.”
Ki Surya Dahana menatap mereka tajam, lalu mengangkat tongkat hitamnya tinggi-tinggi. Dari ujung tongkat itu, keluar cahaya putih menyilaukan, meluncur ke udara, membentuk garis lurus di depan mereka. Cahaya itu berdenyut, bergetar, dan perlahan berubah warna—putih menjadi ungu, lalu hitam keunguan, seperti luka yang menganga di langit.
Ia mengucapkan mantra dalam bahasa kuno Mythopia, bahasa yang bahkan roh-roh bumi enggan mendengarnya. Dari garis itu, muncullah sesosok makhluk tak kasat mata, tinggi dan berkerudung kabut hitam. Dengan kedua tangannya yang panjang dan kurus, makhluk itu membuka celah di udara, membentuk pintu menuju ruang tersembunyi.
“Masuklah,” ujar Ki Surya Dahana dengan suara dalam. “Tempat ini bukan untuk manusia lemah. Ikutilah aku, dan kau akan tahu rahasia kekuasaan sejati.”
Para pemimpin suku saling berpandangan, lalu melangkah ke dalam bersama tuan mereka. Begitu mereka semua masuk, makhluk kasat mata itu menutup celah tersebut, menelan cahaya, hingga tidak tersisa sedikit pun bekas keberadaan mereka di dunia luar.
Di dalam ruangan itu, terbentang pemandangan yang membuat mereka ternganga: barisan rak penuh manuskrip tua berlumut, peti-peti emas yang bersinar redup di bawah cahaya batu sihir, dan artefak suci dari zaman yang terlupakan.
“Inilah yang kujanjikan kepada kalian,” ujar Ki Surya Dahana dengan nada kemenangan. “Untuk kesetiaan yang kalian berikan, kini kuhadiahkan warisan dari dunia lama. Di sinilah ilmu yang menumbangkan kerajaan dan mengguncang langit tersimpan.”
Ia menatap mereka satu per satu dengan senyum dingin.
“Pelajarilah semua naskah yang ada di sini. Ajarkan kepada anak buahmu, bila kalian cukup cerdas untuk memahaminya. Siapa yang berhasil menaklukkan isi tempat ini... akan menaklukkan dunia.”
Tawa mereka bergema di seluruh ruangan, tawa serakah yang menandakan awal dari kebangkitan kegelapan yang lama terpendam.
---
---
Chapter 57 Ritual Darah di Ruang Artefak
Di ruang yang sunyi, hanya cahaya batu sihir yang berkelip di antara bayang-bayang. Udara beraroma besi dan debu kuno, seakan napas waktu sendiri terhenti di tempat itu. Ki Surya Dahana berdiri di tengah ruangan, tongkat hitamnya menancap di lantai batu, menyalurkan denyut kekuatan yang membuat udara bergetar halus.
Empat kepala suku berdiri di sekelilingnya, mata mereka menyala dalam cahaya keunguan yang menakutkan.
Yang pertama melangkah maju adalah Orkaghor si Bercak Darah, kepala suku Gurnaka — makhluk raksasa dengan kulit sekeras batu dan bekas luka di seluruh tubuhnya. Tangannya yang besar gemetar menahan gairah ketika ia menatap sebuah telur emas di atas altar batu hitam. Telur itu berdenyut perlahan, seperti jantung yang menunggu kehidupan baru.
Ki Surya Dahana menatapnya tajam. “Telur itu tak akan membuka diri untuk siapa pun, kecuali bagi yang berani memberi bagian dari hidupnya.”
Tanpa ragu, Orkaghor menggigit bibir bawahnya hingga darah menetes ke tangannya. Ia meludah ke atas telur itu. Setetes, dua tetes, lalu cairan merah itu terserap perlahan oleh permukaan emas yang berkilau lembut.
Suara lirih seperti desis ular terdengar — dan telur itu berdenyut cepat, memancarkan cahaya merah kehijauan. Retakan halus muncul di permukaannya, semakin besar, hingga pecah dengan ledakan lembut.
Dari dalamnya keluar seekor burung merak bertubuh mungil namun matanya menyala seperti bara api. Bulu-bulunya memancarkan warna merah, hijau, dan emas yang berganti-ganti seperti nyala api yang menari.
“Burung Rathakana,” ujar Ki Surya Dahana pelan, hampir seperti berdoa. “Pemikat hewan buas, penakluk jiwa liar. Kini ia menjadi milikmu, Orkaghor. Tapi berhati-hatilah—ia setia hanya pada darah yang pertama kali menyentuhnya. Jika kau khianati dia, ia akan mematuk jantungmu tanpa ampun.”
Orkaghor tersenyum puas, menunduk hormat, lalu memeluk burung itu dengan tangan penuh darah.
Selanjutnya, Lorendis si Licik dari suku Rakayan melangkah maju, matanya memandang ke sekeliling seperti pencuri di antara harta raja. Ia berhenti di depan sebuah lonceng besar dari perunggu hitam.
“Yang ini,” katanya dengan suara pelan namun tajam, “aku bisa merasakan kekuatannya.”
Ki Surya Dahana menggeleng pelan. “Jangan. Suara lonceng itu tidak membeda-bedakan. Ia membunuh semua yang mendengarnya—termasuk tuannya sendiri.”
Ia mengangkat tangannya, dan dari udara muncul sebuah kipas logam berukir naga, berkilau kehijauan. “Ini lebih cocok untukmu, Lorendis. Sekali dikipaskan, ribuan jarum halus akan terbang, menembus kulit, meracuni darah musuhmu. Namun ingat, kipas ini tak mengenal arah angin. Jika kau ceroboh, kau akan mati oleh senjatamu sendiri.”
Lorendis mengambilnya, senyum licik di bibirnya melebar, “Senjata yang membunuh dengan indah,” bisiknya, sebelum menunduk hormat.
Kemudian datang Mhezzrak si Pisau Tak Terlihat dari suku Jalarang — tubuhnya kurus, matanya tajam seperti pisau. Ia tidak banyak bicara. Ia memilih sebuah kotak kecil dari perak yang tergeletak di rak paling bawah. Saat dibuka, tampak di dalamnya berbaring belasan belati dan jarum tipis, semuanya berkilau bagai es beku di bawah sinar bulan.
“Pilihan yang cerdas,” ujar Ki Surya Dahana dengan nada puas. “Itu adalah senjata dari masa perang kuno—belati yang bisa terbang sendiri menuju sasaran, dan akan kembali kepada pemiliknya setelah mencicip darah. Tapi jika kau tidak menguasai napas dan kemauanmu, ia akan berbalik, menembus jantungmu sendiri.”
Mhezzrak tersenyum tipis, menyentuh salah satu belati itu, dan benda itu bergetar, seolah mengenal pemilik barunya.
Dan yang terakhir, Vorthax si Gila Darah dari suku Murkalana, melangkah maju. Tubuhnya tinggi dan lebar, matanya memantulkan cahaya merah. Ia tidak menatap rak atau altar—melainkan sesuatu yang tergeletak di lantai batu, terbungkus lumut dan abu.
Itu adalah pedang besar, hitam seperti malam tanpa bintang. Ki Surya Dahana memandangnya dengan ekspresi antara kagum dan waspada.
“Itu adalah pedang Nagarastra,” katanya pelan. “Dulu, ia menebas kepala seekor naga di masa purba. Tapi pedang itu haus darah, Vorthax. Ia akan meminum darah setiap kali dihunus. Jika tidak, ia akan menuntut darah pemiliknya.”
Vorthax tertawa keras, menggenggam gagangnya yang berat, lalu mengangkat pedang itu dengan kedua tangan. “Kalau begitu, biarlah ia haus selamanya!”
Kilatan merah membuncah dari bilah pedang, memenuhi ruangan dengan cahaya seperti api neraka.
Ki Surya Dahana tersenyum puas, matanya berkilat dengan kegembiraan gelap.
“Latihlah diri kalian di sini,” katanya perlahan. “Kuasa Mythopia akan kembali menatap bumi, dan dunia akan tahu... bahwa kegelapan tak pernah mati.”
Suara tawa mereka bergema, bergulung di dalam gua seperti guntur, sementara cahaya merah, hijau, dan ungu berbaur di dinding batu, menandakan kebangkitan kekuatan lama yang telah lama tertidur.
---
---
Chapter 58 Ritual Darah dan Bayangan: Latihan Para Kepala Suku
Dengan gerakan perlahan namun sarat kuasa, Ki Surya Dahana mengangkat tongkat hitamnya ke udara. Ujungnya memancarkan cahaya putih menyilaukan, lalu ia mengguratkan garis di udara—garis itu bergetar, berdenyut seperti urat kehidupan, sebelum membuka diri menjadi pintu cahaya yang beriak bagai air dalam dimensi tak kasat mata.
Dari balik cahaya itu muncul makhluk-makhluk tak terlihat, penjaga dari dunia roh yang hanya tunduk pada mantra kuno Mythopia. Mereka melangkah senyap, menarik tirai realitas dan memperlihatkan ruang ilusi di baliknya—tempat yang luas tanpa batas, di mana gunung dan hutan tampak bersinar dalam cahaya merah keunguan.
“Silakan masuk,” ujar Ki Surya Dahana, suaranya bergema dalam ruangan itu seperti dentang logam purba. “Di sana telah kusiapkan makhluk-makhluk buas untuk kalian buru... atau mungkin, merekalah yang akan memburu kalian. Aku tidak tahu mana yang akan terjadi lebih dahulu.”
Empat kepala suku saling berpandangan; tawa keras bergema, dipenuhi semangat haus darah dan ambisi. Mereka memasuki ruang itu satu per satu, diiringi oleh bayangan sihir yang menutup pintu di belakang mereka.
Di dalam, dunia magis itu hidup. Pohon-pohon menjulang seperti menara batu, akar-akar raksasa menggeliat seperti ular, dan udara dipenuhi kabut merah keemasan. Dari kejauhan, terdengar raungan makhluk-makhluk liar yang belum pernah dikenal oleh manusia mana pun.
Awalnya, hanya binatang kecil yang muncul dari balik semak—monyet-monyet liar, kijang yang melompat panik, dan beberapa serigala dengan mata menyala biru. Mereka diburu dengan mudah oleh para kepala suku, senjata mereka menebas udara, darah menodai tanah ilusi.
Namun seiring waktu berjalan, hewan-hewan itu berubah. Dari balik kabut muncul harimau bertaring panjang, beruang raksasa dengan kulit baja, dan ular sebesar batang pohon. Raungan demi raungan mengguncang tanah, dan para kepala suku menjerit girang dalam kegilaan mereka.
Orkaghor memanggil burung Rathakana, dan dari kepakan sayapnya, muncul aura pemikat yang membuat hewan-hewan buas itu menunduk—sebelum ia menebas mereka tanpa ampun.
Lorendis menari dengan kipas racunnya, menciptakan badai jarum yang menembus kulit dan daging, membuat mangsanya tumbang dengan senyum licik di bibirnya.
Mhezzrak menebar belati tak terlihat, membiarkan mereka terbang menembus jantung setiap musuh, lalu kembali ke genggamannya dengan darah menetes.
Vorthax, dengan pedang Nagarastra, menebas segalanya di jalannya—tanah, batu, dan tubuh-tubuh yang tak lagi dikenali.
Namun semakin lama, ruang itu berubah menjadi neraka hidup. Dari langit ungu yang berputar, muncul raungan yang berbeda, lebih dalam, lebih purba. Tanah bergetar, pepohonan roboh, dan dari kabut hitam yang tebal muncullah raksasa Gendrawani bertangan delapan.
Tubuhnya menjulang seperti menara, matanya menyala seperti bara, rambutnya menjuntai bagai nyala api, dan tiap tangannya menggenggam senjata dari zaman yang terlupakan. Setiap langkahnya mengguncang bumi, setiap helaan napasnya menyalakan udara menjadi panas membakar.
Para kepala suku terdiam sesaat—lalu tertawa gila, menyambut tantangan itu dengan sorak liar. Mereka menyerbu bersama-sama, menghunus senjata dan mengeluarkan kekuatan magis mereka.
Pertempuran pun meledak. Tanah ilusi bergetar, udara pecah oleh benturan sihir dan baja. Suara logam beradu dengan raungan makhluk purba, cahaya merah, biru, dan hijau bersilangan dalam kekacauan yang agung.
Namun, tak satu pun dari mereka mati. Meski tubuh mereka robek, tulang hancur, dan darah berceceran di tanah, mantra Ki Surya Dahana menjaga mereka tetap hidup—sebuah kutukan abadi dalam ilusi.
Ruang itu adalah medan latihan tanpa kematian, di mana rasa sakit menjadi guru, dan kegilaan menjadi teman.
Dari luar, Ki Surya Dahana menyaksikan semuanya melalui bola kacanya, matanya berkilau dalam kepuasan gelap.
“Ya…” bisiknya pelan. “Biar mereka belajar apa artinya kekuatan sejati. Karena sebentar lagi… dunia akan menjadi medan latihan mereka yang sesungguhnya.”
Cahaya ungu dari tongkatnya berdenyut makin kuat, dan suara tawa Ki Surya Dahana menggema di seluruh gua, menggetarkan udara, seakan kegelapan itu sendiri tertawa bersamanya.
---
---
Chapter 59 Adegan Setelah Latihan Para Kepala Suku
Dari celah tirai cahaya yang perlahan menutup, empat sosok keluar satu per satu, tubuh mereka berbalut luka dan debu, namun mata mereka menyala dengan api kekuatan baru. Ruang ilusi ciptaan Ki Surya Dahana telah menelan waktu seolah seratus pertempuran berlangsung dalam sekejap mata fana.
Mereka—para kepala suku yang dulu hanyalah pembunuh, pemburu, dan penjarah—kini menjelma menjadi makhluk yang kekuatannya melampaui batas manusia.
Burung merak Rathakana milik Orkaghor kini telah tumbuh sempurna. Bulu-bulunya berpendar dalam cahaya merah kehijauan, dan tiap kepakkan sayapnya mampu menundukkan binatang buas serta menenangkan amarah makhluk liar. Ia menjadi lambang kejayaan suku Gurnaka—burung pemikat yang kini bersarang di pundak sang kepala suku, bagai api dan darah yang menyatu.
Lorendis, si licik dari Rakayan, telah mencapai puncak keahliannya. Kipas beracunnya kini menari di udara seperti angin maut, setiap kibasan menebarkan jarum kematian yang tak terlihat. Ia menatap tangannya sendiri dengan senyum tipis—antara kagum dan ngeri—menyadari bahwa setiap gerakannya dapat membunuh sahabat maupun musuh.
Mhezzrak, sang pemburu dari Jalarang, berdiri tegak dengan bayangan tajam di sekelilingnya. Seratus belati dan jarum beracunnya kini taat sepenuhnya pada pikirannya. Ia dapat menebas seratus musuh sebelum napas pertama mereka sempat bergetar di udara.
Namun yang paling menakutkan dari semuanya adalah Vorthax, dari suku Murkalana. Pedang besar Nagarastra yang dahulu tergeletak membisu kini berdenyut seperti makhluk hidup. Bilahnya berwarna hitam kebiruan, memancarkan aura prana naga yang dulu dibunuhnya. Dalam tangannya, pedang itu menjadi alat pembantaian sejati—api naga dan darah manusia berpadu menjadi satu kehendak.
Ki Surya Dahana menatap mereka dengan mata yang suram namun berkilat penuh kebanggaan dan kecemasan.
“Lihatlah,” ujarnya perlahan, suaranya bergema di ruangan batu yang dingin, “kalian telah menaklukkan ratusan medan ilusi, bahkan mengakhiri riwayat Gendrawani bertangan delapan yang pernah mengguncang dunia manusia. Namun ingatlah—kekuatan tanpa kendali hanya akan menuntun pada kegilaan. Kalian mesti menyeimbangkannya dengan keteguhan batin, atau lambat laun kekuatan itu akan menelan kalian sendiri.”
Keempat kepala suku menundukkan kepala, tak sepenuhnya memahami beban kata-kata itu. Di mata mereka, hanya ada kemenangan—dan kehausan akan ujian yang lebih besar.
Ki Surya Dahana memalingkan wajahnya ke bola kaca yang menggantung di udara, di mana bayangan Isidore dan para ksatrianya tampak samar.
“Belum cukup,” gumamnya lirih, “belum cukup untuk menandingi mereka. Masih ada jalan panjang menuju keagungan, dan lebih banyak darah yang mesti tertumpah sebelum fajar kekuasaan bangkit kembali.”
---
---
Chapter 60 Bayang di Balik Gunung Asrama
Di bawah perut bumi, jauh di bawah reruntuhan kota kuno Mythopia, terbentang ruang raksasa tempat batu-batu bernafas dan udara bergetar oleh bisikan roh. Di sanalah, Rasvathar, sang Penjaga Bayang-Bayang, bersembunyi. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih; luka-luka dari perang melawan Ksatria Majapahit masih membara seperti bara di bawah kulitnya yang pucat.
Selama berabad-abad, ia bertahan dalam bayang waktu yang terbeku, menghisap sisa-sisa kekuatan dari reruntuhan kuil, meminum kabut yang menetes dari dinding batu. Ia menunggu saat di mana bintang Mythopia kembali terbit—bukan untuk menerangi dunia, melainkan untuk menelannya ke dalam kegelapan abadi.
Di hadapannya terbentang cermin Arkamaya, pusaka yang dahulu menjadi lambang kebijaksanaan kerajaan Mythopia. Kini, cermin itu retak dan memantulkan bayangan yang bukan bayangan dunia manusia. Dari sana, Rasvathar menyaksikan dunia berjalan di atas luka-lukanya sendiri.
> “Lihatlah…” suaranya berat bagai guruh dari dalam bumi. “Putra Itharius, darah cahaya, berani mengumpulkan kembali ksatria-ksatria Mythopia. Ia hendak menghidupkan kejayaan yang telah kulenyapkan. Dan lihat pula… muridku yang durhaka, Surya Dahana, kini bermain dengan ilusi kekuasaan.”
Matanya yang keunguan menyala perlahan, menyulut udara di sekitarnya menjadi asap pekat. Dari kegelapan, muncul bayangan-bayangan pengintai—makhluk tanpa wajah, mata-mata yang berkelana melalui kabut dan mimpi manusia.
> “Temukan Surya Dahana,” ujarnya dengan nada bagai mantra. “Bisikkan padanya… bahwa aku telah menemukan rahasia tertinggi Mythopia—Api Abadi dari Menara Luar. Katakan, kekuatan itu dapat menghancurkan Isidore, bila ia cukup bodoh untuk mempercayaimu.”
Bayangan itu menunduk tanpa suara, lalu lenyap dalam kabut yang mengalir seperti air hitam.
Rasvathar lalu menatap langit-langit batu yang berlumut, seakan berbicara kepada para dewa yang telah lama mati.
> “Biarlah Surya Dahana berperang dengan Isidore. Biarlah manusia saling membunuh di bawah bendera kejayaan dan kesetiaan. Dari abu mereka aku akan bangkit… dan dunia ini akan menjadi takhta bagi kegelapan yang kekal.”
Di luar gua, guntur bergemuruh tanpa hujan. Seekor burung malam terbang ketakutan, dan kabut ungu mulai turun dari lereng gunung, menandai bahwa bayang-bayang Rasvathar telah bergerak sekali lagi.
---
---
Chapter 61 Bisikan dari Bayang-Bayang
Di kedalaman gua Sinabung, api biru berkeredap dari mangkuk-mangkuk batu, menerangi dinding yang dipenuhi ukiran mantra kuno. Ki Surya Dahana duduk bersila di tengah lingkaran simbol sihir yang berpendar samar. Suara tanah berderak pelan, dan udara di sekelilingnya menjadi berat, seolah malam turun tanpa bintang.
Dari balik kabut hitam yang menetes dari langit-langit gua, muncul sesosok bayangan—tanpa bentuk, tanpa napas, tapi matanya menyala bagai bara yang bersembunyi di balik tirai malam.
Surya Dahana mendadak berdiri, tongkatnya terangkat tinggi, sinar hitam memancar dari ujungnya menghantam dinding batu hingga retak dan runtuh. Namun bayangan itu tidak bergeming—ia tetap di sana, tenang, melayang tanpa suara.
> “Siapa kau yang berani menodai wilayahku?” seru Surya Dahana, suaranya menggema ke seluruh penjuru gua.
Bayangan itu bergetar, lalu dari dalamnya terdengar suara dalam dan berat, seperti datang dari balik kabut ribuan tahun:
> “Wahai… muridku.”
Dahana menatap tajam.
> “Aku tak pernah punya guru. Katakan siapa kau sebenarnya, sebelum kutiadakan dari dunia ini.”
Bayangan itu berubah bentuk, perlahan membentuk siluet seorang tua berjubah panjang, dengan mahkota api yang berkelip di atas kepala bayangannya.
> “Apa kau sudah lupa padaku, Surya Dahana? Aku adalah Maharsi Angyantara, penasehat spiritual tertinggi Mythopia… yang dulu kau sebut Rasvathar.”
Dahana mengerutkan kening, wajahnya mengeras.
> “Aku ingat kau. Orang gila yang mencoba menggulingkan Dewan Mythopia dengan ilmunya yang terkutuk.”
> “Gila, katamu?” suara Rasvathar menggelegar pelan. “Aku hanya melihat kebenaran yang tak mampu diterima manusia lemah. Kebenaran bahwa cahaya dan kegelapan bukan musuh, melainkan dua sisi dari kekuasaan yang sama.”
> “Kau bicara seperti ular tua yang memakan ekornya sendiri,” balas Dahana dingin. “Aku tahu apa yang kau inginkan: kekuasaan atas semua makhluk, bahkan para dewa pun akan kau perbudak bila bisa.”
Bayangan Rasvathar bergoyang lembut, bagai asap yang tertawa.
> “Kau salah, Dahana. Aku tak menginginkan tahta. Aku menginginkan kesempurnaan—tatanan di mana yang kuat menuntun yang lemah. Dan kau… dengan pasukan suku-sukumu, dengan ilmu sihirmu yang tajam… kau bisa menjadi jembatan menuju tatanan itu.”
> “Aku tidak butuh tatananmu, Rasvathar. Aku membangun kekuatanku bukan untuk menaklukkan manusia, tapi untuk menegakkan kembali nama Mythopia yang telah dicemarkan.”
Rasvathar tertawa, suaranya seperti gemuruh batu runtuh.
> “Nama Mythopia? Hanya debu di bawah bintang! Lihatlah dirimu, murid yang dibuang, yang mencari kehormatan dari reruntuhan. Sementara itu, Isidore—darah Itharius—berjalan di bawah panji cahaya. Kau tahu dia akan menghancurkanmu bila tiba waktunya.”
Surya Dahana menatap tajam, tapi di dalam matanya ada seberkas keraguan.
> “Apa maumu, Rasvathar?”
> “Aku menawarkan persekutuan. Datanglah ke lembah bayangan di bawah Gunung Asrama. Di sana, aku akan menunjukkan kepadamu Rahasia Tertinggi Mythopia—ilmu yang bahkan para pendeta agung tak pernah berani menyentuhnya. Dengan itu, kau akan memiliki kekuatan untuk menundukkan Isidore… dan mungkin seluruh dunia manusia.”
Dahana diam lama, tongkatnya menurun perlahan. Api di sekitarnya berkedip redup.
> “Dan bila aku menolak?”
Rasvathar membisik, suaranya berubah lembut namun mengandung racun.
> “Maka dunia akan memilih untuk melupakanmu, Surya Dahana. Dan segala nama, segala kejayaanmu, akan hilang ditelan waktu. Bahkan rohmu tak akan diingat oleh bumi.”
Bayangan itu mulai memudar, lenyap dalam kabut hitam yang menyusup kembali ke dinding gua. Namun suaranya masih menggema di udara:
> “Pikirkanlah, muridku… kegelapan selalu menunggu mereka yang ditolak oleh cahaya.”
Surya Dahana berdiri diam, hanya suara api dan tetes air yang tersisa. Di wajahnya, tampak pergulatan batin antara kesetiaan pada cahaya dan godaan kekuatan tanpa batas.
---
Chapter 62 Bayang dan Cahaya dari Bengawan Solo
Para kepala suku segera mengerahkan prajurit-prajurit terbaik dari kabilah mereka — para pemburu, pendaki, dan pengintai yang telah ditempa oleh waktu dan darah. Dari gua Sinabung yang gelap hingga lembah-lembah berkabut di utara, mereka menyebar dalam kesunyian malam, mencari jalan menuju Gunung Asrama, tempat yang disebut-sebut sebagai gerbang menuju Lembah Bayangan.
Namun, tak seorang pun di antara mereka menyadari bahwa pada saat yang sama, Isidore dan para ksatria Mythopia sedang menempuh perjalanan menuju arah yang berlawanan — menuju Sinabung, tempat legenda tidur menunggu untuk dibangkitkan.
Perjalanan mereka dari tepi Bengawan Solo berlangsung damai dan sarat kenangan. Sungai itu mengalir tenang di bawah sinar matahari sore, memantulkan warna langit yang perlahan memerah. Setiap langkah Isidore membawa kembali ingatan tentang Putri Dyah Sekar Tanjung, tentang senyumnya yang lembut dan suara lembayung senja di matanya.
Di dadanya tergantung hiasan kupu-kupu berlapis emas, hadiah dari sang putri — sebuah karya seni yang tampak sederhana namun sesungguhnya hidup oleh sihir kuno Majapahit. Sayapnya kadang bergetar lembut, dan dari tubuh mungil itu memancar cahaya keemasan yang menari di udara.
Tak seorang pun dari rombongan ksatria tahu bahwa kupu-kupu itu bukan sekadar perhiasan. Ia adalah penjaga dan penuntun, makhluk langka yang menebarkan serbuk sari bercahaya untuk menandai keberadaan pemiliknya. Melalui kilau itu, di kejauhan, sang putri dapat mengikuti jejak perjalanan Isidore — bagai bintang yang selalu tahu di mana fajar akan terbit.
Sementara itu, di belantara yang jauh, para pengintai suku Gurnaka, Rakayan, Jalarang, dan Murkalana mulai kehilangan arah. Setiap petunjuk yang mereka kejar lenyap seperti kabut disapu angin.
Gunung Asrama berdiri diam di kejauhan, puncaknya diselubungi awan gelap yang tak tersentuh matahari. Namun ketika mereka mencoba mendekat, langit berubah — bintang-bintang lenyap, dan kabut hitam turun bagai tirai yang menelan pandangan.
> “Kami telah berjalan tujuh hari dan tujuh malam,” lapor salah seorang pengintai kepada Lorendis, “namun setiap jalur yang kami tempuh berakhir pada tempat yang sama. Seolah gunung itu menolak kami.”
Lorendis menatap ke langit, merasakan hawa aneh di udara.
> “Ini bukan medan biasa,” gumamnya. “Ini tempat di mana dunia manusia dan bayangan bersatu. Dan bayangan… tak pernah menunjukkan jalan kecuali kepada yang terpilih.”
Namun di sisi lain dunia, Isidore melangkah semakin dekat ke nasibnya, tak sadar bahwa dua kekuatan besar — bayangan dan cahaya — kini sedang berjalan di jalur yang sama, menuju takdir yang tak dapat dihindari.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar