---
Peningkatan ekonomi tidak datang dengan gemuruh, melainkan dengan tanda-tanda kecil yang hanya bisa dikenali oleh mereka yang memperhatikannya.
Pemesanan lampu untuk gedung-gedung bertingkat mulai meningkat—sebuah indikator yang sederhana, tapi tak pernah keliru. Di layar monitor ruang administrasi, grafik permintaan melengkung naik perlahan, seolah menggambar denyut kehidupan yang kembali stabil.
Email dan pesan WhatsApp berdatangan tanpa henti. Permintaan untuk layanan teleportasi melonjak—bukan hanya dari kalangan ilmuwan atau pejabat, tetapi juga dari perusahaan swasta dan lembaga riset daerah. Setiap pesan yang masuk terasa seperti bukti kecil bahwa teknologi yang dulu dianggap mustahil kini mulai diterima sebagai bagian dari keseharian manusia.
Bisnis berjalan kembali, bukan karena keajaiban, tetapi karena ketekunan sistem dan orang-orang di baliknya.
Jatmika memimpin rapat siang itu di ruang konferensi utama, dinding kaca memantulkan cahaya biru dari artefak lampu energi Nusantara yang terpasang di sudut ruangan. Para pendamping pengunjung duduk berjejer dengan catatan di tangan. Mereka bukan hanya operator, tetapi mediator antara dunia lama dan cara baru berpindah tempat.
“Untuk minggu ini,” kata Jatmika dengan suara yang tenang namun tegas, “kita akan menerima lebih banyak tamu dari dalam negeri. Kalian harus siap dengan pertanyaan mereka—tentang keamanan, etika, bahkan tentang hal-hal yang belum bisa dijawab dengan angka. Dan minggu depan, rombongan dari Cina, Amerika, Rusia, dan Jepang akan datang. Mereka tidak hanya melihat teknologi kita, tapi cara kita memahami maknanya.”
Beberapa kepala mengangguk pelan. Tak ada tepuk tangan, hanya kesadaran akan tanggung jawab.
“Kami akan menaikkan gaji para pendamping,” lanjutnya, “asalkan tidak ada kesalahan dalam pelayanan dan komunikasi. Kalian bukan hanya wajah perusahaan ini—kalian jembatan antara manusia dan ruang.”
Di akhir rapat, Jatmika menatap layar besar yang menampilkan rancangan gedung kantor pusat baru di Jalan Sudirman.
“Bulan depan bangunan ini selesai,” katanya. “Kita akan pindah ke sana. Bukan sekadar perubahan alamat, tapi langkah menuju cara baru memahami jarak.”
Di luar, langit Jakarta sore itu terlihat tenang. Cahaya matahari memantul di jendela gedung-gedung tinggi—seolah kota ini perlahan belajar berdamai dengan masa depan yang dulu hanya hidup di dalam teori.
---
Sore itu hujan turun tanpa jeda sejak pagi. Butiran air membentuk pola di jendela laboratorium, seperti data yang belum selesai diproses. Genangan mulai terbentuk di jalan-jalan sekitar kompleks industri, sementara di Jakarta, banjir kembali menjadi berita utama di setiap saluran televisi. Namun di pelataran PT. Sinar Ultraviolet, deretan bus berhenti satu per satu dengan pengawalan polisi.
Dari dalam bus, turun para pejabat, anggota DPR, menteri, dan akademisi. Mereka datang bukan sekadar untuk melihat hasil riset, tetapi untuk menyaksikan kemungkinan masa depan yang kini telah berwujud nyata: teleportasi instan energi Nusantara.
Hujan tidak menghentikan diskusi, hanya membuatnya lebih lambat dan dalam.
“Jika teknologi ini sudah ditemukan tahun lalu,” salah satu pejabat bertanya, “mengapa sempat ditutup?”
Jatmika menatap layar hologram di hadapannya sebelum menjawab.
“Masalahnya bukan pada mesin,” katanya perlahan. “Ketidakpastian selalu ada—bukan hanya pada keamanan, tapi juga pada reaksi sosial. Dunia belum siap untuk berpindah tanpa jarak. Karena itu, aktivitas kami sempat dihentikan sementara.”
Seorang menteri muda mengangguk sambil mencatat sesuatu di tabletnya. “Lalu mengapa tarif teleportasi begitu tinggi? Satu juta rupiah untuk satu kali perjalanan, bukankah itu terlalu mahal untuk rakyat?”
Jatmika tersenyum tipis. “Harga itu mencakup konsumsi energi dan stabilitas sistem. Setiap perpindahan memerlukan aliran daya setara menyalakan seluruh gedung bertingkat selama beberapa menit.”
Ia tidak menambahkan satu hal penting: bahwa timnya telah menemukan cara baru untuk mengefisienkan daya—teknologi yang masih ia rahasiakan bahkan dari pemerintah.
Para pejabat dan anggota DPR memasuki gedung utama, jas mereka basah di ujung lengan, sepatu mengeluarkan bunyi lembap di lantai marmer.
Rombongan pertama, yang terdiri atas para menteri dan wakil rakyat, dipimpin langsung oleh Jatmika. Rombongan kedua, para akademisi, didampingi oleh John, yang kini lebih banyak diam, matanya memantulkan cahaya lampu laboratorium.
Di ruang inti teleportasi, cahaya dari artefak Ny Tien—program kecerdasan buatan yang menjadi pusat kendali sistem—berpendar lembut. Warna emas, biru, dan hijau silih berganti seperti denyut nadi buatan. Suara lembut Ny Tien terdengar dari speaker tersembunyi:
> “Koordinat telah diset. Perpindahan dimulai dalam tiga, dua, satu—”
Hujan masih turun di luar. Tapi di dalam ruangan itu, di tengah dentum halus listrik yang mengalir di udara, manusia sedang menantang salah satu batas tertuanya: jarak.
Anggota DPR mulai merancang sebuah undang-undang yang akan menjadi fondasi bagi masa depan teleportasi. Bagi mereka, teknologi ini bukan sekadar kemajuan ilmiah, tetapi sebuah infrastruktur baru yang mengubah cara manusia berpindah, bekerja, dan melintasi batas negara.
Dalam pembahasan awal, muncul satu kekhawatiran yang segera dianggap mendesak: arus perpindahan manusia yang tak lagi terdeteksi oleh mekanisme konvensional. Jika teleportasi dapat membawa seseorang melintasi jarak ratusan kilometer dalam sekejap, maka konsep perbatasan perlu didefinisikan ulang.
Karena itu, para legislator berpendapat bahwa kantor teleportasi harus memiliki fungsi serupa bandara. Petugas imigrasi perlu ditempatkan di setiap fasilitas—bukan hanya sebagai pemeriksa dokumen, tetapi sebagai penjaga keteraturan di tengah teknologi yang dapat memindahkan tubuh lebih cepat daripada birokrasi mampu memprosesnya.
Di balik diskusi itu, terselip kesadaran lain: bahwa hukum selalu tertinggal dari teknologi, dan usaha mereka sekarang hanyalah mencoba mengejar sesuatu yang sudah mulai mengubah dunia jauh sebelum paragraf pertama undang-undang itu ditulis.
---
---
Bulan Desember membawa hujan yang hampir tidak berhenti. Genangan air di jalan membuat kendaraan bergerak seperti mempertimbangkan setiap meter yang mereka tempuh. Di tengah perubahan musim itu, Jatmika baru saja membeli mobil listrik generasi terbaru—keputusan yang ia buat dengan diam-diam, seperti halnya perintahnya kepada John untuk menjual beberapa keping emas dari gua teleportasi. Bagi Jatmika, emas itu bukan sekadar nilai materi, tetapi jejak dari sebuah teknologi yang masih belum sepenuhnya dipahami asal-usulnya.
Sementara itu, gedung baru PT Sinar Ultraviolet akhirnya selesai dibangun. Seratus lantai menjulang di atas kota, seolah menjadi penanda bahwa dunia bergerak menuju sesuatu yang berbeda dari masa lalu. Namun, kabar yang lebih mengejutkan datang dari cabang perusahaan di Tiongkok: gedung mereka bahkan lebih besar, lebih kompleks, dan lebih berani dalam memanfaatkan teknologi teleportasi sebagai pusat operasional.
Dalam suasana itu, Jatmika sedang menata ulang struktur organisasinya. Ia menolak mengikuti pola hierarki perusahaan tradisional. Menurutnya, struktur yang adil bukan dibangun dari senioritas atau gelar, tetapi dari partisipasi nyata—dari jumlah tindakan yang benar-benar memberi dampak. Ia merancang sistem di mana posisi tertinggi diberikan kepada mereka yang paling banyak berkontribusi secara terukur.
Untuk menandai hierarki itu, ia memilih simbol-simbol yang tidak biasa. Di puncak ia menempatkan naga putih, simbol yang mewakili dirinya sendiri—bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai penjaga keseimbangan sistem. Di bawahnya ada naga merah untuk Pak Toni, dan naga hijau untuk kepala cabang Tiongkok, Prof. Wen Shuyuan. Tongkat safir merah diberikan kepada John, sebagai pengelola teknis dan konseptual teleportasi.
Setiap anggota dari Tim Sepuluh memakai logo kapak emas, tanda bagi mereka yang menjalankan pekerjaan lapangan dan riset intensif.
Sistem itu bekerja seperti algoritma moral: setiap kontribusi tercatat, setiap keputusan memiliki konsekuensi yang dapat diukur. Level naga dan safir memiliki otoritas tertinggi, tetapi otoritas itu bukan hak istimewa, melainkan hasil dari akumulasi tindakan yang tidak bisa dipalsukan.
Dalam pikiran Jatmika, inilah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa teknologi sebesar teleportasi tidak dikuasai oleh status, tetapi oleh kompetensi dan tanggung jawab—dua hal yang, baginya, jauh lebih dapat dipercaya daripada gelar atau jabatan.
---
Hari itu, Jatmika membuka rapat dengan para investor yang datang dari berbagai negara. Mereka bukan hanya penasaran, tetapi juga terpesona oleh prospek ekonomi yang ditawarkan teleportasi. Di antara mereka, seorang pengusaha Amerika menyampaikan ketertarikannya untuk membeli seluruh sistem—sebuah tawaran yang dalam konteks bisnis konvensional mungkin sulit ditolak.
Namun Jatmika menjawab dengan hati-hati. Ia menjelaskan bahwa teleportasi bukan sekadar teknologi yang dapat dipindahkan seperti perangkat elektronik. Sistem itu, menurut pengamatannya, terikat pada kondisi tertentu di Indonesia—kondisi fisik ataupun nonfisik yang belum sepenuhnya dipahami. Ia tidak menyebutkannya sebagai rahasia dagang, tetapi lebih sebagai batasan fundamental yang masih menunggu penjelasan ilmiah.
Para investor menatapnya dengan ragu, tetapi juga dengan rasa ingin tahu yang tumbuh. Jatmika melanjutkan bahwa perusahaan sedang mengembangkan tahap berikutnya dari teleportasi: perpindahan lintas negara melalui titik-titik yang tidak lagi bergantung pada gua kuno, dan bahkan uji coba awal untuk lintas planet telah dimulai.
Ia tidak menyampaikan janji, hanya kemungkinan—dan kemungkinan itu sendiri sudah cukup untuk mengubah cara dunia menghitung masa depannya.
Bagi sebagian investor, itu adalah peluang. Bagi Jatmika, itu adalah pengingat bahwa setiap teknologi besar selalu membawa konsekuensi yang lebih luas daripada yang mampu diperkirakan oleh pemiliknya. Dan untuk saat ini, ia memilih untuk menjaga agar pusat gravitasi teknologi itu tetap berada di tanah tempat ia menemukannya.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar